• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUMBUHAN EMBRIO KELAPA KOPYOR (Cocos nucifera L.) PADA BERBAGAI MODIFIKASI MEDIA KULTUR IN-VITRO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTUMBUHAN EMBRIO KELAPA KOPYOR (Cocos nucifera L.) PADA BERBAGAI MODIFIKASI MEDIA KULTUR IN-VITRO."

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

SILTA RESLITA BR GINTING 0925010003

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR SURABAYA

(2)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Program Studi Agroteknologi

Oleh :

SILTA RESLITA BR GINTING 0925010003

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR SURABAYA

2013

(3)

Disusun oleh :

SILTA RESLITA BR GINTING NPM : 0925010003

Telah Ujian dan Diterima

Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

pada tanggal ...-...-...

Telah disetujui oleh :

Pembimbing : Tim Penguji :

1. Pembimbing Utama 1. Ketua

Dr. Ir. Sukendah, MSc. Dr. Ir. Sukendah, MSc.

2. Pembimbing Pendamping 2. Sekertaris

Dr. Ir. Pangesti Nugrahani, MSi. Dr. Ir. Pangesti Nugrahani, MSi.

3. Anggota

Ir. Penta Suryaminasih, MP.

4. Anggota

Ir. Yonny Koentjoro, MM.

Mengetahui :

DEKAN

FAKULTAS PERTANIAN

Dr. Ir. Ramdan Hidayat, MP

KETUA PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Ir. Mulyadi, MS

(4)

Telah Direvisi

Tanggal : ... 2013

Dr. Ir Sukendah, MSc. Dosen Pembimbing Utama

(5)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan

rahmat dan hidayah-Nya serta segala kuasa dan perlindungan-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertumbuhan Embrio Kelapa

Kopyor (Cocos nucifera L.) Pada Berbagai Modifikasi Media Kultur In-Vitro.”

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian Program Studi Agroteknologi pada Fakultas Pertanian

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada yang terhormat Dr. Ir. Sukendah, MSc. selaku Dosen Pembimbing

Utama dan Dr. Ir. Pangesti Nugrahani, M.Si. selaku Dosen Pembimbing

Pendamping, yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat berarti

bagi penulis selama penulisan skipsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis

sampaikan kepada :

1. Orang tua dan keluarga besar Ginting yang selalu mendukung penulis

dalam berbagai hal, khususnya dalam dukungan material dan spiritual.

Demikian juga pada Mas Mardi sekeluarga yang memberikan motivasi.

2. Dr. Ir. Ramdan Hidayat, MS., selaku Dekan Fakultas Pertanian UPN

“Veteran” Jawa Timur.

3. Ir. Mulyadi, MS., selaku Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas

Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur.

4. Para Bapak dan Ibu Dosen serta teman-teman yang senantiasa memberi

dukungan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan

(6)

ix

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna

karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, untuk itu

penulis mengharapkan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan sesuatu

yang berguna khususnya bagi penulis serta bagi para pembaca pada umumnya.

Surabaya, Mei 2013

Penulis

(7)

x

3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 16

3.4.1. Sterilisasi Alat ... 16

3.4.2. Pembuatan Media ... 17

3.4.3. Sterilisasi Media ... 18

3.4.4. Sterilisasi, Isolasi dan Penanaman Embrio ... 18

3.4.5. Subkultur ... 19

3.5. Variabel Pengamatan ... 19

3.5.1. Pengamatan Secara Deskriptif ... 19

3.5.2. Pengamatan Secara Kuantitatif... 20

3.5.2.a. Tahap Perkecambahan ... 20

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(8)

xi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1. Hasil Penelitian ... 24

4.1.1. Pertumbuhan Embrio pada Tahap Perkecambahan ... 24

4.1.2. Pertumbuhan Embrio pada Tahap Pertumbuhan Planlet . 28 4.1.3. Pertumbuhan Embrio dan Planlet Browning, Stagnan dan mati ... 33

4.2. Pembahasan ... 34

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1. Kesimpulan ... 40

5.2. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN ... 44

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(9)

xii

Nomor Halaman

Judul

1. Rata-rata panjang embrio pada berbagai media umur 14 HSI, 28 HSI, 42 HSI dan 56 HSI ... 25

3. Rata-rata persentase embrio kelapa kopyor yang berkecambah menjadi bakal tunas, akar dan tunas + akar (planlet sempurna) pada berbagai media modifikasi ... 26

4. Rata-rata panjang tunas pada berbagai media perlakuan umur 10 sampai 16 MSI ... 31

5. Rata-rata panjang tunas pada berbagai media perlakuan umur 18 sampai 24 MSI ... 31

6. Persentase planlet kelapa kopyor yang mengalami browning, stagnan dan mati pada fase pertumbuhan planlet berbagai

media modifikasi ... 33

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(10)

xiii

Nomor Halaman

Judul

1. Grafik pola pertumbuhan panjang embrio kelapa kopyor

pada umur 14 HSI, 24 HSI, 48 HSI dan 56 HSI ... 26

2. Pertumbuhan embrio dalam perlakuan media pada tahap

perkecambahan ... 27

3. Embrio pada media gandasil d 2 g/l + air kelapa 150 ml/l

yang mengalami browning setelah subkultur I... 29

4. Pertumbuhan akar planlet kelapa kopyor dalam media perlakuan y3 (a.) akar planlet setelah subkultur i, (b.) akar planlet setelah

subkultur II. ... 29

5. Planlet perlakuan media air kelapa 150 ml/l + santan 100 ml/l

setelah subkultur II ... 30

6. Grafik pola pertumbuhan embrio kelapa kopyor terhadap

berbagai modifikasi media ... 32

7. Pertumbuhan Planlet pada Berbagai Perlakuan Modifikasi

Media Setelah Subkultur II. ... 32

8. Kondisi planlet yang mengalami browning pada media

modifikasi gandasil d 2 g/l + air kelapa 150 ml/l ... 34

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(11)

xiv

Nomor Halaman

Judul

1. Komposisi media kultur Eeuwens (Y3)... 44

2. Komposisi media kultur Murashige dan Skoog (MS) ... 45

3. Komposisi Kimia Air Kelapa ... 45

4. Komposisi Gandasil D ... 46

5. Komposisi Kimia Daging Buah Kelapa Segar pada 3 (Tiga) Tingkatan Umur ... 46

6. Hasil analisis ragam panjang embrio pada umur 14 HSI ... 46

7. Hasil analisis ragam panjang embrio pada umur 14 HSI setelah transformasi ... 46

8. Hasil analisis ragam panjang embrio pada umur 28 HSI ... 47

9. Hasil analisis ragam panjang embrio pada umur 28 HSI setelah transformasi ... 47

10. Hasil analisis ragam panjang embrio pada umur 42 HSI ... 11. hasil analisis ragam panjang embrio pada Umur 42 HSI setelah transformasi ... 47

12. Hasil analisis ragam panjang embrio pada umur 56 HSI ... 47

13. Hasil analisis ragam panjang embrio pada umur 56 HSI setelah transformasi ... 47

14. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 10 MSI ... 47

15. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 10 MSI Setelah transformasi ... 48

16. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 12 MSI ... 48

17. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 12 MSI setelah transformasi ... 48

18. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 14 MSI ... 48

19. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 14 MSI setelah transformasi ... 48

20. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 16 MSI ... 48

21. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 16 MSI setelah transformasi ... 48

22. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 18 MSI ... 49

23. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 18 MSI setelah transformasi ... 49

24. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 20 MSI ... 49

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(12)

xv

26. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 22 MSI ... 49

27. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 22 MSI

setelah transformasi ... 49

28. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 24 MSI ... 49

29. Hasil analisis ragam panjang tunas pada umur 24 MSI

setelah transformasi ... 50

30. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam ... 50

31. Rekapitulasi hasil perhitungan duncan 5% ... 50

32. Rata-rata pertumbuhan panjang embrio pada umur 14 sampai

56 HSI (Hari Setelah Inokulasi) ... 51

33. Rata-rata Pertumbuhan Panjang Tunas pada Umur 10 sampai

16 MSI (Minggu Setelah Inokulasi) ... 51

34. Rata-rata Pertumbuhan Panjang Tunas pada Umur 18 sampai

24 MSI (Minggu Setelah Inokulasi) ... 52

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(13)

RINGKASAN

Kelapa kopyor mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi, karena memiliki daging buah yang bertekstur gembur serta rasa yang gurih. Kelapa kopyor merupakan salah satu kelapa yang spesifik di Indonesia, memiliki endosperm yang abnormal, yaitu sebagian besar endospermnya (daging buah) terlepas dari tempurung yang menyebabkan buah kelapa kopyor gagal untuk berkecambah, karena daging buah (endosperm) yang merupakan sumber bahan makanan embrio kelapa cepat membusuk jika ditanam dengan cara konvensional.

