• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Pembahasan

Penelitian yang menggunakan cross sectionalini merupakan data sekunder dari 51 penderita abses leher dalam di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2012- 2014. Distribusi penderita dijabarkan di bawah ini.

5.3.1 Distribusi frekuensi infeksi leher dalam berdasarkan jenis abses leher dalam

Dari hasil penelitian ini didapatkan penderita abses leher dalam berdasarkan ruang yang terlibat terbanyak adalah ruang submandibula yaitu 24 (47,1%) diikuti dengan ruang peritonsilar 14 (27,5%) penderita, ruang parafaring dan angina ludwid masing-masing 5 (9,8%) penderita, serta yang paling sedikit ruang retrofaring 3 (5,9%) penderita.

Pada penelitian ini ruang submandibula adalah ruang yang terbanyak dijumpai. Abses submandibula lebih sering terjadi karena penyebab abses submandibula bersumber dari infeksi gigi molar dua dan tiga, rongga mulut, wajah, faring. Kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain dapat juga menjadi penyebab terjadinya abses submandibula (Raharjo, 2008; Ballenger, 1994). Pada penelitian ini abses retrofaring adalah ruang yang paling sedikit terjadi dan dialami oleh penderita dewasa dengan riwayat faringitis. Hal ini jarang terjadi karena pada umumnya abses retrofaring lebih sering terjadi pada anak-anak. Namun seperti kita ketahui bahwa abses retrofaring pada orang dewasa sering terjadi akibat adanya trauma tumpul atau infeksi pada mukosa faring dan perluasan abses dari struktur yang berdekatan (Fachruddin D, 2007)

Pada penelitian Yang et al(2008) pada 100 kasus infeksi leher dalam yang dilakukan April 2001 sampai Oktober 2006 didapatkan abses submandibula 35%,

hyoid 26%, retrofaring 13%, dan ruang karotis 11%. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di rumah sakit Juan Canalejo di Spanyol pada 77 kasus infeksileher dalam, dijumpai abses submandibula adalah ruang yang paling banyak terlibat, 23 penderita (29%) (Regiero et al., 2006).

Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Murray et al tahun 2011 pada 117 penderita infeksi leher dalam, dijumpai ruang leher dalam yang paling banyak dijumpai adalah peritonsil yaitu 49% diikuti dengan abses retrofaring 22 % dan yang paling sedikit adalah abses parafaring 2%.

5.3.2 Distribusi frekuensi infeksi leher dalam berdasarkan umur dan jenis kelamin

Dari hasil penelitian ini didapatkan penderita abses leher dalam terbanyak adalah pada kelompok umur >40 tahun. Persentase terendah terdapat pada kelompok retrofaring, parafaring umur 0-20 tahun. Menurut ruang yang terlibat pada abses submandibula, angina ludwig dan peritonsilar kelompok umur yang terbanyak adalah pada kelompok umur >40 tahun. Sedangkan pada abses parafaring dan retrofaring kelompok umur terbanyak adalah pada kelompok umur 21-40 tahun. Pada penelitian ini penderita abses leher dalam banyak terjadi pada kelompok umur >40 tahun, hal ini karena faktor-faktor adanya penyakit penyerta seperti diabetes mellitus, penyakit jantung, hipertensi, gangguan sistem yang dapat menjadi etiologi terjadinya abses leher dalam. Sedangkan pada kelompok umur 21-40 tahun, banyaknya penderita abses leher dalam karena kejadian infeksi yang sering terjadi pada kelompok usia ini (Raharjo SP, 2013)

Berdasarkan jenis kelamin, penderita abses leher dalam pada penelitian ini terdiri dari 30 (58,8%) penderita laki-laki dan 21 (41,2%) penderita perempuan. Pada penelitian ini penderita abses leher dalam lebih banyak dijumpai pada laki- laki dibandingkan dengan perempuan karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang kemungkinan menyebabkan terjadinya abses leher dalam disini seperti banyaknya penderita laki-laki dengan riwayat merokok dan kurangnya kebersihan gigi dan

gigi, merokok, kebersihan rongga mulut, mungkin dapat diduga sebagai bahan pertimbangan. Sedangkan kemungkinan faktor predisposisi lainnya seperti penyakit DM, HIV diduga juga memperberat kemungkinan terjadinya abses leher dalam (Raharjo SP, 2013).

Pada penelitian Lee et al (2007) melaporkan 158 kasus infeksi leher dalam dari tahun 1995-2004. Pada penelitian tersebut penderita abses leher dalam lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu 89 penderita laki-laki dan 69 penderita perempuan. Usia penderita mulai dari 1-89 tahun dengan nilai umur rata-rata 35,4 tahun. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Shailesh et alterhadap 298 kasus abses leher dalam, dijumpai 182 penderita laki-laki dan 116 penderita wanita dengan perbandingan 1,57:1. Usia penderita abses leher dalam dari 6 bulan-78 tahun dengan usia rata-rata 36,7 tahun (R. Shailesh et al.,2013).

