• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI

3.4 Parameter Yang Diamati

3.4.6 Produksi

Produksi merupakan selisih biomassa akhir dan biomassa awal dalam satu periode pemeliharaan. Nilai produksi ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

P = B - Bt o

Keterangan :

P = Produksi (gram)

B t = Biomassa lobster pada akhir pemeliharaan (gram) B o = Biomassa lobster pada awal pemeliharaan (gram)

Produksi penting di pendederan karena untuk menentukan hasil lobster yang lebih besar jika ukuran seragam.

3.4.7 Kualitas Air

Kualitas air yang diukur selama penelitian meliputi suhu, pH, Oksigen terlarut (DO), dan total amoniak nitrogen (TAN). Pengukuran suhu dilakukan secara invivo, sedangkan pengukuran pH, DO, TAN, kesadahan, dan alkanitas dianalisa terlebih dahulu dengan mengambil sampel air dengan menggunakan botol aqua yang telah disediakan. Analisa dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Pengukuran dilakukan setiap sepuluh hari sekali. Kualitas air pada media pemeliharaan lobster air tawar Cherax quadricarinatus yang diamati pada Tabel 2.

Tabel 2. Kualitas air pada media pemeliharaan lobster air tawar Cherax quadricarinatus yang diamati

Parameter Satuan Alat

Suhu (fisika) 0C Thermometer

DO (fisika) mg/l DOmeter

pH (kimia) pHmeter

TAN (kimia) mg/l Spektofotometer

Kesadahan (kimia) mg/l Titratasi

Alkanitas (kimia) mg/l Titrasi

3.5 Analisa Data

Data yang telah diperoleh dari pengamatan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Sebelum dianalisa datanya terlebih dahulu tentukan hipotesis yang diuji pada penelitian ini. Hipotesis yang perlu diuji untuk rancangan acak lengkap (RAL) adalah sebagai berikut :

Ho : τí = 0 (Padat penebaran tidak mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, eifisiensi pakan, koefisien keragaman, dan produksi).

H1 : τí = 0 (Padat penebaran mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, eifisiensi pakan, koefisien keragaman, dan produksi).

Selanjutnya data tersebut diolah dengan analisis ragam (Anova) pada Excell melalui tahap-tahap sebagai berikut :

Tahap 1 Menghitung faktor koreksi (fk) pada RAL. Jika i adalah padat penebaran dan j adalah ulangan, maka : fk = (ΣY..) = (total nilai tiap pengamatan)2 2 ij banyak pengamatan

Tahap 2 Menghitung JKT (jumlah kuadrat tengah) dan JKP (Jumlah kuadrat perlakuan) pada RAL. Jika i adalah padat penebaran dan j adalah ulangan, maka :

JKT = ΣYij.2 - fk = jumlah kuadrat nilai pengamatan – faktor koreksi JKP = ΣYij.2 – fk = (jumlah rata-rata perlakuan dikuadrat) – fk

j banyaknya ulangan

Tahap 3 Menghitung jumlah kuadrat sisa (JKS) pada RAL. Jika i adalah padat penebaran dan j adalah ulangan, maka : JKS = JKT – JKP

Tahap 4 Menghitung KT (kuadrat tengah) masing-masing sumber keragaman pada RAL melalui pembagian antar JK (jumlah kudrat) dan derajat bebas

(db), yaitu : KTP = JKP = jumlah kuadrat perlakuan (i-1) banyak padat penebaran -1

KTS = JKS (i-1) (j-1)

Tahap 5 Menghitung Fhit (perlakuan) dan F tabel (perlakuan) pada RAL, yaitu : Fhit (perlakuan) = KTP/KTS

Ftabel (perlakuan) = FINV (0,05, dbP, dbS)

Tahap 6 Menyusun tabel sidik ragam (TSR) seperti tampak dalam Tabel 3 sebagai

Tahap 7 Pengujian hipotesis adalah sebagai berikut :

- Jika Fhit (p) > Ftabel maka tolak Ho dan terima H1 yang berarti berbagai kepadatan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, eifisiensi pakan, koefisien keragaman, dan produksi.

