• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN DATA

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara iklim organisasi dengan kesejahteraan psikologis karyawan. Artinya, semakin positif persepsi karyawan mengenai iklim organisasi maka semakin tinggi kesejahteraan psikologis karyawan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Davis (1996) yang mengatakan iklim organisasai yang baik akan mempengaruhi produktivitas, kinerja, dan kepuasan kerja karyawan. Kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan Tait, Padget, dan Baldwin (1989) terdapat korelasi positif antara kepuasan kerja dengan kesejahteraan psikologis. Artinya, karyawan yang mempersepsikan iklim organisasi dengan positif, akan merasakan kepuasan dalam bekerja sehingga memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi.

Ada beberapa alasan yang yang dapat menjelaskan hubungan positif antara iklim organisasi dengan kesejahteraan psikologis. Pertama, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aryansah & Kusumaputri (2013) terdapat korelasi positif yang signifikan antara iklim organisasi dengan kualitas kehidupan karyawan. Idrus (2006) mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja antara individu yang satu dengan yang lainnya dapat berbeda disebabkan oleh persepsi yang berbeda

terhadap iklim organisasi di tempat kerja. Individu yang mempersipkan iklim organisasi secara positif, maka akan tercipta rasa nyaman dan kenikmatan dalam bekerja, yang akhirnya menghasilkan kualtas kehidupan kerja yang baik. Sebaliknya, individu yang mempersepsikan iklim organisasinya secara negatif, akan menyebabkan kebosanan dalam bekerja, menurunnya gairah kerja, sehingga kualitas kehidupan kerja yang baik tidak tercapai. Kualitas kehidupan kerja merupakan cerminan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya yang berdampak pada kesejahteraan psikologis karyawan (Umstot, 1988; Idrus, 2006).

Kedua, berdasarkan penelitian yang dilakukan Martini & Rostiana (2003) ditemukan bahwa iklim organisasi memiliki hubungan positif yang signifikan dengan komitmen karyawan. Komitmen karyawan yang tinggi akan membuat karyawan lebih stabil dan produktif dalam bekerja sehingga membawa keuntungan bagi organisasi (Greenberg & Baron, 2003 ; Sopiah, 2008). Menurut Annisa & Zulkarnain (2013) karyawan yang sejahtera dalam pekerjaannya akan memiliki komitmen yang tinggi.

Ketiga, menurut Burke (1994) iklim organisasi yang kondusif berkaitan dengan stres kerja melalui persepsi karyawan terhadap pekerjaannya. Karyawan yang tidak didukung dengan iklim organisasi yang kondusif cenderung akan mengalami stres. Stres yang berlebihan akan mempengaruhi kebahagiaan serta menciptakan intensi pada karyawan untuk keluar dari perusahaan tempat ia bekerja, sebagai usaha menghindari stres (Daniels, 2000 ; Rego & Cunha, 2008). Hal ini sesuai dengan pernyataan Zulkarnain & Akbar (2013) bahwa

kesejahteraan karyawan merupakan prediktor negatif terhadap intensi turnover

karyawan.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dimensi-dimensi iklim organisasi, yaitu struktur, standar, tanggungjawab, penghargaan, dukungan, serta komitmen semuanya berhubungan positif dan signifikan terhadap kesejahteraan psikologis, hal ini terlihat dari nilai p < 0.01. Jika ditinjau berdasarkan iklim organisasi Stringer (2002) dapat diketahui bahwa dimensi struktur berkorelasi positif disebabkan oleh subjek yang merasa pekerjaan mereka memiliki kejelasan peran dan tanggung jawab yang baik, dimensi standar berkorelasi positif disebabkan oleh subjek yang berupaya mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya, dimensi tanggung jawab berkorelasi positif disebabkan oleh subjek yang memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dimensi penghargaan berkorelasi positif disebabkan oleh karyawan yang merasa dihargai oleh perusahaan setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan mendapatkan upah yang layak, dimensi dukungan berkorelasi positif disebabkan oleh karyawan yang merasa mendapatkan kepercayaan dan dukungan, serta bantuan dari rekan kerja maupun atasannya, serta dimensi komitmen berkorelasi positif disebabkan oleh karyawan yang memiliki perasaan bangga terhadap perusahaannya dan ingin tetap bertahan dalam perusahaan, serta berusaha mencapai tujuan perusahaan.

