• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan

Keberhasilan dari kultur embrio sangat dipengaruhi oleh media untuk embrio bertumbuh dan berkembang. Pengujian berbagai media modifikasi pada

tahap perkecambahan menunjukkan hasil yang bervariasi. Tahap

perkecambahan merupakan tahap embrio untuk memulai pertumbuhannya yang ditandai dengan penambahan ukuran panjang hingga tumbuh tunas, akar ataupun keduanya.

Hasil penelitian dengan penggunaan berbagai modifikasi media dalam tahap perkecambahan, terdapat 2 (dua) media yang paling baik, yaitu media Y3 dan MS dimana media tersebut merupakan media yang berasal dari unsur kimia murni dengan kandungan nutrisi yang lengkap (Tabel 1). Jika dibandingkan dengan media Y3 yang dimodifikasi yaitu Y3 + Air Kelapa 150 ml/l + GQS 2 ppm/l + GQR 2 ppm/l menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Pertumbuhan embrio yang ditumbuhkan pada media tersebut mampu berkecambah, namun tidak lebih baik dari Y3 murni. Kandungan air kelapa, kandungan IBA dan NAA pada GQR dan kandungan BAP pada GQS tidak berpengaruh nyata pada pertumbuhan embrio. Hal tersebut diduga terjadinya penambahan unsur yang terlalu berlebih, yang menyebabkan embrio mengalami pertumbuhan yang lambat. Selain itu, pertumbuhan embrio tersebut tidak menunjukkan adanya

fungsi dari auksin dan sitokinin. Sehingga penggunaan hormon pada media Y3 yang dimodifikasi kurang sesuai dengan pernyataan Rahmani (2008) tentang fungsi hormon sitokinin dan auksin. Dimana fungsi hormon sitokinin yaitu berperan memacu pertumbuhan daun dan fungsi dari hormon auksin berperan dalam memacu pertumbuhan akar dan tinggi tanaman.

Embrio kelapa kopyor sulit berkecambah pada media cair, baik pada media dasar Eeuwens maupun MS, tidak seperti embrio kelapa ”Makapuno” yang bisa berkecambah dengan baik pada media Eeuwens. (Sukendah, 2009). Hasil yang serupa terjadi pada perlakuan media cair Air kelapa 150 ml/l yaitu menghasilkan pertumbuhan embrio sangat lambat dan membutuhkan waktu yang lama untuk embrio tersebut berkecambah. Media modifikasi lainnya seperti media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l dan media Air Kelapa 150 ml/l + santan 100 ml/l menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan modifikasi media Air Kelapa 150 ml/l. Meskipun embrio bertumbuh dengan lambat, namun berbagai modifikasi media dengan penambahan air kelapa menunjukkan adanya pertambahan ukuran embrio dan perkecambahan. Pada penelitian Sukendah (2009) bahwa embrio yang dikecambahkan pada media Y3 dengan air kelapa 150 ml/l hampir tidak mengalami browning yang dapat menyebabkan kematian pada embrio dan terbukti bahwa air kelapa merupakan bahan aditif yang paling cocok untuk proses perkecambahan embrio kelapa kopyor.

Pertumbuhan embrio pada tahap pertumbuhan planlet merupakan tahap lanjutan yang dilakukan setelah tahap pertumbuhan embrio. Keberhasilan pertumbuhan kelapa kopyor selanjutnya juga dipengaruhi oleh tahap sebelumnya yaitu tahap perkecambahan. Fase pertumbuhan embrio meliputi pembentukan tunas. Tingkat keberhasilan fase pembentukan tunas dapat dilihat dari rata-rata panjang tunas tiap perlakuan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan Y3 (kontrol) merupakan media yang terbaik walaupun dibandingkan