- Jika Fhit (p) < Ftabel maka terima Ho dan tolak H1 yang berarti berbagai kepadatan tidak mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, eifisiensi pakan, koefisien keragaman, dan produksi.

Selanjutnya data dilakukan uji lanjut dengan mengunakan uji beda nyata terkecil (BNT). Uji BNT dapat dilakukan apabila data setelah diolah dengan analisis ragam menunjukan bahwa berbagai kepadatan memengaruhi tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, eifisiensi pakan, koefisien keragaman, dan produksi. Adapun tahap – tahap dari uji BNT dengan menggunakan Excell adalah sebagai berikut :

Tahap 1 Menghitung nilai tengah tiap perlakuan

Tahap 2 Mengurutkan nilai tengah tiap perlakuan dari yang terkecil hingga terbesar

Tahap 3 Menghitung selisih antara nilai tengah pada satu perlakuan dengan nilai nilai tengah perlakuan lainnya

Tahap 4 Menghitung nilai BNTdari perlakuan dengan rumus sebagai berikut :

r 2KTS BNT = t (0.025,dbS)α

Tahap 5 Membandingkan antara nilai BNT dengan selisih nilai tengah perlakuan

Tahap 6 Jika selisih nilai tengah antar perlakuan lebih besar dari nilai BNT maka pengaruh signifikan

Jika selisih nilai tengah antar perlakuan lebih kecil dari nilai BNT maka pengaruh tidak signifikan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1. Tingkat Kelangsungan Hidup

Jumlah lobster yang hidup menurun sejalan dengan lamanya masa pemeliharaan. Jika pada awal pemeliharaan tingkat kelangsungan hidupnya 100%, setelah pemeliharaan selama 40 hari menurun menjadi 50-70.48 % (Lampiran 3, Gambar 3). Hasil penelitian menunjukan bahwa padat penebaran berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup tersebut (P<0,05). Tingkat kelangsungan hidup tertinggi dicapai pada padat penebaran 1.5 ekor/l yang berbeda dengan kepadatan 1 ekor/l dan 2 ekor/l, tetapi tidak berbeda dengan kepadatan 0.5 ekor/l (Lampiran 5, Gambar 4).

0 20 40 60 80 100

10 20 30 40

Pemeliharaan (hari ke-)

Tingkat kelangsungan hidup (%)

0.5 ekor/l 1 ekor/l 1.5 ekor/l 2 ekor/l Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup rata-rata tiap sampling Cherax

quadricarinatus yang dipelihara dengan berbagai kepadatan

60 + 0.00a 52.17+7.53 b

Gambar 4. Tingkat kelangsungan hidup Cherax quadricarinatus yangdipelihara dengan berbagai kepadatan

4.1.2 Laju Pertumbuhan Harian

Setelah masa pemeliharaan selama 40 hari, berat rata-rata lobster meningkat seiring dengan bertambahnya waktu, yakni dari 0.62-0.76 gram menjadi 1.38-1.61 gram (Lampiran 6, Gambar 5). Pada akhir pengamatan berat rata-rata tertinggi dicapai pada perlakuan dengan padat penebaran 0.5 ekor/l yakni sebesar, 1.61 + 0.16 gram, sedangkan berat rata-rata terendah dicapai pada perlakuan dengan penebaran 2 ekor/l yakni sebesar 1.38 + 0.13 gram.

0

0.5 ekor/l 1 ekor/l 1.5 ekor/l 2 ekor/l

Gambar 5. Bobot rata-rata tiap sampling Cherax quadricarinatus yang dipelihara dengan berbagai kepadatan

Laju pertumbuhan harian yang diperoleh selama penelitian berkisar 2.36-2.90% (Lampiran 7, Gambar 6). Hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan kepadatan tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan harian (P>0.05) (Lampiran 8).

