• Tidak ada hasil yang ditemukan

Krisis keuangan yang terjadi di Asia tahun 1997-1998 diduga bermula di Thailand. Mata uang Baht Thailand mengalami tekanan yang cukup besar sehingga nilainya terdepresiasi secara signifikan. Seiring dengan jatuhnya nilai mata uang Baht, Pemerintah Thailand terpaksa melepas nilai mata uang Baht dari rentang targetnya karena jumlah valuta asing yang relatif sedikit untuk dapat mempertahankan jangkarnya ke US Dollar. Saat itu, Thailand memiliki utang luar negeri yang cukup besar. Saat krisis terjadi, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara, Korea Selatan dan Jepang ikut terdepresiasi. Bursa saham dan nilai aset lainnya menurun, dan utang swasta meningkat cukup signifikan.

Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina juga terdampak oleh turunnya nilai mata uang. Menurut data International Monetary Fund (IMF), Rasio utang terhadap PDB naik dari 100 persen menjadi 167 persen di empat negara ASEAN pada tahun 1993-1996, lalu melonjak hingga 180 pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13 persen menjadi 21 persen, lalu memuncak di angka 40 persen. Negara industri baru lainnya masih lebih baik. Kenaikan rasio pembayaran utang-ekspor hanya dialami oleh Thailand dan Korea Selatan.

IMF turun tangan dan memberi bantuan melalui program senilai 40 miliar USD untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, sebagai negara-negara yang terdampak parah dalam krisis ini. Upaya menghambat krisis ekonomi global gagal menstabilkan situasi sosial politik di Indonesia. Puncaknya Presiden Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 akibat tekanan massa yang memprotes kenaikan harga secara tajam akibat melemahnya Rupiah.

Sebelum tahun 1999 negara-negara Asia Tenggara mempertahankan nilai tukar tinggi demi menarik investor asing yang mencari tingkat pengembalian saham tinggi. Hasilnya, Asia Tenggara menerima arus uang yang besar dan mengalami lonjakan harga aset. Pada saat yang sama, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, PDB 8–12%, pada akhir 1980-an dan awal 1993. Prestasi ini diakui oleh lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia dan dijuluki sebagai "keajaiban ekonomi Asia".

Penyebab krisis Asia 1997-1998 masih banyak diperdebatkan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa krisis bermula dari Thailand. Ekonomi Thailand berkembang dan cenderung menjadi bubble atau gelembung ekonomi yang digerakkan oleh dana panas. Seiring membesarnya gelembung, semakin banyak pula dana yang diperlukan. Situasi serupa terjadi di Malaysia dan Indonesia. Pada pertengahan 1990-an, Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan memiliki defisit akun berjalan swasta yang besar. Penerapan nilai tukar tetap meningkatkan pinjaman luar negeri dan memperbesar exposure atau paparan risiko valuta asing di sektor keuangan dan perusahaan.

Pada pertengahan 1990-an, serangkaian guncangan eksternal terjadi dan mulai mengubah tatanan ekonomi, diantaranya devaluasi Renminbi Cina dan Yen Jepang, kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang memperkuat nilai dolar A.S., dan penurunan harga semikonduktor menghambat pertumbuhan ekonomi. Seiring pulihnya ekonomi Amerika Serikat dari resesi pada awal 1990-an, Federal Reserve Bank di bawah pimpinan Alan Greenspan mulai menaikkan suku bunga US untuk menurunkan inflasi.

Keputusan ini membuat Amerika Serikat menjadi negara yang lebih menarik bagi investor dibandingkan Asia Tenggara. Asia Tenggara menerima arus dana panas berkat suku bunga jangka pendek yang tinggi dan tingginya nilai US Dollar. Bagi negara-negara Asia Tenggara yang mata uangnya dijangkarkan pada US Dollar, nilai US Dollar yang lebih tinggi membuat harga barang ekspornya lebih mahal dan kurang bersaing di pasar global. Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekspor Asia Tenggara melambat drastis pada musim semi 1996 sehingga memperburuk posisi akun berjalannya.