5.3.3 Distribusi frekuensi infeksi leher dalam berdasarkan keluhan utama dan keluhan tambahan

Dari hasil penelitian ini didapatkan keluhan utama abses leher dalam yang paling banyak adalah keluhan pembengkakan di leher, yaitu 17 (33,3%) penderita diikuti dengan keluhan trismus 16 (31,4%) penderita. Hal ini dikarenakan banyaknya abses submandibula yang dijumpai dengan keluhan pembengkakan leher. Dan pada umumnya penderita datang ke rumah sakit setelah adanya keluhan pembengkakan leher, sehingga keluhan sebelumnya sering diabaikan. Sedangkan keluhan tambahan abses leher dalam yang paling banyak adalah sulit menelan dan nyeri leher 9 (17,6%) penderita. Keluhan utama dan keluhan tambahan saling berkaitan , namun penderita abses leher dalam sulit untuk membedakan antara keluhan utama dan keluhan tambahan sehingga penyampaiannya terkadang terbalik. Menurut penderita , keluhan utama dan tambahan merupakan 1 keluhan yang sama yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit.

Keluhan pembengkakan leher adalah hal yang paling sering dikeluhkan oleh penderita infeksi leher dalam. Pada pemeriksaan terlihat pembengkakan di daerah submandibula sampai ke leher. Bila pembengkakan terbatas pada bagian atas milohioid, terlihat penonjolan dibawah lidah sehingga lidah terangkat dan terdorong ke belakang. Dalam waktu 12-24 jam infeksi dapat belanjut menembus otot milohioid masuk ke ruang submaksila dan selanjutnya menyebar sampai ke daerah leher dan klavikula. Pada daerah submental teraba keras seperti papan, nyeri sentuh dan jarang disertai fruktuasi. Pada stadium lanjut penderita tampak sakit berat, suhu badan naik (Raharjo SP, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Abshirini et al abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat (Abshirini H et al.,2010). Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Shailesh et al yang dilakukan pada 298 kasus abses leher dalam, dijumpai keluhan terbanyak adalah pembengkakan leher yaitu 289 penderita sedangkan pada 9 penderita abses retrofaring tidak dijumpai keluhan pembengkakan leher (R. Shailesh et al., 2013). Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Lee et al pada 158 kasus abses leher dalam, dijumpai keluhan yang paling banyak pada infeksi leher dalam adalah pembengkakan di leher yaitu sebanyak 74,7% (Lee et al., 2007).

Hal yang berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Agricio et alterhadap 65 penderita infeksi leher dalam dijumpai keluhan terbanyak adalah nyeri 89,2% (Agricio et al., 2004).

5.3.4 Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan riwayat penyakit atau etiologi

hasil penelitian ini didapatkan riwayat penyakit abses leher dalam yang paling banyak adalah sakit gigi, yaitu 29 (56,9%) penderita.Pada penelitian ini

disebabkan oleh infeksi gigi dan mulut. Perjalanan penyakit abses leher dalam dapat berasal dari riwayat penyakit yang merupakan sumber infeksi leher dalam.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suebara dan kawan- kawan di São Paulo Santa Casa, Brazil pada 80 kasus abses leher dalam dijumpai penyebab terbanyak adalah infeksi gigi yaitu 27,5% dan tonsilitis sebanyak 22,5% (Suebara et al., 2008). Hal yang sama pada penelitian lain yang dilakukan terhadap 150 kasus abses leher dalam di Parana Brazil dari Januari 2000-Januari 2007 dijumpai 37% sumber infeksi pada infeksi leher dalam adalah infeksi gigi, diikuti oleh penyebab yang tidak jelas 33%, infeksi faring dan tonsil 20%, dan sisanya infeksi lain-lain (Matzelle et al., 2009).

Hal yang berbeda pada penelitian Lee dan kawan-kawan yang menemukan etiologi terbanyak penyebab infeksi leher dalam adalah tidak jelas/tidak diketahui sebanyak 116 (73,4%) penderita (Lee et al.,2007).

Infeksi gigi merupakan sumber infeksi terbanyak yang dapat mengakibatkan terjadinya abses leher dalam. Kebersihan mulut dan gigi yang kurang diperhatikan dan penyalahgunaan obat intravena bisa pula menjadi faktor tersering pada orang dewasa. Selain itu penyakit infeksi saluran nafas atas, trauma, benda asing juga merupakan etiologi dari infeksi leher dalam (Raharjo SP, 2013).

Dokumen terkait