2.57 + 0.79a 2.90 + 0.11 a

2.77 + 0.32a 2.36 + 0.22a

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00

0.5 ekor/l 1 ekor/l 1.5 ekor/l 2 ekor/l Padat Penebaran

Laju Pertumbuhan Harian (%/hari)

Gambar 6. Laju Pertumbuhan Spesifik Cherax quadricarinatus yang dipelihara dengan berbagai kepadatan

4.1.3. Pertumbuhan Panjang Mutlak

Setelah masa pemeliharaan selama 40 hari, panjang rata-rata lobster meningkat seiring dengan bertambahnya waktu, yakni dari 2.67-2.73 cm menjadi 3.35-3.5 cm (Lampiran 9, Gambar 7). Pada akhir pengamatan panjang tertinggi dicapai pada perlakuan dengan padat penebaran 1 ekor/lyakni sebesar, 3.5 + 0.1 cm, sedangkan pajang terendah dicapai pada perlakuan dengan penebaran 2 ekor/l yakni sebesar 3.35 + 0.1 cm.

0.00

0.5 ekor/l 1 ekor/l 1.5 ekor/l 2 ekor/l

Gambar 7. Panjang rata-rata tiap sampling Cherax quadricarinatus yang dipelihara dengan berbagai kepadatan

Pertumbuhan panjang mutlak yang diperoleh selama penelitian berkisar 0.64-0.78 cm (Lampiran 10, Gambar 8). Hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan kepadatan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang mutlak (P>0.05) (Lampiran 11).

0.64 + 0.16a

Gambar 8. Pertumbuhan Panjang Mutlak Cherax quadricarinatus yang dipelihara dengan berbagai kepadatan

4.1.4. Frekuensi Molting

Selama penelitian diperoleh data berapa kali cherax melakukan pergantian kulit. Berdasarkan hasil pencatatan data selama masa pemeliharaan (40 hari) diperoleh frekuensi molting rata-rata setiap lobster melakukan pergantian kulit sebanyak 0.8 - 1.14 kali. Frekuensi molting ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Frekuensi molting (kali) Cherax quadricarinatus yang dipelihara dengan berbagai padat penebaran

Ulangan Perlakuan (ekor/l)

0.5 1 1.5 2

1 1 1.09 0.97 0.78

2 1 1.22 0.94 0.80

3 1.2 1.13 0.91 0.83

Rata2 1.07 1.14 0.94 0.80

4.1.5. Efisiensi Pakan

Nilai efisiensi pakan (%) selama pemeliharaan berkisar antara 51.54-85.78% (Lampiran 12). Pada akhir pengamatan efisiensi pakan tertinggi dicapai pada perlakuan dengan padat penebaran 1 ekor/l yakni sebesar, 85.78 + 11.88%, sedangkan efisiensi pakan terendah dicapai pada perlakuan dengan penebaran 0.5 ekor/l yakni sebesar 51.54 + 19.18 %. Hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan kepadatan tidak berpengaruh terhadap efisiensi pakan (P>0.05) (Lampiran 13, Gambar 9).

72.5+ 13.53a

Gambar 9. Efisiensi pakan Cherax quadricarinatus yang dipelihara dengan berbagai kepadatan

4.1.6. Produksi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai produksi yang menggambarkan selisih antara biomassa awal dan biomassa akhir dalam satu periode pemeliharaan selama 40 hari. Hasil yang diperoleh berkisar antara 11.57 + 1.07-33.78 + 10.12 gram (Lampiran 14). Hasil penelitian menunjukan bahwa padat penebaran berpengaruh terhadap produksi tersebut (P<0,05). Produksi terendah dicapai pada padat penebaran 0.5 ekor/l yang berbeda dengan kepadatan 1.5 ekor/l dan 2 ekor/l, tetapi tidak berbeda dengan kepadatan 1 ekor/l (Lampiran 16, Gambar 10).