Adanya kondisi tersebut menyebabkan pengembangan produksi buah kopyor sangat lambat dan terbatas. Salah satu alternatif metode untuk meningkatkan persentase buah kopyor perpohon adalah dengan menyelamatkan embrio kelapa kopyor dan menanamnya dalam media agar secara aseptik yang disebut teknik kultur embrio mampu berbuah banyak yaitu 90-100%, sedangkan tanaman yang diperbanyak secara konvensional hanya mampu menghasilkan beberapa % atau hanya terdapat 1-2 butir pertandan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan embrio kelapa kopyor yang ditanam pada berbagai media kultur in vitro yang dimodifikasi.

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 sampai dengan Maret 2013 dan tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 1 faktor dengan 6 perlakuan yang diulang sebanyak 7 kali. Berikut ini adalah bentuk perlakuan yang dilakukan Media 1 (M1) = Media Eeuwens (Media Padat)/(Kontrol), Media 2 (M2) = Media Eeuwens + Air kelapa 150 ml/l + Grow Quick S (GQS) 2 ppm/l + Grow Quick R (GQR) 2 ppm/l (Media Padat), Media 3 (M3) = Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l (Media Padat), 4). Media 4 (M4) = Air Kelapa 150 ml/l (Media Cair), Media 5 (M5) = Air Kelapa 150 ml/l + Santan 100 ml/l (Media Padat), Media 6 (M6) = Media MS (Media Padat)

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam RAL. Apabila FHitung ≥ FTabel maka dilanjutkan uji perbandingan rata-rata hasil dengan Uji Jarak Duncan 5% (UJD 5%).

(14)

ABSTRAK

Penanaman embrio kelapa kopyor dalam media agar secara aseptik dilakukan untuk menyelamatkan embrio kelapa kopyor yang sulit dikembangkan dengan cara konvensional. Media aseptik yang sudah dikembangkan yaitu media Eeuwens (Y3) dan Murashige dan Skoog (MS) yang merupakan media buatan yang tersusun dari bahan kimia murni yang mahal harganya. Oleh karena itu, dibuat media alternatif sebagai pengganti media yang ada, melalui modifikasi media terhadap media yang telah ada dan membuat beberapa media baru dengan komposisi lebih murah, sederhana dan mudah didapat. Embrio kelapa kopyor yang digunakan berasal dari Pati, Jawa Tengah yang kemudian ditanam pada berbagai modifikasi media yakni (Media 1). Eeuwens (Y3) (Kontrol), (Media 2). Eeuwens (Y3) + Air kelapa 150 ml/l + Grow Quick S (GQS) 2 ppm/l + Grow Quick R (GQR) 2 ppm/l, (Media 3). Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l, (Media 4). Air Kelapa 150 ml/l, (Media 5). Air Kelapa 150 ml/l + Santan 100 ml/l dan (Media 6). MS. Dari ke-6 perlakuan, embrio yang paling baik pertumbuhannya hingga tahap penumbuhan planlet adalah embrio yang ditanam di dalam media Y3 dengan rata-rata panjang tunas 2.54 cm dan MS 2.45 cm. Kedua media tersebut merupakan media tumbuh buatan yang tersusun dari bahan kimia murni yang mengandung nutrisi lengkap tersebut merupakan media yang sumber nutrisinya berasal dari pupuk daun Gandasil D, air kelapa dan santan yang berbahan murah dan mudah untuk didapat. Media tersebut juga menunjukkan respon embrio kelapa kopyor dapat tumbuh dan berkecambah walaupun pertumbuhannya lambat, dengan demikian dapat diketahui bahwa media modifikasi tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai media kultur embrio kelapa kopyor.

Kata Kunci : embrio, kelapa kopyor, modifikasi media

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu kelapa yang

spesifik di Indonesia, memiliki endosperm yang abnormal, yaitu sebagian besar

endospermnya (daging buah) terlepas dari tempurung. Abnormalitas endosperm

ini bersifat genetik dan disebabkan oleh beberapa faktor genetik (Mashud, 2012).

Menurut Khoironi (2010), kelapa kopyor tidak dapat dikecambahkan seperti

kelapa pada umumnya, karena daging buah yang merupakan cadangan

makanan tidak dapat mendukung pertumbuhan embrionya. Hal itu disebabkan

karena sifat “kopyor” yang dalam bahasa jawa berarti antara daging dan air

kelapa bercampur menjadi satu, tetapi tidak larut sehingga masih terlihat ada

gumpalan-gumpalan daging kelapa yang menjadi satu dengan air kelapa. Sifat

kekopyoran itulah yang menyebabkan kelapa kopyor tersebut mempunyai nilai

ekonomi cukup tinggi, karena memiliki daging buah yang bertekstur lunak serta

rasa yang gurih.

Menurut Prasetyo dan Rachmad (2003) Buah kelapa kopyor ditandai

dengan tekstur daging buah yang lunak, berbutir dan mudah lepas dari

tempurungnya. Karakter daging buah yang demikian menyebabkan buah kelapa

kopyor gagal untuk berkecambah, karena daging buah (endosperm) yang

merupakan sumber bahan makanan embrio kelapa cepat membusuk jika

ditanam dengan cara konvensional.

Adanya kondisi tersebut menyebabkan pengembangan produksi buah

kopyor sangat lambat dan terbatas. Salah satu alternatif metode untuk

meningkatkan persentase buah kopyor perpohon adalah dengan menyelamatkan

embrio kelapa kopyor dan menanamnya dalam media agar secara aseptik yang

disebut teknik kultur embrio (Sukendah, 2009). Tanaman kelapa kopyor hasil

(16)

banyak, yaitu dapat mencapai 90%-100%. Sedangkan tanaman kelapa kopyor

hasil perbanyakan secara konvensional, yaitu membibitkan buah kelapa normal

yang berasal dari pohon berbuah kopyor, hanya menghasilkan buah kopyor

sebanyak 1-2 butir per tandan atau 10-20% untuk tipe Dalam dan 30%-40%

untuk tipe Genjah (BPTP, 2010).

Saat ini terdapat beberapa macam media kultur untuk tanaman kelapa

yang dikembangkan oleh PCA (Philippine Coconut Authority), CPCRI (Central

Plantation Crops Research Institute) India, UPLB (University of Philippines at Los

Banos) dan ORSTOM/CIRAD Perancis. Media tersebut umumnya menggunakan

media padat dan media cair selama tahap kultur. Media kultur yang digunakan

adalah media Y3 (Eeuwens) dan MS (Murashige dan Skoog) (Engelmann, 1997

dalam Batugal dan Engelmann, 1998).

Di Indonesia, media untuk embrio kelapa kopyor sudah banyak

dikembangkan yang sebagian besar merupakan hasil modifikasi dari medium

yang dikembangkan sebelumnya, yang telah terbukti sesuai untuk kultur embrio

kelapa kopyor. Komposisi media yang cocok adalah media Y3 yang kaya akan

unsur klor (Cl) dan besi (Fe) yang mungkin banyak dibutuhkan oleh tanaman

kelapa. Media Y3 memang dimodifikasi oleh Eeuwens khusus untuk tanaman

kelapa (Sukendah, 2002). Di Indonesia media untuk kelapa kopyor telah

dikembangkan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor dengan

media dasar MS (Tahardi dan Warga-Dalem, 1982).

Berdasarkan uraian diatas, penulis melakukan penelitian ini untuk

mempelajari pertumbuhan dari kultur embrio kelapa kopyor yang berasal dari

daerah Pati, Jawa Tengah dengan menumbuhkan embrio ke dalam media

tumbuh buatan yang tersusun dari bahan kimia murni Eeuwens (Y3) dan

Murashige dan Skoog (MS). Namun, mengingat bahwa media tumbuh buatan

tersebut memiliki harga yang mahal dan sulit untuk melakukan pemesanan

dalam jumlah sedikit, penulis juga melakukan pembuatan media alternatif

(17)

sebagai pengganti media yang ada, melalui modifikasi media terhadap media

yang telah ada dan membuat beberapa media baru dengan komposisi lebih

murah, sederhana, mudah dijangkau oleh masyarakat.

Setiap media yang dimodifikasi mengandung air kelapa 150 ml/l, karena

berdasarkan hasil penelitian Sukendah (2009) embrio yang dikulturkan pada

media dengan air kelapa 150 ml/l lebih cepat berkecambah, yaitu kurang dari

satu bulan (29 hari) dan nyata berbeda dengan media tanpa bahan aditif. Selain

itu bahan media yang digunakan juga berupa Zat Pengatur Tumbuh Grow Quick

R, Grow Quick S, pupuk daun Gandasil D dan santan.

Pembentukan media baru tersebut didasarkan pada berbagai

pertimbangan antara lain; pencegahan stagnasi, pengendalian browning dan

pertumbuhan planlet yang lambat dengan harapan akan didapatkannya

modifikasi media serta rangkaian media baru dengan komposisi media yang

sesuai bagi pertumbuhan embrio kelapa kopyor.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah pertumbuhan embrio kelapa kopyor dari berbagai media

kultur in vitro ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan

embrio kelapa kopyor yang ditanam pada berbagai media kultur in vitro yang

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Kopyor

Buah kelapa kopyor diperoleh dari pohon kelapa yang memiliki sifat

kopyor (gen kopyor) sehingga sebagian buahnya normal dan sebagian

buahnya tidak normal (kopyor). Sifat kopyor dibawakan oleh pasangan gen

resesif (kk) yang merupakan gabungan dari dua gen kopyor yang berasal

dari pohon yang sama ataupun berbeda. Sifat tersebut tidak akan muncul

apabila gen kopyor yang resesif (k) berpasangan dengan gen kelapa biasa

(K) yang dominan. Jadi, buah kelapa kopyor hanya terbentuk apabila terjadi

persilangan antar buah yang memiliki sifat kopyor (Zuniga, 1953 dalam

Tahardi, 1997).

