• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5 Hasil dan Pembahasan

2. Pembahasan

2.1 Kinerja Perawat Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Kabanjahe

Berdasarkan data yang diperoleh melalui kuesioner self report, peneliti menemukan bahwa 81 % perawat memiliki kinerja yang baik dalam melakukan pengkajian yang terkait dengan melakukan pengumpulan data sejak pasien masuk, melakukan pengkajian pasien setiap hari dan melakukan pengkajian akan kebutuhan keluarga dan pasien tentang pendidikan kesehatan. Mayoritas perawat (89.6%) memiliki kinerja yang baik dalam melakukan diagnosa yang meliputi menegakkan diagnosa keperawatan setelah terlebih dahulu melakukan diskusi dan penulisan

diagnosa telah sesuai dengan pedoman yang ada. Mayoritas perawat (89.6%) memiliki kinerja yang baik dalam melakukan perencanaan yang terkait tindakan- tindakan yang akan dilakukan pada pasien dan keluarganya baik tindakan perawatan mau pun tindakan pemberian pendidikan kesehatan. Perawat juga telah melakukan pendokumentasian perencanaan dengan baik dan mencantumkan tindakan kolaborasi yang akan dilakukan bersama tenaga kesehatan lain. Sebagian besar perawat (89.6%) telah memiliki kinerja yang baik dalam melakukan implementasi yang meliputi menghargai martabat, privasi dan tingkat kemandirian pasien selama melakukan tindakan, perawat telah melakukan implementasi yang sesuai dengan apa yang telah dijabarkan pada perencanaan dan melakukan implementasi secara fleksibel. Hampir seluruhnya perawat (91.4%) memiliki kinerja yang baik dalam evaluasi yang meliputi melakukan evaluasi terhadap implementasi dan diagnosis dan kemudian memodifikasi sesuai dengan kebutuhan pasien dan keluarganya. Perawat juga melakukan pengevaluasian keefektifan pemberian pendidikan kesehatan.

Secara keseluruhan peneliti menemukan bahwa mayoritas perawat (89.7%) memiliki kinerja yang baik dan sisanya (10.3%) memiliki kinerja yang masih harus ditingkatkan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salonen, Kaunnen, Meretoja dan Tarkka, (2007) yang mengukur kinerja perawat menggunakan kuesioner menemukan bahwa perawat memiliki tingkat kinerja yang cukup sampai baik dan Nantsupawat, et al. (2011) yang menemukan bahwa perawat memiliki pencapaian kinerja yang masih kurang. Hasilpenelitian inisejalan dengan penelitian yang dilakukan Lee dan Tom (2007) yang menggunakan kuesioner untuk

mengukur pencapaian kinerja perawat yang diisi oleh perawat dan pasien, penelitian ini menemukan tingkat kesenjangan yang tinggi antara pencapaian kinerja yang dipersepsikan perawat dan pasien, di mana tingkat pencapaian kinerja yang dipersepsikan perawat sangat tinggi dibanding tingkat pencapaian kinerja yang dipersepsikan oleh pasien.

Observerchecklist adalah instrumen yang digunakan untuk menilai kinerja perawat yang berisi daftar kriteria pelaksanaan kerja yang memperlihatkan tingkah laku yang diinginkan dari perawat (Henderson, 1984 dalam Gillies, 1994). Observasi dilakukan sendiri oleh peneliti dengan mengobservasi kinerja perawat yang terkait dengan asuhan keperawatan yang dikerjakan perawat. Hal ini dilakukan peneliti untuk menghindari halo effect dan horn effect jika peneliti mendelegasikan hal ini kepada kepala ruangan (Gillies, 1994).

Pada observasi yang pertama peneliti menemukan bahwa kinerja perawat pada kategori kurang dengan rentang 1-12 adalah sebanyak 14.3% dan kinerja perawat dalam kategori baik dengan rentang nilai 13-24 adalah sebanyak 85.7%. Pada perencanaan terdapat 85.7% perawat tidak mencantumkan rencana pemberian pendidikan kesehatan pada pasien atau keluarga, selain itu tidak satu pun perawat yang menetapkan tujuan dari perencanaan yang telah dibuat. Pada implementasi 85.7% perawat tidak mendokumentasikan setiap tindakan yang telah dilakukan pada pasien. Pada diagnosa 71.4% perawat tidak menuliskan diagnosa keperawatan dengan benar dan tidak mengevaluasi rencana yang telah dibuat sebelumnya.