33.78+10.12b 29.46+7.13b

20.74+3.4ab 11.57+1.07a

0 10 20 30 40 50

0.5 ekor/l 1 ekor/l 1.5 ekor/l 2 ekor/l Padat Penebaran

produksi (gram)

Gambar 10. Produksi Cherax quadricarinatus yang dipelihara dengan berbagai kepadatan

4.1.7. Koefisien Keragaman

Nilai koefisien keragaman yang diperoleh pada setiap padat penebaran berkisar antara 10,11 – 26,41% (Lampiran 17). Hasil penelitian menunjukan bahwa padat penebaran berpengaruh terhadap koefisien keragaman tersebut (P<0,05). Koefisien keragaman terendah dicapai pada padat penebaran 0.5 ekor/l yang berbeda dengan kepadatan 1.5 ekor/l dan 2 ekor/l, sedangkan 1 ekor/l berbeda dengan kepadatan 1.5 ekor/l dan 2 ekor/l (Lampiran 19, Gambar 11).

26.41+ 6.19b

Gambar 11. Koefisien keragaman Cherax quadricarinatus yang dipelihara dengan berbagai kepadatan

4.1.8 Kualitas Air

Parameter yang diukur selama penelitian ini antara lain ialah suhu, kelarutan oksigen, pH, Kesadahan total, Alkalinitas, dan Ammoniak.

Nilai suhu berkisar antara 26-26.9 0C. Kelarutan oksigen berkisar antara 5.52 – 6.93 mg/l. Selama penelitian, konsentrasi oksigen terlarut terlihat menurun hingga akhir penelitian (Gambar 13).

0

0.5 ekor/l 1 ekor/l 1.5 ekor/l 2 ekor/l

Gambar 12. Grafik konsentrasi oksigen terlarut pada setiap wadah berdasarkan waktu.

Nilai pH berkisar antara 7.56 – 8.4. kesadahan total berkisar antara 48.05 – 87.56 mg/l CaCO . Alkalinitas berkisar antara 79.56 – 127.36 mg/l CaCO Nilai 3 3.

Total ammoniak nitrogen berkisar antara 0.026 – 0.59 mg/l. Selama penelitian, konsentrasi total amoniak nitrogen terlihat menurun hingga akhir penelitian (Gambar 14). Secara lengkap data mengenai kualitas air disajikan pada Tabel 5.

0

Gambar 13. Grafik konsentrasi total ammoniak nitrogen pada setiap wadah berdasarkan waktu.

Tabel 5. Kualitas air pada masing-masing perlakuan

satuan Padat penebaran parameter 0.5 ekor/l 1 ekor/l 1.5 ekor/l 2 ekor/l

Suhu (0C) 26.1 - 26.9 26.2 – 26.8 26 - 26.8 26.1 - 26.8 PH 7.82 - 8.34 7.82 - 8.33 7.56 - 8.29 7.86 - 8.35 DO (mg/l) 5.83 - 6.69 5.77 - 6.89 5.75 - 6.4 5.71 - 6.91 alkalinitas (CaCo3) mg/l 91.54 - 99.55 79.6 – 119.4 87.56 - 107.4691.54 - 119.4 kesadahan (CaCo3) mg/l 48.05 - 81.0860.06 - 83.58 66.07 - 87.09 54.05 - 69.07 CO2 bebas mg/l 9.9 - 15.84 1.98 - 15.84 13.86 - 19.8 7.92 - 21.78 ammoniak (N-NH3) 0.053 - 0.4310.026 - 0.404 0.053 - 0.485 0.105 - 0.59 Nitrit mg/l 0.032 - 0.1860.021 - 0.648 0.021 - 0.174 0.072 - 0.113

0.2 4 6 8

0 10 20 30 40

Pemeliharaan hari

ke-Total amoniak nitrogen (mg/l)

0.

0.

0.

0.5 ekor/l 1 ekor/l 1.5 ekor/l 2 ekor/l

4.2 Pembahasan

Selama 40 hari masa pemeliharaan, didapati kematian lobster air tawar terdapat pada setiap perlakuan. Kematian yang rendah terdapat pada padat penebaran 1,5 ekor/l yaitu 29.52%. Sedangkan kematian tertinggi terdapat pada padat penebaran 2 ekor/l yaitu 50%. Pada kepadatan 2 ekor/l kematian lebih tinggi disebabkan sifat lobster yang menguasai wilayah (Salmon et al., 1983) dan menjadi lebih agresif manakala lobster lain mendekatinya dalam kondisi ruang makin terbatas akibat lobster makin padat. Sifat agresif semakin meningkat dapat menimbulkan perkelahian di antara lobster dan berakhir kematian. Selain itu kematian yang tinggi disebabkan lobster bersifat kanibal. Sifat kanibal muncul ditandai dengan pemangsaan terhadap sesamanya saat keadaan lobster lain yang lemah ketika sedang moulting. Kematian lainnya terjadi akibat gagal moulting yang disebabkan gangguan sesamanya dan perubahan lingkungan (Holdich dan Lowery, 1988). Hal ini didasarkan pada banyaknya cangkang yang lembek pada bangkai lobster akibat moulting dan adanya lobster yang mati dalam keadaan terkelupas bagian Chephalothorax-nya akibat gagal moulting.

Menurut Wedemeyer (1996) peningkatan padat penebaran ikan dalam wadah pemeliharaan ikan yang melewati batas tertentu akan mengganggu proses fisiologis dan tingkat laku yang pada akhirnya menurunkan kondisi kesehatan, pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Hal ini terlihat pada penurunan kelangsungan hidup pada kepadatan lebih dari 1,5 ekor/l. Secara teoritis seharusnya pada padat penebaran kurang dari 1,5 ekor/l tingkat kelangsungan hidup lebih baik atau sama, seperti halnya pada penebaran 0,5 ekor/l dengan 1,5 ekor/l. Akan tetapi pada padat penebaran 1 ekor/l kematiannya lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan sifat lobster yang sering moulting sehingga menimbulkan perilaku kanibal dan akhirnya akan mempengaruhi kelangsungan hidup lobster. Pada kepadatan 1 ekor/l frekuensi moulting lebih tinggi dibandingkan dengan padat penebaran 1.5 ekor/l dan 0.5 ekor/l yaitu 1.14 kali (Tabel 5). Pasca moulting kelangsungan hidup lobster terpengaruh karena energi banyak yang dikeluarkan untuk proses moulting sehingga kondisi lemah dan sulit menghindari dari pemangsa lobster lain menyebabkan kematian.

Selama pendederan, didapati bahwa peningkatan kepadatan diikuti dengan pertumbuhan yang tidak berbeda pada setiap perlakuan. Menurut Hepher dan Pruginin (1981) pada ikan, peningkatan kepadatan akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan jika jumlah pakan, oksigen terlarut, serta buangan metabolit tidak mampu dikendalikan. Pada penelitian ini kualitas air di setiap padat penebaran berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi benih lobster untuk hidup maupun tumbuh pada (Tabel 5) sebagai akibat penggunaan instalasi resirkulasi yang berfungsi dengan baik. Demikan pula jumlah pakan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan lobster.

Selama pemeliharaan 40 hari frekuensi moulting yang tinggi pada padat penebaran 1 ekor/l yaitu 1,14 kali (Tabel 4). Hal ini dikarenakan adanya penambahan bidang pemeliharaan menjadi dua lantai sehingga kontak antar lobster jarang menyebabkan prilaku kanibal berkurang dan akhirnya lobster dapat melakukan moulting tanpa ada gangguan dari lobster lain.

Semakin tinggi padat penebaran nilai efisien pakan yang semakin rendah.

Hal ini terlihat pada penurunan efisiensi pakan pada kepadatan lebih dari 1 ekor/l.

Secara teoritis seharusnya pada padat penebaran kurang dari 1 ekor/l efisiensi pakan yang tinggi, seperti halnya pada penebaran 1 ekor/l dengan 1,5 ekor/l. Akan tetapi pada padat penebaran 1 ekor/l efisiensi pakan lebih tinggi. Hal ini terkait dengan jumlah pakan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan lobster untuk hidup dan tumbuh. Selain itu efisiensi pakan tidak berbeda disebabkan ruang gerak lobster menjadi besar sehingga lobster lebih memanfaatkan pakan diberikan untuk memenuhi kebutuhannya untuk hidup dan tumbuh. Hal ini sependapat dengan Goddard (1996) ikan membutuhkan energi yang berasal dari pakan untuk bergerak dan mencerna makan, pertumbuhan dan maintenance. Semakin banyak energi yang diperlukan untuk memenuhi maka semakin banyak pula jumlah pakan yang akan dikonsumsi.

