• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 PEMBAHASAN

5.2.1 Tempat Bersarang Lebah Hutan

Di Kabupaten Tapanuli Utara lebah hutan tidak hanya bersarang di pohon akan tetapi di beberapa desa ditemukan lebah bersarang pada tebing batu, dan dari informasi yang diperoleh sering juga ditemukan sarang di perumahan penduduk. Di Kecamatan Adian Koting yaitu Desa Parsingkaman selain di pohon ditemukan lebah bersarang di tebing batu. Dari hasil wawancara dengan responden dikatakan bahwa lebah bisa saja membangun sarang dimana saja selama tempat tersebut memenuhi persyaratan yang diperlukan oleh lebah.

Tebing batu tempat lebah bersarang yang ditemukan di lokasi survei berada pada tempat yang jauh dari pemukiman, jalan raya, dan umumnya berada disekitar hutan yang masih dekat dengan kebun masyarakat. Setiap kebun mempunyai jarak

yang cukup jauh dengan kebun yang lainnya, sehingga apabila ditemui adanya tebing disekitar kebun itu dianggap milik yang punya kebun terdekat demikian juga halnya dengan sarang yang ada pada tebing tersebut. Bentuk dari setiap tebing tidak beraturan, lebah biasanya membangun sarang pada posisi yang benar – benar aman misalnya pada lubang yang ada pada tebing atau tempat yang mempunyai pelindung bagi sarang. Hal itu merupakan salah satu cara lebah menjaga koloni dari berbagai gangguan seperti angin, sinar matahari, curah hujan, pemangsa, dan manusia. Horas, salah satu dari responden yang mengambil madu dari tebing pernah mengalami penurunan produksi madu karena tebing yang biasa ditempati lebah rusak.

Dari data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden, jenis pohon yang dipilih lebah untuk bersarang adalah pohon yang mempunyai batang mulus dan kulit batang tidak cepat mengelupas agar sarang tidak terjatuh, banyak cabang, serta memiliki tajuk yang lebar untuk melindungi sarang dari gangguan-gangguan pemangsa. Di Kabupaten Tapanuli Utara terdapat banyak pohon pinus, dan hasil wawancara dari beberapa responden tidak pernah ditemukan lebah bersarang pada pohon pinus dengan alasan batangnya kasar. Penulis setuju dengan responden, pohon pinus tidak memenuhi syarat tempat lebah bersarang karena pohon pinus memiliki batang yang kasar dan tajuk yang tidak lebar. Disekitar pohon tempat lebah bersarang biasanya tersedia banyak sumber pakan. Pohon durian merupakan jenis pohon yang paling sering ditemui oleh responden sebagai tempat lebah untuk bersarang, dapat terlihat dari 31 responden hanya 1 orang responden yang tidak pernah memanen madu dari pohon durian. Pohon beringin juga sangat digemari oleh lebah meskipun tidak semua responden menemukannya, hal itu disebabkan beberapa responden tidak berminat lagi untuk mencari sarang ditempat lain karena sudah memiliki sarang sendiri. Responden yang tidak mempunyai sarang sendiri atau dengan kata lain status sarang masih rebutan, biasanya selalu datang ketempat untuk menjaga sarang tersebut sampai sarang siap di panen. Dan biasanya orang lain yang melihat sarang tersebut tidak akan mengganggu lagi karena menganggap sarang tersebut sudah ada yang punya, meskipun terkadang ada juga yang tetap mengambil tanpa sepengetahuan penemu yang pertama.

Keberadaan pohon tempat lebah bersarang tidak banyak berubah, selama kurun waktu 20 tahun pohon-pohon tersebut selalu tersedia. Hal ini dikarenakan para pencari madu tidak pernah merusak pohon-pohon tersebut, baik selama proses eksploitasi maupun di luar kegiatan itu. Penduduk tidak pernah mengganggu pohon yang sudah biasa digunakan oleh lebah bersarang, pohon-pohon tersebut biasanya ditandai dengan adanya bekas sarang atau terkadang pohon selalu dikerumuni oleh lebah meskipun tidak menghasilkan madu.

5.2.2 Jumlah Perolehan Sarang Setiap Responden

Jumlah perolehan sarang yang ada pada setiap tempat tergantung pada ketersediaan pakan dan keadaan tempat tersebut. Lebah bersarang pada tempat yang tidak jauh dengan sumber pakan. Sedangkan kenyamanan tempat juga sangat berpengaruh. Apabila tebing yang ditempati lebah untuk bersarang rusak maka jumlah sarang yang ada akan berkurang dengan alasan lebah tidak merasa nyaman dengan kondisi tersebut. Kenyamanan bagi lebah juga berarti bebas dari gangguan pemangsa. Menurut keterangan dari responden, faktor pengganggu tidak terlalu mempengaruhi perkembangan jumlah sarang karena sejauh ini mereka selalu menemukan sarang dengan jumlah yang hampir sama setiap tahun meskipun disekitar sarang ditemukan semut-semut yang mengerumuni sarang. Pada setiap pohon juga jumlah sarang yang ditemui bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh bentuk tajuk, ukuran dan banyaknya jumlah cabang. Pohon dengan tajuk yang lebar dan jumlah cabang yang banyak serta berukuran besar cenderung mempunyai sarang yang banyak.

Menurut Sumoprastowo dan Suprapto (1980), lebah akan meninggalkan sarang dan pindah ke tempat lain yang lebih sesuai karena beberapa kemungkinan, yaitu kekurangan air, kekurangan sumber makanan, iklim mikro yang tidak nyaman, serangan penyakit, dan gangguan lain. Kesimpulannya untuk semua jenis lebah madu, kalau segalanya telah tercukupi, maka koloni tidak akan meninggalkan tempatnya.

Menurut keterangan responden, setelah kegiatan pemanenan madu, koloni lebah lebah akan beterbangan secara bebas tanpa membentuk sarang yang tetap dan

tidak akan menghasilkan madu. Tetapi setelah musim bunga dan persediaan pakan melimpah, maka lebah akan bersarang kembali ditempat tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, pemanenan biasanya dilakukan 2-3 kali dalam setahun yaitu pada bulan Juni, Agustus, dan November tetapi beberapa responden juga sering melakukan pemanenan pada bulan April, dimana bulan-bulan tersebut banyak tersedia bunga dari tanaman durian, dan tanaman lainnya yang juga menghasilkan bunga.

Perolehan sarang setiap responden bervariasi dikarenakan lokasi yang dicapai responden berbeda satu sama lainnya yang artinya jumlah sarang dan penyebarannya juga berbeda. Perolehan sarang pada setiap periode waktu kurang bervariasi karena setiap responden bekerja pada daerah masing-masing dimana lokasi dan jumlah sarang sama pada setiap periode waktu.

Berdasarkan Tabel 4 dan Gambar 1 dapat diketahui bahwa perkembangan jumlah koloni lebah selama kurun waktu 20 tahun di lima kecamatan yakni Kecamatan Adian Koting, Purbatua, Pahae Jae, Pahae Julu, dan Simangumban yang mewakili Kabupaten Tapanuli Utara adalah tetap atau stabil. Hal ini dikarenakan sumber pakan selalu tersedia, selain dari tanaman musiman juga dari tanaman yang selalu ada di kebun maupun pekarangan penduduk sekitar seperti kelapa, buah-buahan dan rumput serta bunga. Selain pakan yang selalu tersedia sepanjang tahun, teknik pemanenan yang diterapkan oleh pencari madu di Kabupaten Tapanuli utara tidak membunuh koloni saat pengambilan madu melainkan hanya mengusir saja sehingga lebah juga mau untuk kembali membentuk sarang ditempat tersebut.

5.2.3 Jumlah Perolehan Madu Lebah Hutan

Perkembangan jumlah koloni lebah akan mempengaruhi hasil madu yang akan didapatkan oleh pencari madu. Apabila terdapat banyak sarang dengan ukuran setiap sarang besar maka dapat dipastikan perolehan madu akan besar. Ukuran sarang akan seimbang dengan banyaknya madu. Sarang yang besar akan menghasilkan madu yang banyak karena pada sarang terdapat persediaan makanan yang banyak yang selanjutnya akan diubah menjadi madu.

