• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan

Berdasarkan analisis hubungan panjang dan bobot, pola pertumbuhan ikan swanggi betina dan jantan bersifat allometrik negatif, yang artinya pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan bobot (Effendie 1979). Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan ikan karang demersal dan bersifat karnivora pemakan udang-udangan maupun ikan-ikan kecil (Powell 2000), karena ikan ini mencari makan di perairan karang dapat dimungkinkan kondisi karang di perairan Selat Sunda telah mengalami perubahan sehingga mempengaruhi jumlah makanan yang tersedia bagi ikan swanggi. Jika organisme yang struktur trofiknya berada di bawah trofik level ikan swanggi jumlahnya berkurang karena penangkapan maupun predator lain, maka jumlah makanan ikan swanggipun pada akhirnya mengalami pengurangan. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan panjang yang lebih dominan karena dugaan lingkungan yang kurang menyediakan makanan yang cukup bagi pertumbuhan ikan swanggi.

Pertambahan rongga tubuh yang memanjang mengakibatkan pertambahan panjang gonad sehingga bentuk gonad adalah memanjang tidak membulat, ukuran telur yang dibentukpun tidak sama. Maka dari itu diperkirakan bahwa pola pemijahan swanggi adalah partial spawner atau pemijahan yang bertahap. Hal ini dibuktikan dengan analisis laboratorium yang menunjukkan bahwa ukuran telur swanggi yang diteliti selama delapan bulan pengamatan bervariasi dengan kisaran

0.08-0.79 mm, dengan persentase berbeda-beda disetiap bulan pengamatan seperti yang terlihat sebelumnya pada Gambar 25 serta diketahui memiliki lebih dari satu modus.

Berdasarkan pengamatan secara morfologi setiap bulannya ditemukan ukuran telur dengan diameter yang tidak sama serta kisaran panjang yang cukup berbeda, maka sesuai dengan De Jong (1940) in Effendie (2002) ikan ini termasuk kedalam tipe pemijahan kedua yaitu sebelum terjadi pemijahan didapatkan dua kelompok telur yang berpisah. Sesudah berpijah didapatkan selain kelompok stok telur yang umum ada pula sekelompok telur yang berukuran lebih besar yang sedang mengalami tahap pematangan dan akan dikeluarkan dalam pemijahan berikutnya.

Jika dilihat berdasarkan musim pemijahan yang hampir terjadi setiap bulan selama pengamatan menunjukan bahwa telur-telur dikeluarkan sebagian dan mengakibatkan pemijahan dapat terjadi setiap bulan. Hal ini dimungkinkan karena sifat ikan swanggi yang bermigrasi secara lokal (Gollani et al. 2011) menuju feeding ground maupun spawning ground, sehingga tidak membutuhkan energi yang terlalu banyak dibandingkan ikan yang bermigrasi jauh, oleh karena itu energi ini dapat digunakan untuk perkembangan gonad.

Pola pemijahan yang bersifat partial spawner dari ikan swanggi (Priacanthus tayenus) sama dengan pola pemijahan ikan Priacanthus hamrur yang diteliti di pantai India. Sivakami et al. (2001) memperlihatkan bahwa ikan Priacanthidae yaitu Priacanthus hamrur merupakan ikan yang memiliki pola pemijahan terputus-putus. Telur matang didapatkan lebih dari satu kelompok yang mungkin berbeda dengan kelompok lain tetapi memiliki proses berkesinambungan, terdapat dua ukuran telur, dan bentuk pemijahan adalah pemijahan sebagian sehingga masa pemijahannya dikategorikan masa pemijahan yang panjang atau lama.