Perbandingan mean empirik dengan mean hipotetik dari variabel kesejahteraan psikologis juga menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik dengan nilai X(162,2) >µ(126). Sebagian besar subjek

penelitian yaitu sebanyak 72 % atau 61 subjek memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi dan 28 % atau 24 subjek yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis sedang. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis yang dirasakan subjek penelitian adalah tinggi. Artinya kepuasan yang dirasakan subjek berdasarkan evaluasi terhadap pengalaman hidupnya bernilai positif, yang ditandai dengan sikap dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, serta terus tumbuh secara personal. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ryff (1989) bahwa individu yang memiliki kesejahteraan psikologis tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mampu mengontrol lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, serta mampu mengembangkan dirinya sendiri.

Kemudian perbandingan mean empirik dengan mean hipotetik dari variabel iklim organisasi menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik dengan nilai X (141,38) > µ (114). Sebagian besar subjek penelitian yaitu sebanyak 53 % atau 45 subjek merasakan iklim organisasi yang positif dan 47 % atau 40 subjek merasakan iklim organisasi yang netral. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi subjek terhadap iklim organisasi adalah positif. Artinya persepsi subjek terhadap lingkungan pekerjaannya positif dan hal tersebut mempengaruhi perilaku mereka dalam bekerja. Hal ini sejalan dengan pernyataan

Gibson & Ivancevich (1990) yang menyatakan bahwa persepsi terhadap lingkungan kerja merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh orang-orang yang bekerja dalam lingkungan organisasi dan mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian serta saran-saran yang dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Ada hubungan positif yang signifikan antara iklim organisasi dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan. Semakin positif karyawan mempersepsikan iklim organisasinya maka semakin tinggi kesejahteraan psikologisnya.

2. Berdasarkan katergorisasi iklim organisasi sebagian besar subjek penelitian mempersepsikan iklim organisasi yang positif sebanyak 53% dan sisanya sebanyak 47% subjek mempersepsikan iklim organisasi yang netral. Tidak ada subjek yang mempersepsikan iklim organisasi rendah.

3. Berdasarkan kategorisasi kesejahteraan psikologis sebagian besar subjek penelitian memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi sebanyak 72 % dan sebanyak 28 % subjek memiliki kesejahteraan psikologis sedang. Tidak ada subjek yang memiliki kesejahteraan psikologis rendah.

4. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa semua dimensi iklim organisasi yaitu, struktur, standar, tanggungjawab, penghargaan, dukungan, dan komitmen

memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kesejahteraan psikologis karyawan.

B. SARAN

1. Saran Metodologis

Mengingat pentingnya kesejahteraan psikologis karyawan dalam meningkatkan keberhasilan suatu perusahaan, untuk itu diharapkan peneliti selanjutnya meneliti variabel lain yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan kesejahteraan psikologis karyawan.

2. Saran Praktis

Pihak perusahaan diharapkan mampu mempertahankan dan meningkatkan iklim yang kondusif agar karyawan selalu mempersepsikan iklim organisasi di perusahaan tersebut dengan positif sehingga akan meningkatkan kesejahteraan psikologis karyawan. Dengan begitu karyawan akan bekerja dengan optimal, berusaha mencapai target perusahaan, serta memiliki produktivitas kerja yang tinggi yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan bagi perusahaan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1 Definisi Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1989) menjelaskan istilah psychological well-being atau kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar dilihat dari ada atau tidaknya penyakit fisik saja. Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well). Kesejahteraan psikologis merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidupnya sehari-hari (Warr, 1978). Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental yang negatif, seperti: ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya, sampai ke kondisi mental yang positif, yaitu realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, 1969; Warr, 1978).

Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil dari evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya baik evaluasi secara kognitif maupun evaluasi secara emosi. Dalam evaluasi secara koginitif, kesejahteraan adalah sebuah bentuk kepuasan dalam hidup, sementara sebagai

hasil dari evaluasi secara emosi yaitu berupa affect atau perasaan senang. Diener (1984) menyamakan psychological well being dengan subjective well being, yaitu penilaian seseorang terhadap hidupnya yang meliputi reaksi emosional terhadap suatu peristiwa dan evaluasi yang dinyatakan baik pada saat suatu peristiwa terjadi atau secara global setelah waktu yang lama.

Sedangkan menurut Keyes, Shmotkin & Ryff (2002) psychological well-

being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek

negatif namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tan- tangan sepanjang hidup. Psychological well-being dapat dinyatakan sebagai gambaran mengenai level yang tertinggi dari fungsi individu sebagai manusia dan apa yang diharapkan sebagai makhluk yang memiliki tujuan dan akan berjuang untuk tujuan hidupnya (Synder & Lopez, 2002). Individu yang memiliki

psychological well-being yang positif adalah individu yang memiliki respon

positif terhadap dimensi - dimensi psychological well-being yang berkesinambungan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis atau psychological well-being adalah suatu bentuk kepuasan yang dirasakan seseorang berdasarkan evaluasi terhadap pengalaman hidupnya, yang akan menimbulkan perasaan bahagia maupun sebaliknya.

A.2 Perspektif Kesejahteraan Psikologis

Terdapat dua paradigma dan perspektif besar mengenai kesejahteraan psikologis yang diturunkan dari dua pandangan filsafat yang berbeda, yaitu

pendekatan eudaimonic dan pendekatan hedonic (Ryan & Deci, 2001). Perspektif

hedonic menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis dapat dicapai dengan

melibatkan kebahagiaan secara subjektif. Konsep yang banyak dipakai dengan pandangan hedonic adalah subjective well-being. Sedangkan perspektif

eudamonic menjelaskan bahwa kesejahteraan tidak hanya terdiri dari

memaksimalkan pengalaman positif dan meminimalkan pengalaman negatif (Ryan & Deci, 2001) tetapi merujuk pada hidup sepenuhnya atau memungkinkan seseorang untuk mengaktualisasikan potensi dirinya (Ryan, Huta, & Deci, 2008). Pandangan eudaimonic banyak dipakai pada konsep psychological well-being.

Ryan dan Deci lebih lanjut menjelaskan bahwa penjelasan mengenai well-

being dalam eudaimonic di sini lebih ditekankan pada kesejahteraan diri yang

melibatkan pemenuhan atau identifikasi diri seseorang yang sebenarnya, dengan kata lain seseorang akan bahagia ketika mereka berhasil mewujudkan kebahagiannya tersebut melalui potensi dalam diri mereka sendiri. Ryff sebagai tokoh dalam perspektif eudaimonic menjelaskan istilah kesejahteraan psikologis untuk membedakan dari konsep kesejahteraan subjektif yang memiliki kekhasan konsep hedonic. Ryff mencoba mengatasi batasan tersebut dan mendefinisikan kesejahteraan sebagai pengembangan potensi nyata manusia (Ryff, 1995). Kebahagian atau kesejahteraan psikologis bukan motivasi utama dari manusia melainkan hasil dari menjalani hidup dengan baik (Ryff & Keyes, 1995; Ryff & Singer, 1998). Perspektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif eudamonic dengan menggunakan konsep psychological well-being atau kesejahteraan psikologis.

A.3 Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan Ryff (1989) mengacu pada teori positive psychological functioning (Maslow, Rogers, Jung, Alport), teori perkembangan (Erickson, Buhler, Neugarten), dan teori kesehatan mental (Jahoda). Dimensi-dimensi tersebut terdiri dari 6 dimensi, yaitu : 1. Dimensi Penerimaan diri (self-acceptance)

Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa lalunya. Individu yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya, individu yang menilai negatif diri sendiri menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personalnya dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri atau tidak menerima diri apa adanya (Ryff, 1995).