Pada observasiyang kedua peneliti menemukan bahwa kinerja perawat pada kategori kurang dengan rentang 1-12 adalah sebanyak 71.4% dan kinerja perawat dalam kategori baik dengan rentang nilai 13-24 adalah sebanyak 28.6%. Observasi yang kedua dilakukan peneliti pada shift sore tanpa adanya kepala ruangan dan didapati 71.4% kinerja perawat kurang optimal, seluruh perawat (100%) tidak melakukan pendokumentasian diagnosa, pendokumentasian perencanaan dan tujuan serta 85.7% perawat tidak melakukan pendokumentasian pengkajian dengan lengkap dan tidak mendokumentasikan rencana pemberian pendidikan pada pasien.

Pada observasiyang ketiga peneliti menemukan bahwa kinerja perawat pada kategori kurang dengan rentang 1-12 adalah sebanyak 85.7% dan kinerja perawat dalam kategori baik dengan rentang nilai 13-24 adalah sebanyak 14.3%, hal ini disebabkan oleh kehadiran para mahasiswa kebidanan yang praktik di rumah sakit tersebut sehingga 85.7% perawat tidak lagi menjalankan fungsinya dengan optimal dalam pemberian asuhan keperawatan bagi pasien. Perawat sering tidak terlihat di nurse station dan sebagai gantinnya mahasiswa kebidanan yang berjaga. Kepala ruangan dan perawat pelaksana hanya melakukan aktivitas saat jadwal kunjungan dokter. Namun masih ada sebanyak 14.3% perawat yang tetap melakukan fungsi dalam memberi asuhan keperawatan dengan baik yang ditemukan di ruang rawat inap VIP.

Berdasarkan pengambilan data yang telah dilakukan peneliti melalui observasi yang dilakukan tiga kali dalam waktu yang berbeda, peneliti menemukan bahwa perawatyang memiliki kinerja yang baik dalam pengkajian adalah sebanyak

14.3%,dalam hal ini pengkajian dilakukan oleh seluruh perawat yang berjaga pada saat pasien masuk, mereka melakukan pengkajian saat pasien masuk dan saat jadwal kunjungan dokter. Perawat mengkaji pasien dan keluarganya dengan melakukan wawancara langsung, pemeriksaan fisik, observasi dan kolaborasi dengan dokter.

Perawat yang memiliki kinerja yang baik dalam diagnosis adalah 33.4%, para perawat melakukan diskusi sebelum menegakkan diagnosa namun diagnosa yang ditegakkan tidak sesuai dengan standar diagnosa keperawatan dan perawat sering sekali tidak mendokumentasikan diagnosa setelah diskusi berakhir melainkan sesaat sebelum pertukaran shift. Perawat yang berjaga pada shift sore dan malam cenderung tidak melakukan pendiagnosaan kebutuhan pasien sehingga diagnosa pasien tidak akan berubah dari shift ke shift selanjutnya.

Perawat yang memiliki kinerja baik dalam perencanaan dan implementasi sebanyak 28.6%, perawat melakukan diskusi mengenai perencanaan tentang tindakan apa yang akan diberikan pada pasien dan obat-obatannya, perawat juga mendelegasikan secara lisan maupun tulisan tentang apa yang harus dilakukan oleh perawat pada shift berikutnya namun perawat tidak sempat mencatat dokumentasi terkait perencanaan sehingga terkadang yang mendokumentasikan perencanaan bukanlah perawat yang dari awal melakukan pengkajian. Implementasi keperawatan yang dilakukan perawat dilakukan atas inisiatif perawat sendiri atau karena permintaan pasien dan keluarganya. Perawat mempertimbangkan kemandirian pasien dan menghargai privasi pasien dan keluarganya saat melakukan implementasi. Dalam implementasinya seluruh perawat yang diobservasi oleh peneliti memberikan

pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarganya namun pada pendokumentasian perencanaan dan implementasi pemberian pendidikan kesehatan tidak dicantumkan.

