• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

Selama 40 hari masa pemeliharaan, didapati kematian lobster air tawar terdapat pada setiap perlakuan. Kematian yang rendah terdapat pada padat penebaran 1,5 ekor/l yaitu 29.52%. Sedangkan kematian tertinggi terdapat pada padat penebaran 2 ekor/l yaitu 50%. Pada kepadatan 2 ekor/l kematian lebih tinggi disebabkan sifat lobster yang menguasai wilayah (Salmon et al., 1983) dan menjadi lebih agresif manakala lobster lain mendekatinya dalam kondisi ruang makin terbatas akibat lobster makin padat. Sifat agresif semakin meningkat dapat menimbulkan perkelahian di antara lobster dan berakhir kematian. Selain itu kematian yang tinggi disebabkan lobster bersifat kanibal. Sifat kanibal muncul ditandai dengan pemangsaan terhadap sesamanya saat keadaan lobster lain yang lemah ketika sedang moulting. Kematian lainnya terjadi akibat gagal moulting yang disebabkan gangguan sesamanya dan perubahan lingkungan (Holdich dan Lowery, 1988). Hal ini didasarkan pada banyaknya cangkang yang lembek pada bangkai lobster akibat moulting dan adanya lobster yang mati dalam keadaan terkelupas bagian Chephalothorax-nya akibat gagal moulting.

Menurut Wedemeyer (1996) peningkatan padat penebaran ikan dalam wadah pemeliharaan ikan yang melewati batas tertentu akan mengganggu proses fisiologis dan tingkat laku yang pada akhirnya menurunkan kondisi kesehatan, pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Hal ini terlihat pada penurunan kelangsungan hidup pada kepadatan lebih dari 1,5 ekor/l. Secara teoritis seharusnya pada padat penebaran kurang dari 1,5 ekor/l tingkat kelangsungan hidup lebih baik atau sama, seperti halnya pada penebaran 0,5 ekor/l dengan 1,5 ekor/l. Akan tetapi pada padat penebaran 1 ekor/l kematiannya lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan sifat lobster yang sering moulting sehingga menimbulkan perilaku kanibal dan akhirnya akan mempengaruhi kelangsungan hidup lobster. Pada kepadatan 1 ekor/l frekuensi moulting lebih tinggi dibandingkan dengan padat penebaran 1.5 ekor/l dan 0.5 ekor/l yaitu 1.14 kali (Tabel 5). Pasca moulting kelangsungan hidup lobster terpengaruh karena energi banyak yang dikeluarkan untuk proses moulting sehingga kondisi lemah dan sulit menghindari dari pemangsa lobster lain menyebabkan kematian.

Selama pendederan, didapati bahwa peningkatan kepadatan diikuti dengan pertumbuhan yang tidak berbeda pada setiap perlakuan. Menurut Hepher dan Pruginin (1981) pada ikan, peningkatan kepadatan akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan jika jumlah pakan, oksigen terlarut, serta buangan metabolit tidak mampu dikendalikan. Pada penelitian ini kualitas air di setiap padat penebaran berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi benih lobster untuk hidup maupun tumbuh pada (Tabel 5) sebagai akibat penggunaan instalasi resirkulasi yang berfungsi dengan baik. Demikan pula jumlah pakan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan lobster.

Selama pemeliharaan 40 hari frekuensi moulting yang tinggi pada padat penebaran 1 ekor/l yaitu 1,14 kali (Tabel 4). Hal ini dikarenakan adanya penambahan bidang pemeliharaan menjadi dua lantai sehingga kontak antar lobster jarang menyebabkan prilaku kanibal berkurang dan akhirnya lobster dapat melakukan moulting tanpa ada gangguan dari lobster lain.

Semakin tinggi padat penebaran nilai efisien pakan yang semakin rendah.

Hal ini terlihat pada penurunan efisiensi pakan pada kepadatan lebih dari 1 ekor/l.

Secara teoritis seharusnya pada padat penebaran kurang dari 1 ekor/l efisiensi pakan yang tinggi, seperti halnya pada penebaran 1 ekor/l dengan 1,5 ekor/l. Akan tetapi pada padat penebaran 1 ekor/l efisiensi pakan lebih tinggi. Hal ini terkait dengan jumlah pakan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan lobster untuk hidup dan tumbuh. Selain itu efisiensi pakan tidak berbeda disebabkan ruang gerak lobster menjadi besar sehingga lobster lebih memanfaatkan pakan diberikan untuk memenuhi kebutuhannya untuk hidup dan tumbuh. Hal ini sependapat dengan Goddard (1996) ikan membutuhkan energi yang berasal dari pakan untuk bergerak dan mencerna makan, pertumbuhan dan maintenance. Semakin banyak energi yang diperlukan untuk memenuhi maka semakin banyak pula jumlah pakan yang akan dikonsumsi.