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Hubungan positif yang dimaksud adalah kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan

empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi. Sebaliknya, individu yang memiliki nilai rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain, akan terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1995).

3. Otonomi (autonomy)

Otonomi yang dimaksud adalah kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang memiliki nilai otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu menentukan nasib sendiri

(self-determination) dan mengatur perilaku diri sendiri, memiliki kemampuan

mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, serta mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan dari orang lain. Sebaliknya, individu yang nilainya rendah dalam dimensi otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegang pada penilaian orang lain untuk mmembuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu (Ryff, 1995).

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Penguasaan lingkungan digambarkan dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang

tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan, dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadinya. Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri di lingkungan sekitarnya (Ryff,1995).

5. Tujuan hidup (purpose of life)

Tujuan hidup memiliki pengertian sebagai individu yang memiliki pemahaman jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa ia mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sebaliknya individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff,1995).

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang dirinya sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak mengetahui peningkatan dan pengembangan dirinya, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik (Ryff,1995).

A.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Huppert (2009) menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan, yaitu :

1) Dukungan sosial, merupakan gambaran perilaku mendukung kepada individu

yang dilandasi emosi positif dari orang-orang yang bermakna dalam hidupnya, terutama keluarga. Individu membutuhkan dukungan sosial baik yang berasal dari atasan, teman kerja maupun keluarga (Ganster, Fusilier & Mayes, 1986). Umstot (1988) mengatakan bahwa iklim organisasi yang baik salah satunya ditandai dengan adanya perhatian, kehangatan dan dukungan yang diberikan organisasi baik dari rekan kerja maupun atasan.

2) Kepribadian, merupakan individu dengan kepribadian yang senang bergaul, energik, dan mampu mengontrol hubungannya dengan orang lain akan memunculkan emosi yang positif.

3) Usia, dimana kesejahteraan dipandang sebagai aspek yang berkembang

seiring meningkatnya usia.

4) Jenis kelamin berkaitan erat dengan kebahagiaan seseorang. Wanita yang

memiliki skor tinggi pada skala yang menilai fungsi sosial, seperti menjalin hubungan positif dengan orang lain.

5) Status sosial ekonomi berkaitan erat dengan kebahagiaan individu. Dolan,

Peasgood & White (2008) menyebutkan bahwa individu dengan tingkat sosial dan pendapatan yang tinggi akan memperoleh kebahagiaan yang lebih tinggi dan cenderung terhindar dari stress.

B.IKLIM ORGANISASI B.1 Definisi Iklim Organisasi

Menurut Tagiuri dan Litwin (1968) iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dijelaskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi. Iklim organisasi sebagai pola lingkungan yang menentukan munculnya motivasi serta berfokus pada persepsi-persepsi yang dapat dinilai, sehingga mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja anggota organisasi (Stringer,1968; Wirawan, 2007).

organisasi melakukan pekerjaannya. Iklim organisasi tidak dapat dilihat atau disentuh tetapi iklim ada seperti udara dalam suatu ruangan, mengitari dan mempengaruhi segala hal yang terjadi dalam suatu organisasi (Davis 1996). Menurut Owens (1991) iklim organisasi adalah persepsi anggota tentang lingkungan kerja organisasi.

Steers (1985) mengatakan bahwa konsep iklim organisasi yang sebenarnya adalah mengenai sifat-sifat atau ciri yang dirasa terdapat dalam lingkungan kerja yang timbul terutama karena kegiatan organisasi, yang dilakukan secara sadar atau tidak, dan mempengaruhi perilaku. Dengan kata lain, iklim organisasi merupakan kepribadian dari organisasi seperti yang dilihat oleh para anggotanya.