dengan perlakuan Y3 yang dimodifikasi dengan penambahan Air Kelapa 150 ml/l + GQR 2 ppm/l + GQS 2 ppm/l. Penambahan ZPT pada media Y3 yang dimodifikasi menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata pada pertumbuhan planlet melainkan pertumbuhan planlet menjadi lambat. Seperti yang dikemukakan oleh Gunawan (1992) bahwa penggunaan hormon harus tepat dalam perhitungan dosis pemakaian, karena jika terlalu banyak maupun terlalu sedikit dari dosis yang diperlukan justru akan menghambat bahkan mematikan tanaman kultur. Karena interaksi antar hormon dalam suatu media sangat berpengaruh dalam diferensiasi sel. Selain media kontrol sebagai media yang terbaik, media Murashige dan Skoog (MS) menunjukkan hasil yang hampir setara dengan kontrol. Hal tersebut karena media MS juga merupakan media yang berasal dari kimia murni yang sudah terdapat segala unsur yang dibutuhkan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Marlina (2004) bahwa media Murashige dan Skoog (MS) sering digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman.

Selain media Y3 dimodifikasi, media modifikasi lainnya yang berasal dari bahan yang murah dan sederhana yaitu media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l, media Air Kelapa 150 ml/l dan media Air Kelapa 150 ml/l + Santan 100 ml/l juga menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Pada penelitian Afriani (2006) penggunaan Gandasil D 1 g/l + Air Kelapa 150 ml/l dan penggunaan Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l menunjukkan kemampuan eksplan anggrek Dendrobium Kanayo untuk berkecambah. Hal tersebut menunjukkan hasil yang serupa pada penumbuhan planlet kelapa kopyor pada modifikasi media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l yaitu tunas mampu untuk tumbuh walaupun pertumbuhan planlet lambat. Hal tersebut diduga karena adanya kandungan unsur hara makro dan mikro di dalam pupuk daun Gandasil D serta adanya zat seperti auksin dan sitokinin yang terdapat pada kelapa. Namun, hampir keseluruhan embrio yang dikulturkan pada media ini

mengalami browning setelah dilakukannya Subkultur II. Hal tersebut diduga karena media baru yang digunakan sama dengan pada tahap perkecambahan dan Subkultur I yang mana seiring dengan berjalannya waktu planlet membutuhkan nutrisi yang lebih dari sebelumnya. Selain itu, diduga browning terjadi karena jaringan tanaman mengeluarkan senyawa fenolik ke media dan teroksidasi. Seperti yang dikemukakan oleh (Laukkanen, et al., 1999 dalam Sukendah, 2009) bahwa senyawa tersebut bisa menghambat aktivitas enzim dan mengakibatkan pencoklatan media dan eksplan yang berakibat kematian jaringan.

Dalam perhitungan statistika, media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l berbeda nyata dengan kontrol namun tidak jauh berbeda dengan media yang dimodifikasi. Rata-rata pertumbuhan tunas planlet yang ditanam pada media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l lebih besar dibanding dengan rata-rata pertumbuhan pada modifikasi media Y3 + Air Kelapa 150 ml/l + GQR 2 ppm/l + GQS 2 ppm/l. Namun, sesungguhnya modifikasi media Y3 + Air Kelapa 150 ml/l + GQR 2 ppm/l + GQS 2 ppm/l yang lebih tinggi nilainya dibanding dengan media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l karena banyaknya planlet browning pada media tersebut dan hanya tersisa 1 (satu) ulangan dari 7 (tujuh) ulangan. Sehingga tidak sah jika perhitungan rata-rata yang hanya berasal dari satu planlet yang diuji.

Air kelapa merupakan endosperma cair yang berfungsi sebagai sumber nutrisi (selain endosperma padat) bagi perkembangan dan perkecambahan embrio kelapa (Sukendah, 2009). Pada percobaan modifikasi media Air Kelapa 150 ml/l dalam bentuk cair untuk planlet kelapa kopyor mampu menunjukkan pertambahan ukuran embrio dan memunculkan tunas walaupun membutuhkan waktu yang lama. Diduga lama pertambahan ukuran embrio dan perkecambahan karena media cair ini hanya menggunakan konsentrasi air kelapa 150 ml/l tanpa ada tambahan zat lain sehingga nutrisi dalam media ini

sangat minim, mungkin juga karena hal lain seperti yang dikemukakan oleh (Teisson, et al., 1999 dalam Sumaryono, et al., 2007) bahwa kultur in vitro dalam medium cair memiliki kelemahan antara lain adanya masalah teknis seperti vitrifikasi, kerusakan sel-sel oleh putaran baling-baling dan kekurangan oksigen.

