• Tidak ada hasil yang ditemukan

Frekuensi relatif (%) 0.08- 0.13 0.14- 0.19 0.2- 0.25 0.26- 0.31 0.32- 0.37 0.38- 0.43 0.44- 0.49 0.5- 0.55 0.56- 0.61 0.62- 0.67 0.68- 0.73 0.74- 0.79 0.8- 0.85 0.86- 0.91 Maret 2.82 5.81 23.35 18.68 9.34 19.65 5.37 10.48 3.26 1.15 0.00 0.09 0.00 0.00 April 1.78 2.56 26.25 18.13 5.34 31.92 5.78 7.56 0.33 0.33 0.00 0.00 0.00 0.00 Mei Juni 4.89 5.67 27.00 17.78 11.89 17.78 2.22 7.44 0.56 3.11 1.00 0.67 0.00 0.00 Juli 1.64 3.64 23.03 17.18 17.69 25.33 1.95 4.26 1.38 3.13 0.67 0.10 0.00 0.00 Agust 1.11 8.67 26.00 22.67 6.44 28.89 2.89 2.89 0.22 0.22 0.00 0.00 0.00 0.00 Sept 2.67 3.83 29.00 15.50 10.17 28.33 3.33 6.50 0.00 0.50 0.17 0.00 0.00 0.00 Okt 3.67 0.58 42.62 9.51 0.00 17.68 2.59 18.68 0.00 2.84 0.25 1.25 0.17 0.17

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan salah satu pelabuhan perikanan pantai di Indonesia yang cukup berkembang dan memiliki potensi perikanan yang besar. PPP Labuan terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. PPP Labuan memiliki potensi perikanan yang besar. Potensi tersebut ditunjukkan dengan hasil tangkapan rata-rata mencapai 500 ton/tahun atau 1.40 ton/hari di TPI Labuan 1 dan sebesar 1529 ton/tahun atau 4.20 ton/hari di TPI Labuan 2, dengan hasil tangkapan berupa ikan pelagis dan demersal (DKP 2009).

Salah satu jenis ikan demersal yang didaratkan di PPP Labuan, Banten adalah ikan swanggi (Priacanthus tayenus). Ikan swanggi merupakan ikan karang demersal dengan karakteristik khusus berwarna merah muda, memiliki mata besar, dan pada sirip perut terdapat bintik berwarna ungu kehitam-hitaman (FAO 1999). Menurut data statistik perikanan PPP Labuan, produksi tangkapan ikan swanggi dari awal tahun 2011 sampai saat ini menduduki posisi kelima dari total produksi tangkapan ikan demersal di PPP Labuan Banten, yaitu sebesar 4376.70 kg atau sekitar 4.90% (Wulandari 2012). Hal tersebut dikarenakan musim penangkapan yang terjadi setiap hari sepanjang tahun (Sukamto 2010) sehingga keberadaan ikan swanggi hampir selalu ada setiap harinya di PPP Labuan, Banten.

Berdasarkan IUCN (2001) in fishbase (2011), status ikan swanggi di perairan adalah belum terevaluasi. Ikan swanggi merupakan ikan ekonomis dan ekologis penting. Bernilai ekonomis karena banyak diperjualbelikan dipelelangan dengan harga jual rata-rata Rp 13.000,00 /kg. Ikan swanggi juga dikatakan bernilai ekologis karena merupakan salah satu ikan karang yang berperan dalam struktur trofik (Powell 2000). Berdasarkan CMFRI (2001) ikan Priacanthidae merupakan ikan predator pemakan zooplankton, dan dominasi makanannya berupa udang-udangan yang berasal dari kelas krustasea. Sehingga keberadaannya sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem di perairan.

Penelitian mengenai pola reproduksi ikan swanggi yang ditangkap di perairan Indonesia khususnya di Selat Sunda belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh

karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam pengelolaan agar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan kelestariannya dapat tetap dipertahankan di perairan.

1.2. Rumusan Masalah

Pelabuhan Perikanan Pantai Labuan, Banten merupakan salah satu pelabuhan perikanan yang potensial dengan sumberdaya ikan. Salah satunya adalah ikan swanggi (Priacanthus tayenus). Ikan swanggi adalah ikan karang demersal yang memiliki nilai ekonomis dan ekologis penting, serta merupakan salah satu ikan yang banyak didaratkan di PPP Labuan, Banten.

Ketersediaan informasi mengenai ikan swanggi masih terbatas, khususnya mengenai aspek reproduksi. Tanpa informasi tentang aspek reproduksi kegiatan penangkapan dapat dilakukan secara terus menerus. Misalnya penggunaan alat tangkap yang dapat menangkap berbagai jenis ukuran ikan, maupun musim penangkapan yang dapat dilakukan kapan saja. Sehingga dikhawatirkan dapat berdampak terhadap kelestariannya dimasa yang akan datang.

Aspek reproduksi yang dimaksud pada penelitian ini terbatas pada pola reproduksi yang mencakup penentuan ukuran pertama kali matang gonad, musim pemijahan, pola pemijahan, dan potensi reproduksi ikan swanggi yang dilakukan berdasarkan analisis data pendukung seperti faktor kondisi, nisbah kelamin, Tingkat Kematangan Gonad (TKG), Indeks Kematangan Gonad (IKG), dan diameter telur. 1.3. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) mengenai ukuran pertama kali matang gonad, musim pemijahan, pola pemijahan, dan potensi reproduksi.

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai pola reproduksi ikan swanggi sehingga dapat melengkapi data yang dibutuhkan dalam sistem pengelolaan seperti tahap perencanaan, organisasi, aksi, dan kontrol. Pengelolaan terhadap ikan swanggi dilakukan agar pemanfaatannya berkelanjutan dan keberadaan ikan swanggi tetap lestari diperairan.

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus

2.1.1. Klasifikasi dan tata nama

Menurut Richardson (1846) in Starnes (1988) taksonomi ikan swanggi

Priacanthus tayenus (Gambar 1) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Percoidei Famili : Priacanthidae Genus : Priacanthus

Spesies : Priacanthus tayenus

Nama FAO : Purple-spotted bigeye

Nama Lokal : Ikan Swanggi, Ikan Raja Gantang, Ikan Mata Goyang, Ikan Mata Besar

Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson 1846) Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) atau yang dikenal dengan nama bigeye bullseye merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang memiliki potensi besar dalam mendukung pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut Sivakami et al. (2001) ikan swanggi pada awalnya bukan merupakan ikan hasil tangkapan utama, namun

belakangan banyak didaratkan di pelabuhan perikanan sebagai salah satu hasil tangkapan yang bersifat komersial. CMFRI (1991) menyatakan bahwa kandungan gizi yang tinggi mengakibatkan permintaan akan ikan swanggi meningkat dan menjadikan ikan ini sebagai ikan komoditas ekspor.

2.1.2. Karakter biologi

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan ikan karang demersal dari famili Priacanthidae. Karakteristik ikan swanggi adalah mata besar dengan lapisan pemantul cahaya (Reflektif layer), memiliki sisik kasar (Powell 2000), dan bersifat diurnal (Gollani et al. 2011), badan agak tinggi, memanjang, dan tipis secara lateral, memiliki gigi kecil, dan panjang total maksimum mencapai 35 cm (FAO 1999).

Tulang saring insang pada lengkung insang pertama berjumlah 21-24. Duri sirip punggung terdiri dari 10 jari-jari keras dan 11-13 jari- jari lemah. Duri sirip ekor terdiri dari 3 jari-jari keras dan 12-14 jari- jari lemah. Jari sirip dada berjumlah 17-19 jari-jari lemah. Sisik-sisik menutupi bagian badan, kepala, dan dasar sirip ekor (FAO 1999).

Warna tubuh, kepala, dan iris mata adalah putih kemerah-merahan atau putih keperak-perakan, sirip berwarna merah muda, sedangkan ciri utama yang menjadi pembeda terhadap jenis Priacanthus lainnya adalah ikan swanggi (Priacanthus tayenus) memiliki sirip perut dengan bintik kecil ungu kehitam- hitaman dalam membran dengan 1 atau 2 titik besar yang berada di dekat perut (FAO 1999).

2.1.3. Distribusi

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan ikan predator epibenthic

(Starnes 1988 in Powell 2000) yang hidup di perairan pantai diantara bebatuan karang dan area terbuka pada kedalaman 20-200 m (FAO 1999). Ikan Priacanthidae tidak memiliki wilayah ruaya yang jauh misalnya Priacanthus saggitarius yang memiliki daerah ruaya hanya disekitar perairan Laut Merah (Golani et al. 2011). Demikian juga dengan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) yang terdapat di wilayah perairan Selat Sunda hanya memiliki ruaya di sekitar perairan tersebut saja. Ruaya ikan swanggi dapat berupa ruaya pemijahan ke daerah pesisir pantai, maupun ruaya pembesaran dan makanan di wilayah karang.

Distribusi ikan swanggi di dunia meliputi wilayah pesisir utara Samudera Hindia dari Teluk Persia bagian Timur serta wilayah Pasifik Barat dari Australia bagian Utara dan Pulau Solomon bagian utara sampai Provinsi Taiwan di China (FAO 1999).

2.2. Alat Tangkap

2.2.1. Jaring insang dasar (bottom gillnet)

Jaring insang dasar (bottom gillnet) yaitu alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring yang sama atau dapat dikatakan bersifat selektif. Ukuran per pieces yaitu panjang 50 m sebelum diikat dan 37.50 m setelah diikat, lebar 2.94 m sebelum diikat dan 1.94 m setelah diikat. Kapal bottom gillnet termasuk ke dalam kelompok kapal dengan metode pengoperasian static gear. Ada dua jenis kapal yang digunakan dalam pengoperasian bottom gillnet, yaitu motor tempel (12-25 PK), dan kedua adalah motor dalam (6,5-18 PK) (Subani & Barus 1989).

2.2.2. Cantrang

Cantrang dapat diklasifikasikan menurut cara pengoperasiannya, bentuk konstruksi, dan fungsinya. Cantrang mempunyai banyak kemiripan dengan pukat harimau. Menurut Subani & Barus (1989) cantrang, dogol, dan payang diklasifikasikan ke dalam alat tangkap “Danish Seine” berbentuk panjang dan digunakan untuk menangkap ikan-ikan demersal terutama udang-udangan. Daerah penangkapan (fishing ground) cantrang tidak jauh dari pantai. Berdasarkan Budiman (2006) alat tangkap cantrang bersifat non selektif karena memiliki kaki jaring dengan ukuran mata jaring yang berbeda-beda. Alat tangkap cantrang dioperasikan dengan kapal berukuran 8.50 – 11 m x 1.50 – 2.50 m x 1 – 1.50 m dengan kekuatan mesin 18 – 27 PK.

2.3. Aspek Biologi Reproduksi 2.3.1. Faktor kondisi

Faktor kondisi adalah suatu keadaan yang menyatakan kemontokan ikan (Lagler 1961 in Effendie 1979). Penentuan faktor kondisi dilakukan untuk mendeteksi perubahan yang terjadi secara mendadak di suatu perairan yang

mempengaruhi kondisi ikan. Apabila faktor kondisi kurang baik dapat diindikasikan bahwa populasi terlalu padat, atau sebaliknya jika kondisi baik hal tersebut memungkinkan terjadi pengurangan populasi sehingga menyebabkan meningkatnya ketersediaan makanan (Effendie 1979).