Perbanyakan tanaman kelapa kopyor dapat dilakukan dengan 2 (dua)

cara yaitu, secara alami atau secara konvensional dan secara kultur embrio.

Para petani biasanya memperbanyak tanaman kelapa kopyor secara

konvensional yaitu menanam buah kelapa terpilih sebagai bibit yang dihasilkan

dari pohon kelapa yang memiliki gen kopyor (Sukamto, 2006). Secara alami

kelapa kopyor sulit untuk diperbanyak karena daging buah sebagai

cadangan makanan untuk embrio mengalami kerusakan sehingga embrio tidak

dapat berkecambah (Tahardi, 1997).

Sukendah (2009) melaporkan bahwa perbanyakan tanaman kelapa

kopyor selama ini dikembangkan melalui kultur jaringan dengan menanam

embrio zigotik kelapa kopyor dalam media agar secara aseptik yang disebut

teknik kultur embrio. Teknik kultur embrio ini bertujuan untuk menyelamatkan dan

menumbuhkan embrio kelapa kopyor yang disebut embryo rescue. Meskipun

demikian, efisiensi dalam teknik kultur embrio ini masih diperlukan

perbaikan-perbaikan proses kultur embrio karena dalam menghasilkan planlet dan bibit

kelapa kopyor masih tergolong rendah.

(19)

2.2. Kultur Embrio

Kultur embrio adalah cara untuk menyelamatkan embrio kelapa kopyor,

mengecambahkan dan menumbuhkannya pada media kultur buatan dalam

kondisi yang aseptik (Catibog, 2001 dalam Prasetyo 2003). Dengan adanya

teknik kultur embrio pada embrio kelapa kopyor bertujuan untuk mendapatkan

tanaman kelapa kopyor dan mampu berbuah kopyor per pohon. Tanaman kelapa

hasil kultur embrio tersebut memiliki beberapa keunggulan yaitu keturunan yang

dibawa pasti membawa gen yang mengontrol sifat kopyor, presentase buah

kopyor yang dihasilkan tinggi dan kualitas buah kopyor lebih seragam

(Novarianto, 1999)

Wahyuni (2000) melaporkan perbanyakan kelapa kopyor secara kultur

embrio sangat menguntungkan karena tanaman kelapa merupakan tanaman

berbiji tunggal yang sampai saat ini tidak dapat dikembangbiakkan secara

cangkok atau stek. Selain itu hasil kultur embrio dapat menghasilkan kelapa

kopyor cukup tinggi yaitu dapat mencapai 90-100% berupa kelapa kopyor dari

keseluruhan buah kelapa dalam satu pohon.

2.3. Media Kultur Embrio

Dalam kultur jaringan dikenal ada 3 (tiga) jenis media yang digunakan

yaitu media padat, semi padat dan cair. Pertumbuhan kultur dan laju

pembentukan tunas sangat dipengaruhi oleh keadaan fisik dari media ini

(Wattimena, 1992).

Media cair merupakan campuran komponen-komponen zat kimia (garam

mineral, sumber karbon, vitamin dan zat pengatur tumbuh) dengan air suling,

sedangkan media padat merupakan media cair yang terdiri dari

komponen-komponen zat kimia (garam mineral, sumber karbon, vitamin dan zat pengatur

(20)

2.3.1. Komposisi Media Kultur

Menurut Sukendah (2002), secara umum embrio kelapa membutuhkan

media dengan kandungan garam organik yang tinggi terutama unsur Klor (Cl)

dan Besi (Fe) dalam menunjang pertumbuhan media-media tersebut

antaranya media Murashige dan Skoog (MS) dan Eeuwens (Y3).

Menurut Eengelmann (1997) dalam Batugal dan Engelmann (1998)

media kultur yang sering digunakan untuk kultur embrio kelapa kopyor adalah

media yang diadaptasi dari Eeuwens (Y3) dan Murashige dan Skoog (MS). Del

Rosario (1997) dalam Batugal dan Eengelmann (1998) menjelaskan bahwa

media Eeuwens dan MS lebih sering digunakan untuk kultur embrio kelapa

kopyor karena terbukti memberikan pertumbuhan yang lebih baik

dibandingkan dengan penggunaan media kultur yang lain.

Media Eeuwens (Y3) mempunyai komposisi media yang cocok untuk

nutrient tanaman kelapa (Sukendah, 2002). Hal ini dikarenakan media Y3

memang dimodifikasi oleh Eeuwens khusus untuk tanaman kelapa.

Unsur-unsur yang terdapat dalam median ini antara lain : NH4Cl, KNO3,

MgSO4.7H2O, COCl2. 2H2O, KCl, NaH2PO.2H2O, KI, H3BO3,MnSO4.4H2O,

ZnSO4.4H2O, CuSO4.5H2O, CoCl2.6H2O, NaMoO4.H2O dan NiCl.6H2O

(Batugal et al., 1997).

Melalui pengujian berbagai protokol bentuk media (padat dan cair)

selama dua tahun (dua kali periode pengujian), ternyata embrio kelapa

kopyor asal Sumenep Jawa Timur hanya bisa tumbuh baik pada serangkaian

media Eeuwens padat (fase perkecambahan; fase pertumbuhan planlet;

fase penguatan planlet) dengan persentase perolehan planlet sekitar 40%

(Sukendah, 2005).

Sedangkan media MS merupakan media dasar yang mempunyai

konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk

NO3- dalam bentuk NH4+ (Hendaryono et al., 1994). Media MS mengandung 40

(21)

mM dalam bentuk NO3 dan 29 mM dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, 5

(lima) kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali

lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant dan 19 kali lebih tinggi dari media

White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P 1,25 mM. Unsur

makro lainnya juga sedikit dinaikkan (Triandani, 2004).

2.3.2. Unsur Hara

Unsur-unsur esensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif

besar diistilahkan sebagai unsur-unsur makro (Salisbury dan Ross, 1992).

Unsur-unsur makro karbon, hydrogen dan oksigen tersedia bagi tanaman

melalui air dan udara. Sementara itu, kebutuhan akan unsur-unsur makro

yang lain seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium dan belerang

dipenuhi melalui medium tumbuh. Pada kultur in vitro, nitrogen diberikan

dalam jumlah terbesar dalam bentuk KNO3 atau NH4NO3. Kebutuhan akan

magnesium dan belerang dapat dipenuhi melalui pemberian MgSO4.7H2O.

Sementara itu fosfor dapat diberikan dalam bentuk NaH2PO4.H2O atau

KH2PO4. Sedangkan CaCl2.2H2O, Ca(NO3)2.4H2O, atau bentuk-bentuk

anhidrat dari kedua garam tersebut dapat diberikan untuk memenuhi

kebutuhan akan kalsium (Dodds dan Roberts, 1985).

Di samping unsur-unsur makro, sel-sel tanaman pun membutuhkan

unsur-unsur mikro tertentu. Unsur-unsur mikro yang dibutuhkan oleh semua

tanaman tingkat tinggi meliputi besi, mangan, seng, boron, tembaga, molibdat

dan klor. Walaupun natrium tidak umum dibutuhkan oleh tanaman tingkat

tinggi, unsur ini diperlukan oleh jaringan-jaringan yang mengandung klorofil,

seperti tanaman dengan lintasan fotosintesis C4 dan tanaman dengan

metabolisme asam craculacean (Crasulacean Acid Metabolism, CAM). Stok

besi disiapkan secara terpisah karena adanya masalah pada kelarutan unsur

(22)

natrium feriric ethylenediamine tetra-acetic (NaFeEDTA). Di samping

unsur-unsur mikro yang telah banyak dikenal, beberapa medium mengandung

unsur-unsur mikro kobalt dan iodium (Dodds dan Roberts, 1985) Sementara

itu, unsur-unsur lain, seperti nikel, titanium, berilium dan aluminium masih

belum banyak digunakan, kecuali untuk tujuan tertentu.

