4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.3 Pembahasan umum
Dari percobaan ini diperoleh dua metode perbanyakan tunas yaitu secara langsung dan tidak langsung (melalui nodul). Dalam perbanyakan langsung, eksplan yang meristematik akan langsung membentuk tunas adventif, sedangkan pada diferensiasi tidak langsung ekplan akan tumbuh menjadi kalus/nodul yang meristematik terlebih dahulu sebelum membentuk tunas. Tunas yang terbentuk secara langsung umumnya berukuran relatif besar dan dapat langsung membentuk akar, sedangkan tunas yang terbentuk melalui nodul umumnya berukuran relatif kecil, kompak dan padat. Pada perlakuan BA dan NAA secara umum proporsi tunas lebih banyak dibandingkan nodul, sehingga untuk perbanyakan tunas secara langsung metode ini lebih baik dibandingkan perlakuan TDZ dan NAA ya ng lebih banyak menghasilkan proporsi nodul dibandingkan tunas. Tetapi perlakuan TDZ dan NAA berpotensi untuk pengembangan perbanyakan tunas melalui nodul.
Perlakuan auksin tanpa tambahan sitokinin (BA dan TDZ), menghasilkan tunas dengan dominasi apikal (Gambar 4), sedangkan pada perlakuan yang diberi tambahan sitokinin, terutama BA pada konsentrasi tinggi dan TDZ menghasilkan tunas tanpa dominasi apikal (Gambar 5, 7 dan 19). Wattimena et al. (1992) menyatakan bahwa, pengaruh dominasi apikal dapat dihilangkan dengan penambahan zat pengatur tumbuh (terutama sitokinin) ke dalam medium kultur. Sebagai hasilnya adalah tunas yang kompak dan padat dimana umumnya tidak terdapat tunas apikal. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Akasaka et al. (2000) pada tanaman Arachis hypogeae yang diberi perlakuan TDZ menghasilkan tunas tanpa meristem apikal.
Tunas dan nodul mulai terbentuk pada minggu pertama , baik pada perlakuan yang mengandung BA maupun TDZ. Mercier et al. (2003) melaporkan rasio auksin/sitokinin endogen menurun pada hari ketiga setelah kultur, dimana kandungan iP endogen meningkat, hal ini diduga sebagai pendorong induksi nodul, yang selanjutnya akan berkembang membentuk tunas. Hal yang sama juga dilaporkan pada tanaman Garcinia mangostana, penambahan BA menyebabkan, peningkatan iP dan iPR endogen sehingga, rasio auksin/sitokinin menurun pada hari ke 6 setelah induksi (Lakshamanan et al. 1997 dalam Mercier et al. 2003).
Panambahan BA dan NAA pada berbagai taraf konsentrasi pada media kultur akan membentuk nodul dan tunas pada tanaman nenas (Wasaka 1989) dikutip
(Marcier et al. 2003).
Tabel 26 Hasil uji T dari perlakuan BA dan NAA Vs TDZ dan NAA terhadap jumlah tunas dan jumlah nodul pada media multiplikasi, Jumlah daun, tinggi tanaman, dan panjang akar pada media pengakaran, dan persen hidup saat diaklimatisasi.
Peubah Respon Jumlah tunas tn Jumlah nodul ** Jumlah daun ** Tinggi tanaman tn Panjang akar tn Persen hidup **
Keterangan : tn : tidak nyata, ** : berbeda sangat nyata (a=1%)
Hasil uji T antara perlakuan BA dan NAA dan TDZ dan NAA ditunjukan pada Tabel 26. TDZ yang dikombinasikan dengan 4 taraf NAA tidak berbeda nyata dengan BA yang dikombinasikan dengan 4 taraf NAA terhadap jumlah tunas, tinggi tanaman dan panjang akar, tetapi berbeda sangat nyata terhadap jumlah nodul, jumlah daun dan persen hidup planlet saat diaklimatisasi. Dari hasil tersebut untuk induksi tunas, TDZ tidak berbeda dengan BA, tetapi perlakuan TDZ dan NAA menghasilkan lebih banyak nodul yang berarti menghasilkan calon atau bakal tunas yang banyak. Tetapi kualitas tunas yang dihasilkan rendah, hal ini terlihat dari jumlah daun dan persen hidup planlet yang rendah. Akan tetapi kelemahan tersebut masih bisa diatasi dengan mengsubkultur tunas yang berasal dari perlakuan TDZ dan NAA beberapa kali ke media MS0 untuk pembesaran dan pemanjangan tunas.
