• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Hasil Pelaksanaan Psikoedukasi

Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Tidak semua orangtua memiliki nasib yang sama. Banyak diantara mereka yang memiliki anak berkebutuhan khusus, salah satu jenisnya yang saat ini marak dibahas adalah Mental Retardasi. Mental Retardasi merupakan salah satu masalah perkembangan yang ditandai dengan terhambatnya fungsi kognitif, sosial dan juga komunikasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Wenar (2006) bahwa terjadinya ketidaksempurnaan atau masalah pada perkembangannya sehingga berpengaruh kepada intelegensinya baik dalam ranah kognitif, sosial, motorik, bahasa dan kemampuan lainnya. Diagnosa ini memiliki beberapa kalsifikasi diantaranya kategori ringan, sedang dan parah. Semakin parah tinggat Mental Retardasi yang dimiliki anak maka semakin terhambatnya kemampuan anak dalam mengurus diri.

Penelitian ini mengambil subjek penelitian anak Mental Retardasi dengan kategori ringan. Mental Retardasi ringan adalah seseorang yang memiliki kemampuan intelektual yang rendah sehingga kemampuan kognitif dan daya ingatnya rendah, namun anak dengan kategori ini masih memiliki potensi yang dapat berkembang melalui pendidikan khusus maupun pelatihan yang diberikan. Salah satu masalah dari anak Mental Retardasi adalah emosi.

Pada anak normal, sejak kecil mereka sudah diajarkan oleh orangtua tentang emosi. Mereka diperkenalkan dengan contoh-contoh yang terjadi dilingkungan mereka. Dari situlah anak normal mampu mengenalinya dan memahami apa yang harus dilakukannya. Hal ini tampak berbeda dengan anak Mental Retardasi. Mereka cenderung kurang dapat memahami emosi mereka serta cara mengelolanya, hal ini disebabkan karena masalah kognitifnya. Rendahnya kemampuan kognitif yang mereka miliki membuatnya tidak dapat menganalisa serta memahami situasi yang ada. Hal ini dapat dilihat pada subjek pertama, dalam merespon

140 amarahnya ia cederung lebih suka memukul adiknya atau melemparkan suatu barang, sedangkan pada subjek kedua caranya untuk mengekspresikan rasa marahnya dengan menangis dan suka menghentak-hentakkan kakinya, hal ini sering terjadi ketika keinginannya tidak dikabulkan.

Pada anak Mental Retardasi ringan masalah emosinya tidak jauh berbeda dengan anak normal lainnya. Anak mental Retardation pada umumnya mampu memperlihatkan rasa sedih, sayangnya mereka tidak dapat mengutarakan atau menceritakan perasaan tersebut kepada oranglain. Selain itu, anak dengan diagnosa ini juga dapat merasakan kegembiraan namun mereka tidak dapat mengungkapkan kegagumannya. Hal ini dapat terjadi pada mereka karena pemahaman pada anak Mental Retardation sangat rendah dan tidak mendalam (Somantri, 2006). Dari hasil wawancara dapat dilihat bahwa pada subjek pertama ia merasa senang jika diberikan sebuah hadiah, namun ia tidak dapat menceritakan atau mengutarakan seberapa besar kebahagiaan itu. Sama halnya dengan subjek kedua, ia mengetahui dan memahami jika ada orang terdekat yang meninnggal ia merasa sedih. Namun ia tidak mampu menunjukkan kesedihannya serta belum mampu menceritakan apa yang dirasakannya kepada orang lain.

Dalam memberikan anak Mental Retardasi ringan pegetahuan tentang cara mengenali emosi serta mampu mengelolanya dapat dilakukan dengan pemberian psikoedukasi. Psikoedukasi diberikan kepada anak agar mereka paham tentang penyebab emosi muncul, cara merasakan perubahan di dalam tubuh dan mampu mengekspresikannya secara tepat. Psikoeduakasi adalah treatment yang diberikan secara profesional dimana mengintegrasikan intervensi psikoterapeutik dan edukasi (Lukens & McFarlane, 2004). Pendekatan psikoedukasi menekankan pada masa kognitif dan afektif anak dengan membawa anak serta memperoleh wawasan terhadap masalah yang dihadapi. Psikoedukasi juga merupakan intervensi untuk penanganan anak Mental Retardation dalam mendorong untuk keterampilan akademik serta perilaku adaptifnya (Nevid, 2005).