Faktor kondisi dapat mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain indeks relatif penting makanan (IP) dan indeks kematangan gonad (IKG). Berdasarkan Effendie (2002) peningkatan faktor kondisi dapat berhubungan dengan perubahan makanan ikan yang berasal dari ikan pemakan plankton menjadi ikan karnivora. Selain itu, khususnya pada ikan betina faktor kondisi yang tinggi dikarenakan ikan sedang mengisi gonadnya dengan cell sex dan mencapai puncak sebelum pemijahan selanjutnya energi yang diperoleh digunakan untuk pertumbuhan, maka IKG tinggi dapat mengindikasikan musim pemijahan (Harahap & Djamali 2005 in Triana 2011), namun pada saat makanan berkurang cadangan lemak digunakan oleh ikan sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga mengakibatkan penurunan faktor kondisi.

2.3.2. Nisbah kelamin

Nisbah kelamin didefinisikan sebagai perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi (Effendie 2002). Suatu populasi ideal memiliki proporsi kelamin 1:1 artinya proporsi jantan sebanding dengan proporsi betina dengan persentase 50% jantan dan 50% betina (Ball & Rao 1984 in Adisti 2010).

Nisbah kelamin bervariasi menurut jenis ikan di dalam kelompok umur dan ukuran, sehingga dapat mencerminkan hubungan antara jenis ikan tersebut dengan lingkungannya (Sulistiono et al. 2001a). Rahardjo (2006) menyatakan bahwa nisbah kelamin di daerah tropis seperti Indonesia bersifat variatif dan menyimpang dari 1:1. Kondisi ideal tersebut sering menyimpang kerena beberapa faktor, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Menurut Effendie (2002) faktor eksternal berupa ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan sedangkan faktor internal berupa tingkah laku ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhannya.

Perbedaan jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap berkaitan dengan pola tingkah laku ruaya ikan, baik untuk memijah maupun mencari makan, pada

waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina (Sulistiono et al. 2001b). Sebab menurut Nikolsky (1963) ikan betina lebih aktif mencari makanan untuk menutrisi tubuhnya agar perkembangan gonad dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan telur yang baik pula. Namun pada suatu kondisi, intensitas ruaya dapat berkurang jika terjadi heterogenitas lingkungan sehingga yang terjadi adalah optimalisasi habitat (Jennings et al. 2001). Kelestarian suatu populasi dapat dipertahankan jika rasio antara ikan jantan dengan betina adalah sama atau ikan betina lebih banyak jumlahnya di perairan (Purwanto et al. 1986 in Sulistiono et al. 2001b). Sebab menurut Saputra et al. (2009) keseimbangan perbandingan jumlah individu antara jantan dan betina akan mengakibatkan peluang pembuahan sel telur oleh spermatozoa sampai menjadi individu baru akan semakin besar.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) selama periode pengambilan contoh yang dilakukan dari bulan Januari sampai dengan Desember tahun 1996 sampai dengan 1999 diketahui bahwa dominasi

Priacanthus hamrur betina melimpah pada setiap bulan pengambilan contoh kecuali April, Juli, dan Desember, sedangkan berdasarkan Premalatha (1997) nisbah kelamin dari ikan Priacanthus hamrur di pantai barat daya India didominasi oleh ikan betina setiap bulannya, kecuali Juli.

2.3.3. Tingkat kematangan gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 2002). Tingkat Kematangan Gonad ini diperlukan untuk beberapa tujuan antara lain menentukan perbandingan antara ikan yang masak gonadnya dengan yang belum dari stok yang di perairan, ukuran ikan matang gonad, waktu pemijahan, lama saat pemijahan, jumlah pemijahan dalam satu tahun dan sebagainya (Effendie 1979). Misalnya, ikan Priacanthus hamrur dewasa yang diteliti umumnya sekitar 80% telah matang gonad selama periode pengamatan bulan Maret sampai dengan April (Premalatha 1997).

Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu akan bervariasi, yang tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba dan saat musim penghujan. Sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Pertambahan

gonad untuk ikan betina sekitar 5-10% dari bobot tubuh sedangkan ikan jantan sekitar 10-25% dari bobot tubuh (Effendie 2002).