Selama pemeliharaan 40 hari pada penebaran 1,5 ekor/l dan 2 ekor/l didapatkan hasil yang menunjukan bahwa nilai produksi lebih tinggi dibandingkan dengan 0,5 ekor/l (Lampiran 14). Produksi pada kepadatan yang lebih tinggi ini disebabkan jumlah akhir lobster yang hidup lebih banyak, walaupun pada kepadatan yang lebih tinggi tingkat kelangsungan hidup lebih rendah. Disamping

itu juga pertumbuhan tidak berbeda. Hal ini sedikit berbeda dengan yang dinyatakan Hikling (1971) dalam Syafiuddin (2000) padat penebaran yang tinggi akan didapatkan produksi tinggi pula, tetapi bobot individu kecil. Sebaliknya dengan padat penebaran yang rendah akan didapatkan produksi yang rendah pula, tetapi bobot individu besar.

Koefisien keragaman panjang menunjukan nilai variasi ukuran panjang pada perlakuan sehingga dapat diketahui keseragaman populasinya. Selama pemeliharaan 40 hari didapatkan hasil penelitian yang menunjukan bahwa peningkatan kepadatan diikuti dengan peningkatan koefisien keragaman yaitu 10,11 + 0,97% menjadi 26,41 + 6,19% (Lampiran 17). Hal ini dikarenakan terjadinya kanibal pada kepadatan yang lebih tinggi selain itu lobster memiliki sifat yang agresif saat bersaing mencari makanan sehingga lobster yang lebih besar akan lebih banyak memanfaatkan pakan yang diberikan, akibat lobster yang lebih kecil kalah bersaing. Hal ini menyebabkan variasi ukuran. Variasi ukuran ditandai dengan simpangan baku yang semakin besar. Hal ini sependapat dengan Rouse (1997) pada fase juvenil lobster sering menunjukan sifat agresif yang tinggi dan berprilaku kanibal. Sifat agresif ini akan lebih nyata terjadi pada saat tidak tersedia pakan yang memadai dan menyebabkan kanibalisme, serta kematian.

Perubahan kualitas air yang terjadi selama masa pemeliharaan secara keseluruhan masih dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh lobster untuk hidup maupun tumbuh. Suhu selama pemeliharaan relatif optimum bagi pertumbuhan lobster yakni berkisar antara 26 - 26.9 0C (Lampiran 20). Kisaran tersebut baik untuk pertumbuhan lobster seperti yang dinyatakan Holdich dan Lowery (1988), bahwa lobster jenis red claw akan mengalami pertumbuhan terbaik pada suhu 24-29 oC. kisaran suhu yang stabil akan membuat lobster tidak mengalami gangguan dalam adaptasi terhadap perubahan lingkungan sehingga menguntungkan dalam pemanfaatkan energi untuk metabolisme dan pertumbuhan.

Selama pemeliharaan 40 hari didapatkan nilai pH untuk pertumbuhan lobster berkisar antara 7.56–8.35 (Lampiran 20). Hal ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Holdich dan Lowery (1988) bahwa pertumbuhan Cherax quadricarinatus adalah berkisar 6.5-9. Nilai pH yang kurang dari 5 sangat buruk

bagi kehidupan udang karena dapat menyebabkan kematian, sedangkan pH diatas 9 dapat menurunkan nafsu makan (Merrick, 1993).

Kandungan oksigen terlarut selama penelitian ini cukup baik untuk pertumbuhan cherax yaitu berkisar antara 5.71 – 6.93 mg/l (Lampiran 20 dan Gambar 13). Secara umum dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa konsentrasi oksigen di dalam media pemeliharaan masih layak dan dapat mendukung kehidupan lobster. Selain itu jumlah lobster semakin banyak diikuti dengan peningkatan kepadatan tidak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah konsumsi oksigen. Hal ini dikarenakan air cepat terganti oleh air baru sehingga oksigen terdistribusi merata pada wadah budidaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Anonimus (2006), yang menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut yang baik untuk mendukung pertumbuhan lobster adalah lebih dari 5 mg/l.