Sejumlah ekonom menyebut pertumbuhan ekspor Cina sebagai salah satu penyebab melambatnya pertumbuhan ekspor negara-negara ASEAN. Namun, para ekonom juga menyebut spekulasi properti yang berlebihan juga menjadi penyebab utamanya. Cina mulai bersaing secara efektif dengan negara-negara pengekspor di Asia pada tahun 1990an setelah diterapkannya beberapa reformasi berorientasi ekspor.

Tahun 1990, neraca berjalan atau current account Korea Selatan mulai mengalami penurunan karena meningkatnya inflasi, nilai tukar won yang terapresiasi, dan resesi perekonomian global. Neraca berjalan Korea di tahun 1991 tercatat mengalami defisit sebesar 8.7 miliar USD yang mana lebih besar 4 kali dibanding tahun sebelumnya. Untuk mengatasi peningkatan defisit neraca berjalan, pemerintah Korea mendorong agar terjadi peningkatan capital inflow. Untuk mencapainya, di tahun 1991 liberalisasi capital account dipercepat dengan menjalankan Foreign Exchange Management Act. Dengan diterapkannya liberalisasi capital account membuat terjadinya peningkatan capital inflow yang signifikan.

Tahun 1993, pemerintah Korea juga membentuk blueprint liberalisasi sektor finansial yang menderegulasi restriksi atau hambatan-hambatan pada aset dan manajemen liabilitas pada lembaga keuangan. Kendati demikian, pemerintah mengabaikan perlunya regulasi yang prudential pada tindakan tersebut (Nam et al

1999). Hal ini membuat terjadinya peningkatan utang jangka pendek dalam bentuk valuta asing pada berbagai lembaga keuangan. Selain itu, sebagai salah satu persyaratan untuk bergabung dalam OECD di tahun 1996, pemerintah Korea semakin membuat deregulasi di sektor finansial dan semakin membuka luas pasar keuangan dan lebih memilih melakukan liberalisasi short term capital inflow

dibanding long term capital inflows. Dampaknya, utang luar negeri jangka pendek tercatat sebesar 61 persen dari jumlah total utang luar negeri. Kebijakan-kebijakan tersebut menyebabkan adanya double mismathces, yaitu maturity mismatches dan

currency mismatches secara bersamaan.

Menurut Kihwan (1999), bank-bank di Korea banyak dimiliki oleh konglomerat-konglomerat Korea atau yang dikenal dengan istilah Chaebols. Bank-bank tersebut sering digunakan para Chaebols untuk menyalurkan dana investasi bagi usahanya sendiri. Bank-bank tersebut banyak yang menerima dana pinjaman jangka pendek dari Jepang untuk membiayai sebagian besar proyek- proyek investasi jangka panjang. Bahkan menurut Park, Song, dan Wang (2004), 80 persen utang luar negeri jangka pendek Korea digunakan hampir 70 persen pada pembiayaan jangka panjang. Pada akhir tahun 1997 total utang luar negeri jangka pendek Korea Selatan tercatat sebesar 63.8 miliar USD.

Tingkat Inflasi Indonesia

Tingkat inflasi di Indonesia yang menjadi acuan secara umum biasanya diukur melalui perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK). Indeks ini merata- ratakan harga komoditi yang berbeda-beda menurut seberapa penting komoditi tersebut. Tingkat inflasi merupakan cerminan perubahan tingkat harga secara umum pada suatu negara. Negara yang memiliki kondisi makro ekonomi yang

stabil biasanya memiliki tingkat inflasi yang relatif rendah dan stabil. Grafik tingkat inflasi tahunan Indonesia ditunjukkan pada Gambar dibawah ini.

Gambar 6 menunjukkan tingkat inflasi Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut data International Financial Statistic (2015) Pada periode 1989-1996 yaitu periode sebelum terjadi krisis moneter yang melanda Indonesia, tingkat inflasi relatif stabil di kisaran 6-9 persen dengan nilai inflasi tahunan rata-rata sebesar 8.1 persen. Ketika krisis moneter melanda di tahun 1997-1998, tingkat inflasi Indonesia melonjak tajam hingga mencapai 58 persen diakhir tahun 1998. Inflasi juga masih relatif tinggi di tahun berikutnya yaitu sebesar 20% di akhir tahun 1999. Setelah itu, kondisi makro ekonomi relatif stabil dan tingkat inflasi pun berangsur-angsur menurun dan berada dikisaran 3-10 persen dengan rata-rata 7.54% pada periode tahun 2001 sampai 2013.

