• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

5.2.1 Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dari hasil skrining dengan metode Uji Double Disk Synergy

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Enterobacteriaceae

penghasil ESBL dengan metode uji Double Disk Synergy pada sampel urin pasien suspek infeksi saluran kemih di RSUP. H. Adam Malik Medan dan juga pola kepekaan Enterobacteriaceae penghasil ESBL terhadap antibiotika.

Dari penelitian ini, E.coli merupakan bakteri penyebab terbanyak infeksi saluran kemih yang kemudian diikuti oleh K. pneumoniae dan Enterobacter sp. pada tempat kedua dan ketiga. Dari grafik 5.1 dapat dilihat dari 45 sampel yang terkumpul, sekitar 62,22% merupakan E.coli, 26,67% merupakan K. pneumoniae dan 11,1% merupakan

Enterobacter sp. sebagai bakteri penyebab infeksi saluran kemih. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di India yang menunjukkan dari 547 sampel, 311 sampel (56,8%) merupakan E. coli dan 79 sampel (14,4%) merupakan K. pneumoniae sebagai bakteri penyebab infeksi saluran kemih (Niranjan dan Malini, 2014). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo menunjukkan 90 sampel, 54 sampel (54,5%) diantaranya E. coli dan 39 sampel (39,4%) adalah K. pneumoniae (Samirah et al, 2006).

Dalam beberapa beberapa tahun terakhir, prevalensi Enterobacteriaceae

penghasil ESBL menunjukkan angka yang cukup tinggi. Hal ini diduga terjadi karena penggunaan antibiotik yang terlalu sering, irasional, dalam jangka waktu lama serta penggunaan antibiotik baru yang berlebihan (Setiabudy,2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tigecyline Evaluation and Surveillance Trial (TEST), prevalensi dri E.coli penghasil ESBL di Amerika Latin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, prevalensi E.coli penghasil ESBL adalah 14% yang kemudian meningkat pada tahun 2010 menjadi 24% (Blanco et al, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends

(SMART) pada tahun 2009-2010 menunjukkan prevalensi E.coli dan K. pneumoniae

tepatnya India, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2008-2009, prevalensi bakteri gram negatif penghasil ESBL mencapai 69% (Umadevi et al, 2009). Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai prevalensi ESBL sudah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan di RS. Kariadi Semarang selama 2 tahun, menunjukkan prevalensi bakteri penghasil ESBL mencapai 50,6% (Winarto,2009). Penelitian serupa juga dilakukan di RS. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011, dari 112 sampel yang dikumpulkan, 58,42% diantaranya positif ESBL (Saharman dan Lestari, 2011).

Di Medan sendiri, penelitian mengenai prevalensi bakteri penghasil ESBL telah dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Juni 2011-Juli 2012. Hasil penelitian tersebut menunjukkan dari 91 sampel, 53 sampel (58,2%) diantaranya dinyatakan bakteri penghasil ESBL (Mayasari, 2012). Pada penelitian ini, dari 45 sampel, didapat 15 sampel diantaranya menunjukkan hasil positif ESBL, sehingga prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL adalah 33,3%. Perbedaan prevalensi bakteri penghasil ESBL ini mungkin disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel yang digunakan.

Berdasarkan tabel 5.1, dari 15 sampel yang menunjukkan hasil positif ESBL, 7 diantaranya merupakan E.coli, 6 sampel merupakan K. pneumoniae dan 2 sampel adalah Enterobacter sp. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di India yang menunjukkan dari 149 Enterobacteriaceae penghasil ESBL, 43,6% merupakan E. coli, 33,5% merupakan K. pneumoniae, dan 11,6% merupakan

Enterobacter sp.(Rudresh dan Nagarathnamma, 2011).

5.2.2 Pola kepekaan Enterobacteriaceae penghasil ESBL terhadap antibiotika

Setiap sampel yang merupakan bakteri penghasil ESBL akan dilanjutkan dengan uji kepekaan antibiotika. Pada tabel 5.2 dapat dilihat E.coli penghasil ESBL telah resisten terhadap antibiotika golongan cephalosporin generasi II yaitu cefuroxime dengan persentase 85,7%; cephalosporin generasi III yaitu ceftazidime dengan persentase 85,7% dan ceftriaxone dan cefotaxime dengen persentase mencapai 100%.