141 Menurut Nelson-Jones dalam Supraktiknya (2008) psikoedukasi merupakan suatu intervensi yang dapat membantu klien untuk mengembangkan life skill atau keterampilan dirinya dengan memberikan program yang terstruktur, biasanya psikoedukasi ini bisa diberikan secara individu maupun kelompok. Pada penelitian ini peneliti ingin memberikan psikoedukasi sehubungan dengan emosi agar anak Mental Retardasi mampu mengenali dan mengolalanya dengan baik sehingga ketika berada di tengah-tengah lingkungan masyarakat ia mampu berperilaku sesuai dengan norma yang ada dan dalam penelitian ini psikoedukasi akan diberikan secara individu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui juga bahwa anak Mental Retardation memiliki pemahaman dan kesadaran yang sangat rendah dalam memahami emosi serta mereka masih sulit menyampaikan apa yang dirasakannya kepada orang lain (Sovener & Hurley, dalam McClurer, 2004). Sebagai contoh pada subjek pertama jika merasa ketakutan ia cenderung untuk diam dan tidak mampu meceritakan apa yang dirasakannya dengan orang lain sedangkan pada subjek kedua ia merespon hal yang tidak disukainya selalu dengan menangis namun saat ditanyakan kepadanya mengapa ia menangis, anak tidak mampu menjelaskannya. Anak dengan kategori Mild Mental Retardation membutuhkan keterampilan dan pelatihan yang terus menerus dalam mengenali serta mengidentifikasi untuk dapat melabel emosi serta memahami emosi dan ekspresi yang dirasakan oleh oranglain (McClurrer, 2004).

Pemberian psikoedukasi pada anak Mental Retardasi sifatnya harus konkrit, sebab dampak dari terhambatnya fungsi kognitif membuat mereka mengalami kesulitan dalam berfikir abstrak. Supraktiknya (2008) mengatakan bahwa dalam menyusun modul psikoedukasi hendaknya membuat topik materi, prosedur, tujuan, waktu dan media yang akan digunakan. Pada penelitian ini peneliti memberikan psikoedukasi kepada anak melalui media video, bermain dengan alat peraga, mempraktekkan langsung kepada anak serta melakukan diskusi ringan agar anak mudah memahaminya.

142 Pada penelitian ini, peneliti memperoleh kesimpulan mengenai pemahaman subjek tentang emosi melalui wawancara. Berdasarkan data yang diperoleh ternyata tingkat pemaham emosi pada kedua subjek tidak jauh berbeda. Kedua subjek ini tergolong cukup dapat mengenali ekspresi emosi yang ditunjukkan oleh orang lain, namun pada subjek kedua ia tidak terlalu sensiitf. Misalnya walaupun ia menyadari orang lain memarahinya namun ia terkadang mengacuhkannya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pemahaman emosi pada kedua subjek penelitian antara sebelum diberikan intervensi dan setelah diberikan intervensi. Tingkat pemahan kedua subjek penelitian akan emosi semakin meningkat yang artinya bahwa pemberian psikoedukasi dapat memberikan manfaat, pengaruh serta meningkatkan pemahaman anak tentang emosi. Jika dilihat dari hasil wawancara berdasarkan komponen emosi terlihat peningkatan pemahaman pada setiap aspeknya. Adapun komponen-komponen emosi yaitu bodily arousal (kemampuan seseorang dalam mengenali perubahan fisik dalam diri saat merasakan suatu emosi yang muncul), cognition (kemampuan seseorang untuk memahami situasi dengan tepat) dan expressed behavior (cara seseorang mengekspresikan emosi secara tepat).

Pemahaman kedua subjek penelitian tentang perubahan di dalam tubuh saat merasakan suatu emosi sebelum diberikan psikoedukasi tergolong tidak jauh berbeda. Secara umum mereka tidak mengetahui apa yang dirasakan di dalam tubuhnya saat sedang marah, senang, sedih, takut dan cemburu. Hal ini berbeda setelah diberikan psikoedukasi, kedua subjek tampak memahami perubahan yang terjadi namun pemahaman ini tampak lebih baik pada subjek kedua sebab ia langsung dapat mengaitkannya dengan lingkungan sehari-harinya. Sebagai contoh saat ditanyakan apa perubahan di dalam tubuh saat seseorang marah subjek kedua mengatakan mata yang melotot serta intonasi suara yang meninggu, ia langsung mengaitkan hal ini dengan perilaku ibunya saat sedang marah.