Dari hasil wawancara dengan responden, pernah ditemukan sarang yang sudah berisi madu akan tetapi pada saat akan dipanen hari berikutnya sarang kosong tanpa madu. Responden tidak dapat menentukan secara pasti alasannya tetapi beberapa berpendapat madu dimakan anakannya sendiri. Hal ini didukung oleh pernyataan yang ditulis oleh Sumoprastowo dan Suprapto (1980) mengatakan bahwa sebab utama pengosongan sarang ialah kekurangan air, sumber makanan di alam bebas disekitarnya habis, sarangnya terlalu panas, dan karena gangguan penyakit dan pengganggu terus menerus.

Jumlah madu per sarang yang paling banyak yang pernah ditemui di Kabupaten Tapanuli Utara adalah 15 botol madu. Botol yang digunakan adalah botol ”Bir Bintang (600 ml)” sedangkan yang paling sedikit itu adalah 3 botol. Banyaknya perolehan madu pada setiap tahun dipengaruhi oleh banyak, ukuran sarang dan berapa kali pemanenan dilakukan dalam satu tahun.

Gambar 6 Madu yang Dikemas Dalam Botol

Jumlah perolehan madu lebah hutan setiap responden bervariasi, karena jumlah dan ukuran sarang yang diperoleh responden berbeda satu sama lainnya. Perolehan madu pada setiap periode waktu yang kurang variasi dikarenakan jumlah maupun ukuran sarang yang diperoleh tidak hampir sama.

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden pada Tabel 5 menyatakan bahwa perolehan madu setiap tahun selama kurun waktu 20 tahun adalah stabil terlihat dari total produksinya yaitu penjumlahan perolehan madu dari setiap

Utara selama 20 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 2. Dari data perolehan madu dapat terlihat bagaimana potensi madu yang dimiliki oleh Kabupaten Tapanuli Utara.

Potensi madu lebah hutan di Kabupaten Tapanuli Utara sekarang ini, dapat dilihat dari kondisi tahun 2007 dimana nilai rata-rata per responden sebesar 265 botol. Responden yang diwawancarai merupakan perwakilan dari 31 kelompok yang terdiri dari 105 orang anggotanya (Lampiran 2). Dari 31 kelompok tersebut dapat diperoleh madu sebanyak 27.825 botol. Jadi, Potensi madu di Kabupaten Tapanuli Utara yang terdiri dari 76 kelompok dapat diprediksi memperoleh madu sebesar 63.600 botol atau 38.160 liter dengan mengasumsi 45 kelompok lainnya mempunyai 3 orang anggota setiap kelompoknya.

Perkembangan perolehan madu dapat stabil karena syarat-syarat yang mendukung kehidupan koloni terpenuhi di Kabupaten Tapanuli Utara. Diantaranya adalah sumber pakan yang selalu tersedia, teknik pemanenan yang aman bagi koloni lebah, serangan dari pengganggu tidak terlalu berpengaruh dan didukung oleh habitatnya tidak mengalami perubahan.

Sumber pakan merupakan faktor yang lebih berpengaruh terhadap produksi madu. Saat sumber pakan melimpah maka madu yang diperoleh juga akan banyak karena koloni selalu ditemukan bersarang di daerah tersebut. Demikian halnya dengan teknik pemanenan yang dilakukan oleh kelompok pencari madu, tidak membahayakan bagi kehidupan koloni. Keadaan tersebut akan bertahan selama kondisi hutan dan kawasan perkebunan tetap terjaga.

5.2.4 Waktu Tempuh Menuju Lokasi Pohon Tempat Lebah Hutan Bersarang

Waktu tempuh adalah waktu yang dibutuhkan oleh setiap responden untuk mencapai lokasi sarang dari tempat tinggalnya, kegiatan ini dilakukan dengan berjalan kaki. Setiap responden mempunyai medan yang berbeda, sehingga waktu yang dibutuhkan juga berbeda.