Perawat yang memiliki kinerja yang baik pada evaluasi adalah 71.5%, perawat melakukan diskusi terkait evaluasi tindakan yang telah diberikan pasien atau mengevaluasi tindakan yang harus terus dilanjutkan atau dihentikan namun perawat tidak pernah melakukan evaluasi terhadap diagnosa yang telah diegakkan sebelumnya. Secara keseluruhan peneliti menemukan bahwa kinerja perawat yang baik adalah sebanyak 28.6% dan kinerja perawat yang kurang baik adalah sebanyak 71.4%.Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lin dan Tavrow (2000) yang menggunakan metode observasi dalam menilai kinerja pekerja kesehatan di Kenya menemukan bahwa kinerja para pekerja kesehatan harus ditingkatkan untuk memperoleh kualitas yang lebih baik.

Retrospektif audit dilakukan oleh peneliti dengan cara mengaudit dokumentasi yang telah selesai ditulis oleh perawat. Dokumentasi tersebut berisi form baku yang telah dibuat oleh rumah sakit mengenai lima proses asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi (Potter & Perry, 1992) yang merupakan job spesific task proficiency perawat (Campbell, 1990 dalam Jex, 2002). Proses pendokumentasian asuhan keperawatan ini dilakukan oleh seluruh perawat baik kepala ruangan maupun perawat pelaksana yang merupakan salah satu dimensi kinerja yakni written and oral communication (Campbell, 1990 dalam Jex, 2002).

Melalui audit yang telah dilakukan penelitimenemukan bahwa perawat memiliki kinerja yang baik dalam pengkajian adalah sebanyak 42.9%, perawat melakukan pengkajian yang terkait dengan data diri pasien, riwayat penyakit sebelumnya, kondisi sosial, spiritual dan psikologis pasien dan semua data pengkajian ini diikelompokkan sesuai dengan kelompoknya masing-masing.Perawat yang memiliki kinerja yang baik dalam diagnosis dan implementasi keperawatan adalah 28.6% dan sisanya 71.4% lainnya tidak mendokumentasikan diagnosis dan implementasi dengan baik dan benar. Peneliti menemukan pendokumentasian diagnosis keperawatan tidak sesuai dengan standar diagnosis keperawatan. Lebih dari setengah (57.1%) dokumentasi diagnosis keperawatan mencerminkan diagnosis kedokteran dan bahkan ada yang tidak melakukan pendokumentasian diagnosis keperawatan padahal di tiap ruang rawat inap ada panduan dalam menegakkan diagnosis keperawatan yang benar.

Pendokumentasian implementasi keperawatan pun sangat minim, dari dokumentasi keperawatan yang ditemui hanya satu atau dua tindakan terkait pelaksanaan tanpa penjelasan keterangan waktu yang jelas dan yang memberikan tindakan pun tidak jelas.Perawat yang memiliki kinerja yang baik pada perencanaan adalah 85.7%, pada perancanaan ditemukan bahwa lebih dari setengah (71.4%) dokumentasi tidak mencerminkan adanya perencanaan perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarganya terkait penyakit yang dihadapi padahal form perencanaan dilengkapi dengan rencana pemberian pendidikan kesehatan. Perawat yang memiliki kinerja yang baik pada evaluasi adalah 57.1%,

kegiatan evaluasi yang tercermin terkait dengan hasil-hasil yang diperoleh setelah melakukan tindakan namun dalam evaluasi tidak tercermin dengan jelas pengevaluasian yang dilakukan.

Secara keseluruhan peneliti menemukan bahwa kinerja perawat pada kategori kurang dengan rentang nilai 1-6 adalah sebanyak 42.9% dan kinerja perawat pada kategori baik dengan rentang 7-12 adalah sebanyak 57.1%. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan secara retrospektif audit dengan melihat catatan asuhan keperawatan oleh Setz dan D’Innocenzo (2009) dan Hector (2009) yang menemukan bahwa kinerja perawat sangat rendah saat diaudit dan memerlukan perbaikan yang serius. Kinerja yang kurang baik ini dipengaruhi oleh kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh kepala ruangan dan tidak adanya sanksi yang jelas agar perawat serius dalam melakukan pendokumentasian kinerja mereka. Selain itu perawat yang dituntut untuk bertanggung jawab terhadap benar tidaknya pendokumentasian asuhan keperawatan adalah kepala ruangan sehingga perawat lain tidak memberi perhatian untuk melakukan pendokumentasian asuhan keperawatan. Hal ini sejalan dengan Ehrenberg (2001) yang menemukan bahwa pencatatan yang dilakukan pada catatan asuhan keperawatan bersifat seadanya dan tidak mendalam khususnya pada pengkajian, diagnosis dan implementasi.