143 Terlihat pula peningkatan kedua subjek dalam mengekspresikan apa yang dirasakannya. Pada subjek pertama, AG tampak lebih dapat mengekspresikan perasaannya lebih positif dan tidak sesederhana sebelum diberikan psikoedukasi. Sebelum diberikan psikoedukasi AG mengekspresikan rasa marahnya dengan memukul orang lain atau adiknya serta melempar suatu barang, namun setelah diberikan psikoedukasi perilaku ini sedikit demi sedikit berkurang. Jika sedang marah AG mengalihkan perilaku tersebut dengan memukul bantal dan menghindari ibu dan adiknya, namun setelah emosinya mereda ia mulai menegur mereka. Selanjutnya sebelum diberikan psikoedukasi AG hanya dapat mengekspresikan rasa senangnya dengan tertawa, namun saat ini tidak hanya dengan tertawa ia sudah dapat mengekspresikannya dengan melompat kegirangan. Berdasarkan dari hasil wawancara diketahui juga bahwa walaupun kemampuan AG dalam mengelola emosi ini belum dapat dilihat secara konsisten. Sesekali ia masih mengekspresikan rasa marahnya dengan cara memukul orang lain, hanya saja perilaku ini sudah berkurang.

Pada subjek kedua yang bernama RZ juga terlihat peningkatan dalam mengekspresikan emosi. Setelah diberikan psikoedukasi cara RZ mengekspresikan apa yang dirasakannya tampak lebih beragam. Sebelum diberikan psikoedukasi RZ sering mengekspresikan rasa marahnya dengan menghentak-hentakkan kakinya serta menangis. Hal ini berbeda saat

diberikan psikoedukasi, jika keinginan tidak tercapai pada awalnya ia akan “merengek”

namun hal ini tidak berlangsung lama, ia akan membujuk ibunya agar keinginannya terkabul, jika ia gagal melakukannya ia mengalihkannya dengan bermain walaupun wajahnya terlihat kesal. Selain itu RZ juga sudah mulai sensitif terhadap situasi yang terjadi dilingkungannya. Misalnya saat ibu RZ menghubungi ayahnya dan bertengkar, RZ dapat menanyakan kondisi ibunya walaupun hal ini masih jarang dilakukan oleh RZ. RZ juga sudah dapat menunjukkan rasa senangnya saat diberikan hadiah, ia mengekspresikannya dengan mengucapkan

144 terimakasih dan memeluk orang yang disayanginya. Hal ini berbeda sebelum diberikan psikoedukasi, AG terlihat acuh dan cuek saat ibu sedang marah kepadanya.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian psikoedukasi dirasa cocok untuk anak Metal Retardasi ringan dalam memperkenalkan emosi. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan ini adalah rapport yang baik antara peneliti, orangtua dan anak sehingga membuat mereka merasa nyaman saat melakukan intervensi ini. Rapport memang sangatlah penting dalam mengevaluasi tujuan dan keberhasilan suatu program intervensi. Terutama pada klien anak-anak, keberhasilan terapi berhubungan erat dengan hubungan interpersonalnya dengan terapis (Fourie dkk, dalam Duchan & Kovarsky, 2011). Perilaku kedua subjek penelitian juga sangat kooperatif dalam menjalani intervensi sehingga peneliti tidak mengalami permasalahan dalam menghadapi anak.

Media dan cara menyampaikan materi kepada anak dan orangtua merupakan faktor lain dari keberhasilan pemberian intervensi ni. Melaui video yang diberikan, kedua subjek terlihat tertarik dan mudah memahaminya karena peneliti memberikan materi dengan hal-hal yang konkrit. Faktor lain adalah peran orangtua dalam pemberian psikoedukasi ini. Orangtua merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak, mereka juga perlu untuk mempersiapkan diri untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada anaknya. Pada subjek pertama, awalnya orangtua tidak terlalu berperan pada hal-hal yang berkaitan dengan anak. Setelah menjalani program ini ibu berusaha untuk kembali mengenali anak dan mencoba melatih materi terapi saat dirumah. Hal serupa juga diperlihatkan pada orangtua anak subjek kedua. Ibu selalu membahas kembali materi terapi saat di rumah. Tidak hanya membahasnya namun ibu juga melatih anak dengan situasi-situasi yang terjadi.

145 Selain faktor keberhasilan, ada juga hal-hal yang menjadi kelemahan dalam pemberian intervensi ini, diantaranya adalah peneliti tidak menyediakan buku pantau evaluasi terapi untuk dirumah. Peneliti hanya melakukan wawancara kepada orangtua tentang perkembangan anak dalam mengenali dan mengelola emosi. Bisa saja ibu tidak dapat mengingat semuanya untuk disampaikan kepada peneliti tentang emosi yang ditunjukkan oleh anak. Selain itu, lembar kerja yang harus dikerjakan oleh anak sebaiknya lebih banyak lagi sehingga pengetahuan anak lebih kaya akan emosi tersebut.

146 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait