BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2. Pembahasan
Tujuan penelitian ini meliputi penjelasan dukungan keluarga ditinjau dari 4 dimensi, kualitas hidup lansia, hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup lansia yang menderita penyakit kronis di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan.
5.2.1 Dukungan Keluarga pada Lansia yang Menderita Penyakit Kronis
Rata-rata nilai dukungan keluarga adalah 3,58, dengan nilai terendah 2,06 dan nilai teringgi 4,00. Berdasarkan nilai rata-rata yang disesuaikan dengan skala instrumen pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa lansia yang menderita
penyakit kronis sering mendapatkan dukungan dari keluarga. Sama halnya dengan rata-rata nilai sub variabel dukungan. Lansia sering mendapatkan dukungan keluarga dari segi dukungan instrumental, penghargaan, informasional, dan penilaian. Nilai rata-rata dimensi penghargaan adalah nilai yang paling tinggi dari empat dimensi dukungan keluarga. Hal ini berarti dimensi penghargaan adalah salah satu dukungan yang paling sering keluarga berikan kepada lansia yang menderita penyakit kronis. Berbeda dengan penelitian Yusra (2011), menurut penelitian Yusra 4 dimensi dukungan keluarga yang paling sering diberikan pada pasien DM tipe 2 adalah dukungan emosional. Begitu juga dengan penelitian Herlinah et al (2013), dukungan keluarga yang paling efektif diberikan pada lansia dalam pengendalian hipertensi adalah dukungan emosional. Berbeda dengan hasil penelitian Pratiwi (2011), dukungan keluarga yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan menjalankan terapi pengobatan pada pasien adalah dukungan informasional. Hasil penelitian yang berbeda-beda menunjukkan bahwa empat dimensi dukungan yang diberikan keluarga sama pentingnya diberikan terhadap lansia ataupun pasien yang menderita penyakit kronis.
Sub dukungan keluarga juga sejalan dengan penelitian Herlinah et al (2013) terkait perilaku lansia dalam pengendalian hipertensi. Empat dimensi dukungan keluarga berpengaruh terhadap perilaku lansia dalam mengendalikan hipertensi. Hal ini juga didukung oleh penelitian Swiderska (2014), lansia tidak hanya membutuhkan dukungan secara financial (dukungan instrumental), tetapi membutuhkan dukungan yang kompleks, hubungan lansia dengan keluarga khususnya dengan pasangan, anak, cucu, atau sanak saudara sangatlah penting
untuk kualitas hidup lansia. Swiderska juga menyebutkan bahwa periode hidup seseorang pada saat lansia menimbulkan ketakutan, kesepian, peyakit bahkan kematian.
Sejalan dengan penelitian Swiderska, penelitian Astuti (2010) juga menyebutkan bahwa rasa kesepian, bahkan keterasingan merupakan awal penyebab terjadinya depresi pada lansia, apalagi lansia dengan penyakit kronis. Tetapi dengan adanya dukungan dari keluarga dapat membuat lansia merasa aman, merasa ada yang menemani, ada yang mempedulikan keberadaan lansia khusunya pada lansia dengan penyakit kronis yang sedang pada tahap pengobatan. Menurut penelitian Hung (2015) kebutuhan lansia dengan penyakit kronis adalah dipedulikan dan ditemani oleh anggota keluarga. Sebanyak 70% anggota keluarga tidak mendapatkan informasi terkait dukungan keluarga pada lansia dengan kondisi kronis. Hung menyatakan bahwa lansia dengan kondisi kronis, dukungan dari anggota keluarga adalah hal yang paling mereka butuhkan dengan persentase 40%, diikuti oleh dukungan dari teman sebanyak 27%.
