BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
1. Kemampuan Metakognitif
Hasil analisis regresi linier ganda untuk mengetahui hubungan kemampuan metakognitif dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 skor kemampuan Kimia Analitik akan meningkatkan skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik sebesar 0,4. Pengaruh positif tersebut sejalan dengan pendapat Cautinho (2008) yang menyimpulkan bahwa metakognisi merupakan prediktor penting dalam prestasi akademis seseorang.
Meski menggunakan instrumen yang berbeda, Young dan Fry (2008) juga menyimpulkan bahwa kemampuan metakognitif berkorelasi positif secara signifikan terhadap keberhasilan pebelajar secara akademis, ditinjau dari IPK dan nilai akhir mata kuliah yang diujikan. Korelasi signifikan tersebut didapatkan baik pada komponen kemampuan metakognitif (metacognitive knowledge), maupun komponen pengaturan metakognitif (metacognitive regulation).
commit to user
38
Secara spesifik, metakognisi akan berperan sebagai mediator signifikan antara mastery goals seorang pebelajar dan keberhasilan akademisnya. Mastery
goals merupakan tujuan belajar yang berorientasi pada penguasaan materi yang
dipelajari, dan bukan sekedar pencapaian nilai yang lebih baik maupun keinginan untuk terlihat mampu di depan orang lain. Pebelajar dengan mastery goals
cenderung memiliki kemampuan metakognitif yang lebih baik. Seiring dengan kondisi tersebut, prestasi akademik yang akan diraih oleh pebelajar yang bersangkutan juga semakin baik (Cautinho, 2007).
Prestasi akademis dalam sebuah proses pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh kemampuan kognitif, namun juga melibatkan kecerdasan afektif serta psikomotorik yang dimiliki seorang pebelajar. Demikian pula dengan manfaat implementasi kemampuan metakognitif. Dalam pembelajaran laboratorium, sebagai proses pengasahan keterampilan psikomotorik, metakognitif berperan sebagai pengatur proses berfikir sebelum seorang pebelajar melakukan tindak psikomotorik dalam melakukan analisa laboratoris.
Amin dan Eng (2003) menyatakan bahwa kemampuan metakognitif diyakini sebagai kemampuan kognitif tingkat tinggi yang diperlukan untuk manajemen pengetahuan. Hal tersebut mengindikasikan adanya hubungan positif antara kemampuan metakognitif dan kemampuan manajemen pengetahuan. Sehingga, ketika seseorang memiliki kemampuan metakognitif yang lebih baik, ia akan mampu mengatur pengetahuannya dengan lebih baik pula. Adanya pengaturan pengetahuan yang lebih baik, akan mendorong seorang pebelajar
commit to user
39
untuk dapat melakukan tindak psikomotoris secara lebih baik sebagai respon atas tugas yang sedang dihadapi atau aktivitas yang harus diselesaikannya.
Menurut Peirce (2003), metakognitif meliputi tiga jenis pengetahuan berikut: deklaratif, prosedural dan kondisional. Pembelajaran keterampilan laboratorium Kimia Analitik berkaitan sangat erat dengan jenis pengetahuan prosedural dan kondisional. Pengetahuan prosedural menjadi dasar untuk dapat menentukan serta melakukan analisa laboratoris dengan prinsip serta prosedur yang tepat. Sedang pengetahuan kondisional akan menjadi bekal untuk memutuskan metode analisa laboratoris apa yang paling sesuai dengan kondisi sampel analisa yang diperoleh.
Dalam proses standarisasi secara volumetri, seperti yang diujikan kepada subyek dalam penelitian ini, salah satu peran penting dari pengetahuan prosedural dan kondisional adalah ketika menentukan titik akhir titrasi yang terlihat pada larutan standar primer yang diuji. Penentuan titik akhir titrasi merupakan salah satu titik kritis dalam keberhasilan analisa volumetri. Ketidaktepatan dalam pengamatan titik akhir akan berakibat pada ketidaktepatan penghentian proses titrasi. Hal tersebut akan berdampak pula pada ketidaktepatan perhitungan konsentrasi dari larutan yang distandarisasi. Oleh karena itu, ketepatan dalam pengamatan titik akhir titrasi akan sangat menentukan tingkat keterampilan dalam melakukan analisa Kimia Analitik.
Reid dan Shah (2007) menyatakan bahwa dalam setiap pembelajaran laboratorium, yang menjadi bekal utama bagi seluruh pebelajar pada Program Studi vokasional seperti Analis Kesehatan, mahasiswa harus mampu
commit to user
40
mengilustrasikan ide dan konsep ke dalam sebuah percobaan empiris. Disamping itu, mereka juga harus memiliki kemampuan dalam menginterpretasikan hasil analisa yang telah dilakukannya. Salah satu aspek metakognitif yang mendukung kompetensi tersebut adalah bahwa metakognitif merupakan kecakapan untuk melakukan interfensi dan/ atau mengaplikasikan solusi pada situasi tertentu secara efisen dan reliabel (Taylor, 1999).
Berkaitan dengan hal tersebut, dapat pula dikatakan bahwa tingkat keterampilan pebelajar dalam melakukan analisa kimia secara laboratoris akan berkaitan erat dengan kemampuan melakukan interfensi atau mengaplikasikan berbagai teknik analisa kimia secara tepat dan efisien. Interfensi yang mampu dilakukan dalam analisa Kimia Analitik akan berkaitan dengan bagaimana seorang analis mampu mencari pemecahan atas permasalahan analitis yang dihadapinya.