Eksplan dalam media multiplikasi BA dan NAA memiliki laju multiplikasi yang terus meningkat dengan bertambahnya frekwensi subkultur, tetapi tidak
demikian dengan perlakuan TDZ dan NAA. Penambahan 4.44-17.76 µM BA
yang dikombinasikan dengan 3 taraf NAA (0.5, 1.0, 2.0 µM) menghasilkan 2.20-13.09 tunas/eksplan pada subkultur 1, 7.08-19.25 tunas/eksplan pada subkultur 2 dan 13.14-21.42 tunas/eksplan pada subkultur 3 (Tabel 2). Sangat berbeda dengan perlakuan TDZ, subkultur berulang akan membentuk nodul dan kalus
pada 2 MST, yang kemudian mengalami necrosis dan jika dibiarkan lebih lama (lebih dari 4 MST) maka tunas dan nodul tersebut akan mati, sehingga perlu dipindah ke media tanpa ZPT (data tidak ditunjukkan). Hasil yang sama juga pernah dilaporkan pada tanaman Camellia sinensis, subkultur berulang pada media yang mengandung TDZ tidak akan menginduksi tunas tetapi bila disubkultur ke media MS0 akan menghasilkan banyak tunas (Mondal et al. 1998).
Dalam perbanyakan in vitro, subkultur berulang sering dilakukan untuk memproduksi tunas dalam jumlah banyak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subkultur berulang dalam media BA dan NAA dapat meningkatkan jumlah tunas, tetapi pertumbuhan tunas terhambat dengan semakin tinggi frekwensi subkultur yang dilakukan. Nielsen et al. (1995) menyatakan bahwa pada
Miscanthus X ogiformis ‘Giganteus’, subkultur berulang pada media yang mengandung sitokinin (BA atau TDZ) akan menghambat pertumbuhan tunas tetapi multiplikasi meningkat. Jumlah tunas baru yang dihasilkan dari satu eksplan meningkat sampai subkultur ketiga atau keempat kemudian stabil (Fiorino dan Loreti 1997). Semakin tinggi konsentrasi dan frekwensi subkultur akan menghasilkan tunas yang tidak normal seperti ukuran tunas yang kecil, massa yang kompak, daun keriting, batang utama mati, tunas dan nodul akan mengalami
necrosis dan kemudian mati (Gambar 13 A). Frekwensi subkultur yang berlebihan dapat menginduksi variasi (Skirvin et al. 1994). Hal tersebut terjadi karena subkultur berulang pada media sitokinin BA menyebabkan terjadinya akumulasi sitokinin (Yip et al. 1992 dalam Laksmanan et al. 1997). Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Nursandi (2005) pada nenas kultivar Queen. Lakshmanan et al. (1997) melaporkan bahwa subkultur berulang pada tanaman ixora coccinea pada media BAP menyebabkan tunas kerdil dan kumpulan tunas tidak normal, tetapi kelainan ini bisa dihindari bila setiap tiga kali subkultur, tunas ditanam dalam media basal selama 1 bulan. Selain itu tidak normalitas tersebut akan hilang saat eksplan dipindah ke media MS tanpa ZPT atau pada saat aklimatisasi (Nursandi 2005).
Pada semua taraf TDZ yang dikombinasikan pada berbagai taraf NAA menginduksi pembentukan tunas, nodul dan kalus. Semakin tinggi konsentrasi
TDZ yang digunakan maka semakin tinggi jumlah nodul dan persen kalus yang terbentuk tetapi tunas yang dihasilkan tidak normal. Hal serupa juga dilaporkan Gribaudo dan Fronda (1991) pada tanaman anggur, dimana semakin tinggi konsentrasi TDZ yang digunakan semakin rendah jumlah tunas yang dihasilkan dan semakin banyak nodul dan kalus yang terbentuk
Eksplan pada media multiplikasi BA/NAA dan TDZ/ NAA menghasilkan tunas yang kompak dan berukuran kecil, sehingga tidak layak untuk dipindah kemedia pengakaran, sehingga untuk pembesaran dan pemanjangan tunas eksplan dipindah kemedia MS0. Eksplan dalam media MS0 memiliki laju multiplikasi yang terus meningkat seiring dengan peningkatan frekwensi subkultur yang dilakukan. Eksplan yang diberi tambahan BA dan NAA kemudian dipindah kemedia dasar MS, pada subkultur 1 dihasilkan rata-rata 7.09 tunas/eksplan, subkultur 2, 9.42 tunas/eksplan dan 10,25 tunas/eksplan pada subkultur 3 (Tabel 9). Sedangkan eksplan yang diberi tambahan TDZ menghasilkan rataan tunas yang lebih tinggi yaitu, 3.6-22 tunas/eksplan pada MS0 pertama dan 10-32.22 tunas/eksplan pada MS0 kedua (Tabel 21). Dalam media yang mengandung sitokinin eksplan akan berespon membentuk sel yang meristematik atau embriogenik yang juga disebut diferensiasi awal, kemudian akan dilanjutkan pada fase induksi. Fase induksi ini akan terjadi pada sel atau jaringan yang kompeten, kemudian eksplan membentuk primordia. Akhir dari proses induksi adalah pembentukan tunas dan akar (Schwarz et al. 2005).