Menurut Wetter dan Constabel (1991), medium hara untuk kultur

jaringan tanaman mengandung 5 kelompok senyawa, yaitu :

a. Garam Organik

Kadar kalium dan nitrat masing-masing sekurang-kurangnya 20-25

mM. Amonium mungkin diperlukan juga, walaupun jumlah diatas 8 mM dapat

membahayakan. Kebutuhan untuk natrium atau klorida tidak nyata. Kadar

fosfat, sulfat, dan magnesium 1-3 mM tampaknya sudah mencukupi. Hara

mikro yang dianjurkan adalah iodide, asam borat dan garam mangan, seng,

molybdenum, tembaga, kobalt dan besi

b. Sumber Karbon

Sukrosa atau glukosa 2-4% merupakan sumber karbon yang paling

cocok. Berbagai asam organik digunakan bersama ammonium yang juga

mempercepat pertumbuhan sel yang dikultivasi pada rapatan rendah.

c. Vitamin

Tiamin merupakan satu-satunya vitamin yang penting. Peridoksin,

asam nikotinat dan mio-inositol seringkali dapat meningkatkan pertumbuhan

sel. Vitamin lainnya mungkin amat bermanfaat untuk kultur sel tunggal pada

rapatan rendah.

d. Pengatur Tumbuh

Pengatur tumbuh dibutuhkan untuk menginduksi pembelahan sel.

Senyawa yang paling sering digunakan adalah asam 2,4-diklorofenoksiasetat

(2,4-D) dan asam naftalenasetat (NAA). Senyawa ini digunakan pada kadar

0,1-50 µM. Asam indolasetat menginduksi pembelahan sel, tetapi senyawa ini

(23)

tidak stabil dan dapat diuraikan oleh enzim yang dibebaskan oleh sel

tumbuhan dan stabil pada pemanasan dengan autoklaf. Sitokinin seperti

kinetin atau benziladenin (0,1-10 µM) kadang-kadang dibutuhkan bersama

2,4-D atau NAA untuk mendapatkan pembentukan kalus yang baik.

e. Pelengkap Organik

Contohnya hidrolisat protein, ekstrak ragi, ekstrak tetes dan air kelapa

(endosperm cair). Ekstrak ini dapat memasok berbagai senyawa yang dapat

merangsang laju pertumbuhan sel, walaupun umumnya sel dapat tumbuh baik

dalam medium tanpa pelengkap ini apabila kadar garam cukup tinggi dan

metabolit ditambahkan.

Berikut ini adalah beberapa unsur hara tambahan yang digunakan oleh

penulis, antara lain:

- Air Kelapa

Air kelapa merupakan endosperma cair yang berfungsi sebagai

sumber nutrisi (selain endosperma padat) bagi perkembangan embrio

kelapa. Komposisi air kelapa mengandung beberapa hormon seperti

auksin, sitokinin dan giberelin. Air kelapa juga mengandung bahan organik

gula dan vitamin; asam amino serta bahan anorganik seperti fosfat (P),

magnesium (Mg) dan kalium (K) (Raghavan, 1977 dalam Fitriswari 2011).

Air kelapa merupakan salah satu bahan aditif yang umumnya

digunakan dalam kegiatan kultur jaringan. Pemberian air kelapa

dimaksudkan untuk mendorong induksi tunas adventif, karena

penambahan air kelapa dapat meningkatkan pembelahan sel (Steward,

1958 dalam Fitriswari 2011).

Berdasarkan hasil penelitian Sukendah dan Rachmad (2003),

ternyata dari berbagai bahan aditif yang diuji (sari tauge dan tomat, air

kelapa dan ekstrak ragi) hanya air kelapa yang dapat meningkatkan

(24)

kopyor. Sukendah (2009) melaporkan embrio kelapa kopyor yang

dikulturkan pada media dengan air kelapa 150 ml/l lebih cepat

berkecambah yaitu kurang dari satu bulan (29 hari) dan nyata berbeda

dengan media tanpa bahan aditif.

Hasil penelitian Fitriswari (2011) menunjukkan bahwa lebih dari

50% eksplan belahan kecambah dapat tumbuh pada media perlakuan

mengandung air kelapa 150 ml/l, BAP 5 mg/l, BAP 5 mg/l + 2,4-D 2.5 mg/l

dan BAP 5 mg/l + 2.4-D 2.5 mg/l + air kelapa 150 ml/l. Namun, pada

perlakuan air kelapa 150 ml/l memberikan hasil lebih baik untuk

pertumbuhan embrio kelapa kopyor yang dibelah dengan prosentase

sebesar 65.63%.

Hasil penelitian Prihatmanti dan Mattjik (2004) bahwa penggunaan

bahan alami air kelapa pada konsentrasi 100 sampai 200 ml/l untuk

multiplikasi tunas Anthurium andreanum dapat meningkatkan daya

tumbuh biakan in vitro. Selanjutnya Bey, et al., (2006) mengemukakan

bahwa perlakuan air kelapa secara tunggal pada konsentrasi 250 ml/l

mampu menghasilkan daun dan akar lebih cepat pada kultur in vitro

anggrek (Phalaenopsis amabilis BL.).

- Zat Pengatur Tumbuh Grow Quick

Menurut Widyastuti dan Tjokrokusumo (2007) Zat Pengatur

Tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik yang bukan hara (nutrisi) tanaman

yang aktif dan dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat serta

dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Peranan ZPT sebagai

pendukung maupun penghambat pertumbuhan sangat ditentukan oleh

konsentrasinya, suhu, cahaya, kelembapan udara, cara penggunaan serta

pengaruh ZPT bergantung pada spesies tumbuhan. ZPT tidak bekerja

sendiri dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan,

pada umumnya keseimbangan kosentrasi dari beberapa ZPT yang akan

(25)

mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Dalam kultur in

vitro terdapat 2 (dua) golongan ZPT yang sangat penting yaitu auksin dan

sitokinin. ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam

kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan dalam ZPT yang

diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen

menentukan arah suatu kultur.

Media kultur jaringan berisi campuran berbagai nutrisi dan hormon

tanaman. Hormon yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah

kelompok dari sitokinin dan auksin. Hormon sintesis yang kerjanya mirip

sitokinin antara lain Benzyl Amino Purine (BAP), sedangkan yang mirip

auksin antara lain Naphtalen Acetic Acid (NAA).

Ada 2 (dua) Grow Quick yang digunakan yaitu Grow Quick R dan

Grow Quick S. Grow Quick R (GQR) mengandung Auksin, IBA dan NAA

sedangkan Grow Quick S (GQS) mengandung Sitokinin dan BAP.

Pada penelitian Rahmani (2008), menunjukkan bahwa pemberian

GQR 1 ml/l dan GQS 1 ml/l berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet

anggrek. Hal ini dapat diketahui dari pengamatan setiap bulannya terjadi

perubahan panjang planlet, jumlah daun dan jumlah akar. Hal ini sesuai

dengan fungsi dari hormon sitokinin yang berperan memacu pertumbuhan

daun dan fungsi dari hormon auksin yang berperan dalam memacu

pertumbuhan akar dan tinggi tanaman.

• Auksin

Auksin merupakan salah satu golongan fitohormon yang tidak

terlepas dari perumbuhan dan perkembangan suatu tanaman (Abidin, 1982

dalam Fitriswari 2011). Aktifitas auksin dalam kultur jaringan dikenal

mampu berperan menginduksi kalus, mendorong proses morfogenesis

(26)

dapat mempengaruhi kestabilan genetik sel tanaman (Santoso dan

Nursandi, 2003).

Golongan auksin lainnya seperti IBA dan NAA juga digunakan untuk

meningkatkan perakaran planlet in vitro khususnya pada komoditi kelapa.

Hal ini dikarenakan beberapa peneliti kelapa berpendapat bahwa akar-akar

lateral sangat penting untuk menunjang penyerapan unsur hara sehingga

planlet lebih biasa bertahan pada kondisi luar pada tahap aklimatisasi.

Untuk merangsang keluarnya akar lateral pada eksplan kelapa

kopyor konsentrasi IBA 2 mg/l dengan persentase 60% lebih efektif

daripada 1 mg/l atau 3 mg/l. Pada konsentrasi IBA 2 mg/l menghasilkan

jumlah akar lateral nyata lebih banyak daripada IBA 1 mg/l. Planlet yang

mempunyai akar primer dan akar lateral, maka persentase planlet yang

berhasil diaklimatisasi mencapai ± 75-80% (Sukendah, 2009).

• Sitokinin

Sitokinin merupakan hormon tumbuhan turunan adenine dan

berfungsi untuk merangsang pembelahan sel. Sitokinin mempunyai

kemampuan mendorong terjadinya pembelahan sel dan diferensiasi

jaringan mitosi dalam pembentukan tunas pucuk, pertumbuhan akar dan

traslokasi melalui pembuluh xilem. Sitokinin digunakan secara komersial

dalam kultur in vitro adalah Benzyl Adenin (BA), 6-Benzyl Aminopurine

(BAP) dan kinetin.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukendah (2009) menunjukkan

bahwa lebih dari 80% eksplan belahan embrio kelapa kopyor tumbuh pada

media dengan BAP 2.5 mg/l. Eksplan belahan embrio yang tumbuh

semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi BAP, pada

konsentrasi 7.5 mg/l hanya sekitar 58% yang berhasil tumbuh. Tanpa

pemberian BAP, belahan embrio masih bisa tumbuh tetapi eksplan yang

berhasil tumbuh hanya 37.5% yang terdiri dari 25% tumbuh tunas

(27)

dan sisanya 12.5% tumbuh akar. Pada penelitian Fitriswari (2011)

menunjukkan pertumbuhan planlet kelapa kopyor pada perlakuan kontrol

dan BAP 2.5 mg/l planlet membentuk tunas dan akar dengan sempurna.