Selama pendederan nilai alkalinitas dan kesadahan yang diperoleh berturut-turut adalah 79.6-119.4 mg/l CaCO dan 48.05-87.09 mg/l CaCO3 3

(Lampiran 20). Kisaran ini termasuk ke dalam kisaran yang optimal bagi lobster karena menurut Rouse (1997) lobster mengalami pertumbuhan optimum pada kesadahan dan alkalinitas 20-300 ppm. Sedangkan untuk kandungan amoniak yang diperoleh berkisar antara 0.026-0.59 ppm (Lampiran 20 dan Gambar 14).

Nilai ini masih berada dalam kondisi dimana lobster mampu tumbuh dengan baik sesuai dengan pernyataan Rouse (1997) bahwa lobster mampu mentolerir konsentrasi amoniak terionisasi sampai 1.0 ppm.

Setelah pemeliharaan 40 hari didapatkan hasil analisis ragam pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisis ragam pada berbagai kepadatan didalam akuarium dengan bidang dua lantai dan sistem resirkulasi

Padat

Produksi Koefisien keragaman

ekor/l

Bedasarkan Tabel 6 diatas, dibandingkan dengan kepadatan yang lain, pada kepadatan 1,5 e/l dicapai tingkat kelangsungan hidup yang tinggi, laju pertumbuhan dan efisiensi pakan yang tidak berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan akuarium berlantai ganda dapat meningkatkan produktivitas dengan produktivitas tertinggi dicapai pada kepadatan 1,5 ekor/l.

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Pada pendederan lobster, peningkatan kepadatan lobster dari 0,5 ekor/l pada ruang berlantai tunggal menjadi 1 ekor/l hingga 2 ekor/l pada lantai ganda menghasilkan kelangsungan hidup tertinggi pada kepadatan 1,5 ekor/l dan produksi yang tinggi pada kepadatan 1,5 ekor/l dan 2 ekor/l, tetapi diikuti dengan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang tidak berbeda. Berdasarkan kajian terhadap parameter-parameter penelitian didapatkan hasil yang terbaik dicapat padat penebaran 1,5 ekor/l.

Kualitas air pada penelitian ini masih berada dalam kondisi optimal.

Penggunaan instalasi resirkulasi yang dipakai dalam penelitian dapat mempertahankan kualitas air sehingga masih dapat mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup lobster.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini untuk skala produksi budidaya lobster air tawar di pendederan disarankan menggunakan kepadatan 1,5 ekor/l. Pada penelitian berikutnya disarankan agar diteliti model wadah budidaya yang cocok dengan lantai lebih dari dua dalam memanfaatkan ruang, serta kepadatan optimal setiap lantai pada wadah budidaya.

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah. 2005. Laju Pertumbuhan Pakan Red Claw dengan Pemberian Berbagai Komposisi dan Jenis Pakan Udang. [Skripsi]. IPB. Bogor

Anonimus. 2006. Biologi Lobster Air Tawar (Freshwater Crayfish).

http:www.ofish.com/Lobster Air Tawar (freshwater Crayfish)/Biolgi.html. [11 Agustus 2006].

Asbar. 1994. Hubungan Tingkat Eksploitasi dengan Struktur Populasi dan Produksi Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) di Segara Anakan. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor, 72 hlm

Bardach, J.E., J H. Rhyter., and W. O. Mc Larvery. 1972. Aquaculture, The farming and Husband of Freshwater and Marine Organism. Willey Interscience, 651p.

Cittleborough, R.G. 1975. Environmental Factors, Panulirus longopes (Milne Edwards) Aust.J. Mar and freshwater. Res. 26: 177-196

Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perairan. Yayasan Dewi Sri.Bogor.

Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

IPB.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air (Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan). Kanisius. Yogyakarta.

Frost, J. V. 1975. Australian Crayfish. Paper from the Second International Symposium on Freshwater Crayfish. Lousiana State University, Baton Rouge, Lousiana. Hal 87-96.