Pola pertumbuhan memiliki keterkaitan dengan faktor kondisi. Pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif memperlihatkan bahwa kemontokan ikan tidak terlalu besar. Kemontokan ikan ini dapat dilihat berdasarkan faktor kondisi ikan swanggi. Berdasarkan hasil analisis terdapat perbedaan faktor kondisi antara ikan swanggi betina dan jantan. Jika diamati menurut selang kelas panjang faktor kondisi ikan jantan lebih tinggi daripada ikan betina hal ini berarti bahwa ikan

jantan lebih montok dibandingkan dengan ikan betina meskipun memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif atau pertumbuhan panjang lebih dominan daripada bobot.

Faktor kondisi berfluktuasi disetiap bulan pengamatan. Faktor kondisi dapat mengalami kenaikan maupun penurunan, hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya indeks relatif penting makanan atau perubahan makanan (Effendie 2002) dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Faktor kondisi yang rendah pada bulan Mei diduga diakibatkan oleh berkurangnya ketersediaan makanan. Saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Effendie 2002) atau jika ketersediaan makanan cukup saat itu penurunan faktor kondisi diakibatkan karena terdapat ikan-ikan yang telah mengalami pemijahan sehingga sesuai dengan Harahap & Djamali (2005) in Triana (2011) energi yang dimiliki digunakan untuk pertumbuhan yang mengakibatkan penurunan faktor kondisi.

Faktor kondisi, indeks kematangan gonad (IKG), dan tingkat kematangan gonad (TKG) sangat berkaitan. IKG ikan betina lebih tinggi daripada IKG ikan jantan, seperti yang diungkapkan oleh Yustina &Arnentis (2002) bahwa ikan betina pada umumnya memiliki Indeks Kematangan Gonad (IKG) yang lebih besar daripada ikan jantan. Hal ini dikarenakan pada ovari butir-butir telur akan mengalami perkembangan, sehingga semakin besar diameter telur IKG akan semakin meningkat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) di India terhadap ikan satu genus Priacantus tayenus yaitu Priacanthus hamrur

diketahui bahwa IKG bernilai maksimum terdapat pada bulan Juni 3.07% untuk jantan dan 4.01% untuk betina. IKG ini berbeda dengan IKG ikan swanggi

(Priacanthus tayenus) di Selat Sunda yang nilai maksimumnya terdapat pada bulan September untuk ikan betina sebesar 4.92% dan bulan Maret untuk ikan jantan sebesar 0.40%. Oleh karena itu berdasarkan Pulungan et al. (1987) in Yustina & Arnentis (2002) IKG swanggi di Selat Sunda yang besarnya kurang dari 20% diindikasikan bahwa ikan tersebut dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahun.

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Selat Sunda memiliki musim pemijahan pada bulan Maret, Mei, Juni, Agustus, September, dan Oktober, dengan

puncak pemijahan adalah bulan Maret dan September. Hal ini memperlihatkan suatu kesamaan dengan ikan Priacanthus hamrur yang diteliti oleh Premalatha (1997) di sepanjang Pantai Barat Daya India umumnya telah berada pada tingkat matang gonad yang matang pada bulan Maret sampai April. Persentase ikan swanggi betina dengan jantan yang telah matang gonad berbeda-beda setiap bulannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ikan swanggi diduga memijah sepanjang tahun maka sesuai dengan yang dikemukan oleh Effendie (2002) bahwa ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun akan memiliki komposisi tingkat kematangan gonad dengan persentase yang tidak sama setiap pengambilan contoh.

Secara umum, semakin besar panjang dan bobot ikan maka semakin besar nilai TKG, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Yustina & Arnentis 2002). Namun tidak demikian dengan ikan swanggi di Selat Sunda, pada saat tertentu ditemukan ikan yang telah matang gonad pada selang kelas yang lebih kecil maka menurut Yustina & Arnentis (2002) pada ukuran panjang dan bobot yang sama belum tentu berada pada TKG yang sama. Menurut Keown & Brian (1984) perubahan kematangan gonad yang berbeda pada setiap spesies ikan dipengaruhi oleh faktor perubahan morfologi, tingkah laku maupun fisiologi ikan tersebut.