- Pupuk Daun Gandasil D

Menurut Rachmad (2011) Gandasil D atau sering disebut sebagai

Gandasil Daun yang tergolong sebagai Pupuk NPK Majemuk / Pupuk Daun

dengan kandungan unsurnya sebagai berikut :

§ N - Nitrogen - 20 %

§ P2O5 - Fosfor - 15 %

§ K2O - Kalium - 15 %

§ MgSO4 - Magnesium - 1%.

Serta dilengkapi dengan unsur-unsur mikro seperti Mangan (Mn),

Boron (B), Tembaga (Cu), Kobalt (Co), dan Seng (Zn), serta

vitamin-vitamin untuk pertumbuhan tanaman seperti : Aneurine, Lactoflavine, dan

Nicotinic acid amide.

Jari (2005) melaporkan bahwa penggunaan Gandasil 0.5 g/l yang

dikombinasikan dengan vitamin dan air kelapa 10% pada media preservasi

ubi jalar, menghasilkan jumlah tunas yang tidak berbeda nyata dengan

penggunaan media MS dan vitamin. Media yang mengandung Gandasil 0.5

g/l + air kelapa 10 % dapat dijadikan media alternatif pada preservasi ubi

jalar.

Pembentukan tunas anggrek Dendrobium Kanayo dipengaruhi oleh

perlakuan konsentrasi Gandasil, air kelapa dan interaksi keduanya.

Pertumbuhan tunas yang paling banyak dihasilkan pada kombinasi media

Gandasil 1 g/l + air kelapa 100 ml/l hingga 8 MST (Afrianita, 2006).

- Santan

Santan adalah cairan yang diekstrak dari daging kelapa yang

(28)

dengan cara memeras campuran air dan daging buah kelapa yang diparut.

Santan ini kaya akan kandungan mineral, vitamin, elektrolit, potassium,

khlorida, kalsium juga protein. Level protein yang terkandung dalam santan

kelapa terhitung rendah. Jenis protein yang ditemukan dalam santan

antara lain alanin, sistin, arginin, dan serene (Anonymous, 2012).

Santan kaya akan kandungan asam laurat. Setengah dari

kandungan asam lemak jenuh terdiri dari bahan asam laurat ini yang

mempunyai khasiat untuk dijadikan sebagai anti bakteri, anti virus, anti

jamur, dan juga anti mikroba (Anonymous, 2012).

Beberapa penelitian menggunakan air santan yang diperoleh dari

endosperma padat buah kelapa untuk meningkatkan pertumbuhan kultur

in vitro (Al-Khayri et al. 1992; Boase dan Wright, 1993 dalam Sukendah,

2009). Air kelapa merupakan endosperma cair yang berfungsi sebagai

sumber nutrisi (selain endosperma padat) bagi perkembangan dan

perkecambahan embrio kelapa. Oleh sebab itu sangat menarik untuk

mengkaji jenis air kelapa yang mana yang lebih baik yaitu air kelapa biasa

atau air kelapa dari endosperma padat (santan) untuk proses

perkecambahan in vitro embrio kelapa kopyor (Sukendah, 2009).

2.4. Hipotesis

Embrio kelapa kopyor memberikan respon yang berbeda pada berbagai

komposisi bahan media kultur yang diuji.

(29)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 sampai dengan

Maret 2013 dan tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium

Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Jawa Timur.

3.2. Bahan dan Alat

3.2.1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan

tanam, media dan penunjang lain. Bahan tanam yang digunakan sebagai

sumber eksplan adalah embrio kelapa kopyor yang berasal dari pohon kelapa

berbuah kopyor genjah yang berumur 11-12 bulan. Buah kelapa kopyor

diambil dari kebun kelapa petani di daerah Pati, Jawa Tengah.

Bahan media yang digunakan meliputi sukrosa 30 g/l, arang aktif 2,5

g/l, agar 7 g/l, bahan kimia murni penyusun media Y3 (Eeuwens) dan MS

(Murashige dan Skoog), dan unsur hara tambahan seperti, Growmore

Sitokinin dan Auksin serta bahan alami air kelapa, Gandasil D dan santan.

Bahan penunjang lain adalah alkohol 70% dan 90%, spiritus, klorox, aquadest

steril dan betadine.

3.2.2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, Laminar Air Flow

(LAF) sebagai tempat penanaman eksplan. Autoklaf digunakan untuk

mensterilkan alat-alat seperti botol kultur, dissecting kit dan media kultur.

Timbangan analitik sebagai pengukur bahan media dalam satuan kecil yaitu

milligram (mg). Magnetic stirrer digunakan untuk mengaduk dan kertas lakmus

(30)

Alat-alat penting lain yang digunakan adalah kompor, oven, tabung

reaksi, erlenmeyer, gelas ukur, cawan petri, pipet, pengaduk, pinset, scalpel,

lampu bunsen, plastik penutup, karet, aluminium foil, penggaris dan kamera.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan percobaan yang disusun berdasarkan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) 1 faktor dengan 6 perlakuan yang diulang

sebanyak 7 kali. Berikut ini adalah bentuk perlakuan yang dilakukan :

1). Media 1 (M1) = Media Eeuwens (Media Padat) (Kontrol)

2). Media 2 (M2) = Media Eeuwens + Air kelapa 150 ml/l + Grow Quick S

(GQS) 2 ppm/l + Grow Quick R (GQR) 2 ppm/l

(Media Padat)

3). Media 3 (M3) = Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l (Media Padat)

4). Media 4 (M4) = Air Kelapa 150 ml/l (Media Cair)

5). Media 5 (M5) = Air Kelapa 150 ml/l + Santan 100 ml/l (Media Padat)

6) Media 6 (M6) = Media MS (Media Padat)

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Sterilisasi Alat

Alat-alat yang akan digunakan seperti gelas ukur, pinset, scalpel,

petridish, erlenmeyer, corong dan botol kultur dicuci terlebih dahulu dengan

air sabun hingga bersih kemudian ditiriskan hingga kering. Kemudian, seluruh

alat tersebut dibungkus dengan kertas bersih dan dimasukkan dalam autoklaf

atau oven untuk disterilkan selama ± 1 jam.

Alat bantu aseptik lain seperti scalpel dan pinset dapat disterilkan

dengan pencelupan ke dalam alkohol 96% kemudian dibakar di atas lampu

bunsen ketika ingin digunakan.

(31)

3.4.2. Pembuatan Media

Media tanam kelapa kopyor yang digunakan adalah media Y3

(Eeuwens), media MS (Murashige dan Skoog), modifikasi media Y3

(Eeuwens) serta modifikasi media sederhana dalam bentuk padat dan cair.

Setiap media mengandung sukrosa 30 g/l, arang aktif 2.5 g/l dan agar 7 g/l.

Khusus pada media cair tidak menggunakan agar sebagai pemadat.

Cara pembuatan 1 Liter Media 1 (M1) yaitu, mengambil unsur makro

100 ml, unsur mikro, besi dan vitamin 10 ml dari larutan stok Y3,

menambahkan sukrosa 30 g, arang aktif 2,5 g dan agar 7 g. Pembuatan 1

Liter Media 2 (M2) yaitu, mengambil unsur makro 100 ml, unsur mikro, besi

dan vitamin 10 ml dari larutan stok Y3,mengambil 2 ml growmore sitokinin dan

auksin dari masing-masing larutan stok, menambahkan air kelapa 150 ml,

sukrosa 30 g, arang aktif 2,5 g dan agar 7 g. Pembuatan 1 Liter Media 3 (M3)

yaitu, menambahkan air kelapa 150 ml, pupuk daun Gandasil-D 2 g, sukrosa

30 g, arang aktif 2,5 g dan agar 7 g. Pembuatan 1 Liter Media 4 (M4) yaitu,

menambahkan air kelapa 150 ml, sukrosa 30 g dan arang aktif 2,5 g.

Pembuatan 1 Liter Media 5 (M5) yaitu, menambahkan air kelapa 150 ml,

santan 100 ml, sukrosa 30 g, arang aktif 2,5 g dan agar 7 g. Pembuatan 1

Liter Media 6 (M6) yaitu, mengambil unsur makro 100 ml, unsur mikro, besi

dan vitamin 10 ml dari larutan stok MS, menambahkan sukrosa 30 g, arang

aktif 2,5 g dan agar 7 g.

Masing-masing perlakuan media dilakukan hal yang sama yaitu,

seluruh bahan dicampur menjadi satu dalam gelas ukur kemudian

ditambahkan aquadest steril hingga mendekati volume 1000 ml. Larutan

diletakkan di atas Magnetic stirrer serta mengatur derajat kemasaman media

dengan kertas lakmus dengan tingkat kemasaman berkisar antara 5,5-5,8.

