• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotik

Gambar 2.1. Struktur antigenik pada Enterobacteriaceae (Brooks et al, 2008)

2.2Resistensi bakteri terhadap antibiotik

Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotik terjadi melalui 3 mekanisme (Setiabudy, 2009):

Pada bakteri gram negatif, molekul antibiotik yang kecil dan polar dapat menembus dinding luar dan masuk ke dalam sel melalui lubang-lubang kecil yang disebut porin. Bila porin menghilang atau mengalami mutasi maka masuknya antibiotik ini akan terganggu. Mekanisme lain adalah bakteri mengurangi mekanisme transport aktif yang memasukkan antibiotik ke dalam bakteri (misalnya gentamisin). Selain itu ada juga mekanisme berupa bakteri mengaktifkan pompa keluaran (efflux) untuk membuang antibiotik yang ada dalam sel (misalnya tetrasiklin).

b. Inaktivasi obat

Mekanisme ini sering mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap golongan aminoglikosida dan beta-laktam karena bakteri mampu membuat enzim yang dapat merusak kedua golongan antibiotik tersebut. c. Bakteri mengubah tempat ikatan (binding site) antibiotik

Mekanisme ini terlihat pada S. aureus yang resisten terhadap metisilin (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus/MRSA). Bakteri ini mengubah penicillin binding protein sehingga afinitasnya menurun terhadap metisilin dan antibiotik beta laktam lainnya.

Penyebaran resistensi pada bakteri dapat terjadi secara vertikal (diturunkan ke generasi berikutnya) tetapi yang lebih yang sering adalah secara horizontal atau sel donor. Dilihat dari segi bagaimana resistensi dipindahkan maka dapat dibedakan dalam 4 cara, yaitu (Setiabudy, 2009):

a. Mutasi

Proses ini terjadi secara spontan,acak dan tidak tergantung dari ada atau tidaknya paparan antibiotik. Mutasi terjadi akibat perubahan pada gen mikroba mengubah binding site antibiotik, protein transport, protein yang mengaktifkan obat, dan lain-lain.

b. Transduksi

Adalah kejadian dimana suatu bakteri menjadi resisten karena mendapat DNA dari bakteriofag (virus yang menyerang bakteri) yang membawa DNA dari bakeri lain yang memilki gen resisten terhadap antibiotik tertentu. Bakteri yang sering mentransfer resistensi dengan cara ini adalah S. aureus.

c. Transformasi

Transfer resistensi terjadi karena antibiotik mengambil DNA bebas yang membawa sifat resisten dari sekitarnya. Transformasi sering menjadi transfer resistensi terhadap penisilin pada Pneumococcus dan

Neisseria. d. Konjugasi

Resistensi terjadi secara langsung antara 2 bakteri dengan suatu “jembatan” yang disebut pilus seks. Konjugasi adalah mekanisme transfer resistensi yang dapat terjadi pada dua bakteri dengan spesies yang berbeda. Transfer resisteni dengan cara konjugasi lazim terjadi antara bakteri gram negatif. Sifat resisteni dibawa oleh plasmid.

Faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi bakteri terhadap antibiotik di klinik adalah (Setiabudy, 2009): penggunaan antibiotik yang sering, penggunaan antibiotik yang irasional, penggunaan antibiotik baru yang berlebihan, dan penggunaan antibiotik untuk jangka waktu lama.

2.3 Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL)

ESBL (Extended Spectrum Beta-Lactamase) merupakan enzim yang dapat menghidrolisis penicillin, cephalosporin generasi pertama, kedua, ketiga dan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem) (Pajariu, 2010). ESBL adalah hasil mutasi dari enzim beta-laktamase TEM-1, TEM-2, dan SHV-1 yang biasa ditemukan pada plasmid

Enterobacteriaceae (Behrooozi, 2010). Isolasi dari ESBL ini pertama kali dilakukan pada tahun 1983 dari kuman K. ozaenae di Jerman (Kuntaman

et al, 2011).Bakteri yang paling banyak memproduksi ESBL adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae, terutama Escherichia coli dan

Klebsiella pneumonia (Winarto, 2009).

2.3.1Karakteristik Biologi ESBL

Gen beta-laktamase (bla) biasanya ditemukan pada kromosom meskipun dapat juga ditemukan di plasmid. Gen pengkode ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke kuman lain sehingga terjadi penyebaran resistensi (Winarto, 2009). Hal ini membedakan ESBL dengan AmpC tipe beta-laktamase yang biasa dikode di dalam kromosom. Selain itu, berbeda dengan ESBL, Amp C tipe beta-laktamase tidak dapat diinhibisi oleh asam klavulanat ataupun betalaktamse inhibitor (Tham, 2012).

Kebanyakan ESBL terdiri dari serin pada sisi aktifnya dan merupakan enzim kelas A menurut klasifikasi molekular oleh Ambler. Enzim kelas A adalah enzim yang memiliki serin pada sisi aktifnya, berat molekul 29.000 Dalton dan memiliki kecenderungan dapat menghidrolisis penicillin (Bradford, 2001). Enzim beta-laktamase yang termasuk kelas A adalah TEM-1, SHV-1 dan penisilinase yang ditemukan pada

Staphylococcus aureus (Bradford, 2001). Sampai saat ini klasifikasi molekular tetap dilakukan, meskipun

untuk membedakan setiap enzim yang termasuk klasifikasi grup A belum terlalu jelas. Oleh karena itu, Richmond dan Skyes menerapkan sistem klasifikasi yang baru berdasarkan profil substrat dan lokasi gen yang mengkode beta-laktamase. Sekarang ini, klasifkasi yang lazim dipakai adalah klasifikasi oleh Bush, Jacoby dan Medeiros dengan menggunakan karakteristik biokimia dari enzim dan struktur molekular serta nucleotide sequence dari gen yang mengkode beta-laktamase. Dengan menggunakan klasifikasi ini, ESBL adalah enzim beta-laktamase yang dapat menghidrolisis oxymino-cephalosporin serta dapat diinhibisi oleh asam

klavulanat sehingga secara fungsional dimasukkan kedalam grup 2be (Paterson dan Bonomo, 2005).

2.3.2Tipe ESBL

Kebanyakan ESBL berasal dari turunan enzim TEM dan SHV. Sekarang ditemukan lebih dari 90 enzim beta laktamase tipe TEM dan 36 enzim beta-laktamase tipe SHV.

a. ESBL tipe TEM

ESBL tipe TEM terdiri dari TEM-1 dan TEM-2. TEM-1 pertama kali ditemukan pada tahun 1966 dari E.coli yang diisolasi dari seorang pasien bernama Temoneira di Yunani (hal ini menyebabkan enzim ini disebut sebagai TEM) (Bonomo dan Paterson, 2005). TEM-1 beta-laktamase adalah enzim yang bertanggungjawab atas resistensi bakteri terhadapat ampicillin, penicillin dan cephalosporin generasi pertama dan dapat diinhibisi oleh asam klavulanat. ESBL menyebabkan sekitar 90% resistensi E.coli terhadap ampicillin dan juga resistensi H. influenza dan

N. gonorrhoeae terhadap penicillin. Mutasi spesifik yang terjadi pada

blatem-1 yang dimediasi melalui proses seleksi antibiotik menyebabkan kemampuan enzim untuk menghidrolisis cephalosporin berspektrum luas dan azteronam meningkat (Rupp dan Fey, 2003). ESBL tipe TEM paling banyak ditemukan pada E.coli dan K. pneumoniae (Bradford, 2001). b. ESBL tipe SHV

ESBL tipe SHV lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan tipe ESBL lainnya (Paterson dan Bonomo, 2005). SHV berasal dari kata sulfhidril variabel. SHV tipe-1 beta-laktamase yang ditemukan pertama kali pada Klebsiella pneumoniae merupakan enzim yang dikode pada plasmid yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap penicillin dan cephalosporin generasi pertama (Rupp dan Fey, 2003). Seperti pada TEM-1, mutasi yang terjadi blashv-1 menyebabkan kemampuan hidrolisis SHV-1 meningkat sehingga dapat menghidrolisis cephalosporin berspektrum luas dan juga monobactam. ESBL tipe SHV paling banyak

ditemukan pada K. pneumoniae meskipun juga ditemukan pada

Citrobacter diversus, E.coli dan P. aeruginosa. Sekarang ini telah ditemukan 36 ESBL tipe SHV (Rupp dan Fey, 2003).

c. ESBL tipe lain

Pada beberapa tahun terakhir, ESBL tipe lain ditemukan pada isolasi E. coli. Enzim baru ini dinamakan CTX-M karena kemampuannya dalam menghidrolisis cefotaxime. CTX-M banyak ditemukan pada

Salmonella enterica dan juga E.coli, meskipun dapat juga ditemukan pada spesies lain dari famili Enterobacteriaceae (Bradford, 2001).

2.3.3Epidemiologi ESBL

Secara epidemiologi, ESBL didapatkan di beberapa negara dengan prevalensi berbeda-beda tergantung dari pola pemakaian antibitiotik. a. Eropa

ESBL pertama kali ditemukan di benua Eropa tepatnya di Jerman pada tahun 1983 (Rupp dan Fey, 2013). Survei yang dilakukan di Perancis menunjukkan terdapat 40% K. pneumoniae yang mengalami resistensi terhadap ceftazidim. Hal yang berbeda ditemukan di Belanda dengan prevalensi ESBL positif pada E.coli dan K. pneumoniae <1%. Perbedaan prevalensi di benua Eropa ini belum diketahui penyebabnya (Rupp dan Fey, 2003).

b. Amerika

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pada tahun 2013, setiap tahunnya terjadi 26.000 infeksi yang disebabkan oleh Enterobacteriaceae penghasil ESBL dan sekitar 1.700 diantaranya meninggal dunia.

c. Asia

Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends (SMART) pada tahun 2007, prevalensi E.coli dan Klebsiella spp. penghasil ESBL yang berasal dari

infeksi intra-abdominal secara berturut turut adalah 42, 27 % dan 35,8% (Kang dan Song, 2013).

Di Indonesia sendiri, beberapa penelitian urnuk mengetahui prevalensi ESBL telah dilakukan meskipun belum dilakukan secara terpusat. Penelitian yang dilakukan di RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari-Desember 2011, menunjukkan prevalensi ESBL mencapai 58, 42% pada pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit (Saharman dan Lestari, 2011). Penelitian lain yang dilakukan pada Januari 2010 sampai April 2010 di 3 rumah sakit besar di Indonesia yaitu RS. Dr. Sutomo, Surabaya;RS. Dr. Kariadi, Semarang; dan RS. Dr. Saiful Anwar, Malang didapatkan 300 sampel yang dinyatakan positif ESBL (Kuntaman et al, 2011). Selain itu, pada tahun 2009 penelitian yang sama juga dilakukan kembali di RS. Kariadi Semarang selama dua tahun, dimana dari 901 sampel yang ditumbuhi oleh bakteri gram negatif, 50,6% nya dinyatakan positif ESBL (Winarto, 2009). Tidak hanya di pulau Jawa, penelitian serupa telah dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan, didapatkan dari 91 isolat E.coli, 53 diantaranya dinyatakan positif ESBL.

Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabakan terjadinya kolonisasi ESBL pada manusia adalah (Rupp dan Fey, 2003):

a. Tingkat keparahan penyakit

b. Lamanya tinggal di rumah sakit dan di intensive care unit (ICU) c. Prosedur invasif

d. Penggunaan akses intravascular seperti kateter arterial dan juga kateter sentral

e. Pemakaian nasogastric tube, mechanical ventilator, kateter urin f. Usia

g. Penggunaan antibiotik seperti cephalosporin spektrum luas, aztreonam, fluoroquinolon, cotrimoxazole (trimethoprim/ sulfamethoxazole), aminoglycosida, dan metronidazole

2.3.4Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik golongan beta-laktam Mekanisme resistensi bakteri penghasil ESBL terhadap antibiotika terjadi karena adanya mutasi titik/ point mutation pada gen yang dikode pada plasmid bakteri (Ejaz et al, 2011). Mutasi ini menyebabkan peningkatan aktivitas enzimatik beta-laktamase sehingga dapat menghidrolisis cephalosporin dan aztreonam (Pajariu, 2010). Terdapat empat mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi bakteri terhdapat antibiotik beta-laktam (Fauziyah, 2010):

a. Inaktivasi antibiotik beta laktam melalui enzim beta-laktamase

b. Produksi penicillin binding protein yang baru disertai dengan penurunan afinitas terhadap antibiotik

c. Menurunkan permeabilitas antibiotik pada dinding sel bakteri dengan mengubah channel porin.

d. Mengkatifkan pompa efflux sehingga dapat membuang antibiotik dari sel bakteri

2.3.5Deteksi ESBL

Metode yang digunakan untuk skrining ESBL dikeluarkan oleh NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards) yang sekarang berganti nama menjadi CLSI (Clinical Laboratory Standard Institute). Berikut adalah 2 jenis uji yang dapat digunakan untuk skrining ESBL:

a. Uji Double Disk Synergy

Metode ini pertama kali ditemukan oleh Jarlier et.al pada tahun 1988 dengan menggunakan agar Mueller Hinton (Rupp dan Fey, 2003). Skrining dengan metode uji Double Disk Synergy memiliki tingkat kesulitan yang tidak tinggi dan menggunakan alat dan bahan yang cukup sederhana (Rupp dan Fey, 2003). Uji double disk synergy dilakukan dengan menggunakan cakram augmentin (20 µg amoxicillin dan 10 µg asam klavulanat) dan cakram cefotaxim (30 µg), ceftazidime (30 µg) serta cefpodoxime (30 µg) yang diletakkan di sekitar cakram augmentin sekitar

16-20 mm. Seperti yang diketahui, ESBL adalah enzim yang mampu menghidrolisis antibiotik golongan pencillin, cephalosporin golongan I,II,III serta aztreonam. Dengan pemberian asam klavulanat sebagai inhibitor beta laktamase maka enzim beta laktamase dapat dihambat. Oleh karena itu, interpretasi hasil yang positif ESBL dari metode uji Double Disk Synergy adalah dengan adanya peningkatan zona hambat dari cephalosporin ke arah cakram asam klavulanat. Dikarenakan hasil positif dari uji Double Disk Synergy ini tidak memakai satuan angka yang pasti sebagai batasan hasil positif dan negatif, tingkat subjektivitas dalam menginterpretasikan hasil merupakan kelemahan dalam metode in (Rupp dan Fey, 2003).

Meskipun memiliki kelemahan, metode double disk synergy memilki tingkat sensitivitas yang cukup baik yaitu berkisar 79%-96% (Giriyapur et al, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Giriyapur (2011) dari 313 sampel Enterobacteriaceae, 176 sampel (56,23%) merupakan bakteri penghasil ESBL yang diskrining dengan metode double disk synergy, sementara 200 sampel (63,89%) dinyatakan bakteri penghasil ESBL dengan metode uji phenotypic confirmatory. Hal ini menunjukkan bahwa metode double disk synergy dapat diandalkan untuk skrining bakteri penghasil ESBL.

b. Uji Phenotypic Confirmatory

Metode ini menggunakan cefotaxime, ceftazidime, cefotaxim yang dikombinasikan dengan asam klavulanat dan juga ceftazidime yang dikombinasikan dengan asam klavulanat. Biakan bakteri yang telah disesuaikan kekeruhannya 0,5 McFarland diinokulasikan ke dalam agar Muller Hinton. Cefotaxime dan cefotaxime klavulanat diletakkan dengan jarak 20 mm diantara keduanya. Hal yang sama juga dilakukan pada ceftazidime dan ceftazidime klavulanat. Isolat bakteri dinyatakan positif ESBL jika setelah diinkubasi 1 malam pada suhu 37oC, terdapat peningkatan diameter > 5 mm pada zona inhibisi dengan cakram antibiotik (cefotaxim, ceftazidim) yang dikombinasikan dengan asam klavulanat dibandingkan dengan zona inhibisi dengan cakram antibiotik tanpa kombinasi (Umadevi et al, 2011).

Dokumen terkait