• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

65 Sedangkan menunjukkan jenis cairan yang paling banyak digunakan pada kunjungan akhir adalah NaCl 0,9% + Detol sejumlah 62.1% (90 orang).

66 Penelitian ini juga menjelaskan bahwa sebagian besar jenis luka yang sering ditemukan di klinik perawatan luka Griya Afiat Makassar adalah luka kronik di bandingkan dengan jenis luka akut. Hal ini sejalan dengan penelitian Saputri (2016) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien yang berkunjung ke Poliklinik Luka di Rumah Sakit Dr.Wahidin Sudirohusodo semuanya memiliki tipe luka kronik yaitu 69 orang (100%) dengan jenis luka yang paling banyak yaitu luka DM dengan 46 orang (66,7%) dan luka kanker yaitu 17 orang (24,6%).

Dari penelitian ini juga diperoleh data bahwa rata-rata usia responden pada penelitian ini adalah 51 tahun. Penelitian ini menjelaskan bahwa kebanyakan responden yang menderita luka adalah responden dengan kategori usia lansia awal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pradika (2016) yang menyatakan bahwa rata-rata usia responden yang berkunjung ke klinik luka Kitamura Pontianak adalah 53 tahun. Nurhanifah (2017) juga menjelaskan dalam penelitiannya bahwa sebagian besar responden yang berkunjung ke poliklinik kaki diabetik berusia >40 tahun yakni 94% (47 orang). Hal ini dikarenakan pada usia >40 tahun seseorang akan lebih beresiko terkena penyakit Diabetes Melitus.

Rata-rata lama perawatan yang di temukan di Klinik Perawatan Luka Griya Afiat Makassar yaitu 62 hari dan rata-rata frekuensi kunjungan yang ditemukan di Klinik Perawatan Luka Griya Afiat Makassar yaitu 12 kali. Hal ini hampir sama dengan hasil penelitian yang di lakukan Yunus (2015) yang menyatakan bahwa distribusi frekuensi pasien ulkus

67 diabetikum berdasarkan lama perawatan luka adalah 1-24 minggu yakni sebanyak 96% (82 orang). Hal ini di pengaruhi oleh stadium luka itu sendiri.

2. Karakteristik Luka

Berdasaarkan hasil penilaian skor luka dengan menggunakan Bates Jensen Wound Assesment Tool (BJWAT) di peroleh data bahwa terjadi perbaikan kondisi luka yang dapat di lihat dari penurunan skor luka pada BJWAT. Semakin kecil skor BJWAT, semakin baik pula keadaan luka.

Sementara dari penelitian ini dapat di lihat bahwa terjadi penurunan pada rentang skor 21-40 sebesar 37 orang dan 41-60 sebesar 34 orang. Sedangkan pada rentang skor 1-20 mengalami peningkatan sebesar 71 orang. Hal yang sama juga terjadi pada 13 item karakteristik luka yang masing-masing mengalami perbaikan luka yang signifikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rohmayanti (2016) yang menyebutkan dalam penelitiannya bahwa perawatan luka yang dilakukan dengan modern dressing menunjukkan terdapatnya perubahan jaringan yang terjadi pada beberapa komponen pengkajian luka BJWAT antara lain berkurangnya persentase ukuran luka, kedalaman, granulasi, epitelisasi, berkurangnya jumlah jaringan nekrosis serta jumlah cairan yang muncul. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian yang di lakukan Usiska (2015) yang menyatakan secara statistik dapat di simpulkan bahwa perawatan luka modern dengan terapi hiperbarik terhadap proses penyembuhan luka Diabetes Melitus memiliki tingkat kemaknaan yang sangat berpengaruh.

68 Nontji (2015) dalam penelitiannya tentang Teknik Perawatan Luka Modern dan Konvensional Terhadap Kadar Interleukin 1 dan Interleukin 6 Pada Pasien Luka diabetik menjelaskan bahwa balutan luka modern dapat merangsang faktor pertumbuhan dan sitokin untuk mempercepat penyembuhan luka. Dari penelitian ini dapat di simpulkan bahwa jenis balutan luka modern lebih efektif daripada jenis balutan konvensional.

3. Karakteristik Perawatan a. Jenis dressing

Dari hasil penelitian yang di lakukan di Klinik Perawatan Luka Griya Affiat Makassar di temukan bahwa pada awal kunjungan pasien dengan kondisi luka kurang baik, kebanyakan di gunakan dressing primer jenis Topikal Cream, Hydrogel, dan Antimicrobial. Sementara untuk dressing sekunder paling banyak di gunakan adalah Non Adherent Dressing dan untuk dressing Tersier paling banyak di gunakan adalah Haft dan Hypafix. Sedangkan pada akhir kunjungan dengan kondisi luka lebih baik, kebanyakan di gunakan dressing Primer jenis Topical Cream dan Antimicrobial. Sementara untuk dressing sekunder paling banyak di gunakan adalah Non Adherent Dressing dan untuk dressing Tersier paling banyak di gunakan Transparant Film dan Hypafix.