Jika pH media terlalu tinggi atau rendah, maka dapat menambahkan larutan

(32)

Media tersebut diatur volumenya hingga 1000 ml kemudian dimasak sambil

diaduk hingga mendidih. Media tersebut dituangkan ke dalam tabung/botol

kultur. Untuk tabung kultur dituang sebanyak 10 ml dan untuk botol kultur 80

ml. Setelah itu, tabung/botol kultur segera ditutup dengan aluminiumfoil dan

dilapisi plastik, kemudian dirapatkan dengan karet.

3.4.3. Sterilisasi Media

Sterilisasi media dilakukan dengan menggunakan autoklaf selama

± 1 jam hingga suhu mencapai 121ºC atau tekanan 1,5 atm. Media yang telah

disterilkan, diaduk terlebih dahulu agar arang aktif merata sebelum media

memadat.

.

3.4.4. Sterilisasi, Isolasi dan Penanaman Embrio

Embrio kelapa kopyor yang digunakan berasal dari buah kelapa kopyor

yang berumur 11-12 bulan. Buah kelapa kopyor tersebut diperoleh dari kebun

petani di daerah Pati, Jawa Tengah. Pengambilan embrio dapat dilakukan

dengan menghilangkan sabut buahnya terlebih dahulu kemudian membelah

buah secara melintang. Silinder endosperma yang didalamnya terdapat

embrio diambil dengan sendok dengan diameter 1-2 cm, kemudian diletakkan

ke dalam erlenmeyer yang berisi aquadest. Setelah itu, segera dibawa ke

Laboratorium untuk disterilkan.

Silinder endosperma dicuci dengan air mengalir hingga bersih,

kemudian direndam dengan larutan klorox 20% selama 20 menit dan dibilas

dengan aquadest steril sebanyak 3-5 kali.

Sebelum melakukan kegiatan isolasi dan penanaman embrio, lampu

UV Laminar Air Flow (LAF) dinyalakan terlebih dahulu selama 30 menit dan

kemudian menyiapkan semua alat yang akan dipergunakan. Setelah itu, di

dalam LAF, embrio dipisahkan dari silinder endospermnya. Embrio kemudian

disterilkan dengan alkohol 70% dengan merendamnya selama 5 menit.

(33)

Setelah itu, embrio dibilas dengan aquadest steril sebanyak 3 kali kemudian

disterilkan dengan larutan klorox 10% dengan merendamnya selama 5 menit

dan membilasnya dengan aquadest steril sebanyak 3 kali. Kemudian,

disterilkan kembali dengan larutan klorox 5% dengan merendamnya selama 5

menit dan membilasnya dengan aquadest steril sebanyak 3 kali. Sebelum

melakukan penanaman, embrio direndam terlebih dahulu dalam aquadest

steril yang ditetesi dengan betadine 5-8 tetes.

Penanaman embrio secara keseluruhan dilakukan di dalam Laminar

Air Flow (LAF). Embrio yang sudah steril segera ditanam pada keenam media.

Masing-masing tabung/botol kultur ditanami 1 (satu) embrio. Tabung/botol

kultur segera ditutup dengan aluminium foil atau plastik penutup dan diikat

dengan karet. Setelah itu, diletakkan pada ruang tumbuh yang gelap dengan

suhu ± 20ºC selama 6-8 minggu.

3.4.5. Subkultur

Subkultur merupakan pemindahan kultur dari media yang lama ke

media yang baru dengan tujuan untuk menjaga ketersediaan nutrisi bagi

pertumbuhan embrio. Subkultur dilakukan setiap 6-8 minggu sejak embrio

diinokulasikan. Subkultur dilakukan di dalam Laminar Air Flow (LAF) dalam

kondisi steril. Setelah melakukan subkultur yang pertama, embrio

ditumbuhkan di dalam ruang yang terang dengan suhu ± 20ºC.

3.5. Variabel Pengamatan

Pengamatan terhadap variable penelitian dilakukan secara deskriptif dan

kuantitatif, sebagai berikut :

3.5.1. Pengamatan Secara Deskriptif

Pengamatan secara deskriptif dilakukan dengan menjelaskan

(34)

visual dengan cara menggambarkan atau mengilustrasikan keadaan embrio

atau planlet dengan bentuk penjelasan tertulis yang didukung dengan

gambar/foto dari obyek yang diamati.

3.5.2. Pengamatan Secara Kuantitatif

3.5.2.a. Tahap Perkecambahan

Selama tahap perkecambahan, pengamatan dilakukan dengan

interval waktu 14 hari sekali dengan variabel yang diamati pada tahap

perkecambahan terdiri dari :

1). Panjang Embrio

Pengukuran panjang embrio dilakukan dengan menggunakan

penggaris. Panjang embrio mulai dari bagian ujung titik tumbuh tunas.

2). Persentase Perkecambahan

Persentase perkecambahan diperoleh dengan cara menjumlah

semua embrio yang berkecambah pada akhir tahap perkecambahan

dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

3). Persentase Embrio Stagnan

Embrio stagnan pada tahap perkecambahan ditandai dengan

tidak adanya kemajuan pertumbuhan embrio. Embrio tetap segar tetapi

tidak mati, namun juga tidak tumbuh ataupun berkecambah. Persentase

stagnan dihitung pada akhir tahap perkecambahan dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

(Fitriswari, 2011).

Jumlah embrio yang berkecambah

Persentase perkecambahan = x 100%

Jumlah embrio yang ditanam

Jumlah embrio yang stagnan

Persentase embrio stagnan = x 100%

Jumlah embrio yang ditanam

(35)

3.5.2.b. Tahap Pertumbuhan Planlet

Selama tahap pertumbuhan planlet, pengamatan dilakukan dengan

interval waktu 14 hari sekali dengan variabel yang diamati terdiri dari :

1). Pertumbuhan Tunas (cm)

Pengukuran tinggi tunas dilakukan dari pangkal batang sampai

ujung terpanjang dengan menggunakan penggaris.

2). Pertumbuhan Akar (cm)

Pengukuran panjang akar primer dilakukan setelah muncul akar

primer dan diukur pada saat subkultur.

3). Persentase Planlet Keluar Tunas

Perhitungan persentase planlet yang terbentuk tunas dilakukan

setelah embrio terbentuk tonjolan yang merupakan bakal tunas.

Persentase planlet keluar tunas dihitung pada akhir tahap pertumbuhan

planlet dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

4). Persentase Planlet Keluar Akar

Perhitungan persentase planlet yang terbentuk akar dilakukan

setelah embrio terbentuk tonjolan yang merupakan bakal akar.

Persentase planlet keluar akar akan dihitung pada akhir tahap

pertumbuhan planlet dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

5). Persentase Planlet dengan Tunas dan Akar

Perhitungan persentase planlet yang terbentuk tunas dan akar

dilakukan setelah embrio terbentuk tonjolan yang merupakan bakal

tunas dan bakal akar. Persentase planlet dengan tunas dan akar

Jumlah planlet keluar tunas

Persentase planlet keluar tunas = x 100%

Jumlah planlet yang ditanam

Jumlah planlet keluar akar

Persentase planlet keluar akar = x 100%

(36)

dihitung pada akhir tahap pertumbuhan planlet dengan menggunakan

rumus sebagai berikut :

6). Persentase Planlet Browning

Planlet browning pada tahap pertumbuhan planlet ditandai dengan

terjadinya pencoklatan pada planlet yang menyebabkan planlet tidak

berkecambah. Persentase browning dihitung pada akhir tahap

perkecambahan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

7

)

7). Persentase Planlet Stagnan

Planlet stagnan pada tahap pertumbuhan planlet ditandai dengan

tidak adanya kemajuan pertumbuhan planlet. Planlet tetap segar tetapi

tidak mati, namun juga tidak tumbuh ataupun berkecambah. Persentase

stagnan dihitung pada akhir tahap perkecambahan dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

8). Persentase Planlet Mati

Planlet yang mati pada tahap pertumbuhan planlet ditandai

dengan tidak menunjukkan adanya pertumbuhan atau planlet yang mati

disebabkan kontaminasi oleh jamur dan bakteri. Persentase eksplan

mati dihitung pada akhir tahap pertumbuhan planlet dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah planlet dengan tunas dan akar

Persentase planlet dengan = x 100%

tunas dan akar Jumlah planlet yang ditanam

Jumlah planlet browning

Persentase planlet browning = x 100%

Jumlah planlet yang ditanam

Jumlah planlet yang stagnan

Persentase planlet stagnan = x 100%

Jumlah planlet yang ditanam

(37)

(Fitriswari, 2011).

3.6. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam

RAL. Apabila FHitung ≥ FTabel maka dilanjutkan uji perbandingan rata-rata hasil

dengan Uji Jarak Duncan 5% (UJD 5%).

Jumlah planlet mati

Persentase planlet mati = x 100%

(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Kultur embrio kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) dilakukan melalui

beberapa tahapan media, yaitu tahap perkecambahan embrio dan tahap

pertumbuhan planlet. Untuk melakukan tahap tersebut, kultur embrio kelapa

kopyor dilakukan selama 6 (enam) bulan.