Sumber: International Monetary Fund (2014), data diolah

Gambar 6 Tingkat inflasi tahunan Indonesia (%)

Stabilnya tingkat inflasi setelah terjadinya krisis di tahun 1998 tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan moneter yang diterapkan untuk mengatasi krisis. Salah satunnya adalah penetapan tingkat inflasi sebagai nominal anchor atau sasaran utama kebijakan moneter. Kerangka kebijakan moneter yang menetapkan tingkat inflasi sebagai sasaran utama secara teoritis dikenal dengan istilah

Inflation Targeting Framework. Perubahan kebijakan moneter Indonesia yang berorientasi inflasi di tahun 1999 secara formal tertuang di dalam revisi undang- undang kebanksentralan yaitu UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian direvisi lagi menjadi UU No. 3 tahun 2004. Secara resmi Indonesia mulai menganut Inflation Targeting Framework di tahun 2005.

Korea Selatan

Gambar 7 menunjukkan tingkat inflasi Korea Selatan dari tahun ke tahun. Pada periode sebelum krisis ekonomi yang mengguncang negara-negara di Asia tahun 1997-1998, tingkat inflasi korea relatif rendah dan stabil di kisaran empat persen per tahun. Setelah krisis di tahun 1998, tingkat inflasi domestik melonjak hingga delapan persen di akhir tahun 1998. Pemerintah korea dan otoritas moneter melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi krisis sehingga di tahun

0 10 20 30 40 50 60 70 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 Per sen Periode Inflasi Indonesia (%)

berikutnya tingkat inflasi dapat ditekan menjadi sebesar 0.81 persen di akhir tahun 1999.

Tahun-tahun berikutnya tingkat inflasi tahunan Korea Selatan tetap rendah dan stabil yaitu berada dikisaran 2-4 persen per tahun. Rendah dan stabilnya tingkat inflasi di Korea tidak terlepas dari peran kebijakan moneter yang diterapkan oleh otoritas moneter. Korea Selatan juga menerapkan kerangka kerja moneter yang menargetkan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter atau

Inflation Targeting Framework.

Sumber: Internasional Monetary Fund (2014), data diolah

Gambar 7 Tingkat inflasi tahunan Korea Selatan (%) Nilai Tukar Nominal (Nominal Exchange rate) Indonesia

Nilai tukar atau kurs merupakan nilai perbandingan mata uang suatu negara relatif dengan nilai mata uang negara lain. Besaran nilai tukar juga tergantung pada rezim nilai tukar yang digunakan suatu negara. Apakah menggunakan rezim nilai tukar tetap (Fixed Exhange Rate) atau rezim nilai tukar mengambang (Floating Exchange Rate).

Gambar 8 menunjukkan pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar dari periode 1989 sampai periode 2014. Pada Gambar terlihat bahwa pada rentang waktu sebelum krisis moneter yang menimpa Indonesia di tahun 1998, nilai tukar relatif stabil di kisaran 1797 per USD sampai 2383 per USD dari periode tahun 1989-1996, dengan nilai tukar rata-rata sebesar 2094 per USD. Nilai tukar yang stabil ini dapat dicapai karena indonesia menerapkan sistem nilai tukar tetap pada periode sebelum krisis moneter.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Per sen Periode Inflasi Korea (%)

Sumber: Internasional Monetary Fund (2014), data diolah Gambar 8 Nilai tukar tahunan Rupiah per USD