Persen hidup tanaman yang diberi perlakuan TDZ dan NAA sangat rendah dibandingkan perlakuan BA dan NAA, hal ini sangat erat hubungannya dengan morfologi tanaman yang beri tambahan TDZ dan NAA. Pada Gambar 20 terlihat morfologi akar pada perlakuan TDZ/NAA pendek, kecil dan umumnya tidak memiliki akar sekunder (2B), sangat berbeda dengan tanaman dari perlakuan BA/NAA (1B). Tunas hasil TDZ sulit berakar karena TDZ dapat menstimulasi biosintesis etilen yang dapat menghambat pengakaran (Mok et al. 1987; Khadafalla dan Hattori 2000). Sedangkan untuk tinggi dan jumlah daun dapat dilihat pada gambar 2A, yang diberi perlakuan BA dan 2B perlakuan TDZ. Pada tanaman yang diberi perlakuan TDZ, walaupun telah disubkultur sebanyak 2 kali pada media dasar MS, vigoritas ta naman sangat berbeda, dan multiplikasi masih
2B
1A 1B 2A
tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa kandungan sitokinin masih sangat tinggi, karena TDZ dapat meningkatkan sitokinin endogen (Thomas dan Katterman 1986; Mangioli et al. 1998).
Gambar 20. Morfologi tanaman pada perakaran dan media dasar MS dari perlakuan TDZ dan BA. [1A] akar tanaman kontrol pada media perakaran, [1B] akar tanaman dari perlakuan TDZ pada media perakaran, [2A] sumber eksplan dari perlakuan BA dalam media dasar MS, [2B] sumber eksplan dari perlakuan TDZ setelah 2 kali subkultur pada media MS0
Pada Gambar 20, morfologi tanaman dari perlakuan BA/NAA dan TDZ/NAA sangat berbeda, walaupun telah dilakukan 2 kali subkultur pada Media MS0, tetapi tanaman yang terbentuk masih sangat padat dan kecil-kecil. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi TDZ yang digunakan masih terlalu tinggi untuk proliferasi tunas secara langsung pada nenas Smooth Cayenne. Pada tanaman Teh dilaporkan, eksplan yang diinduksi dengan TDZ dapat disubkultur sebanyak 6 kali kemedia MS0 dan masih terjadi multiplikasi tunas Mondal et al.
(1998). Penggunaan TDZ dalam konsentrasi rendah (nM-µM) dilaporkan sangat efektif dalam proliferasi tunas aksilar pada beberapa tanaman (Mondal et al. 1998)
Aklimatisasi adalah proses penyesuaian suatu organisme untuk beradaptasi pada lingkungan yang baru. Pada proses aklimatisasi planlet akan terekspos pada lingkungan yang selalu berubah-ubah, seperti intensitas cahaya, suhu, kelembaban dan sirkulasi udara. Planlet yang baru dipindahkan sangat rentan terhadap setiap perubahan lingkungan yang terjadi, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius. Persen hidup pada tanaman yang diberi perlakuan BA dan NAA lebih tinggi dari dibandingkan perlakuan TDZ dan NAA. Persen hidup planlet
dipengaruhi oleh kondisi planlet seperti panjang akar, jumlah akar, jumlah daun dan tinggi tanaman. Panjang akar dan jumlah akar akan berpengaruh terhadap kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara, sedangkan jumlah daun dan tinggi tanaman berpengaruh terhadap kemampuan tanaman berfotosintesis dan vigoritas. Semua parameter ini, tanaman yang diberi perlakuan BA dan NAA menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan TDZ dan NAA. Akasaka et al. (2000) melaporkan TDZ menginduksi tunas tanpa meristem apikal dan jaringan vaskular tidak terorganisir sehingga membentuk tunas multiple yang kompak, selanjutnya sulit membentuk tunas dan akar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan TDZ dengan konsentrasi lebih tinggi dari 0.5 µM akan menghambat pembentukan akar, tunas dan akan menginduksi pembentukan nodul dan kalus. Tunas hasil TDZ sulit berakar karena TDZ dapat menstimulasi biosintesis etilen yang dapat menghambat pengakaran (Mok et al. 1987; Khadafalla dan Hattori 2000) dan akibat akumulasi sitokinin karena TDZ dapat meningkatkan sitokinin endogen (Thomas dan Katterman 1986; Mangioli et al. 1998). Sementara pada tanaman angrek dilaporkan TDZ dengan konsentrasi 0.1-1 mg/l menghambat perpanjangan tunas dan menghambat inisiasi akar (Chang dan Chang 2000). Penggunaan sitokinin dengan konsentrasi tinggi akan mengurangi panjang tunas, pembentukan akar, menginduksi tunas tanpa meristem apikal sehingga tunas yang terbentuk menyatu dengan saluran vaskuler tidak terorganisir akibatnya tidak terjadi regenerasi tunas (Akasaka et al. 2000)
TDZ dapat menginduksi pembentukan tunas dan nodul, fenomena ini menunjukan TDZ mempunyai aktivitas sitokinin yang kuat (Thomas dan Katterman, 1986) sehingga sangat efektif pada konsentrasi rendah dan mampu menginduksi embrio somatik tanpa dikombinasikan dengan ZPT lain (Murthy et al. 1995) karena TDZ dapat menghambat degradasi sitokinin yang disebabkan enzim sitokinin oksidase (Hare dan Staden 1994). Selain itu Murthy et al. (1995) menjelaskan terjadi peningkatan auksin dan sitokinin endoge n pada kecambah kacang tanah yang telah diinduksi dengan TDZ secara in vitro.