Hal ini diperparah dengan E. coli penghasil ESBL juga resisten terhadap cephalosporin generasi IV yaitu cefepim dengan persentase mencapai 100%. Selain itu E.coli penghasil ESBL juga resisten dengan antibiotika dari golongan penicillin yaitu ampicillin dan piperacillin dengan persentase 85,7%; golongan aminoglikosida yaitu kanamicin dan tetracyclin dengan persentase 57,1%; antibiotika golongan fluoroquinolon yaitu ciprofloxacin dengan persentase 100%, norfloxacin dan ofloxacin dengan persentase 85,7%; dan antibiotika dari golongan lain seperti chloramphenicol dan cotrimoxazole dengan persentase masing-masing sebesar 42,9% dan 85,7%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pakistan pada tahun 2009-2010, yang menunjukkan E.coli penghasil ESBL memilki tingkat resistensi yang tinggi terhadap antibiotik dari golongan cephalosporin yaitu cefuroxime sebesar 93,3%, ceftazidime sebesar 99,4%, cefotaxime sebesar 100% (Ejaz et al, 2011). Penelitian serupa juga dilakukan di RS. Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2003-2004 yang menunjukkan resistensi E. coli penghasil ESBL terhadap tetracylin sebesar 77%, chloramphenicol sebesar 74,4% cotrimoxazole sebesar 84,2% (Winarto, 2009). Penelitian serupa yang dilakukan di Surabaya menunjukkan persentase resistense E. coli penghasil ESBL adalah 61,6% untuk cotrimoxazole, 84,9% untuk tetracylin, dan 76,7% untuk ciprofloxacin (Severin et al, 2010). Penelitian yang dilakukan di Iran juga menunjukkan E. coli penghasil ESBL resisten terhadap ampicillin sebesar 99,99% dan terhadap ofloxacin sebesar 70% (Behroozi et al, 2010). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di India Selatan menunjukkan persentase resistensi E.coli penghasil ESBL terhadap norfloxacin sebesar 90% (Bhaskaran et al, 2011). Tingginya resistensi terhadap antibiotika golongan fluoroquinolon juga dipaparkan pada penelitian Singh et al (2011) yang menunjukkan persentase resistensi E.coli penghasil ESBL terhadap ciprofloxacin yaitu sebesar 92,4% dan terhadap norfloxacin sebesar 96,2%.

Dari hasil penelitian ini, E. coli penghasil ESBL sensitif terhadap beberapa golongan antibiotik seperti tazobactam yang merupakan inhibitor beta laktamase

dengan persentase sensitivitas 100%, amikacin dengan persentase sensitivitas 85,7%, dan meropenem dengan persentase sensitivitas 71,5%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pakistan yang menunjukkan E. coli penghasil ESBL memiliki persentase sensitivitas yang cukup tinggi terhadap meropenem sebesar 98,7% dan tazobactam sebesar 89,7% (Ejaz et al, 2011). Penelitian multisenter di Surabaya, Semarang dan Malang juga menunjukkan hal yang sama yaitu E.coli

penghasil ESBL memilki persentase sensitivitas yang cukup baik terhadap meropenem sebesar 95,3% dan amikacin sebesar 77,1% (Kuntaman et al, 2011).

Pada tabel 5.3 dapat dilihat K. pneumoniae penghasil ESBL resisten terhadap terhadap antibiotika golongan cephalosporin generasi II yaitu cefuroxime dengan persentase mencapai 100%; cephalosporin generasi III yaitu ceftazidime dengan persentase 83,3%, ceftriaxone dan cefotaxime dengan persentase 100%; serta cephalosporin generasi IV yaitu cefepime dengan persentase 100%. Selain itu, K. pneumoniae penghasil ESBL juga resisten terhadap ampicillin,piperacillin, ciprofloxacin, norfloxacin dan oxfloxacin dengan persentase 83,3%; kanamicin dengan persentase 50%; serta chloramphenicol dan cotrimoxazole dengan persentase 66,7%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasan et al (2011) yang menunjukkan K. pneumoniae penghasil ESBL memilki resistensi yang tinggi terhadap cefuroxime sebesar 93,3% ceftazidime sebesar 99,4%, cefotaxime sebesar 100%. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Winarto (2009) juga menunjukkan K. pneumoniae penghasil ESBL resisten terhadap chloramphenicol sebesar 83,4%, dan cotrimoxazole sebesar 75,7%. Penelitian yang dilakukan oleh Singh (2010) juga menunjukkan persentase resistensi yang cukup tinggi dari K. pneumoniae penghasil ESBL terhadap ciprofloxacin yaitu sebesar 57,6% dan terhadap norfloxacin sebesar 73%. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Behroozi et al (2010) yang menunjukkan persentase resistensi K.pneumoniae penghasil ESBL terhadap oflaxacin yang tidak tinggi yaitu 27%. Peningkatan resistensi bakteri penghasil ESBL terhadap ciprofloxacin telah

(Mehgran et al, 2010). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya transfer plasmid pembawa ESBL yang juga membawa sifat resistensi terhadap antibiotika lain sehingga menyebabkan isolat bakteri menjadi multiresisten, terutama terhadap norfloxacin dan ciprofloxacin (Creighton, 2014).

Dari tabel 5.3 juga dapat dilihat bahwa K. pneumoniae penghasil ESBL sensitif terhadap meropenem sebesar 100%, amikacin sebesar sebesar 83,3%, tetracyclin 66,7% dan tazobactam 50%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuntaman et al (2011) yang menunjukkan K. pneumoniae penghasil ESBL sensitif terhadap meropenem sebesar 96,5%, amikacin sebesar 86,6%. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Hasan et al (2011) juga menunjukkan K. pneumoniae penghasil ESBL memiliki persentase sensitivitas yang cukup tinggi terhadap meropenem sebesar 96,4% dan tazobactam sebesar 82,4%. Namun hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Behroozi et al (2010) yang menunjukkan K. pneumoniae penghasil ESBL memiliki persentase resistensi yang cukup tinggi terhadap amikacin yaitu sebesar 78% dan terhadap tetracyclin sebesar 50%. Perbedaan hasil ini juga ditemui pada penelitian yang dilakukan oleh Hasan et al (2011) yang memperlihatkan persentase resistensi K. pneumoniae penghasil ESBL terhadap sebsar 53,1%. Penelitian yang dilakukan oleh Winarto (2009) juga menunjukkan persentase resistensi yang tinggi K. pneumoniae

penghasil ESBL terhadap tetarcyclin yaitu mencapai 100%. Beragamnya persentasi resistensi pada antibiotik golongan aminoglikosida ini dapat disebabkan oleh adanya resistensi terhadap aminoglikosida yang terjadi akibat kontransfer melalui plasmid yang dimediasi oleh enzim ESBL (Rupp dan Fey, 2003). Oleh karena itu penggunaan aminoglikosida dianggap kurang tepat untuk dijadikan antibiotik sebagai terapi pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL(Rupp dan Fey, 2003).

Pada tabel 5.4 dapat dilihat Enterobacter sp. penghasil ESBL resisten terhadap antibiotik golongan cephalosporin generasi II yaitu cefuroxime dengan persentase 100%; cephalosporin generasi III yaitu ceftazidime, ceftriaxone, cefotaxime dengan persentase 100%; serta cephalosporin generasi IV yaitu cefepime dengan persentase

100%. Selain itu, Enterobacter sp. penghasil ESBL juga resisten terhadap ampicillin, piperacillin, cotrimoxazole dengan persentase 100% serta kanamicin dan chloramphenicol dengan persentase 50%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian multisenter di Semarang, Malang dan Surabaya yang menunjukkan

Enterobacter sp. penghasil ESBL memilki persentase resistensi yang tinggi terhadap cefotaxime sebesar 95,2%, cotrimoxazole dan chloramphenicol dengan persentase 100% (Winarto, 2009). Perbedaan persentase resistensi cotrimoxazole pada penelitian yang dilakukan Winarto dengan hasil penelitian pada tabel 5.4 dapat dikarenakan jumlah sampel Enterobacter sp. pada penelitian Winarto hanya satu. Hal ini menyebabkan jika satu sampel saja resisten terhadap cotrimoxazole, maka persentase resistensi akan langsung menjadi 100% (Winarto, 2009).

Selain itu, pada tabel 5.4 dapat dilihat Enterobacter sp. penghasil ESBL sensitif terhadap tazobactam, amikacin, tetracyclin , ciprofloxacin, norfloxacin, ofloxacin dan meropenem dengan persentase sebesar 50%. Penelitian yang dilakukan oleh Winarto (2009) menunjukkan Enterobacter sp. penghasil ESBL memiliki persentase sensitivitas terhadap amikacin, tetracyclin dan meropenem sebesar 100%. Perbedaan hasil ini juga dapat disebakan oleh perbedaan jumlah sampel dimana pada penelitian ini jumlah sampel adalah 2 sementara pada penelitian Winarto (2009) jumlah sampel

Enterobacter sp. hanya 1. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Kuntaman et al (2011) yang menunjukkan persentase sensitivitas Enterobacter sp. penghasil ESBL terhadap ciprofloxacin sebesar 42,9%.

Dokumen terkait