Menurut Taylor & Francis (2009) selain ketersediaan makanan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap reproduksi ikan adalah lama pencahayaan, suhu, curah hujan, arus dan tekanan. Peningkatan kematangan gonad dipengaruhi kenaikan suhu (suhu meningkat mempengaruhi perkembangan gonad, sedangkan

pada suhu rendah gonad sulit berkembang). Misalnya pada ikan laut

gillchthys mirabilis (De Vlaming 1972 in Keown & Brian 1984). Peningkatan kematangan gonad terjadi sebagai respon dari perubahan lamanya waktu penyinaran banyak spesies ikan mengalami kematangan gonad dipengaruhi oleh lamanya waktu penyinaranan (Peeter & Cr1am 1979 in Keown & Brian 1984 ). Suhu yang terjadi diperairan Selat Sunda berkisar 29 oC-30 oC (Yusfiandani 2004) suhu yang hangat ini dapat mempengaruhi perkembangan gonad, sehingga selama periode pengambilan contoh banyak ditemukan ikan-ikan yang matang gonad.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya faktor kondisi, IKG, dan TKG saling berkaitan dan mempengaruhi. Misalnya adalah bulan Maret dan September yang diindikasikan sebagai musim puncak pemijahan, nilai IKG, TKG, dan faktor

kondisi berada dalam titik yang maksimum seperti terlihat pada Gambar 19 dan Gambar 20. Penurunan IKG diduga dapat diakibatkan karena banyak TKG IV ditemukan dan pemijahan diindikasikan terjadi pada TKG IV, sehingga pada TKG V atau VI mengalami penurunan, seperti yang terjadi pada ikan swanggi betina di bulan September. Namun pada dasarnya pemijahan dimungkinkan terjadi saat ikan berada pada TKG V (masak II) sebab telur-telur dan sperma sudah berkembang dengan baik dan siap dipijahkan.

TKG meningkat saat nilai IKG meningkat, sehingga banyak ikan menuju fase matang gonad dan masak sehingga dapat memijah, maka faktor kondisi juga meningkat yang dapat diakibatkan oleh perubahan makanan oleh ikan-ikan yang memasuki fase matang gonad, makanan dibutuhkan dalam jumlah yang banyak untuk menyeimbangkan fase matang gonad, oleh karena itu kemontokan ikan dapat meningkat namun jika terjadi suatu keadaan yang buruk misalnya lingkungan yang tidak mendukung atau setelah fase pemijahan maka faktor kondisi menurun.

Berdasarkan nisbah kelamin hasil tangkapan pada umumnya ikan-ikan betina lebih dominan tertangkap dari pada ikan jantan, sehingga dapat diasumsikan bahwa proporsi ikan swanggi betina lebih dominan dari pada ikan swanggi jantan. Hasil analisis didapatkan perbandingan 1:1.05. Namun pada bulan April dan Juli jumlah ikan betina yang tertangkap lebih sedikit dibandingkan dengan ikan jantan. Pada bulan Juli proporsi tangkapan 24.61% untuk ikan betina dan 75.38% untuk ikan jantan. Hal ini menunjukan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) bahwa dominasi Priacanthus hamrur betina diketahui melimpah pada setiap bulan pengambilan contoh kecuali bulan April, Juli, dan Desember, sedangkan berdasarkan Premalatha (1997) nisbah kelamin dari ikan

Priacanthus hamrur yang diteliti oleh Premalatha di pantai barat daya India didominasi oleh ikan betina setiap bulannya, kecuali bulan Juli. Diperairan Selat Sunda sendiri berdasarkan pengamatan ikan swanggi pada bulan Juli memiliki nisbah kelamin 1:1.05 setelah diuji lanjut menunjukkan beda nyata yang artinya nisbah ini menyimpang dari nilai ideal yaitu 1: 1(Ball & Rao 1984 in Adisti 2010). Hal ini serupa dengan yang diungkapkan oleh Rahardjo (2006) bahwa nisbah kelamin di daerah tropis seperti Indonesia bersifat variatif dan menyimpang dari 1:1.

