• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian pada sampel pegawai negeri sipil di Medan menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif work family conflict terhadap work engagement sebesar 17,1 %. Artinya variabel work family conflict dapat menurunkan work engagement sebesar 17,1 %.

Hasil pengujian hipotesis ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli terdahulu dan penelitian-penelitian terdahulu, dimana terdapat pengaruh negatif work family conflict terhadap work engagement. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Amalia (2012) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara work-family conflict dan karakteristik pekerjaan secara bersama-sama terhadap work engagement.

Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan pengaruh negatif work family conflict terhadap work engagement. Pertama, Menurut penelitian Apeerson (2002), mayoritas pria dan perempuan sekarang ini memiliki kedudukan ganda, sebagai orang tua dan juga karyawan dengan jenis pekerjaan full-time. Dikatakan

Primastuti (2000), bahwa banyak dari mereka yang memainkan peranan ganda dalam dunia kerja untuk mendapatkan penghasilan dan kepuasan. Sehingga dalam perjalanannya, peran ganda yang dimainkan terkadang menimbulkan konflik. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Greenhaus dan Beutell (1985), dimana konflik yang terjadi pada individu disebabkan oleh pekerjaan yang menuntut waktu pada suatu peran sehingga tidak mungkin secara fisik memenuhi tuntutan yang muncul dari peran lain.

Kedua, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa work family conflict merupakan salah satu faktor yang berperan dalam mempengaruhi work engagement pegawai. Work family conflict terdiri dari konflik pekerjaan, yaitu konflik yang terjadi ketika aktivitas pekerjaan mengganggu tanggungjawab individu dalam keluarga, dan konflik keluarga, yaitu konflik yang terjadi ketika peran dalam keluarga mengganggu aktivitas pekerjaan. Sebagaimana dikemukakan Byron (2005) bahwa work family conflict akan menyebabkan individu menjadi kurang berkonsentrasi pada pekerjaanya. Individu yang tidak fokus pada pekerjaan nya akan menghasilkan performansi, produktivitas, loyalitas yang rendah dan hal tersebut merupakan ciri karyawan yang tidak bahagia di tempat kerjanya (Grywcs, Marin, Burke & Quandt, 2007). Karyawan yang tidak bahagia dalam pekerjaan adalah karyawan yang dikategorikan kedalam actively disanged (Vazirani, 2007).

Ketiga, menurut Vazirani (2007) job satisfaction merupakan salah satu faktor yang mendorong engagement pada pegawai. Vazirani (2007) mengungkapkan hanya pegawai yang puas yang bisa menjadi pegawai yang engaged. Kepuasan terhadap pekerjaan didapatkan melalui dukungan keluarga dan dukungan atasan atau rekan dalam pekerjaan. Hal ini sejalan dengan Greenhaus dan Parasuraman (1986) dimana, work family conflict berhubungan negatif dengan job satisfaction.

Berdasarkan pengujian analisis korelasi pearson, ketiga dimensi work family conflict memiliki hubungan dengan work engagement, namun berdasarkan hasil analisis regresi stepwise diketahui bahwa dari tiga dimensi work family

conflict ternyata hanya satu dimensi yang memiliki pengaruh terhadap work engagement yakni dimensi strain based conflict. Hal ini sejalan dengan pendapat (Greenhaus & Beutell, 1985) dimana dimensi strain-based conflict, dapat memunculkan gejala-gejala ketegangan yang menyebabkan individu sulit memenuhi tugas dalam keluarga secara optimal yang kemudian akan menyebabkan interaksi individu dengan anggota lainnya akan menjadi buruk (Thomas & Ganster, 1995). Hal ini diidentikkan denfan aspek absorption dari work engagement yaitu minat yang mendalam serta konsentrasi yang penuh terhadap pekerjaan dimana waktu terasa begitu cepat berlalu dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan yang akan mengakibatkan individu lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu begitu cepat, yang nantinya akan menyebabkan interaksi individu dengan anggota lainnya akan menjadi buruk karena individu lupa akan sekelilingnya. Hal ini dapat diartikan ketika individu larut dalam pekerjaannya, ia lupa akan sekelilingnya dan interaksi dengan anggota keluarganya akan terganggu.

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh sumbangan efektif work family conflict terhadap work engagement adalah sebesar 17,1 % sedangkan sisanya yang sebesar 82,9 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diukur dalam penelitian, misalnya seperti lingkungan fisik, sosial, dan organisasi, gaji, peluang untuk berkarir, dukungan supervisor, serta performance feedback dan sebagainya.

Schaufeli (2011) menyatakan bahwa ada beberapa pekerjaan yang menuntut work engagement yang tinggi yaitu pekerjaan yang melibatkan kualitas pelayanan sebagai modal utamanya. Salah satu pekerjaan yang melibatkan

pelayanan sebagai modal utama adalah pegawai negeri sipil yang bertugas melayani masyarakat.

Work family conflict pada subjek penelitian ini tergolong sedang, berdasarkan hasil penelitian terdapat 51 orang (51%) mengalami work family conflict dalam kategori sedang. Hal ini berarti subjek cukup sering mengalami kendala- kendala dalam menjalankan kedua perannya, tetapi masih bisa ditangani dengan baik dan masih bisa beradaptasi dengan baik terhadap konflik yang terjadi antara peran sebagai anggota keluarga dan sebagai pegawai. Selain itu berdasarkan hasil penelitian terdapat 49 orang (49%) mengalami work family conflict dalam kategori rendah. Hal ini berarti subjek dalam penelitian dapat menjalankan kedua perannya sebagai anggota keluarga dan pegawai dengan baik, jarang mengalami kendala yang berarti dalam menjalankan kedua peran tersebut, walaupun kedua peran tersebut harus dijalankan secara bersamaan. Dan tidak ada subjek yang berada pada kategori work family conflict yang tinggi.

Sementara pada work engagement, berdasarkan hasil penelitian terdapat 59 orang (59%) dengan kategori tinggi dapat diartikan bahwa subjek penelitian mempunyai tingkat work engagemet yang tinggi. Banyaknya jumlah PNS yang memiliki skor engagement yang tinggi dapat didukung oleh beberapa hal yang terjadi yang tidak bisa dilihat dalam penelitian ini, misalnya pegawai takut kehilangan pekerjaan mereka. Ikhwan (2013) mengungkapkan bahwa banyak PNS di Medan yang tidak mematuhi jam kerjanya, masalah absensi pun merupakan masalah yang selalu ditemukan dalam setiap instansi. Hal ini terlihat dari pengamatan peneliti sewaktu melakukan penelitian, banyak pegawai negeri

sipil yang tidak masuk kerja pada saat jam kerja, dan mereka melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan seperti bermain gadget.

Hasil dari work engagement PNS yang tinggi tidak sejalan dengan, keluhan-keluhan yang datang dari masyarakat tentang kinerja Pegawai Negeri Sipil, yang menunjukkan masih adanya berbagai keterbatasan yang dipunyai oleh Pegawai Negeri Sipil terutama menyangkut masalah yang berhubungan dengan pelayanan para aparatur pemerintah. Banyaknya PNS yang tidak berkualitas terlihat dari banyaknya PNS yang kurang memiliki kemauan sendiri untuk bekerja dengan baik. Para PNS tersebut tidak mengerjakan tugas yang seharusnya menjadi kewajiban mereka dengan baik dan sungguh-sungguh. Begitu juga dengan tindakan-tindakan tidak disiplin yang masih sering dilakukan oleh PNS seperti datang terlambat, pulang cepat (tidak sesuai dengan jam kerja) dan tidak masuk kerja.

BAB V

Dokumen terkait