Terjadinya krisis moneter yang begitu kuat di tahun 1997, membuat nilai tukar Rupiah semakin melemah atau terdepresiasi dan tidak mampu lagi untuk bertahan dikisaran 2000an per USD. Cadangan devisa yang dimiliki Indonesia semakin berkurang dalam rangka melakukan intervensi di pasar valuta asing. Pada akhirnya Pemerintah dan Bank Indonesia selaku otoritas moneter melepas sistem nilai tukar tetap yang dianutnya dan membiarkan nilai tukar mengambang bebas sesuai kekuatan pasar. Dampaknya, nilai tukar Rupiah terdepresiasi ke angka 4650 per USD di akhir tahun 1997 dan semakin terdepresiasi hingga mencapai 14900 per USD di akhir quartal dua tahun 1998. Pemerintah dan Bank Indonesia melakukan serangkaian kebijakan agar nilai tukar tidak semakin tertekan, sehingga pada akhir tahun 1998 Rupiah dapat kembali menguat dan berada pada level 8025 per USD.

Sistem Nilai Tukar di Indonesia

Indonesia telah mengimplementasikan sistem nilai tukar yang berbeda- beda dalam periode tiga dekade terakhir. Tahun 1960-an rezim nilai tukar yang digunakan Indonesia adalah multiple exchange rate system. Sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 1978 Indonesia menggunkan sistem nilai tukar tetap atau

fixed exchange rate regime. Selanjutnya setelah tahun 1978 sampai tahun 1992 Indonesia menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali atau managed floating. Lalu dari tahun 1992 sampai dengan Agustus 1997 Indonesia menganut Managed Floating dengan memberikan rentang batas nilai atau yang dikenal dengan istilah crawling band system. Kemudian sejak Agustus 1997 hingga saat ini Bank Indonesia mengubah arah kebijakan menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas yang besarannya ditentukan oleh mekanisme pasar atau yang dikenal dengan istilah free floating/flexible exchange rate regime hal tersebut berkaitan dengan terjadinya krisis keuangan yang terjadi dan keterbatasan cadangan devisa yang dimiliki oelh Bank Indonesia.

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 K u rs R p /US D Periode Kurs RP/USD

Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate System)

Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap sejak Agustus tahun 1971 sampai dengan November 1978. Penerapan sistem nilai tukar tetap ini memberikan kestabilan dari waktu ke waktu namun memerlukan cadangan devisa dalam jumlah yang besar untuk melakukan intervensi. Pada sistem nilai tukar tetap ini, dengan sistem kontrol devisa dan masih belum berkembangnya lembaga keuangan khususnya pasar valas, volume transaksi devisa yang terjadi masih relatif kecil.

Pada rezim sistem nilai tukar ini pemerintah mem-peg-kan Rupiah terhadap Dollar Amerika, dimana penentuan nilai tukar mutlak dilakukan oleh pemerintah atas dasar nilai tukar riil dan BI memiliki wewenang penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada level yang telah ditetapkan, BI melakukan intervensi aktif di pasar valas. Untuk menghindari nilai tukar yang over-valued yang dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional, pemerintah melakukan devaluasi mata uang sebanyak tiga kali, yaitu pada tanggal 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp 378/USD, 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp 415/USD dan 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp 625/USD.

Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange

Rate System)

Menurut Simorangkir dan Suseno (2005), suatu negara menerapkan nilai tukar mengambang terkendali apabila bank sentral melakukan intervensi di pasar valuta asing tetapi tidak ada komitmen untuk mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu atau pada suatu batasan target (target zone). Tujuan dari intervensi tersebut adalah untuk menstabilkan pergerakan nilai tukar secara berkala atau setidaknya mengurangi tingkat volatilitas pada tingkat moderat, serta mencegah pergerakan nilai yang terlalu besar.

Keuntungan dari sistem ini adalah pembuat kebijakan mendapat kebebasan untuk menggunakan intervensi atau kebijakan lain, seperti suku bunga, untuk mencapai nilai tukar yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan ekonomi tanpa harus kehilangan kredibilitas. Akan tetapi, kelemahan dari sistem ini dapat mendorong kegiatan spekulasi dan (jika) bank sentral atau pemerintah tidak mempunyai cadangan devisa yang cukup, dapat mengakibatkan ambruknya sistem nilai tukar ini.