Ikan betina yang lebih dominan tertangkap mengindikasikan bahwa kelestarian suatu populasi masih dapat dipertahankan, sebab menurut Purwanto et al. (1986)

in Sulistiono et al. (2001b) jika rasio antara ikan jantan dengan betina adalah sama atau ikan betina lebih banyak jumlahnya di perairan populasi masih dapat dipertahankan di perairan, karena menurut Saputra et al. (2009) dengan rasio demikian mengakibatkan peluang pembuahan sel telur oleh spermatozoa sampai menjadi individu baru akan semakin besar.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan proporsi kelamin dapat bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal dapat berupa tingkah laku ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhannya sedangkan faktor eksternal berupa ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan (Effendie 2002).

Tingkah laku ikan salah satunya berhubungan dengan pergerakan ikan. Menurut Nikolsky (1963) umumnya ikan betina lebih aktif mencari makanan untuk menutrisi tubuhnya agar perkembangan gonad dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan telur yang baik pula. Misalnya proporsi yang berbeda antara bulan Juli dan Agustus, bulan Juli merupakan bulan menuju pemijahan sedangkan pada bulan Agustus merupakan bulan yang diindikasikan terjadi pemijahan dilihat berdasarkan analisis TKG, sehingga diindikasikan ikan betina tidak banyak terdapat di wilayah penangkapan pada bulan Juli.

Dominasi ikan jantan pada bulan April maupun Juli diduga diakibatkan adanya ikan jantan yang sedang melakukan ruaya salah satunya untuk menuju daerah pemijahan. Menurut Sulistiono et al. (2001b) pada waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina, sedangkan untuk ikan-ikan yang belum matang gonad, banyaknya ikan jantan yang ditemukan di daerah penangkapan pada bulan tersebut dapat diduga karena ikan jantan sedang beruaya menuju feeding ground yaitu tempat untuk mencari makan dalam proses pematangan gonadnya. Berdasarkan parameter pertumbuhan terlihat bahwa ikan betina memiliki koefiesien pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada ikan jantan yaitu 0.3 untuk ikan betina dan 0.15 untuk ikan jantan hal ini berarti ikan betina akan lebih cepat mencapai panjang asimtotik dan

lebih cepat mengalami kematian. Maka dari itu panjang maksimum yang ditemukan untuk ikan betina lebih kecil daripada ikan jantan. Panjang asimtotik ikan betina sebesar 233.62 mm dan jantan sebesar 319.09 mm. Sedangkan berdasarkan analisis mortalitas total diketahui bahwa ikan jantan memiliki nilai mortalitas total (Z) yang lebih tinggi daripada ikan betina yaitu sebesar 0.55 (Adilaviana 2012). Fluktuasi nisbah kelamin per bulan juga dapat diakibatkan oleh perbedaan musim saat penangkapan dan perilaku menggerombol yang dilakukan oleh ikan-ikan berukuran sama atau ikan-ikan tersebut ditangkap pada kedalaman yang tidak terlalu dalam, sebab menurut CMFRI (1991) kelimpahan maksimum ikan swanggi terdapat pada perairan dengan kedalaman 80-300 m.

Proporsi kelamin ini penting untuk diketahui, sebab dengan rasio yang baik atau jumlah betina lebih dominan mengakibatkan peluang pembuahan sel telur oleh spermatozoa sampai menjadi individu baru akan semakin besar, seperti yang dikemukakan oleh Saputra et al. (2009). Hal ini tidak lepas dari banyaknya telur- telur yang terkandung di dalam ovarium. Maka dari itu aspek fekunditas juga perlu diketahui untuk menduga potensi reproduksi. Berdasarkan analisis diketahui bahwa fekunditas ikan swanggi di Selat Sunda berkisar pada 10.676-835.805 butir. Menurut Yustina & Arnentis (2002) fekunditas berkisar 100.000-300.000 butir termasuk kedalam fekunditas besar. Maka dapat diduga bahwa ikan swanggi di perairan Selat Sunda memiliki potensi reproduksi yang besar.