Percobaan media Air Kelapa 150 ml/l dan Santan 100 ml/l merupakan kombinasi antara endosperma cair (air kelapa) dan endosperma padat (santan). Planlet kelapa kopyor yang ditanam pada media ini dapat tumbuh dan menghasilkan tunas walau dengan waktu yang cukup lama.

Udayana (2008) mengungkapkan bahwa pH media biasanya diatur pada kisaran 5.6 – 5.8 tapi tanaman yang berbeda mungkin memerlukan pH yang berbeda untuk pertumbuhan optimum. Jika pH lebih tinggi dari 6.0, media mungkin menjadi terlalu keras dan jika pH kurang dari 5.2, agar tidak dapat memadat. Namun, yang terjadi pada media ini, tekstur medianya lebih padat dan keras dibandingkan dengan perlakuan lain yang ukuran pH nya sama yaitu antara 5.6 – 5.8. Diduga pengaruh media tersebut karena hasil kombinasi endosperma padat yang menyebabkan media ini teksturnya menjadi lebih padat. Dengan demikian, hal tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet yang terlihat agak keras seperti kayu akibat sulitnya penyerapan nutrisi. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Hendaryono, et. al (1994) bahwa media yang terlalu padat akan mengakibatkan akar sukar tumbuh, sebab akar sulit untuk menembus ke dalam media.

Rata-rata semua modifikasi media mengalami pertumbuhan panjang tunas yang lambat. Selain karena dugaan yang telah diuraikan di atas, memungkinkan juga disebabkan oleh lamanya periode subkultur yaitu selama 2 bulan sekali. Sukendah, et al. (2008) mengungkapkan bahwa pada protokol kultur embrio untuk kelapa dari UPLB (Philipina), ORSTORM (Perancis) dan CPRI (India) rata-rata melakukan subkultur untuk pertumbuhan planlet setiap 1

bulan atau 1.5 bulan. Tampaknya untuk embrio asal Sumenep membutuhkan periode subkultur lebih sering untuk mempercepat pertumbuhan planlet kelapa kopyor yang diuji.

Selain lama periode subkultur, embrio yang ditumbuhkan hingga menjadi planlet pada media Eeuwens (kontrol) telah mendapatkan berbagai unsur hara yang lengkap baik unsur makro, mikro, besi dan vitamin. Sehingga, media tersebut menghasilkan embrio kelapa kopyor yang bertumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut serupa dengan pendapat Mashud, et al. (1991) agar memperoleh pertumbuhan jaringan yang baik dibutuhkan suatu media yang mempunyai komposisi dan konsentrasi zat hara yang tepat karena hal ini akan mempengaruhi aktifitas metabolisme jaringan tanaman. Selain itu, dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Triandani (2004), bahwa media Y3 merupakan media yang tepat bagi pertumbuhan embrio kelapa kopyor terutama dalam pertumbuhan tunas dan vigor planlet. Selain itu media kontrol memang disusun oleh Eeuwens (1976) sebagai media khusus untuk tanaman kelapa. Meski demikian, media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l dan media Air Kelapa 150 ml/l + Santan 100 ml/l menunjukkan pertumbuhan embrio hingga muncul tunas. Meskipun media Y3 dan MS menghasilkan pertumbuhan paling baik, tetapi secara ekonomi media Y3 dan MS memiliki harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l dan media Air Kelapa 150 ml/l + Santan 100 ml/l. Dengan demikian, media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l dan media Air Kelapa 150 ml/l + Santan 100 ml/l dapat dijadikan media alternatif dalam penumbuhan embrio kelapa kopyor.

Dokumen terkait