Persentase komposisi tingkat kematangan gonad pada setiap saat dapat digunakan untuk menduga waktu pemijahan. Ikan yang mempunyai satu musim pemijahan yang pendek dalam satu tahun akan memiliki persentase tingkat kematangan gonad yang tinggi pada setiap akan mendekati musim pemijahan, sedangkan ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun pada setiap pengambilan contoh akan memiliki persentase komposisi tingkat kematangan gonad yang tidak sama (Effendie 2002). Tingkat kematangan gonad memiliki hubungan dengan garis tengah telur, maupun waktu. Menurut Effendie (1979) semakin meningkat kematangan gonad, maka garis tengah telur yang ada dalam ovarium semakin besar pula.

Menurut Keown & Brian (1984) perubahan kematangan gonad pada setiap spesies ikan berbeda-beda, hal tersebut sebanding dengan perubahan morfologi,

tingkah laku maupun fisiologi ikan tersebut. Oleh karena itu menurut Yustina & Arnentis (2002) ikan dengan panjang dan bobot yang sama belum tentu

mempunyai Tingkat Kematangan Gonad (TKG) yang sama.

Ruaya pemijahan (spawning migration) terjadi lebih dahulu daripada kematangan gonadnya namun umumnya perkembangan secara seksual terjadi selama fase migrasi tersebut. Sistem endrokin memiliki peranan utama dalam kontrol secara fisiologi dan didukung oleh perubahan yang terjadi pada lingkungan (Keown & Brian 1984). Semakin tinggi TKG maka panjang dan bobot tubuhpun semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina & Arnentis 2002). Berdasarkan Sivakami et al. (2001) in Sivakami et al. (2005) puncak rekruitmen Priacanthus hamrur terdapat pada bulan Mei dan Juni, sehingga pada bulan tersebut terdapat ikan-ikan baru di di daerah penangkapan yang sedang mengalami fase pematangan gonad.

2.3.4. Indeks kematangan gonad

Indeks kematangan gonad (IKG) yaitu nilai dalam % (persen) sebagai hasil perbandingan bobot gonad dengan bobot tubuh ikan. Ikan betina pada umumnya memiliki IKG yang lebih besar daripada ikan jantan. IKG dapat digunakan untuk menduga musim pemijahan (Lio & Chang 2011).

Sejalan dengan pertumbuhan gonad, maka gonad yang dihasilkan akan semakin bertambah besar dan berat hingga batas maksimum ketika terjadi pemijahan (Effendie 2002), semakin bertambah panjang dan bobot tubuh maka TKG semakin besar, IKG meningkat dan fekunditas semakin besar (Yustina & Arnentis 2002).

Indeks Kematangan Gonad (IKG) yang besarnya kurang dari 20% mengindikasikan bahwa ikan tersebut dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahun (Pulungan et al. 1987 in Yustina & Arnentis 2002), dan ikan yang hidup di perairan tropis dapat memijah sepanjang tahun dengan IKG lebih kecil saat ikan tersebut matang gonad (Pulungan et al. 1994 in Yustina & Arnentis 2002).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) di India terhadap ikan satu genus Priacantus tayenus yaitu Priacanthus hamrur diketahui bahwa Indeks Kematangan Gonad (IKG) bernilai maksimum terdapat pada bulan Juni 3.07% untuk jantan dan 4.01% untuk betina.

2.3.5. Ukuran pertama kali matang gonad

Ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu bagian penting dalam siklus reproduksi. Ikan dengan spesies sama dan tersebar pada lintang yang perbedaannya lebih dari lima derajat memiliki ukuran pertama kali matang gonad yang berbeda-beda (Effendie 2002). Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti pendugaan saat ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad dapat digunakan sebagai indikator ketersediaan stok reproduktif (Budimawan et al. 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertama kali matang gonad terdiri dari dua faktor yaitu yang bersifat eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu hubungan antara lamanya terang dan gelap (photoperiodicity), suhu, dan arus. Faktor internal yaitu perbedaan spesies, umur dan ukuran serta sifat-sifat fisiologis ikan tersebut seperti kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya (Novitriana et al. 2004). Menurut Sulistiono et al. (2001b) perbedaan umur pertama kali matang gonad antara jantan dengan betina dapat diakibatkan oleh parameter pertumbuhan yang berbeda sehingga dalam satu kelas umur dapat terjadi perbedaan umur matang gonad. Selain itu semakin tinggi intensitas penangkapan setiap bulannya mengakibatkan ikan-ikan

yang belum saatnya matang gonad akan mengalami matang gonad lebih awal (Jennings et al. 2001).

Berdasarkan Sivakami et al. (2001) pada spesies satu genus dari

Priacanthus tayenus yaitu Priacanthus hamrur yang diteliti disepanjang pantai India, diketahui bahwa umur ikan tersebut matang gonad pertama kali untuk ikan jantan sebanyak 53.50% berada pada selang kelas panjang 171-180 mm dan sebesar 58% berada pada selang kelas panjang 181-190 mm, sedangkan pada ikan betina diketahui umur ikan matang gonad pertama kali sebesar 47.57% berada pada selang kelas panjang 182-190 mm dan sekitar 50% berada pada selang kelas panjang 191- 200 mm. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Premalatha pada tahun 1994 sampai 1996 di sepanjang pantai barat daya India ikan Priacanthus hamrur yang matang gonad memilki ukuran panjang rata-rata 175 mm untuk jantan dan 190 mm untuk betina.

2.3.6. Waktu pemijahan

Perkembangan diameter telur semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kematangan gonad saat mendekati pemijahan (Suhono 2005). Waktu pemijahan ikan yang pendek ditunjukkan dari ovarium ikan yang mengandung telur ikan masak berukuran sama dan sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus diketahui dari ukuran telur ikan yang berbeda di dalam ovarium (Hoar 1957

in Suhono 2005). Menurut Sivakami et al. (2001) ikan Priacanthus hamrur yang diteliti disepanjang pantai India yaitu di wilayah Cochin mengalami musim pemijahan pada bulan April sampai Juli, dengan dominasi ikan yang ditemukan adalah ikan betina, sedangkan ikan Priacanthus macracanthus memiliki musim pemijahan pada bulan November sampai Februari.

2.3.7. Fekunditas

Fekunditas adalah jumlah telur yang potensial dihasilkan didalam ovarium ikan pada suatu siklus reproduksi. Jumlah telur yang diproduksi dapat bervariasi (Hartman & Northcote 2004). Analisis fekunditas diperlukan untuk mengestimasi kelimpahan telur tahunan dan deskripsi life history (Jennnings et al. 2001).

Variasi fekunditas dipengaruhi beberapa faktor antara lain kondisi lingkungan (Brojo et al. 2001), seperti makanan dan ukuran ikan (Yustina & Arnentis 2002).

Ikan yang hidup pada habitat dengan ancaman predator yang tinggi akan memiliki fekunditas tinggi sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan regenerasi keturunannya, sedangkan ikan yang hidup di habitat yang sedikit predator maka

telur yang dikeluarkan akan sedikit atau fekunditas rendah (Sjafei et al. 1993) in Novitriana et al. (2004).

Warjono (1990) mengemukakan bahwa variasi fekunditas disebabkan oleh adanya kelompok ikan yang baru memijah dan sudah memijah, sehingga produksi telur cenderung lebih tinggi daripada ikan yang baru memijah. Selain itu, variasi fekunditas tersebut juga disebabkan adanya penyebaran produksi telur yang tidak merata. Sedangkan Nikolsky (1969) in Effendie (2002) menyatakan bahwa faktor- faktor yang dapat mempengaruhi fekunditas yaitu :

(1) Kelompok umur atau ukuran yang menyebabkan fekunditas berfluktuasi, fekunditas relatif maksimum terjadi pada golongan ikan muda sedangkan ikan tua kadang-kadang tidak memijah sepanjang tahun.