Hasil penelitian menemukan bahwa kinerja perawat pada ruangan ini yang didasarkan pada latar belakang diploma dan sarjana tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari tidak jauhnya perbedaan persentase pencapaian kinerja perawat diploma dan sarjana. Hasil penelitian ini sejalan dengan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Bartlett, Simonite, Westcott dan Taylor (2000) dan pada tahun 2003 hasil penelitian yang sama pula ditemukan oleh Robinson, et al., serta Miller (2007) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terkait pencapaian kinerja pada perawat dengan tingkatan pendidikan yang berbeda. Pada penelitian ini peneliti menemukan bahwa seluruh perawat dengan latar belakang pendidikan sarjana menjadi kepala ruangan dan hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Bartlett, et al. (2000) yang menemukan bahwa terdapat perbedaan yang terkait kemampuan manajemen sehingga perawat dengan latar belakang sarjana cenderung menjadi kepala ruangan.

2.2 Perbedaan Kinerja Perawat yang Diukur dengan Kuesioner Self Report, Observasi Checklist dan Retrospektif Audit

Pada penelitian menggunakan kuesioner self report ditemukan hasil pencapaian kinerja yang baik mencapai 89.7%. Data yang diperoleh melalui observasi didapati bahwa hanya 28.6% perawat memiliki kinerja yang baik dan hanya 57.1% perawat memiliki kinerja yang baik saat peneliti melakukan audit. Hal ini menyebabkan perbedaan hasil yang signifikan antara penggunaan metode yang satu dengan yang lain. Penggunaan kuesioner self report pada sebuah penelitian adalah hal yang sangat lazim. Peneliti menggunakan kuesioner self report dengan tujuan mendapatkan informasi yang akurat dalam waktu yang cepat. Pada penelitian ini penggunaan kuesioner self report dalam pengumpulan data membuat responden cenderung memilih hal yang menjadi pilihan yang paling baik untuk menggambarkan kinerja yang dilakukannya. Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan Spector (1994) yang menyatakan bahwa responden yang mengisi kuesioner self report memiliki harga diri yang tinggi untuk menggambarkan diri mereka. Sedangkan dua metode sebelumnya yakni observasi dengan observer checklist dan retrospektif audit mengidentifikasi kinerja perawat jauh lebih rendah dari hasil yang didapat dengan menggunakan metode kuesioner, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ampt, Westbrook, Creswick dan Mallock (2007) yang menemukan bahwa adanya tingkat kesenjangan yang tinggi saat melakukan pengukuran dengan metode kuesioner dan observasi.

Penggunaan metode observasi dalam pengumpulan data pada penelitian ini memungkinkan peneliti mendapatkan data dengan cepat dan data yang diperolehlebih akurat dibandingkan dengan data yang diperoleh melalui kuesioner. Observasi memungkinkan peneliti untuk terlibat dalam situasi yang hendak diamati, mendengar berbagai pernyataan dalam perestiwa dan melihat apa yang sebenarnya dilakukan oleh perawat dan apa yang tidak dilakukan. Hal ini kemudian menambah kekayaan informasi mengenai hal yang hendak diteliti tanpa harus memberi pengaruh pada apa yang sedang diobservasi. Ross, et al. (2006) menemukan bahwa penggunaan metode observasi dalam penelitian maupun evaluasi kinerja praktik keperawatan dinilai efektif.

Penggunaan metode retrospektif audit dalam pengumpulan data pada penelitian ini membuat data yang dianalisis semakin beragam dan semakin memperkaya hasil yang penelitian. Audit adalah metode yang memungkinkan peneliti untuk melihat kinerja perawat melalui pencatatan yang telah dilakukan oleh perawat

sebelumnya. Terkadang peneliti menemukan bahwa perawat melakukan tugasnya tanpa mendokumentasikannya dan peneliti juga menemukan bahwa ada beberapa dokumentasi yang ditulis hanya agar perawat memiliki hasil untuk dilaporkan.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait