• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Pembahasan

Dalam pembahasan ini, peneliti mencoba menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu faktor-faktor apakah yang mempengaruhi tingginya pemakaian alat kontrasepsi suntik diwilayah kerja Puskesmas Aek Goti Kabupaten Labuhanbatu Selatan dengan menggunakan komputer dengan bantuan program SPSS.

1. Faktor Sikap

Faktor pertama yang mempengaruhi tingginya pemakaian alat kontrasepsi suntik diwilayah kerja Puskesmas Aek Goti Kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah faktor sikap. Dari penelitian mayoritas akseptor mempunyai sikap positif mendukung yaitu (76.2%), sehingga akseptor lebih mudah memilih atau menggunakan jenis kontrasepsi suntik. Semakin tinggi sikap mendukung akan semakin mudah menerima program Keluarga Berencana (KB). Menurut Notoatmodjo (2010), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup

42

dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.

Azwar (2005) menegaskan sikap juga dikatakan sebagai bentuk evaluasi atau reaksi perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada suatu objek. Dan merupakan kesiapan untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan adalah faktor predisposisi yang terwujud dalam sikap dimana sikap seseorang sangat berpengaruh terhadap tindakan yang akan dilaksanakannya (Notoatmodjo, 2003). Maka semakin tinggi sikap mendukungmaka semakin tinggi minat serta tindakan akseptor untuk mau menggunakan KB suntik.

Dan hal ini sejalan dengan penelitian Mardiantari (2011) didapatkan hubungan yang bermakna antara sikap positif dengan pemilihan jenis kontrasepsi. Hasil yang sama juga dilaporkan dari penelitian Kusniah (2005) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap mendukung akseptor KB dengan pemilihan jenis kontrasepsi suntik.

43

2. Faktor Pendidikan

Faktor kedua yang mempengaruhi tingginya pemakaian alat kontrasepsi suntik diwilayah kerja Puskesmas Aek Goti Kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah faktor pendidikan, dari data karekteristik responden mayoritas jenjang pendidikan akseptor adalah SMA (70%), sehingga akseptor lebih kritis dalam memilih jenis kontrasepsi yang akan dipakai. Semakin tinggi tingkat pendidikan akseptor akan semakin mudah berperan dalam mensukseskan program keluarga berencana (KB), sehingga perempuan mempunyai andil dalam mengatur dan mengendalikan angka kelahiran, karena tingkat pendidikan seseorang secara tidak langsung dapat mengubah pandangan anggota keluarga yang ideal serta kesanggupan menanggung biaya untuk keluarga (BKKBN, 2013).

Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah. Keadaan ini juga terjadi pada program keluarga berencana, masyarakat yang berpendidikan rendah relative lebih banyak memberikan respon emosi, karena dianggap dapat mengubah apa yang mereka lakukan pada masa lalu. Sedangkan mereka yang berpendidikan tinggi akan berfikir sejauh mana keuntungan yang mungkin mereka peroleh dari program KB, karena program KB ini bertujuan untuk membantu masyarakat menuju tingkat kesejahteraan yang lebih baik (BKKBN, 2009).

44

Semakin tinggi tingkat pendidikan wanita akan semakin mudah berperan serta dalam menyukseskan program keluarga berencana (KB), sehingga wanita mempunyai andil dalam mengatur dan mengendalikan angka kelahiran karena tingkat pendidikan seseorang secara tidak langsung dapat mengubah pandangan mengenai jumlah anggota keluarga yang ideal serta kesanggupan menanggung biaya untuk keluarga (Notoatmojdo, 2007).Hal ini bertentangan dengan hasil penelitia Sembiring (2003) yang menyatakan faktor pendidikan cenderung kurang berpengaruh terhadap pemilihan alat kontrasepsi.

Dan hal ini sejalan dengan penelitian Aidah (2003) didapatkan hubungan yang bermakna antara faktor tingkat pendidikan dengan pemilihan jenis kontrasepsi. Hasil yang sama juga dilaporkan dari penelitian Menasari (2010) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan akseptor KB melalui tingkat pendidikan dengan pemilihan jenis kontrasepsi suntik dengan hasil uji p< α=0,05.

Dari hasil penelitian ini, peneliti berasumsibahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi minat ibu dalam pemilihan alat kontrasepsi suntik karena akseptor yang berpendidikan lebih tinggi akan lebih mudah mengerti akan manfaat dan efek samping yang ditimbulkan dari jenis kontrasepsi yang dipakai.