Sistem nilai tukar mengambang terkendali ini diberlakukan di Indonesia sejak November 1978 sampai 13 Agustus 1997. Dalam pelaksanaannya, sistem ini memiliki esensi yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik perekonomian pada saat itu dan berhubungan erat dengan seberapa besar BI mengendalikan nilai tukar dengan melakukan penekanan pada unsur floating-nya.

Pada sistem ini, nilai tukar akan diupayakan untuk berada dalam kisaran tertentu yang diputuskan oleh otoritas moneter. Dalam mempertahankan nilai tukar efektif, nilai tukar dari waktu ke waktu disesuaikan dengan selisih inflasi antara Indonesia dengan sekeranjang mata uang negara-negara mitra dagang utama dan kompetitor Indonesia, sehingga perkembangan nilai tukar Rupiah mudah diprediksi dan relatif stabil. Dalam menjaga kestabilan nilai Rupiah pemerintah melakukan intervensi apabila kurs mengalami fluktuasi melebihi batas atas atau batas bawah dari selisih atau spread tertentu. Kebijakan sistem nilai

tukar ini diimplementasikan bersamaan dengan adanya devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33.6%.

Fleksibilitas nilai tukar semakin ditingkatkan melalui penerapan kebijakan nilai tukar crawling band sejak tahun 1992 sampai dengan Agustus 1997. Peningkatan fleksibilitas nilai tukar melalui pelebaran rentang intervensi telah memberikan keleluasaan kepada BI dalam melaksanakan kebijakan moneter dan mendorong berkembangnya pasar valas dalam negeri.

Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (Free Floating Exchange Rate

System)

Pemberlakuan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia mulai tanggal 14 Agustus 1997 yang terkait dengan semakin terkurasnya cadangan devisa negara akibat dari depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika yang berawal dari adanya tekanan yang berasal dari adanya serangan spekulasi terhadap mata uang Baht Thailand yang kemudian berdampak menjalar (contagion efffect) ke mata uang Indonesia (Warjiyo, 2004).

Melemahnya nilai tukar Rupiah telah mendorong investor asing menarik dananya pada waktu yang bersamaan dari Indonesia yang diinvestasikan dalam bentuk portofolio surat-surat berharga seperti commercial papers, promisorry notes, dan medium-term notes maupun saham dan obligasi. Kepanikan mulai terjadi lagi di pasar valas terutama karena perusahaan dan bank-bank di dalam negeri ingin memborong devisa untuk membayar atau melindungi kewajiban luar negerinya dari resiko nilai tukar. Akibatnya nilai tukar Rupiah semakin merosot hingga pernah mencapai tingkat terendah sekitar Rp15.000 per Dollar AS pada awal tahun 1998.

Dalam menghadapi tekanan yang begitu besar terhadap melemahnya nilai tukar Rupiah, pada awalnya BI, sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang terkendali yang berlaku pada waktu itu, melakukan intervensi di pasar valas untuk mempertahankan nilai tukar pada kisaran yang telah ditetapkan. Demikian besarnya pembelian valas di pasar mengharuskan BI menyelamatkan jumlah cadangan devisa yang tersedia dengan tetap berupaya menstabilkan Rupiah, antara lain dengan memperlebar kisaran intervensi nilai tukar Rupiah dan terus mengendalikan likuiditas di pasar.

Sementara itu, tekanan Rupiah yang sangat kuat dan demikian cepat terhadap melemahnya nilai tukar Rupiah yang disertai dengan penurunan devisa dalam jumlah yang cukup besar akhirnya memaksa pemerintah untuk mengubah sistem nilai tukar yang berlaku dari sistem kebijakan nilai tukar mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas.

Korea Selatan

Gambar 9 menunjukkan data tahunan nilai tukar atau kurs mata uang Korea Selatan Won dengan US Dollar. Pada periode sebelum krisis ekonomi di tahun 1997-1998, kurs Won terhadap US Dollar cenderung konstan dan stabil dengan nilai berkisar 700-800 per USD. Stabilnya nilai tukar korea selatan ini dapat dicapai karena Korea memberlakukan sistem nilai tukar tetap pada era sebelum krisis. Memasuki tahun 1997 kurs Won semakin terdepresiasi akibat krisis yang terjadi. Di akhir tahun 1997 kurs Won terhadap US Dollar terdepresiasi hampir 100 persen mencapai 1695 pers USD.