Untuk mencapai sarang, responden dapat menghabiskan waktu selama 3 jam seperti yang dialami oleh Responden 28. Akan tetapi Responden 14 hanya

membutuhkan 15 menit (0,25 jam) saja untuk mencapai sarangnya. Untuk waktu tempuh setiap responden dapat dilihat pada Tabel 6. Responden-responden yang membutuhkan waktu tempuh banyak biasanya mengambil madu dari hutan bukan dari lahannya sendiri.

Dari hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa mereka membutuhkan waktu tempuh yang sama dari tahun ke tahun. Menurut beberapa responden, hal ini karena sarang berada pada lahan mereka sendiri, sedangkan yang biasa mengambil madu di hutan mereka juga membutuhkan waktu yang sama karena sarang selalu berada di tempat yang sama sewaktu dilakukan pemanenan. Responden 27 pernah mengalami peningkatan waktu tempuh karena pohon yang biasa dihinggapi lebah telah ditebang, mereka juga menjelaskan bahwa lebah tetap berada disekitar kawasan hutan tersebut. Sedangkan Responden 31 tidak mengetahui dengan jelas mengapa sarang tidak berada ditempat itu lagi.

Selama kurun waktu 20 tahun, waktu tempuh tidak mengalami banyak perubahan dan dapat dikatakan tetap dimana rata-rata waktu tempuh adalah 0,55 jam, tetapi pada tahun 2002 waktu tempuh berubah menjadi 0,58 jam. Hal ini dikarenakan kelestarian dari sarang tetap terjaga, dimana lahan tidak mengalami banyak perubahan dan didukung kondisi tanaman tetap kontinu yang artinya selalu tersedia tanaman yang bisa menjadi pakan lebah. Dengan kondisi yang demikian, tidak ada alasan dari lebah untuk pindah ke tempat yang lain.

5.2.5 Perkembangan Jumlah Kelompok Pencari Madu Lebah Hutan

Para pencari madu lebah hutan tergabung dalam suatu kelompok kerja pada saat melakukan kegiatan eksploitasi. Setiap kelompok kerja mempunyai anggota 2-5 orang. Tetapi lebih banyak kelompok yang mempunyai anggota yang terdiri dari 3 orang. Biasanya anggota tersebut adalah bukan dari keluarga sendiri. Alasan yang dilontarkan adalah untuk sama-sama menikmati. Responden yang mempunyai sarang sendiri juga mempunyai alasan yang sama mengingat lebah bukan dia yang memelihara akan tetapi datang sendiri membentuk sarang dan menghasilkan madu ditempat dia. Kelompok kerja yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara berasal dari 5

Kecamatan dengan berbagai desa yaitu Kecamatan Adian Koting (Desa Parsingkaman, Pagar Lambung III), Purbatua (Desa Selamat, Purbatua, Gorung, Bonani dolok, Huta Tambunan), Simangumban (Desa Dolok Sanggul, Lobusihim, Simangumban jae), Pahae Julu (Desa Sibaganding, Sigompulon), dan Pahae Jae (Desa Parsaoran Samosir, Sitolu ompu).

Data tentang perkembangan jumlah kelompok dapat dilihat pada Tabel 7. Data tersebut menunjukkan bahwa di Kabupaten Tapanuli Utara jumlah kelompok pencari madu meningkat dari tahun ke tahun. Menurut penuturan responden, peningkatan tersebut disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat yang mengetahui cara pemanenan madu dan beberapa orang menjelaskan tentang keuntungan yang diperoleh dimana mereka bisa mendapatkan keuntungan tanpa menanamkan modal. Lebah tidak sengaja dipelihara jadi saat melihat lebah bersarang, dan akan menghasilkan madu mereka merasa mendapat keuntungan selain bisa menikmati madu mereka juga bisa menjual madu tersebut.

Peningkatan jumlah kelompok pencari madu lebah hutan disebabkan oleh banyaknya anggota kelompok yang membentuk kelompok baru, alasannya kolompok ini telah mempunyai pengalaman yang cukup baik dalam hal memanen madu lebah hutan selain mereka juga menyadari keuntungannya. Peningkatan jumlah kelompok selama 20 tahun terakhir juga didukung oleh ketersediaan koloni lebah madu yang selalu ada, selain itu mengingat madu juga banyak dicari oleh masyarakat sekarang apalagi madu tersebut adalah madu alam bukan madu ternak. Harga pasar madu menunjukkan peningkatan, hal ini juga membuat masyarakat ikut tertarik mencari madu. Harga madu alam tahun terakhir ini adalah + Rp 70.000, - / botol.