45

keluarga, penghasilan yang tinggi dan teratur membawa dampak positif bagi keluarga karena keseluruhan kebutuhan sandang, pangan, papan dan transportasi serta kesehatan dapat terpenuhi. Namun tidak demikian dengan keluarga yang pendapatannya rendah akan mengakibatkan keluarga mengalami kerawanan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya yang salah satunya adalah pemeliharaan kesehatan (Rofiq, 2014).

Faktor ketiga yang mempengaruhi tingginya pemakaian alat kontrasepsi suntik diwilayah kerja Puskesmas Aek Goti Kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah faktor ekonomi. Hasil penelitian dari faktor ekonomi melalui jawaban responden tentang sikap memberikan gambaran kesesuaian antara pekerjaan dan pengahasilan dengan pandangan responden terhadap nilai ekonomis pemakaian jenis KB suntik. Dari data karakteristik diketahui pekerjaan dan penghasilan responden bervariasi. Pekerjaan mayoritas adalah ibu rumah tangga (66,7%) dan penghasilan terbanyak adalah dibawah UMR Rp.1.653.000 (74,8%), dan dapat disimpulkan bahwa akseptor lebih tertarik memilih jenis kontrasepsi yang membutuhkan biaya murah.

Tingkat ekonomi akseptor akan mempengaruhi terhadap pemilihan jenis kontrasepsi. Hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi akseptor harus menyiapkan dana yang diperlukan. Harga KB suntik diwilayah Kecamatan Silangkitang berkisar antara Rp.30.000-Rp.35.000. Dengan harga yang relatif murah, untuk kalangan berpenghasilan menengah kebawah tentunya akan tertarik untuk memilih dan memakai jenis KB suntik ini. Dan untuk mendapatkannya mudah. Hal ini sama dengan pendapat Rofiq (2014), yang

46

menyatakan bahwa sebahagian status ekonomi masyarakat masih rendah, membuat mereka lebih menyukai pengobatan yang tidak membutuhkan biaya yang terlalu tinggi.

Hal yang sama dilaporkan dari hasil penelitian Simamora (2014), bahwa tingkat pengahasilan sangat mempengaruhi dalam pemilihan jenis kontrasepsi yang akan digunakan. Hasil yang sama juga dilaporkan dari hasil penelitian Herlinda (2008) bahwa pendapatan keluarga sangat mempengaruhi responden untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi yang membutuhkan biaya banyak.

Penelitian berasumsi bahwa kontrasepsi suntik dipilih oleh akseptor karena harganya terjangkau dibanding dengan alat kontrasepsi lainnya, seperti AKDR, Implant, dan metode operatif. Karena dengan hanya mengeluarkan uang 30 ribu saja akseptor sudah bisa memperoleh dan berkontrasepsi suntik untuk tiga bulan kedepan.

4. Faktor Umur

Faktor keempat yang mempengaruhi tingginya pemakaian alat kontrasepsi suntik diwilayah kerja Puskesmas Aek Goti Kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah faktor umur, dari data karakteristik responden, mayoritas akseptor ber umur 20-35 tahun 34 orang (81,0%) dengan kategori tidak beresiko. Berdasarkan penelitian BKKBN pusat tahun 2007 persentasi terbesar peserta KB terletak pada

47

Umur adalah lama waktu hidup atau ada sejak dilahirkan atau diadakan hidup, nyawa (KBBI Modern, 2004). Umur merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan seorang wanita karena ada hubungannya dengan kehamilan dan kelahiran. Pada umur <20 tahun akseptor dianjurkan untuk menunda kehamilannya karena pada umumnya alat reproduksinya secara fisik belum optimal untuk menerima hasil konsepsi, secara psikis umur yang terlalu muda belum siap secara mental dan emosional dalam mengahadapi kehamilannya (Irianto, 2014).

Umur yang terbaik bagi seorang ibu untuk hamil antara 20-35 tahun, karena pada masa ini alat-alat reproduksi sudah siap dan matang untuk mengandung dan melahirkan anak. Sedangkan pada umur >35 tahun penggunaan kontrasepsi sangat diperlukan untuk mencegah kehamilan karena elastisitas otot-otot reproduksi sudah mengalami kemunduran dalam fungsinya (BKKBN, 2012).