Rossow (1990) iklim organisasi merujuk pada karakteristik organisasi secara keseluruhan dan berhubungan dengan perasaan anggota di dalamnya. Wirawan (2008) mendefiniskan iklim organisasi sebagai persepsi anggota organisasi (secara individual dan kelompok) dan mereka yang secara tetap berhubungan dengan organisasi mengenai apa yang ada atau terjadi di lingkungan organisasi secara rutin, yang mempengaruhi sikap dan perilaku organisasi dan kinerja anggota organisasi kemudian menentukan kinerja organisasi.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat dilihat bahwa iklim organisasi menyangkut persepsi anggota organisasi, tentang sifat-sifat dan karakteristik organisasi yang mencerminkan norma serta keyakinan dalam organisasi yang akan mempengaruhi perilaku dalam organisasi.

B.2 Dimensi Iklim Organisasi

Terdapat 6 dimensi iklim organisasi menurut Stringer (2002) yang diperlukan yakni ;

1. Struktur. Struktur mengukur perasaan karyawan dalam organisasi dengan baik

dan mempunyai definisi yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab mereka dalam organisasi. Meliputi posisi karyawan dalam perusahaan. Struktur memiliki nilai tinggi jika anggota merasa pekerjaan mereka memiliki kejelasan peran dan tanggung jawab yang baik. Struktur memiliki nilai rendah jika anggota merasa tidak ada kejelasan mengenai peran dan tugasnya serta memiliki wewenang untuk mengambil keputusan

2. Standar. Mengukur perasaan tekanan anggota organisasi untuk memperbaiki

kinerja dan tingkat kebanggaan yang dimiliki anggota dalam melakukan pekerjaannya dengan baik. Hal ini meliputi kondisi kerja anggota dalam organisasi. Standar yang tinggi artinya anggota organisasi selalu berupaya mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya. Sementara standar yang rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerjanya.

3. Tanggung jawab. Merefleksikan perasaan anggota dalam organisasi bahwa

mereka adalah pemimpin untuk dirinya sendiri dan tidak meminta pendapat orang lain untuk mengambil keputusan. Tanggung jawab yang tinggi menunjukkan bahwa anggota organisasi merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, sementara tanggung jawab rendah menunjukkan bahwa kurangnya pengambilan resiko dan upaya untuk mencoba melakukan strategi yang baru.

4. Penghargaan. Perasaan anggota bahwa ia dihargai setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Hal ini meliputi imbalan atau upah yang diterima anggota setelah menyelesaikan pekerjaannya. Iklim organisasi yang menghargai kinerja anggota memiliki keseimbangan antara memberikan imbalan dan kritik. Penghargaan rendah jika anggota tidak diberikan imbalan yang konsisten setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

5. Dukungan. Merefleksikan perasaan anggota dalam organisasi mengenai

kepercayaan dan saling mendukung yang berlaku dikelompok kerja. Meliputi hubungan dengan rekan kerja yang lain. Dukungan bernilai tinggi jika anggota organisasi merasa bahwa mereka menjadi bagian dari tim yang baik dan merasa memperoleh bantuan dari atasannya jika mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas. Sementara dukungan bernilai rendah apabila anggota organisasi merasa terisolasi atau tersisih sendiri.

6. Komitmen. Merefleksikan perasaan bangga anggota terhadap organisasinya dan

tingkat kesetiaan anggota terhadap pencapaian tujuan organisasi. Perasaan untuk memiliki komitmen yang kuat berkaitan dengan kesetiaan anggota. Komitmen bernilai rendah apabila anggota merasa tidak peduli terhadap organisasi dan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi.

B.3 Manfaat Iklim Organisasi

Terdapat beberapa penelitian mengenai manfaat iklim organisasi, antara lain: iklim organisasi yang positif berkorelasi dengan hasil kerja yang positif, sikap karyawan kerja yang positif, dan menurunkan niat untuk meninggalkan

organisasi (Aarons & Sawitzky, 2006), kualitas iklim organisasi yang layak berhubungan dengan karyawan dan berpengaruh berpengaruh positif untuk tetap bertahan di dalam organisasi (Schulte, Ostroff, Shmulyian & Kinicki, 2009) kemudian Patterson, Warr & West (2004) menemukan bahwa iklim organisasi

Dokumen terkait