Gao, Y and M.G. Wheatly. 2004. Characterization and Expression of Plasma Membrane Ca2+ ATPase (PMCA3) in the Crayfish Procambarus clarkiii Antennal Gland During Molting. Journal Experimental Biologi. 207, 2991-3002.

Goddard, S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaculture. Chapman and Hall. New York.

Hepher, B. 1978. Nutrition of Fishes. Cambridge University Press. England. P.

146-172.

Hepher, B dan Pruginin.1981. Commercial Fish Farming with Special Reference to Fish Culture in Israel. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Holdich, D. M. & R. S. Lowery. 1988. Freshwater Crayfish: Biology Management, and Exploitation. Croom Helms, London and Sydney and Timber Press, Protland Oregon.

Holthius, L. B. 1949. Decapoda Macrura With Revision of the New Guinea Parastacidae. Zoological Result of the Duth New Guinea Expedition.

1939. New Guinea. New Ser., 5: 289-328.

Huet, M. 1994. Text Book of Fish Culture, Breeding and Cultivated of fishes. 2nd edition. Fishing News (Books) Ltd. London.

Irawan, D.Y. 2007. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Lobster Air Tawar Cherax quadricarinatus pada Sistem Resirkulasi dengan Kepadatan yang Berbeda. [Skripsi]. BDP. FPIK. IPB. Bogor

Jones, C. 1990. General Biology of Cherax quadricarinatus In C. C. Shelly and M. C. Perce, (Ed). Farming The Red Claw Freshwater Crayfish (Proceeding of the Seminar). P 425. Northern Territory, Department of Primary Industry and Fisheries-Darwin, Australia.

Landau, M. 1992. Introduction to Aquaculture. Jhon Whiley & Sons., Inc., New York

Ling, SW. 1976. General Account on the Biology of the Giant Freshwater Prawn Macrobrachium rosenbergii and method for itsrearing and culturing.

FAQ.18p

Merrick, J. R. Fresh.1993. Fresh water Cryfish If New South Wales Linnean Society Of New South Wales, Australia, 127 p

Nilamsari, Deviyanty. 2007. Pengaruh Perbedaan Padat Penebaran Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Lobster Air Tawar Cherax quadricarinatus. [Skripsi]. BDP. FPIK. IPB. Bogor.

Ng., W.J., K. Kho, L.M. Ho, S.L. Ong, T.S. Sim, S.H. Tay, C.C. Goh dan L.

Cheong. 1991. Water Quality Within a Resirculating System for Tropical Ornamental Fish Culture. Aquaculture 103: 123-124.

NRC, 1977. Nutrition and Requirement of Warmwater Fishes. National Academic of Sciences, Washington, D. C. 248p.

Olszewski, P. 1980. A Salute to the Humble Yabby. Angus and Robertson Publisher. Australia.

Prayugo, dan Lukito. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Riek, E. F. 1968. The Australian Freshwater Crayfish (Crustacea: Decapoda:

Parasticidae), With Description of New Species. Australian Journal Zoology. 17 (3): 855-918.

Royce, W. F. 1973. Introduction to The Fisheries Science. Academic Press. New York 315 p.

Rouse, D. B. 1997. Production of Australian Red Claw Crayfish. Auburn University Alabama. UA.

Salmon, M. and GW, Hyatt. 1983. Communication, p: 1-40. In DE. Bliss (Ed).

The Biology of crustacean.Vol. VII :Behavior and Ecology. Academic Press.New York.

Spotte, S. 1992. Fish and Invertebrate Custure. Water Management in Closed Sistem. Wiley_ International Publication, John Wiley & Sons, Inc., New York

Steel, G. D. R and J. H. Torrie. 1982. Principles and Procedures of Statistic a Biometrical Approach. 2nd Edition. Mc Graw Hill International Book Company. Japan.463p.

Stickney, R.R. 1979. Principles of Warmwater Aquaculture. John Wiley and

Stickney, R.R. 1979. Principles of Warmwater Aquaculture. John Wiley and

Dokumen terkait