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa peserta KB terbesar berumur dibawah <35 tahun.Ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang mengatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam pemakaian alat kontrasepsi. Mereka yang berumur tua mempunyai peluang lebih kecil untuk menggunakan alat kontrasepsi dibandingkan dengan yang muda.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tambak, F (2013) KB suntik merupakan metode yang banyak dipilih oleh wanita <35 tahun, sedangkan sterilisasi merupakan metode yang paling banyak dipilih oleh wanita berusia >35

48

tahun.Hal yang sama juga dilaporkandari penelitian Rauf (2014) yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara umur dengan pemilihan kontrasepsi suntik.

Dari pernyataan diatas penulis berasumsi bahwa usia seseorang sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan pemakaian kontrasepsi suntik.Pada kelompok umur > 35 tahun kemungkinan ikut ber KB untuk mencegah kehamilan resiko tinggi, selain itu dengan semakin meningkatnya usia, seseorang akan mempunyai pertimbangan yang lebih banyak sebelum memutuskan sesuatu termasuk untuk melahirkan, sedangkan pada usia <20 tahun mengikuti program KB kemungkinan dengan alasan untuk menunda kehamilan.

5. Faktor Sosial budaya

Faktor kelima yang yang mempengaruhi tingginya pemakaian alat kontrasepsi suntik diwilayah kerja Puskesmas Aek Goti Kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah faktor sosial budaya dengan mayoritas suku Jawa (71%) dan jumlah anak yang diinginkan 2 orang (47.6 %). Hal ini menunjukkan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS) sudah menjadi pilihan akseptor. Menurut BKKBN 2008, masyarakat yang memiliki suku jawa lebih bisa menerima program keluarga berencana dibandingkan yang ber suku batak, suku batak mempunyai motto yang kuno yang sebagian besar masih dipegang yaitu

49

orang tua juga harus memikirkan bagaimana anak-anaknya kelak mempunyai masa depan yang cerah dengan mendapatkan pendidikan yang terbaik.

Sosial budaya adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan didalam satu masyarakat yang mempengaruhi sistem soaialnya termasuk didalamnya sikap, perilaku diantara kelompok dalam masyarakat. Pelembagaan kebudayaan diarahkan agar KB benar-benar dapat dihayati dan dijalankan oleh individu, keluarga maupun masyarakat. Pendekatan kemasyarakatan bertujuan menggalakkan partisipasi masyarakat dalam gerakan KB, yang dilakukan melalui jalur sosial budaya terutama melalui peranan tokoh masyarakat. Pilihan atas pemakaian jenis kontrasepsi pada umumnya masih berdasarkan selera calon akseptor disamping pertimbangan kondisi kesehatan dari calon akseptor yang bersangkutan (BKKBN, 2011).Menurut BKKBN (2012) pada saat ini norma keluarga kecil sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi kebanyakan keluarga. Di indonesia data nilai anak untuk menunjukkan bahwa program KB memang dibutuhkan oleh masyarakat, disamping menunjukkan kemandirian juga harus diupayakan peningkatan kualitas generasi mendatang.

Kemiskinan dan kemunduran sosial budaya adalah aspek-aspek yang menjadi tantangan berat bagi pembangunan. Disisi lain program KB ditandai semakin meningkatnya peran serta masyarakat dalam ber KB, sehingga KB perlu dijadikan upaya penting untuk memiliki anak ideal, menjadi keluarga yang sejahtera dan berkualitas. Gambaran ini secara tidak langsung memperlihatkan bahwa program KB telah begitu membudaya disebahagian besar keluarga di indonesia. Untuk mewujudkan keluarga kecil berkualitas, masyarakat

50

menggunakan alat kontrasepsi dan cara yang tidak membahayakan suami istri seperti KB suntik.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Aldriana (2013), sosial budaya mempengaruhi dalam pemakaian kontrasepsi suntik dimana keyakinan tersebut muncul karena adanya informasi dan pengaruh sosial masyarakat dan dukungan dari keluarga terdekat, dan saling merekomendasikan untuk pemakaian kontrasepsi yang sama. Dan hasil yang sama dilaporkan dari penelitain Nirdayani (2008) menyatakan bahwa faktor sosial budaya yang paling mempengaruhi terhadap pemakaian kontrasepsi suntik, dikarenakan norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS) menjadi kebutuhan keluarga Indonesia dengan 2 anak cukup.

Peneliti berasumsi bahwa responden memakai KB suntik karena pengaruh informasi dari masyarakat sekitar, menerima norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS).

Dokumen terkait