Selama pemeliharaan 40 hari pada penebaran 1,5 ekor/l dan 2 ekor/l didapatkan hasil yang menunjukan bahwa nilai produksi lebih tinggi dibandingkan dengan 0,5 ekor/l (Lampiran 14). Produksi pada kepadatan yang lebih tinggi ini disebabkan jumlah akhir lobster yang hidup lebih banyak, walaupun pada kepadatan yang lebih tinggi tingkat kelangsungan hidup lebih rendah. Disamping

itu juga pertumbuhan tidak berbeda. Hal ini sedikit berbeda dengan yang dinyatakan Hikling (1971) dalam Syafiuddin (2000) padat penebaran yang tinggi akan didapatkan produksi tinggi pula, tetapi bobot individu kecil. Sebaliknya dengan padat penebaran yang rendah akan didapatkan produksi yang rendah pula, tetapi bobot individu besar.

Koefisien keragaman panjang menunjukan nilai variasi ukuran panjang pada perlakuan sehingga dapat diketahui keseragaman populasinya. Selama pemeliharaan 40 hari didapatkan hasil penelitian yang menunjukan bahwa peningkatan kepadatan diikuti dengan peningkatan koefisien keragaman yaitu 10,11 + 0,97% menjadi 26,41 + 6,19% (Lampiran 17). Hal ini dikarenakan terjadinya kanibal pada kepadatan yang lebih tinggi selain itu lobster memiliki sifat yang agresif saat bersaing mencari makanan sehingga lobster yang lebih besar akan lebih banyak memanfaatkan pakan yang diberikan, akibat lobster yang lebih kecil kalah bersaing. Hal ini menyebabkan variasi ukuran. Variasi ukuran ditandai dengan simpangan baku yang semakin besar. Hal ini sependapat dengan Rouse (1997) pada fase juvenil lobster sering menunjukan sifat agresif yang tinggi dan berprilaku kanibal. Sifat agresif ini akan lebih nyata terjadi pada saat tidak tersedia pakan yang memadai dan menyebabkan kanibalisme, serta kematian.

Perubahan kualitas air yang terjadi selama masa pemeliharaan secara keseluruhan masih dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh lobster untuk hidup maupun tumbuh. Suhu selama pemeliharaan relatif optimum bagi pertumbuhan lobster yakni berkisar antara 26 - 26.9 0C (Lampiran 20). Kisaran tersebut baik untuk pertumbuhan lobster seperti yang dinyatakan Holdich dan Lowery (1988), bahwa lobster jenis red claw akan mengalami pertumbuhan terbaik pada suhu 24-29 oC. kisaran suhu yang stabil akan membuat lobster tidak mengalami gangguan dalam adaptasi terhadap perubahan lingkungan sehingga menguntungkan dalam pemanfaatkan energi untuk metabolisme dan pertumbuhan.

Selama pemeliharaan 40 hari didapatkan nilai pH untuk pertumbuhan lobster berkisar antara 7.56–8.35 (Lampiran 20). Hal ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Holdich dan Lowery (1988) bahwa pertumbuhan Cherax quadricarinatus adalah berkisar 6.5-9. Nilai pH yang kurang dari 5 sangat buruk

bagi kehidupan udang karena dapat menyebabkan kematian, sedangkan pH diatas 9 dapat menurunkan nafsu makan (Merrick, 1993).

Kandungan oksigen terlarut selama penelitian ini cukup baik untuk pertumbuhan cherax yaitu berkisar antara 5.71 – 6.93 mg/l (Lampiran 20 dan Gambar 13). Secara umum dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa konsentrasi oksigen di dalam media pemeliharaan masih layak dan dapat mendukung kehidupan lobster. Selain itu jumlah lobster semakin banyak diikuti dengan peningkatan kepadatan tidak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah konsumsi oksigen. Hal ini dikarenakan air cepat terganti oleh air baru sehingga oksigen terdistribusi merata pada wadah budidaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Anonimus (2006), yang menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut yang baik untuk mendukung pertumbuhan lobster adalah lebih dari 5 mg/l.

Selama pendederan nilai alkalinitas dan kesadahan yang diperoleh berturut-turut adalah 79.6-119.4 mg/l CaCO dan 48.05-87.09 mg/l CaCO3 3

(Lampiran 20). Kisaran ini termasuk ke dalam kisaran yang optimal bagi lobster karena menurut Rouse (1997) lobster mengalami pertumbuhan optimum pada kesadahan dan alkalinitas 20-300 ppm. Sedangkan untuk kandungan amoniak yang diperoleh berkisar antara 0.026-0.59 ppm (Lampiran 20 dan Gambar 14).

Nilai ini masih berada dalam kondisi dimana lobster mampu tumbuh dengan baik sesuai dengan pernyataan Rouse (1997) bahwa lobster mampu mentolerir konsentrasi amoniak terionisasi sampai 1.0 ppm.

Setelah pemeliharaan 40 hari didapatkan hasil analisis ragam pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisis ragam pada berbagai kepadatan didalam akuarium dengan bidang dua lantai dan sistem resirkulasi

Padat

Produksi Koefisien keragaman

ekor/l

Bedasarkan Tabel 6 diatas, dibandingkan dengan kepadatan yang lain, pada kepadatan 1,5 e/l dicapai tingkat kelangsungan hidup yang tinggi, laju pertumbuhan dan efisiensi pakan yang tidak berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan akuarium berlantai ganda dapat meningkatkan produktivitas dengan produktivitas tertinggi dicapai pada kepadatan 1,5 ekor/l.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait