• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan

cross-sectional. Didapatkan hasil penelitian yaitu proporsi gangguan mental

emosional pada ibu pasien skizofrenik yaitu 66.5 %. Hal ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 mendapatkan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia yang berumur ≥ 15 tahun sebesar 11.6%.2

Gejala gangguan mental emosional yang paling banyak dialami ibu dari pasien skizofrenik adalah mudah tegang, cemas dan kuatir (85.7%), merasa hidup tidak bahagia (81.9%), mudah lelah (84.8%) mengalami rasa tidak enak di perut (56.2%), sulit untuk berpikir jernih (54.8%), sering sakit kepala (54.3%) dan sulit tidur (50.5%). Hasil ini hampir sama dengan gejala mental emosional yang dialami penduduk Indonesia hasil penelitian oleh S.Idaiani dan kawan-kawan tahun 2009, mendapatkan gejala mental emosional yang banyak dialami oleh penduduk Indonesia antara lain sakit kepala, mudah lelah, sulit tidur, rasa tidak enak di perut dan tidak nafsu makan. Juga hampir sama dengan hasil Survei Kesehatan daerah (Surkesda) provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mendapatkan gejala gangguan mental emosional terbanyak adalah sakit kepala, mudah lelah, sulit tidur, merasa tidak enak di perut dan tidak nafsu

Juga lebih tinggi dibandingkan laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 memperoleh data gangguan mental pada populasi penduduk dunia adalah sebesar 12% dan tahun 2001 meningkat menjadi 13%. Dan lebih tinggi daripada prevalensi gangguan mental di negara Amerika Serikat 6-9%, Brazil (22.7%), Chili (26.7%) dan Pakistan (28.8%).

makan. Tetapi secara keseluruhan proporsi gejala gangguan mental emosional yang dialami ibu dari pasien skizofrenik lebih tinggi dibandingkan proporsi gejala gangguan mental yang dialami penduduk Indonesia umumnya.

Menurut S.Idaiani dan kawan-kawan tahun 2009, gejala yang banyak memberikan kontribusi terhadap gangguan mental emosional antara lain mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup, merasa tidak berharga, pekerjaan sehari-hari terganggu, tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidup, merasa sulit menikmati kegiatan sehari-hari. Pada hasil penelitian didapatkan proporsi gejala-gejala tersebut cukup besar yaitu mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup (34,3%), merasa tidak berharga (40%), pekerjaan sehari-hari terganggu (38,1%), tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidup (26,7%), merasa sulit menikmati kegiatan sehari-hari (40%). Sedangkan gejala-gejala somatik seperti sakit kepala, tidak nafsu makan, pencernaan terganggu, rasa tidak enak di perut tidak memberikan kontribusi yang besar terhadap gangguan mental emosional. Semakin banyak gejala yang dialami semakin besar kecendrungan mengalami gangguan mental emosional.6

Pada penelitian ini Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang digunakan adalah murni 20 butir pertanyaan mengenai gejala yang lebih mengarah kepada neurosis. Gejala depresi terdapat pada butir nomor 6, 9,10, 14, 15, 16, 17; gejala ansietas terdapat pada butir nomor 3, 4, 5; gejala somatik pada butir nomor 1, 2, 7, 19; gejala kognitif pada butir nomor 8, 12, 13 dan gejala penurunan energi pada butir nomor 8, 11, 12, 13, 18, 20.

Dari hasil penelitian gejala yang paling menonjol adalah gejala depresi yaitu mudah tegang cemas dan kuatir (85,7%) , merasa hidup tidak bahagia (81,9%), sering menangis (59,1%), merasa hidup tidak berharga (40%) dan pikiran untuk mengakhiri hidup (34,3%). Sedangkan proporsi gejala ansietas, gejala somatik, gejala kognitif dan gejala penurunan energi juga tinggi jika dibandingkan proporsi gejala gangguan mental pada penduduk Indonesia umumnya. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan S.Idaini dan kawan-kawan tahun 2009, menemukan gejala gangguan mental emosional yang terbanyak pada penduduk Indonesia adalah gejala somatik.13 Sedangkan dari penelitian epidemiologi di negara Amerika Serikat prevalensi gangguan mental terbesar pada penduduk berusia 55 tahun atau lebih adalah gangguan ansietas.13

Tingginya proporsi gangguan mental maupun proporsi gejala gangguan mental pada ibu dari pasien skizofrenik ini mungkin disebabkan karena pada ibu dari penderita skizofrenia mengalami banyak stres setiap hari. Pasien skizofrenia menjadi prioritas. Anggota keluarga selalu khawatir akan kekambuhan dan berusaha menjaga orang yang mereka cintai agar tetap sehat. Sayangnya, keluarga juga harus khawatir tentang keuangan mereka karena mereka mungkin membiayai rumah sakit atau biaya pengobatan yang tinggi. Keluarga dari pasien skizofrenia selalu waspada untuk setiap perubahan dalam perilaku pasien. Karena terbebani dengan khawatir tentang orang yang dicintai, anggota keluarga pasien skizofrenia dapat mengabaikan kebutuhan mereka sendiri dan menjadi depresi dan cemas.

Dari hasil penelitian didapatkan proporsi gangguan mental emosional paling banyak pada ibu pasien skizofrenik dengan tingkat pendidikan rendah

yaitu 75.2%, Buta huruf atau miskin pendidikan merupakan faktor risiko yang konsisten untuk gangguan mental umum. Beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan antara tingkat pendidikan dan risiko terjadinya gangguan mental. Konsekuensi sosial dari pendidikan yang buruk adalah jelas yaitu kurangnya pendidikan merupakan berkurang kesempatan.

Didapatkan proporsi gangguan mental emosional paling banyak pada ibu pasien skizofrenik dengan status sosioekonomi rendah yaitu 86,7%. Banyak bukti-bukti dari negara-negara industri menunjukkan hubungan antara kemiskinan dan risiko untuk gangguan mental yang umum. Gangguan mental yang umum adalah depresi dan kecemasan. Kemiskinan mungkin akan berhubungan dengan malnutrisi, kurangnya akses ke air bersih, hidup di lingkungan tercemar, perumahan tidak memadai, kecelakaan sering dan faktor risiko lain yang terkait dengan kesehatan fisik yang buruk. Masalah kesehatan mental dan fisik menyebabkan peningkatan biaya perawatan kesehatan dan memburuknya kemiskinan.

8

Selain itu didapatkan proporsi gangguan mental emosional paling banyak pada ibu yang tidak bekerja yaitu 60 %. Penyelidikan epidemiologis di negara-negara berkembang banyak menghubungkan tingginya tingkat gangguan mental dengan faktor-faktor seperti diskriminasi, pengangguran dan hidup melalui periode perubahan sosial yang cepat dan tak terduga.

8

Proporsi gangguan mental emosional dari hasil penelitian paling banyak pada ibu pasien skizofrenik yang janda yaitu 56.2 %. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh DR Williams dan kawan-kawan tahun 1992 meneliti hubungan antara status perkawinan dengan gangguan mental untuk kulit hitam

dan mengeksplorasi sejauh mana pola-pola ini berbeda dari yang untuk kulit putih. Laki-laki dan perempuan kulit hitam yang janda dan terpisah atau bercerai memiliki tingkat yang lebih tinggi mengalami gangguan mental daripada yang menikah. Hubungan antara status perkawinan dan gangguan mental untuk pria kulit putih mirip dan lebih kuat dari yang diamati pada orang kulit hitam. Bagi wanita kulit putih yang janda /bercerai memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan mental daripada yang menikah.

Dari hasil peneltian didapatkan proporsi gangguan mental emosional terbanyak adalah pada ibu berusia 60-<65 tahun yaitu 21.9 %, hal ini belum bisa dibandingkan dengan penelitian lain oleh karena distribusi umur ibu lebih banyak diatas usia > 55 tahun.

21

Dari hasil peneltian didapatkan proporsi gangguan mental emosional lebih besar adalah pada ibu yang bertempat tinggal di desa dibanding di kota. Hal ini berbeda dengan literatur bahwa gejala gangguan mental umum lebih banyak terjadi di perkotaan daripada di daerah pedesaan.8

Dokumen terkait