4.1.1. Pertumbuhan Embrio Pada Tahap Perkecambahan

Memasuki proses awal pertumbuhan (tahap perkecambahan),

sebanyak 42 embrio kelapa kopyor yang berasal dari daerah Pati, Jawa

Tengah yang kemudian ditanam pada berbagai komposisi media sudah

terlihat membesar dan memanjang setelah 3-7 Kari Setelah Inokulasi (HSI).

Beberapa embrio terlihat sedikit berubah warna dari putih menjadi sedikit

kecoklatan. Hanya embrio yang ditanam pada media cair saja yang

seluruhnya tetap berwarna putih dan pertumbuhan embrionya masih belum

terlihat. Embrio yang ditanam pada media cair sebagian tenggelam dan

sebagian mengambang di permukaan.

Setiap minggunya terjadi penambahan ukuran dan panjang embrio

hingga saatnya embrio berkecambah. Tanda embrio berkecambah adalah

munculnya bakal tunas atau bakal akar. Penambahan panjang, banyak dan

lamanya embrio yang berkecambah ini berbeda disetiap perlakuan. Embrio

yang ditanam pada media cair lebih lama berkecambah daripada embrio yang

ditanam pada media padat. Pada beberapa media padat yang berumur 14

Hari Setelah Inokulasi beberapa embrio telah berkecambah, sedangkan

embrio yang ditanam pada media cair, membutuhkan waktu sekitar 2 (dua)

bulan untuk berkecambah. Selama tahap perkecambahan, kultur diletakkan

pada ruang gelap selama 8 (delapan) minggu. Ruang gelap pada awal masa

(39)

inkubasi berfungsi menghambat browning pada embrio. Hingga tahap

perkecambahan berakhir, hanya ada 1 (satu) embrio yang berasal dari media

padat Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l yang mengalami browning

(pencoklatan).

Keberhasilan fase perkecambahan dapat dilihat pada rata-rata panjang

embrio dalam berbagai perlakuan media pada umur 14 HSI, 28 HSI, 42 HSI

dan 56 HSI secara detail dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Rata-rata Panjang Embrio pada Berbagai Media Umur 14, 28, 42 dan 56 Hari Setelah Inokulasi (HSI) Transformasi Log (X+1)

Perlakuan

(Media 5). Air Kelapa 150 ml/l + Santan

100 ml/l 0.009 0.024 a 0.076 a 0.098 ab

(Media 6). MS 0.009 0.041 a 0.107 a 0.176 bc

* Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Duncan 5%

Hasil analisis statistik di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

yang nyata terhadap rata-rata panjang embrio dalam berbagai media

perlakuan selama tahap perkecambahan. Laju pertumbuhan terus meningkat

seiring dengan bertambahnya waktu, hal tersebut tergantung pada media

yang digunakan. Dari ke enam media yang diuji hanya ada 2 (dua) media

yang paling efektif pada fase perkecambahan yaitu Media Eeuwens (Y3) dan

Murashige dan Skoog (MS). Embrio yang dikulturkan pada media tersebut

menghasilkan rata-rata panjang embrio cenderung lebih panjang dibanding

dengan perlakuan lainnya dari umur 14 HSI sampai dengan 56 HSI. Namun,

di antara keduanya, yang menunjukkan pertumbuhan embrio yang paling

(40)

Gambar 1. Grafik Pola Pertumbuhan Panjang Embrio Kelapa Kopyor HSI adalah Hari Setelah Inokulasi

Setelah embrio mengalami pertumbuhan dengan bertambahnya

panjang dengan ukuran tertentu, pada akhirnya embrio berkecambah.

Masing-masing embrio dalam perlakuan berbagai media menunjukkan

tanggapan perkecambahan yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat pada

persentase perkecambahan munculnya bakal tunas, akar dan tunas + akar

yang telah dicapai (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-rata Presentasi Embrio Kelapa Kopyor yang Berkecambah Menjadi Bakal Tunas, Akar dan Tunas + Akar (Planlet Sempurna)

(41)

Tabel 2 di atas merupakan hasil rata-rata persentase embrio yang

berhasil berkecambah pada berbagai perlakuan media. Perlakuan dengan

penggunaan bahan kimia murni yaitu media Eeuwens (Y3) dan Murashige dan

Skoog (MS) memberikan rata-rata tertinggi yaitu 100 % dan 99.99 %.

Sedangkan perlakuan media modifikasi yang memberikan rata-rata tertinggi

adalah media Y3 + Air Kelapa 150 ml/l + GQS 2 ppm/l + GQR 2 ppm/l dan

media Air Kelapa 150 ml/l + Santan 100 ml/l yaitu 85.71 %. Sementara itu,

Perlakuan Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l dan Air Kelapa 150 ml/l

persentase perkecambahan rata-rata 71.43 % dan 42.86 %.

Pada tahap perkecambahan, embrio kelapa kopyor yang berkecambah

dengan sempurna (membentuk tunas dan akar) hanya terdapat pada media

Eeuwens (Y3) sebanyak 6 (enam) planlet dan media Murashige dan Skoog

(MS) sebanyak 1 (satu) planlet. Tidak semua embrio yang ditanam pada

berbagai media dapat tumbuh sempurna, sebagian embrio hanya tumbuh

membentuk tunas saja.

(42)

4.1.2. Pertumbuhan Embrio pada Tahap Pertumbuhan Planlet

Setelah melawati masa perkecambahan, embrio kemudian

dipindahkan ke media baru (subkultur) dengan komposisi media perlakuan

yang sama dengan media perlakuan sebelumnya. Lamanya periode untuk

subkultur adalah 2 (dua) bulan sekali. Pada tahap pembentukan planlet,

embrio mengalami pertumbuhan dimana tonjolan yang terbentuk pada tahap

perkecambahan akan berkembang dan tumbuh membentuk tunas dan akar.

Setelah tahap subkultur I, pertumbuhan embrio pada berbagai media

yang diuji menunjukkan respon yang berbeda. Embrio yang telah melalui

masa perkecambahan dipindahkan dalam media baru yang nantinya akan

berkembang membentuk tunas dan akar (planlet sempurna). Namun, pada

keadaan yang sebenarnya terbentuknya planlet pada beberapa media buatan

masih berjalan lambat, karena sebagian besar embrio tidak berhasil

menghasilkan planlet yang sempurna. Hampir keseluruhan perlakuan, embrio

hanya menunjukkan pertumbuhan tunas sedangkan pertumbuhan akar hanya

terlihat pada beberapa perlakuan media, namun akar tersebut hanya terlihat

beberapa mm dan tidak terus berkembang. Planlet yang bertahan hidup

hingga tahap ini umumnya adalah planlet tunas yaitu planlet yang hanya

dilengkapi dengan tunas daun tanpa adanya akar. Selain itu, hampir

sepenuhnya tahap pertumbuhan planlet terjadi secara normal yaitu tidak

mengalami stagnasi dan browning. Planlet yang mengalami keabnormalan

seperti stagnasi tidak terjadi pada seluruh media, namun keabnormalan

seperti browning terjadi pada beberapa planlet yang ditumbuhkan di dalam

media Gandasil D 2 g/l + air kelapa 150 ml/l (Gambar 3).

(43)

Gambar 3. Embrio pada Media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l yang Mengalami Browning Setelah Subkultur I

Pada tahap subkultur II, merupakan tahap perkembangan membentuk

suatu organ tanaman. Pada tahap ini planlet yang dipindah dalam media baru

kan berkembang dari tunas memanjang menjadi daun dan akar semakin

memanjang. Namun, akar yang terlihat beberapa mm saja sampai tahap ini

tidak menunjukkan perubahan (Gambar 4). Hal tersebut terjadi pada seluruh

media padat yang planletnya tumbuh bakal akar.

TUNAS TUNAS

AKAR AKAR

(a) (b)

Gambar 4. Pertumbuhan Akar Planlet Kelapa Kopyor dalam Media Perlakuan Eeuwens (Y3) ; (a.) Akar Planlet Setelah Subkultur I, (b.) Akar Planlet Setelah Subkultur II.

Planlet sempurna tidak terlihat pada seluruh perlakuan. Planlet

sempurna yaitu planlet dengan daun dan akar proporsional. Planlet dalam

(44)

Selain kondisi planlet yang tidak sempurna, ada kendala lain yang dapat

terjadi yaitu kontaminasi yang ditandai dengan adanya bakteri dan jamur yang

tumbuh pada media tumbuh ataupun planlet. Ciri media atau planlet yang

terserang bakteri terdapat cairan atau lendir yang berwarna putih seperti susu

sedangkan jamur terdapat benang spora. Pada tahap perkecambahan hingga

penumbuhan planlet tingkat kontaminasi 0%, karena seluruh embrio atau

planlet selamat (tidak terkontaminasi).

Planlet kelapa kopyor yang ditumbuhkan pada modifikasi media Air

Kelapa 150 ml/l + Santan 100 ml/l memiliki bentuk yang berbeda dengan

perlakuan media yang lain. Planlet cenderung berwarna coklat namun planlet

tersebut tidak browning. Selain itu, kulit planlet terlihat sedikit keras seperti

kayu (Gambar 5).

Gambar 5. Planlet Perlakuan media Air Kelapa 150 ml/l + santan 100 ml/l Setelah Subkultur II

Pada perlakuan media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l tingkat

browning semakin tinggi pada subkultur II. Hal tersebut ditunjukkan dengan

adanya pertambahan planlet yang mencoklat pada tiap minggunya.

Keberhasilan pembentukan tunas kelapa kopyor dapat diketahui

dengan mengukur panjang planlet, jumlah daun dan lebar daun. Namun,

sampai pada tahap ini, tunas mengalami pertumbuhan yang lambat, sehingga

pengukuran jumlah daun dan lebar daun tidak dapat disajikan.

(45)

Pada hasil analisis ragam pada parameter panjang tunas yang

berumur 10 sampai 24 MSI (Minggu Setelah Inokulasi) menunjukkan adanya

perbedaan nyata. Perbedaan tersebut dapat dibuktikan baik dengan

pengamatan atau dalam perhitungan statistika. Tidak ada perlakuan

modifikasi media yang hasilnya lebih baik ataupun setara dari perlakuan

kontrol. Media yang hampir setara dengan perlakuan kontrol hanya media

Murashige dan Skoog (MS) (Tabel 3 dan Tabel 4). Pengaruh media terhadap

rata-rata panjang tunas dengan interval pengamatan dilakukan setiap 2 (dua)

minggu sekali.

Tabel 3. Rata-rata Panjang Tunas pada Berbagai Media Perlakuan Umur 10 sampai 16 Minggu Setelah Inokulasi (MSI) Transformasi + 0,5

Perlakuan

(Media 5). Air Kelapa 150 ml/l + Santan

100 ml/l 0.89 0.82 a 0.93 a 0.95 a

(Media 6). Murashige dan Skoog (MS) 1.10 1.31 bc 1.44 bc 1.56 bc

* Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Duncan 5%

Tabel 4. Rata-rata Panjang Tunas pada Berbagai Media Perlakuan Umur 18 sampai 24 Minggu Setelah Inokulasi (MSI) Transformasi + 0,5

Perlakuan

(46)

Gambar 6 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol berpengaruh nyata

terhadap pertumbuhan panjang tunas. Hingga akhir pengamatan, perlakuan

kontrol menunjukkan panjang tunas terpanjang yaitu 6.056 cm atau 2.54 cm

setelah transformasi dan tunas terpanjang selanjutnya adalah perlakuan

media MS yaitu 5.7 cm atau 2.45 cm setelah transformasi. Sedangkan media

yang menghasilkan panjang tunas terendah adalah perlakuan media air

kelapa 150 ml/l (media cair) yaitu hanya 0.85 cm.

Gambar 6. Grafik Pola Pertumbuhan Embrio Kelapa Kopyor Terhadap Berbagai Modifikasi Media. MSI adalah Minggu Setelah Inokulasi

Gambar 7. Pertumbuhan Planlet pada Berbagai Perlakuan Modifikasi Media Setelah Subkultur II.

(47)

Gambar 7 memperlihatkan pertumbuhan planlet kelapa kopyor pada

perlakuan kontrol dan MS membentuk tunas paling baik. Sedangkan pada

media modifikasi yang pertumbuhan tunasnya paling baik adalah media Y3 +

Air Kelapa 150 ml/l + GQS 2 ppm/l + GQR 2 ppm/l dan pertumbuhan tunas

yang paling lambat adalah media perlakuan Air Kelapa 150 ml/l. Tunas mulai

berklorofil terkecuali media Air Kelapa 150 ml/l, sedangkan akar tidak

berklorofil karena akar masih berupa tonjolan. Pada media Air Kelapa 150 ml/l

(media cair) akar tidak tumbuh.

4.1.3. Pertumbuhan Embrio dan Planlet Browning, Stagnan dan Mati

Tingkat keberhasilan suatu kultur jaringan tidak hanya dilihat dari

tingkat keberhasilan embrio tumbuh sampai menjadi planlet, namun tingkat

keberhasilan juga dilihat dari tidak adanya faktor seperti browning, stagnasi

atau kontaminasi hingga terjadi kematian (Tabel 5).

Tabel 5. Persentase Planlet Kelapa Kopyor yang Mengalami Browning, Stagnan dan Mati pada Fase Pertumbuhan Planlet Berbagai Media Modifikasi

Perlakuan Persentase (%)

Browning Stagnasi Mati Total

(Media 1). Y3 (Kontrol) 0 0 0 0

(Media 2). Y3 + Air Kelapa 150 ml/l + GQS 2

ppm/l + GQR 2 ppm/l 0 0 0 0

(Media 3). Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150

ml/l 85.7 0 0 85.7

(Media 4). Air Kelapa 150 ml/l 0 0 0 0

(Media 5). Air Kelapa 150 ml/l + Santan 100

ml/l 0 0 0 0

(Media 6). MS 0 0 0 0

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa

150 ml/l, planlet mengalami browning dengan tingkat paling tinggi yaitu hingga

85.7 %. Sementara itu, pada perlakuan media lainnya tidak terdapat planlet

(48)

Gambar 8. Kondisi Planlet yang Mengalami Browning pada Media Modifikasi Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l

4.2. Pembahasan

Keberhasilan dari kultur embrio sangat dipengaruhi oleh media untuk

embrio bertumbuh dan berkembang. Pengujian berbagai media modifikasi pada

tahap perkecambahan menunjukkan hasil yang bervariasi. Tahap

perkecambahan merupakan tahap embrio untuk memulai pertumbuhannya yang

ditandai dengan penambahan ukuran panjang hingga tumbuh tunas, akar

ataupun keduanya.

Hasil penelitian dengan penggunaan berbagai modifikasi media dalam

tahap perkecambahan, terdapat 2 (dua) media yang paling baik, yaitu media Y3

dan MS dimana media tersebut merupakan media yang berasal dari unsur kimia

murni dengan kandungan nutrisi yang lengkap (Tabel 1). Jika dibandingkan

dengan media Y3 yang dimodifikasi yaitu Y3 + Air Kelapa 150 ml/l + GQS 2 ppm/l

+ GQR 2 ppm/l menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Pertumbuhan

embrio yang ditumbuhkan pada media tersebut mampu berkecambah, namun

tidak lebih baik dari Y3 murni. Kandungan air kelapa, kandungan IBA dan NAA

pada GQR dan kandungan BAP pada GQS tidak berpengaruh nyata pada

pertumbuhan embrio. Hal tersebut diduga terjadinya penambahan unsur yang

terlalu berlebih, yang menyebabkan embrio mengalami pertumbuhan yang

lambat. Selain itu, pertumbuhan embrio tersebut tidak menunjukkan adanya

Gambar

Tabel 2. Rata-rata Presentasi Embrio Kelapa Kopyor yang Berkecambah Menjadi Bakal Tunas, Akar dan Tunas + Akar (Planlet Sempurna) pada Berbagai Media Modifikasi
Gambar 2.  Pertumbuhan Embrio dalam Perlakuan Media Y3 (Kontrol), Media Y3 + Air Kelapa 150 ml/l + GQS 2 ppm/l + GQR 2 ppm/l, Media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l, Media Air Kelapa 150 ml/l, Media Air Kelapa 150 ml/l + Santan 100 ml/l dan Media MS pada Tahap Perkecambahan
Gambar 3.  Embrio pada Media Gandasil D 2 g/l + Air Kelapa 150 ml/l yang Mengalami Browning Setelah Subkultur I
Gambar 5.  Planlet Perlakuan media Air Kelapa 150 ml/l + santan 100 ml/l Setelah Subkultur II
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh berbagai konsentrasi air kelapa dan casein hydrolysat terhadap pertumbuhan embrio mangga (Mangifera indica L.) dalam media

Apakah penambahan asam indol butirat (IBA) ke dalam medium tanam dapat meningkatkan induksi akar dan pertumbuhan pada tunas kelapa normal dan kelapa kopyor (Cocos

Pengembangan teknik penyelamatan embrio kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) secara in-vitro.. Jawa Timur: Universitas Pembangunan

Penyimpanan dengan menggunakan embrio zigotik kelapa memiliki banyak keunggulan seperti ukuran yang jauh lebih kecil (sekitar 0,1 g; Sisunandar et al ., 2014),

Penelitian ini dilakukan untuk mengamati perbedaan keragaan vegetatif dan generatif tiga varietas kelapa Genjah kopyor yang berbeda dari warna buah (coklat, hijau dan

Penggunaan air kelapa pada maskulinisasi ikan cupang ( Betta splendens ) menggunakan metode perendaman embrio memberikan pengaruh sangat nyata terhadap persentase ikan

lain teknik yang dapat digunakan untuk menyimpan embrio kelapa dalam jangka. waktu yang panjang (>1 tahun; long term

Pembibitan kelapa kopyor dengan cara generatif yang dilakukan oleh kelompok tani Ngudi Makmur sudah baik dari segi teknis dan kriteria bibit yang