Menurut responden, pada setiap pemanenan hasil yang didapatkan yaitu : madu, anakan, dan sarang lebah. Umumnya hasil yang didapat dibagi rata, akan tetapi bagi responden yang mempunyai sarang sendiri biasanya mendapat hasil yang lebih banyak. Biasanya perbandingan pemilik sarang dengan masing-masing anggota

kelompok adalah 2 : 1.

Responden yang mempunyai sarang sendiri tidak melakukan perburuan lagi, akan tetapi responden yang lain untuk memperoleh madu dari lebah hutan biasanya dilakukan dengan perburuan. Dalam kegiatan pemanenan madu lebah hutan peralatan yang digunakan adalah tangga, polang, alat pengasap, ember, pisau, tali, alat penyaring, dan senter. Alat-alat tersebut umumnya tidak terkait dengan kelestarian lebah, kecuali tunom. Pada dasarnya tunom dipakai hanya untuk mengusir lebah-lebah dari sarangnya untuk sementara bukan untuk mematikan. Akan tetapi terkadang alat tersebut dapat membahayakan lebah apabila penggunaannya salah dimana alat pengasap tersebut berubah menjadi alat pembakar yang bisa mematikan koloni.

Pengambilan madu lebah hutan pada umumnya dilakukan pada malam hari, dengan cara memotong seluruh sarang yang telah ditinggalkan lebah karena adanya pengasapan. Cara pemanenan seperti ini dikhawatirkan akan mengancam kelestarian lebah hutan, mengingat proses regenerasi koloni terhambat dengan matinya anakan lebah. Oleh sebab itu cara panen yang aman bagi kelangsungan koloni perlu diupayakan, sekarang ini teknik yang aman tersebut disebut panen sunat. Sistem sunat merupakan model potong sebagian sarang yang hanya berisi madu.

Cara yang digunakan dalam eksploitasi madu lebah hutan di Kabupaten Tapanuli Utara adalah memotong seluruh sarang, terkadang beberapa responden memotong bagian sarang yang berisi madu saja tetapi sangat jarang karena menurut responden lebih praktis dan cepat jika langsung membabat semua sarang. Beberapa responden yang memotong bagian sarang yang berisi madu memberikan alasan tidak memerlukan anakan dan sarangnya. Sejauh ini responden menganggap tidak ada perbedaan antara yang dipanen seluruh sarang dengan sebagian sarang. Menurut pengalaman mereka, setelah madu diambil dari tempat tersebut, lebah akan kembali ke tempat itu dan membangun kembali sarangnya. Dalam pengambilan madu lebah hutan, kelompok pencari lebah hutan tidak pernah merusak pohon tempat lebah bersarang seperti memotong ranting-ranting pohon tersebut atau membakarnya sehingga lebah tidak pindah tempat dan produksi madu di Kabupaten ini tidak mengalami perubahan.

Teknologi pemanenan madu lebah hutan dan peralatan-peralatan yang digunakan oleh kelompok kerja di Kabupaten Tapanuli Utara tidak mengancam kelestarian koloni lebah. Namun hal tersebut tidak bisa selamanya menjamin lebah akan tetap ada. Syarat ketersediaan pakan lebah adalah hal yang sangat berpengaruh. Sebaik apapun teknik pemanenan apabila tidak tersedia sumber pakan maka lebah tidak akan betah tinggal di tempat tersebut, pada umumnya akan pindah. Sekalipun itu adalah teknik panen sunat. Menurut Kuntadi (2001), teknik pemanenan madu lebah hutan dengan sistem sunat dapat meningkatkan produktifitas hasil apabila dalam kondisi pakan yang cukup, karena lebah madu cenderung berupaya memperbaiki dan memanfaatkan kembali sarang madu, sehingga terbuka kemungkinan dilakukannya panen berganda dari setiap koloni.

Dokumen terkait