Jumlah fekunditas swanggi yang berada di Selat Sunda berbeda dengan fekunditas yang dihasilkan oleh Priacanthidae di sepanjang pantai India. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) fekunditas Priacanthidae berkisar pada 155.800 – 722.313 butir.Serta berdasarkan Premalatha (1997) di

pantai barat daya India fekunditas ikan Priacanthus dari spesies

Priacanthus macracanthus rata-rata adalah 109.411 butir.

Fekunditas yang berbeda dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain perbedaan spesies, perbedaan lingkungan perairan, serta kondisi fisiologis ikan. beberapa telur yang matang gonad memiliki fekunditas yang kecil karena gonad dilapisi oleh lapisan pelindung yang tebal, sedangkan jumlah telur tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan telur yang memiliki pelindung telur yang tipis.

Menurut Brojo et al. (2001); Yustina & Arnentis (2002) menyatakan bahwa fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi lingkungannya termasuk makanan dan ukuran ikan. Hal ini didukung oleh pendapat Sjafei et al. (1993)

in Novitriana et al. (2004) bahwa apabila ikan hidup pada kondisi yang banyak ancaman predator maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak atau fekunditas akan semakin tinggi sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan regenerasi keturunannya, sedangkan ikan yang hidup di habitat yang sedikit predator maka telur yang dikeluarkan akan sedikit atau fekunditas rendah, sedangkan Warjono (1990); Nikolsky (1969) in Effendie (2002) mengemukakan bahwa variasi fekunditas disebabkan oleh adanya kelompok ikan yang baru memijah dan sudah memijah, sehingga produksi telur cenderung lebih tinggi daripada ikan yang baru memijah, akibatnya penyebaran produksi telur yang tidak merata. Ikan muda memiliki fekunditas relatif yang lebih tinggi dibandingkan ikan tua atau yang sudah pernah memijah.

Sehubungan dengan perbedaan kelompok ukuran, setiap bulannya ikan swanggi yang diteliti berada pada suatu kisaran kelompok umur, dan berdasarkan Adilaviana (2012) pada setiap bulan pengamatan memiliki lebih dari satu kelompok ukuran, dan pada setiap kelompok ukuran tersebut didapati ikan yang matang gonad sehingga fekunditas dapat bervariasi. Faktor lain adalah penggunaan gabungan alat tangkap yang selektif dan tidak selektif mengakibatkan bias terhadap data, yang artinya pada alat tangkap yang bersifat selektif pada panjang dan bobot yang sama fekunditas ikan belum tentu sama, sehingga menurut (Batts 1972 in Effendie 2002) dapat mengakibatkan perbedaan fekunditas pada ikan yang memiliki panjang maupun bobot yang sama. Oleh karena adanya variasi dalam fekunditas ini mengakibatkan terjadinya batas kisar yang ekstrim dari fekunditas pada ikan dengan

ukuran yang sama. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Dennison & Bulkley (1972) in Effendie (2002) terhadap ikan yang ditelitinya

Katsuwonus pelamis, maka dari itu nilai koefisien korelasi (r) pada ikan swanggi yang diteliti antara fekunditas dengan panjang dan bobot bernilai rendah yaitu kurang dari 0.5. Sehingga berdasarkan Warjono (1990); Brojo et al. (2001) jika nilai koefisien keeratan rendah maka dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara fekunditas dengan panjang maupun dengan bobot. Selain itu nilai r yang rendah

diduga karena penggunaan model analisis yang kurang tepat, seperti yang dikemukakan oleh Senta & Tan (1975) in Brojo & Sari (2002); Rahardjo (2006) penggunaan model yang kurang tepat atau tidak sesuai tidak dapat menjelaskan hubungan fekunditas dengan panjang maupun bobot.

Aspek penting lain yang diamati dalam penelitian ini adalah penentuan umur matang gonad, sebab dengan mengetahui umur awal matang gonad dapat diketahui ukuran ikan yang boleh ditangkap dengan yang tidak boleh ditangkap. Selain itu pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan. Ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad dapat digunakan sebagai indikator ketersediaan stok reproduktif (Budimawan et al. 2004).

Hasil perhitungan secara teoritis berbeda dengan hasil pengamatan secara langsung. Ikan swanggi betina maupun jantan matang gonad pada selang kelas yang sama yaitu 124-142 mm, sedangkan secara teoritis ikan swanggi betina yang dianalisis membentuk kurva sigmoid dan didapatkan titik perpotongan 50% pada rata-rata panjang 173 mm dan ikan swanggi jantan yang dianalisis belum membentuk kurva sigmoid yang sempurna, karena diduga jumlah contoh yang kurang untuk menganalisis, namun tetap didapatkan titik perpotongan proporsi matang gonad 50% yaitu pada rata-rata panjang 156 mm. Meskipun pada hasil analisis tersebut hanya sekitar 19-20% gonad yang telah matang yang dapat dianalisis secara teoritis. Sehingga jika disimpulkan secara teoritis ketersediaan stok reproduktif pada ikan swanggi betina berada pada ukuran panjang 173 mm dan pada ikan swanggi jantan adalah 156 mm.

Perbedaan umur matang gonad secara teoritis pada ikan swanggi betina dan jantan dapat diakibatkan oleh laju pertumbuhan yang berbeda antara ikan betina dan jantan. Berdasarkan tingkat eksploitasi dan mortalitas total diketahui bahwa semakin banyak ikan jantan yang ditangkap maka untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi ikan swanggi jantan yang seharusnya belum matang gonad, pada selang kelas yang lebih kecil mulai mematangkan gonadnya sebelum mencapai panjang asimtotiknya sehingga ukuran ikan matang gonad jantan lebih cepat jika dibandingkan dengan ikan betina jika dilihat secara teoritis. Namun pada kondisi tertentu di alam ikan swanggi betina dan ikan swanggi jantan dapat mengalami matang gonad pada selang

ukuran panjang yang sama, hal ini diduga karena pengaruh lingkungan dan penangkapan.

Hasil analisis umur matang gonad terhadap ikan swanggi yang didaratkan di PPP Labuan, Banten menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian di India yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) pada spesies satu genus dari

Priacanthus tayenus yaitu Priacanthus hamrur meskipun pada selang kelas panjang yang berbeda. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa umur ikan tersebut matang gonad pertama kali untuk ikan jantan sebanyak 53.50% berada pada selang kelas panjang 171-180 mm dan sebesar 58% berada pada selang kelas panjang 181- 190 mm, sedangkan pada ikan betina diketahui umur ikan matang gonad pertama kali sebesar 47.57% berada pada selang kelas panjang 182-190 mm dan sekitar 50% berada pada selang kelas panjang 191-200 mm.

Umur matang gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus)yang berada di perairan Selat Sunda lebih cepat matang gonad dibandingkan dengan di India, sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Premalatha (1997) di sepanjang pantai barat daya Indiaikan Priacanthus hamrur yang matang gonad memilki ukuran panjang rata-rata 175 mm untuk jantan dan 190 mm untuk betina. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal antara lain perbedaan kondisi lingkungan serta spesies. Ikan swanggi (Priacanthus teyenus) berbeda dengan spesies Priacanthus hamrur, selain itu perbedaan lintang dapat mengakibatkan perbedaan umur matang gonad, serta adanya pengaruh dari kegiatan penangkapan yang berlebihan, sebab menurut Jennings et al. (2001) semakin tinggi intensitas penangkapan mengakibatkan ikan-ikan yang belum matang gonad akan matang gonad lebih awal daripada seharusnya.

Dokumen terkait