• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5 Hasil dan Pembahasan

2. Pembahasan

2.1 Karakteristik Demografi Responden

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 4 orang (18,2 %) responden berusia 35-40 tahun. Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan fisik dan mental seseorang dalam menghadapi masalah. Pada usia ibu muda perawatan pascabersalin yang dilakukan akan berbeda dengan ibu yang memiliki usia lebih dewasa dimana ibu yang berusia lebih dari 35 tahun merasa bahwa merawat bayi baru lahir melelahkan secara fisik (Bobak, 2004). Hal ini sesuai dengan yang peneliti dapatkan dalam penelitian ini yaitu hampir semua responden (3 orang) yang memiliki tingkat ketergantungan yang lebih tinggi berada pada usia 35-40 tahun.

Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar dari responden berpendidikan SMA yaitu 14 orang (63,6%) . Hal ini sudah sesuai dengan faktor- faktor yang mempengaruhi motivasi yang menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu diantaranya adalah tingkat pendidikan dan pekerjaan, dimana tingkat pendidikan yang lebih baik dapat mendorong seseorang untuk mendapatkan atau bersedia untuk melakukan sesuatu demi mencapai tujuan yang diharapkan. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap peran serta dalam perkembangan kesehatan ( Handayani, 2009). Semakin tinggi pendidikan ibu, maka kepeduliannya terhadap perawatan diri dan bayinya semakin baik (Wildani, 2009). Oleh karena itu, ada kemungkinan sebagian responden berada pada tingkat ketergantungan ringan adalah karena

besarnya motivasi yang ada mereka, dimana motivasi tersebut dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang sudah memadai dan berada pada usia dewasa muda.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa responden sebanyak 14 orang (63,6%) adalah multipara. Paritas seorang ibu akan sangat berpengaruh pada kesehatan dan pengalaman ibu dalam perawatan pascabersalin (Juliani, 2009). Multipara akan lebih realistis dalam mengantisipasi keterbatasan fisiknya dan dapat lebih mudah beradaptasi terhadap perannya Primipara mungkin memerlukan dukungan yang lebih besar dan tindak lanjut yang mencakup rujukan ke badan bantuan dalam masyarakat (Bobak, 2004)

2.2 Kemandirian Ibu Post Seksio Sesarea dalam Merawat Diri dan Bayinya selama Early Postpartum

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui tidak ada ibu post seksio sesarea hari kelima postpartum yang mampu mandiri penuh dalam melakukan semua perawatan diri dan bayinya dan ada sebanyak 4 orang (18,18%) ibu post seksio sesarea berada pada ketergantungan sedang dalam melakukan perawatan diri dan bayinya selama early postpartum. Peneliti mendapatkan data tambahan saat penelitian yang menunjukkan sebab ketergantungan sedang pada sebagian responden adalah karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman ibu dalam perawatan diri dan bayi, ketakutan ibu karena adanya luka insisi serta karena faktor lingkungan ibu dimana keluarga yang melakukan perawatan ibu dan bayi tanpa melibatkan ibu dan ibu memiliki pembantu di rumah untuk melakukan

aktivitas sehari-hari. Jadi peneliti berasumsi ada kemungkinan ibu berada pada kategori ketergantungan sedang bukan karena ibu tidak mampu (faktor fisik) tetapi karena faktor psikologisnya. Menjadi orangtua merupakan satu proses yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen bersifat keterampilan kognitif dan motorik dan komponen bersifat emosional atau psikologis (Steele dalam Bobak, 1968).

Menurut teori Orem ketergantungan berat seorang pasien disebabkan karena kurangnya kekuatan self care agency yaitu kurangnya kemampuan self care seperti pengetahuan, keterampilan, motivasi yang dipengaruhi faktor usia ibu, sistem keluarga dan lingkungan. Selama early postpartum ibu post seksio sesarea mengalami self care deficit karena keterbatasan yang diakibatkan oleh luka insisi. Seorang perawat profesional bertanggung jawab dalam membantu klien dan keluarga untuk mencapai kemandiriannya. Kemandirian ibu nifas bisa tercapai bila kegiatan asuhan keperawatan didasari adanya kerjasama yang baik antara perawat dalam memberikan pengetahuan dan motivasi kepada ibu nifas dalam memenuhi kebutuhan klien ibu nifas. Kemandirian pada ibu nifas sangat penting karena setelah pulang, ibu harus mampu merawat diri dan bayinya untuk mempertahankan kesehatan dan kesejahteraannya.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapat bahwa tidak ada ibu yang mandiri melakukan perawatan diri dan bayinya dan terdapat 18 orang (81,81%) ketergantungan ringan dalam melakukan perawatan diri dan bayinya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Arianto (2009) bahwaselama satu sampai dua minggu pertama, ibu akan memerlukan seseorang untuk membantu ibu dalam melakukan

perannya. Johnson (2004) juga berpendapat bahwa kemandirian ibu untuk mengatasi perannya yang baru tergantung pada kesehatan fisiknya. Dimana setelah melahirkan secara seksio sesarea ibu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan organ-organ tubuh kembali seperti sebelum hamil dan perawatan yang lebih lama dibandingkan dengan persalinan yang dilakukan secara alami (Kasdu, 2003).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 14 orang (63,6%) ibu mandiri dalam melakukan ambulasi dini. Setelah dua belas jam operasi, ibu sudah mampu menggerakkan kaki dan tungkai bawah (Kasdu, 2003) dan selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari penderita dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan kemudian berjalan sendiri pada hari ketiga dan kelima post operasi (Mochtar, 1998).

Kemandirian ibu dalam melakukan eliminasi uirine dinilai dengan cara apakah ibu sudah dapat melakukannya sendiri atau masih menggunakan bantuan kateter. Dari hasil penelitian tentang kemandirian ibu dalam melakukan eliminasi urine didapat bahwa sebanyak 19 orang (86,4 %) sudah mandiri. Menurut Kasdu (2003) bahwa pada hari kedua setelah operasi, dokter akan memperbolehkan ibu buang air kecil sendiri tanpa bantuan kateter. Tetapi jika ada perlukaan pada kandung kemih, kateter bisa dipasang sampai tujuh hari setelah operasi.

Kemandirian ibu dalam melakukan BAB dinilai dengan cara apakah ibu sudah dapat melakukannya sendiri atau harus menggunakan laksan supositoria. Hasil penelitian sebanyak 15 orang ( 68,2 %), ibu sudah dapat buang air besar. Menurut Kasdu (2003) bahwa pada umumnya ibu akan buang air besar pada hari

ketiga. Untuk melakukan buang air besar untuk pertama kalinya setelah operasi biasanya membutuhkan usaha yang lebih besar. Ibu harus mengejan atau setengah memaksa untuk mengeluarkan isi perut.

Kemandirian dalam perawatan payudara dinilai dengan cara menanyakan kepada ibu tentang apakah ibu mampu melakukannya sendiri atau tidak. Setelah ituDari hasil penelitian, ibu sudah dapat mandiri dalam menjaga kebersihan diri, perawatan perineum dan perawatan payudara. Seperti halnya persalinan alami, setelah melahirkan ibu akan mengeluarkan cairan lokia yaitu darah sisa-sisa bekas plasenta. Oleh karena itu, ibu harus membersihkan vagina hingga bersih (Kasdu, 2003). Mandi di tempat tidur dilakukan sampai ibu dapat mandi sendiri di kamar mandi yang terutama dibersihkan adalah puting susu dan mamae dilanjutkan perawatan payudara (Wulandari, 2009). Karena keletihan dan kondisi psikis yang belum stabil serta karena jahitan, biasanya ibu masih belum cukup kooperatif untuk membersihkan dirinya. Perawat harus bijaksana dalam memberikan motivasi tanpa mengurangi keaktifan ibu untuk melakukan personal hygiene secara mandiri (Sulistyawati, 2009). Pada hari ketiga setelah operasi, ibu sudah dapat mandi tanpa membahayakan luka operasi (Pritchard dkk, 1991).

Dari hasil penelitian juga didapat, dimana ibu sebanyak 17 orang (77,3%) mandiri dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dan makan makanan biasa. Menurut Kasdu (2003) umumnya pada hari kelima setelah operasi ibu sudah bisa makan makanan biasa. Fungsi gastrointestinal mengalami penurunan 24 jam post seksio sesarea, dimana kembali normalnya peristaltik usus di tandai dengan adanya flatus (Lestari, 2005). Infus akan tetap terpasang di lengan selama beberapa jam sampai

gerakan usus normal Oleh karena itu, untuk makanan biasanya diberi infus glukosa (Kasdu, 2003). Bising usus biasanya belum terdengar pada hari pertama setelah operasi, mulai terdengar pada hari kedua dan menjadi aktif pada hari ketiga (Pritchard dkk, 1991). Setelah itu, ibu mulai diperbolehkan untuk minum sedikit demi sedikit dan makan makanan yang lembut dalam jumlah terbatas. Apabila usus besar sudah diperkirakan sudah mulai bekerja kembali, infus yang terpasang sudah bisa dilepaskan. Pada saat itu, ibu sudah dapat minum dan makan dalam jumlah yang lebih banyak (Kasdu, 2003).

Dari hasil penelitian juga didapat bahwa sebanyak 17 orang ( 77,3%) ibu sudah mandiri dalam menyusui bayi. Setelah melahirkan, baik secara operasi atau dengan operasi payudara akan mengeluarkan kolostrum. Ibu yang operasi dengan bius lokal dapat lebih mudah mengeluarkan kolostrum dibandingkan dengan ibu yang operasi dengan bius total (Kasdu, 2003). Menyusui dapat dimulai sehari setelah operasi (Pritchard, 1991). Pada saat pertama kali menyusui bayi, seringkali terasa tidak menyenangkan. Hal ini akibat rahim yang sering berkontraksi juga akibat rasa nyeri yang muncul dari jahitan operasi. Untuk menghindari rasa nyeri di perut saat menyusui, ibu dapat berbaring miring atau membaringkan bayi di atas bantal kemudian diletakkan di pangkuan (Kasdu, 2003). Posisi menyusui yang tepat untuk melindungi luka sayatan dari tekanan berat dan gerak bayi adalah posisi pegangan bola atau mengapit, berbaring menyamping atau meletakkan sebuah bantal di atas luka sayatan sebelum menaruh bayi di pangkuan untuk disusui (Simkin dkk, 2007).

Persalinan yang dilakukan dengan operasi membutuhkan rawat inap yang lebih lama di rumah sakit. Hal ini tergantung dari cepat lambatnya kesembuhan ibu akibat proses pembedahan. Biasanya hal ini membutuhkan waktu sekitar 3-5 hari setelah operasi (Kasdu, 2003; Danuatmaja, 2003). Selama menjalani perawatan di rumah sakit, bayi berada di unit perawatan khusus bayi untuk sementara waktu. Setelah seminggu atau dua minggu, ibu biasanya memerlukan bantuan keluarga atau tetangga untuk melakukan perawatan bayi. Ibu juga merasa tidak mampu untuk mengganti popok, memandikan, merawat tali pusar bayi (Murkoff, 2007). Hal ini juga terlihat dari hasil penelitian dimana ibu tidak mampu untuk melakukan perawatan bayi yaitu memandikan bayi, merawat tali pusar, perawatan mata, telinga dan hidung, perawatan kelamin.

Dokumen terkait