Faktor yang perlu di pertimbangkan dalam pemilihan balutan yang tepat adalah memahami tujuan dari perawatan luka itu sendiri. Penting bagi seorang perawat luka untuk memahami janis balutan apa yang sesuai di gunakan di tinjau dari keadaan luka itu sendiri. Apakah luka

69 tersebut membutuhkan jenis dressing untuk mengontrol atau menampung cairan, ataukah jenis balutan yang di butuhkan adalah jenis balutan untuk meningkatkan epitelisasi, ataukah janis balutan yang di butuhkan adalah jenis balutan untuk membantu debridement luka.

Pada kunjungan awal di mana rata-rata keadaan luka masih buruk, yang paling banyak di gunakan adalah dressing primer dengan jenis hydrogel dan topical cream. Balutan jenis ini merupakan jenis topical yang dapat di gunakan untuk membantu proses peluruhan jaringan nekrotik pada luka kering, luka dengan warna dasar hitam maupun luka dengan warna dasar kuning dengan eksudat minimal. Selain itu dalam kondisi luka yang masi di kategorikan buruk, sering di gunakan jenis Non Adherent Dressing untuk mencegah bakteri masuk dan eksudat tidak merembes keluar atau bocor. Jenis dressing ini juga permukaannya tidak menempel pada luka sehingga resiko kerusakan jaringan kembali akibat penggantian balutan dapat di minimalisir. Sedangkan pada akhir kunjungan dengan rata-rata keadaan luka lebih baik, paling banyak di gunakan adalah jenis Anti Microbial dan Transparant Film. Jenis balutan ini di gunakan untuk mencegah terjadinya infeksi kembali pada luka yang telah mengalami perbaikan. Sedangkan transparan Film di gunakan untuk melindungi kulit mudah yang masih dalam masa perbaikan.

70 b. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan data penggunaan jenis cleansing baik pada awal kunjungan maupun akhir kunjungan rata-rata menggunakan NaCl0.9% dan Air Mineral sebagai larutan untuk mencuci luka. Namun selain kedua larutan tersebut, terkadang di gunakan pula air rebusan Daun Sirih dan air rebusan Daun Jambu Biji.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan Ljubic (2013) yang meneliti tentang perbandingan penggunaan cleansing Nacl 0.9% dengan Air Mineral pada luka kronik. Dari hasil penelitian tersebut Ljubic menjelaskan bahwa tidak ada peningkatan infeksi maupun peningkatan penyembuhan luka antara luka kronik yang di bersihkan dengan NaCl maupun luka kronik yang di bersihkan dengan Air Mineral. Hal ini menjelaskan bahwa Air Mineral sama aman dan efektifnya dengan NaCl ketika diperoleh dari suplay yang aman dan digunakan berdasarkan suhu tubuh.

Sedangkan penggunaan cleansing tradisional yakni rebusan daun sirih dan daun jambu Biji juga di terapkan di Klinik Perawatan Luka Griya Afiat Makassar. Penelitian mengenai penggunaan cleansing dengan rebusan daun Sirih pernah di lakukan oleh Pashar, et all (2018) yang menyatakan bahwa ada perbedaan antara pencucian luka menggunakan larutan NaCl 0.9% dengan kombinasi larutan NaCl 0,9%

dan rebusan daun sirih merah 40% terhadap proses penyembuhan luka kaki diabetes. pencucian luka menggunakan kombinasi larutan NaCl

71 0.9% dengan rebusan daun sirih merah 40% lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan larutan NaCl 0.9%.

Selain itu, penggunaan sabun antiseptic juga di terapkan di Kliniki Perawatan Luka Griya Afiat Makassar. Setiap pencucian luka selalu di kombinasikan dengan sabun antiseptic untuk memaksimalkan proses pencucian luka. Hal ini di jelaskan dalam penelitian yang di lakukan oleh Nurwahidah, et all (2018) yang menyatakan bahwa sabun antiseptik secara efektif mengurangi jumlah koloni bakteri dibandingkan dengan sabun biasa dan memiliki penghambatan kuat terhadap pertumbuhan bakteri sthapylococcus aureus dan eschericia coli.

Dokumen terkait