Stabilitas klonal adalah faktor yang sangat penting dalam perbanyakan in vitro secara komersial. Pada perlakuan BA dan NAA sampai pada 12 minggu setelah aklimatisasi tidak ditemui variasi regeneran. Perlakuan TDZ dan NAA
pada konsentrasi tinggi, morfologi tunas menunjukkan gejala tidak normal seperti, ukuran tanaman lebih kecil, berdaun kaku, sulitnya pembentukan akar, morfologi akar panjang, tipis tanpa akar lateral, sehingga persen hidup rendah, selain itu, juga dihasilkan 5 tanaman varigata dari 3929 planlet atau sekitar 0.12% dari total planlet hasil perbanyakan menggunakan TDZ dan NAA. Bentuk varigata yang ditemukan bervariasi seperti, adanya garis putih ditengah daun, garis putih di sisi daun atau seluruh permukaan daun berwarna putih (Gambar 18). Pada nenas kultivar Queen dilaporkan jenis variasi yang muncul berupa tanaman varigata, tanaman rosset, berdaun kecil dan kaku. Tetapi pada saat dilapang tanaman ini dapat kembali normal (Nursandi 2005).
Respon tanaman pada media perakaran hampir sama pada beberapa spesies tanaman yang pernah dilaporkan. Secara umum semakin tinggi konsentrasi TDZ yang digunakan semakin banyak jumlah planlet yang dihasilkan tetapi, semakin kecil ukuran tanaman yang dihasilkan dan umumnya tanaman sulit membentuk akar (Thomas dan Katterman 1986). Pada konsentrasi tinggi TDZ menghambat pembentukan akar (Gribaudo dan Fronda 1991) Bahkan pada konsentrasi 1 µM tanaman tidak mampu membentuk akar. Hal ini juga pernah dilaporkan oleh Viktor et al. (1999) pada tanaman kacang tanah. Pada tanaman anggur dilaporkan semakin tinggi konsentrasi TDZ yang digunakan maka semakin banyak tanaman yang tidak normal seperti, gejala vitrifikasi dan bentuk daun yang memanjang, penyok (bentuk yang tidak beraturan), munculnya thocyanins, dan terjadi penebalan pada daun (Gribaudo dan Fronda 1991).
Secara umum laju multiplikasi tanaman yang diberi perlakuan TDZ dan NAA sangat tinggi, sehingga tanaman yang dihasilkan berpenampilan pendek dan kecil-kecil. Sedangkan perkembangannya sangat lambat dibandingkan dengan perlakuan BA dan NAA. Tanaman yang dipindahkan ke media MS0 tidak lansung membentuk akar seperti perlakuan BA dan NAA, bahkan setelah 2 kali subkultur pada media MS0 tanaman yang dihasilkan masih berukuran kecil sehingga tidak layak untuk lanjutkan ke media perakaran.
Penjelasan bagaimana TDZ dapat menstimulasi kerja sitokinin sangat penting untuk diketahui. Diduga sitokinin turunan fenilurea meningkatkan perubahan aktivitas sitokinin ribonucleotides menjadi ribonucleoside sehingga
lebih aktif (Thomas dan Katterman 1986). TDZ meningkatkan sitokinin endogen juga dilaporkan Mangioli et al. (1997) pada tanaman terong. Eckarddt (2005) menjelaskan bahwa sitokinin menghambat pemanjangan akar dan menyebabkan akumulasi thocyanin. Secara umum semakin tinggi konsentrasi TDZ yang digunakan semakin banyak jumlah planlet yang dihasilkan tetapi, semakin kecil ukuran tanaman yang dihasilkan dan umumnya tanaman sulit membentuk akar (Thomas dan Katterman 1986).
5. SIMPULAN DAN SARAN