(2) Perbedaan makanan dan respon terhadap perbaikan makanan.

(3) Pertumbuhan individu yang mengakibatkan fekunditas meningkat karena kematangan gonad yang lebih awal dari individu yang tumbuh lebih cepat. (4) Kandungan makanan dan predator.

(5) Kondisi lingkungan, yaitu ikan yang bersifat migran memiliki fekunditas yang lebih tinggi dibandingkan ikan yang tidak beruaya.

Fekunditas dibagi menjadi beberapa definisi antara lain fekunditas total dan fekunditas relatif. Fekunditas total adalah jumlah telur dari generasi tahun tersebut yang akan dikeluarkan tahun itu pula, sedangkan fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan bobot atau panjang (Effendie 2002).

Jika dilakukan pendugaan hubungan antara fekunditas dengan panjang maupun bobot dapat dihasilkan dua kemungkinan yaitu koefisien korelasi positif yang kuat maupun yang rendah. Berdasarkan Dennison & Bulkley (1972) in

Effendie (2002) rendahnya korelasi disebabkan oleh batas kisar yang ekstrim dari fekunditas pada ukuran yang sama serta menurut penelitian yang dilakukan oleh Batts (1972) in Effendie (2002) terhadap spesies Katsuwonus pelamis r (koefisien korelasi) yang rendah menunjukkan fekunditas yang bervariasi pada ukuran panjang yang sama. Nilai koefisien kolerasi yang rendah diduga karena model-model yang

digunakan tidak sesuai untuk menjelaskan hubungan fekunditas dengan panjang (Senta & Tan 1975 in Brojo & Sari 2002); (Rahardjo 2006). Oleh karena itu menurut Brojo et al. (2001) jika nilai koefisien keeratan rendah maka dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan erat antara fekunditas dengan panjang maupun dengan bobot.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) di sepanjang pantai India dari tahun 1996 sampai 1999 fekunditas Priacanthidae berkisar pada 155.800 – 722.313 butir. Serta berdasarkan Premalatha (1997) di pantai barat daya India fekunditas ikan Priacanthus dari spesies Priacanthus macracanthus rata-rata adalah 109.411 butir.

2.3.8. Pola pemijahan

Pola pemijahan untuk setiap spesies ikan berbeda-beda. Pemijahan yang berlangsung dalam waktu singkat disebut pemijahan total (total spawner) sedangkan pemijahan yang berlangsung dalam waktu yang panjang disebut dengan pemijahan sebagian (partial spawner) (Effendie 2002).

Menurut Phrabu (1959) in Effendie (2002) pemijahan pada spesies yang periodik dibagi menjadi empat macam pola pemijahan. Tipe A yaitu pemijahan hanya berlangsung satu kali dalam satu tahun dan dalam waktu yang pendek. Kelompok telur yang matang dalam ovari dapat dibedakan dalam kelompok telur stok. Tipe B dicirikan dengan pemijahan hanya berlangsung selama satu kali dalam setahun dalam waktu lama, lebih lama dari tipe A. Tipe C yaitu pemijahan berlangsung selama dua kali setahun, dan Tipe D yaitu pemijahan sepanjang tahun namun terputus-putus. Sivakami et al. (2001) memperlihatkan bahwa ikan Priacanthidae yaitu Priacanthus hamrur merupakan ikan yang memiliki pola pemijahan terputus-putus. De Jong (1940) in Effendie (2002) mengemukakan bahwa untuk pemijahan yang bersifat sebagian sebelum terjadi pemijahan didapatkan dua kelompok telur yang berpisah. Sesudah berpijah didapatkan selain kelompok stok telur yang umum ada pula sekelompok telur yang berukuran lebih besar yang sedang mengalami tahap pematangan dan akan dikeluarkan dalam pemijahan berikutnya.

Berdasarkan Sivakami et al. (2001) ikan Priacanthus hamrur yang diteliti disepanjang pantai India yaitu di wilayah Cochin diketahui bahwa terdapat dua

Dokumen terkait