5.2.2 Kualitas Hidup Lansia yang Menderita Penyakit Kronis
Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata nilai kualitas hidup lansia adalah 4.30. Berdasarkan nilai rata-rata yang disesuaikan dengan skala instrument maka lansia yang menderita penyakit kronis mempunyai kualitas hidup yang baik. Konsep kualitas hidup meliputi kepuasan dan wellbeing, serta multidimensi termasuk kondisi kesehatan lansia (Lima et al, 2009). Sejalan dengan penelitian Khan, et al (2014), bahwa penyakit dan kualitas hidup lansia saling berhubungan
(p =0,000), dari 45 total responden yang menderita berbagai macam penyakit kronis, sebagian besar mempengaruhi kualitas hidup responden.
Sejalan dengan teori Donegan (2007) tentang kualitas hidup pada lansia dengan disability. Donegan menyatakan bahwa keterbatasan pada lansia yang biasanya disebabkan oleh penyakit kronis seperti stroke, rheumatoid arthritis, dll berefek dari segi fisik, sosial, bahkan psikologis yang berimplikasi pada nyeri dan
fatigue. Teori tersebut sejalan dengan penelitian Thumboo (2016), tentang
penyakit hand osteoarthritis yang menimbulkan nyeri, kekakuan, dan disabilitas sehingga menurunkan kualitas hidup lansia yang menderita hand osteoarthritis.
5.2.3 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Lansia yang Menderita Penyakit Kronis
Analisis hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup lansia, menunjukkan semakin sering dukungan keluarga diberikan semakin baik kualitas hidup lansia yang menderita penyakit kronis. Hubungan kedua variabel kuat (r=0,716). Hasil uji stattistik lebih lanjut disimpulkan, adanya hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga beserta dimensinya dengan kualitas hidup responden (p=0,000)
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Herlinah et al (2013), dimensi instrumental, penghargaan, informasional, dan penilaian mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku lansia dalam pengendalian hipertensi (pvalue=0,000). Begitu juga dengan hasil penelitian Yenni (2011), empat dimensi dukungan keluarga berhubungan dengan kejadian stroke pada lansia hipertensi (rdukungan instrumental= 0,260, rdukungan penghargaan= 0,513,
rdukungan informasional= 0,602, rdukungan penilaian= 0,190). Pada penelitian Yenni, sub variabel dukungan keluarga yang paling berhubungan dengan kejadian stroke pada lansia hipertensi adalah dukungan informasional. Sama halnya dengan hasil penelitian bahwa 4 dimensi dukungan keluarga yang paling berhubungan dengan kualitas hidup lansia adalah dukungan informasional.
Coffman (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keluarga merupakan sumber dukungan yang paling utama. Dukungan yang diberikan dilihat dari empat dimensi yaitu dimensi instrumental, penghargaan, infromasional, dan penilaian. Disampaikan juga bahwa dukungan dari keluarga berkaitan erat dengan kepatuhan pasien dalam pengobatan, sehingga akan mempengaruhi kualitas hidupnya. Menurut Fitri (2011) menurunnya derajat kesehatan dan kemampuan fisik akan mengakibatkan lansia secara perlahan menarik hubungan dari masyarakat sekitar sehingga terjadi penurunan interaksi sosial. Penurunan interaksi sosial pada lansia menimbulkan perasaan loneliness pada lansia yangs berakibat pada perubahan kualitas hidup lansia. Hal yang sama juga diutarakan Ikasi et al (2014) dalam hasil penelitiannya, bahwa kesepian pada lansia dapat menurunkan kualitas hidup khususnya pada lansia. Sehingga dukungan dari keluarga berperan dalam menurunkan kesepian dan stress ataupun masalah psikologis pada lansia (pvalue=0,001).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa adanya dukungan keluarga sangat membantu lansia yang menderita penyakit kronis dalam hal proses perawatan dan pengobatan. penyakit kronis pada lansia menyebabkan penurunan interaksi sosial bahkan mobilitas sehingga lansia merasa
loneliness dan stress. Rasa kesepian dan stress bahkan kejadian depresi pada lansia menyebabkan penurunan kualitas hidup. Faktor dukungan keluarga sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia, baik dari segi kesehatan fisik, kondisi psikologis, hubungan sosial dan hubungan lansia dengan lingkungan sosialnya.