Sumber: Internasional Monetary Fund (2014), data diolah Gambar 9 Nilai tukar tahunan won per USD

Setelah periode krisis, kurs Won kembali menguat ke level 1200 pers USD di tahun 1999 dan selanjutnya memiliki kecenderungan menguat di tahun-tahun berikutnya. Pada krisis subprime mortgage yang menimpa Amerika Serikat di tahun 2008, kurs Won kembali terdepresiasi sebesar 30 persen lebih mencapai sebesar 1259 per USD di akhir tahun 2008. Namun setelah itu kurs Won kembali menguat ke level 1100 di tahun berikutnya.

Menurut Chopra et al. (2001) sejak tahun 1965 sampai tahun 1970 Korea Selatan menerapkan sistem nilai tukar pegged atau secara resmi mereka menyebutnya unified floating exchange rate system. Nilai tukar won korea dipatok secara tetap pada US Dollar. Namun perlahan-lahan nilai tukar riil yang dihitung dalam satuan real effective exchange rate mengalami apresiasi sehingga menurunkan daya saing produk eskpor Korea di pasar internasional. Akhirnya pemerintah Korea beberapa kali melakukan devaluasi mata uangnya, yaitu diantaranya pada tahun 1971, 1974, 1980.

Memasuki tahun 1980 nilai tukar won dipatok pada beberapa mata uang yang menjadi mitra dagang utama Korea atau disebut dengan multicurrency basket peg system. Namun dalam praktiknya nilai tukar tidak ditargetkan secara kaku pada suatu nilai tertentu. Di bulan maret tahun 1990, Korea menerapkan sistem nilai tukar baru yaitu dengan mengambangkan nilai tukar nya namun masih dalam suatu range tertentu atau yang sering disebut sebagai managed floating exchange rate system.

Korea selatan secara resmi mempertahankan rezim nilai tukar mengambang bebas yang besarannya ditentukan oleh pasar, dan otoritas terkait melakukan intervensi dengan tujuan untuk mengurangi volatilitas pada won. Tidak seperti kebanyakan negara berkembang dan negara industri besar lainnya, Korea Selatan tidak terbuka terkait dengan laporan intervensi pasar valuta asing. Pada tahun 2013 Korea Selatan begabung dengan negara-negara G-20 lainnya dan berkomitmen untuk menahan diri dari devaluasi mata uang dan tidak menargetkan nilai tukar untuk tujuan kompetitif (Ahn dan Cha 2004). Bank sentral Korea telah

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 K u rs Won /US D Periode Kurs WON/USD

melakukan berbagai intervensi di kedua sisi pasar, tapi terbatas untuk menekan apresiasi won.

Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank (Money Market Rate) Indonesia

Gambar 10 menunjukkan data tahunan tingkat suku bunga pasar uang Indonesia. Pada periode sebelum krisis moneter di tahun 1997-1998, tingkat suku bunga relatif stabil di kisaran 9-13 persen. Setelah terjadi krisis di tahun 1997, tingkat suku bunga meningkat menjadi sebesar 27.82 persen. Kondisi krisis yang semakin parah seperti meroketnya tingkat inflasi domestik dan terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, membuat pemerintah dan bank sentral melakukan berbagai kebijakan yang diantaranya adalah menaikkan suku bunga. Pada akhir tahun 1998 tingkat suku bunga money market rate mencapai 62.79 persen. Tingkat suku bunga yang cukup tinggi ini diterapkan untuk menanggulangi adanya pelarian dana keluar atau capital outflow dan juga menurunkan tingkat inflasi yang sangat tinggi di tahun tersebut.

Sumber: Internasional Monetary Fund (2014), data diolah

Gambar 10 Tingkat money market rate tahunan Indonesia (%)

Tahun berikutnya kondisi makro ekonomi masih dalam proses pemulihan atau recovery dari krisis. Suku bunga berangsur-angsur turun menjadi sebesar 23.58 persen di akhir tahun 1999. Suku bunga kembali turun dan berada dikisaran

Dokumen terkait