Poncorini (2006) membuktikan dalam penelitiannya bahwa metakognitif
memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah.
Kemampuan ini sangat dibutuhkan dalam proses analisa laboratoris secara kimiawi, terutama ketika ditemukan adanya hasil yang tidak berada dalam rentang yang dapat diterima. Bekal kemampuan metakognitif yang mencukupi akan membantu seorang analis melakukan upaya penelusuran kesalahan pada setiap tahap analisa yang telah dilakukan. Kemampuan pemecahan masalah juga akan membantu proses koreksi serta pengujian kembali sampel yang dianalisa sampai didapatkan hasil yang tepat.
commit to user
41
Disamping pengetahuan atas tingkat kognisi yang dimiliki, Pintrich (2002) juga menjabarkan metakognitif dalam 2 dimensi lainnya, yaitu: pengetahuan strategis dan pemahaman terhadap diri sendiri. Selayaknya sebuah proses, pembelajaran akan melewati berbagai tahap serta permasalahan sebelum pada akhirnya tujuan atau kompetensi yang diharapkan dapat dicapai. Untuk itu, sangat diperlukan kemampuan untuk mengetahui dan menerapkan berbagai strategi pada situasi yang berbeda. Kondisi belajar seringkali mengalami berbagai perubahan, baik karena faktor internal maupun eksternal dari pebelajar yang bersangkutan. Setiap perubahan yang terjadi akan membutuhkan strategi solutif yang berbeda. Demikian pula untuk setiap pencapaian kompetensi yang berbeda. Pebelajar terkadang harus melakukan pendekatan strategi belajar yang berbeda pula untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Pemahaman terhadap diri sendiri meliputi kewaspadaan diri atas seberapa dalam pengetahuan yang telah dimiliki dan pada bagian ilmu mana yang belum dipahami. Dimensi ini menjadikan metakognitif sebagai sarana untuk berintropeksi terhadap kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki seorang pebelajar. Pengetahuan terhadap bagian ilmu yang belum dikuasai akan menjadi bekal bagi pebelajar untuk melakukan strategi berbeda dalam rangka mencapai pemahaman yang lebih baik atas pengetahuan tersebut.
Pengetahuan terhadap tingkat pemahaman yang dimiliki juga menjadi sarana penting dalam pencapaian kompetensi dan keterampilan laboratorium. Ketika disadari bahwa sebuah pengetahuan belum dikuasai dengan baik, seorang pebelajar dapat melakukan upaya perbaikan secara maksimal untuk mencapai
commit to user
42
kompetensi yang diinginkan. Demikian pula sebaliknya, ketika seorang pebelajar mengetahui kompetensi mana yang telah dikuasai dengan baik, maka ia dapat mengalokasikan waktu dan konsentrasi yang dimiliki untuk mempelajari kompetensi lain yang belum dikuasai. Dunning, Johnson, Ehlinger dan Kruger (2003) bahkan menambahkan, inkompetensi dapat diartikan sebagai kegagalan dalam melakukan aktivitas metakognisi, dimana seseorang yang bersangkutan tidak mampu mengidentifikasi tepat atau tidaknya respon yang diberikan terhadap tugas yang dibebankan.
Baik pengetahuan strategis maupun pemahaman terhadap diri sendiri akan berkontribusi terhadap tingkat keterampilan laboratorium Kimia Analitik. Depdiknas (2003) dalam Standar Kompetensi Nasional Bidang Keahlian Analis Kesehatan mengungkapkan bahwa standar kompetensi seorang Analis Kesehatan juga meliputi penerapan kemampuan dan pengetahuan pada situasi dan lingkungan yang berbeda. Hal ini berarti, setiap Analis Kesehatan seharusnya memiliki pengetahuan strategis untuk mampu secara tepat dan terampil melakukan berbagai analisa yang dibutuhkan pada berbagai kondisi. Pemahaman atas kelebihan dan kekurangan pribadi juga akan memudahkan seorang analis untuk menyusun langkah strategis dalam mengatasi kekurangan dan mengoptimalkan kelebihannya.
2. Efikasi Diri
Hasil analisis regresi terhadap hubungan antara keterampilan laboratorium Kimia Analitik dan efikasi diri menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 skor efikasi
commit to user
43
diri akan meningkatkan skor keterampilan laboratorium sebesar 0,9. Hal ini mendukung hasil penelitian Naqiyah et al (2007) yang menemukan bahwa efikasi diri dalam mengatasi masalah (coping self efficacy) memiliki pengaruh signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa. Subyek dalam penelitian tersebut adalah mahasiswa Universitas Negeri Surabaya dengan alat ukur prestasi akademik berupa IPK mahasiswa.
Sebagai bentuk kepercayaan diri untuk menjalankan tugas pada sebuah tingkatan tertentu, efikasi diri akan membentuk sugesti dan persepsi atas
keberhasilan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Bandura dalam
Schwarzer (1998) menyatakan bahwa keberadaan efikasi diri akan membuat perbedaan pada bagaimana seseorang merasa, berpikir dan bertindak. Efikasi diri yang rendah akan berkorelasi dengan rendahnya self esteem yang dimiliki serta terbentuknya rasa pesimis dalam penyelesaian aktifitas. Hasil penelitian Lane, Lane dan Kyprianou (2004) menunjukkan bahwa efikasi diri dan self esteem
berkorelasi signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa.
Zimmerman (2000) menyimpulkan pula bahwa efikasi diri telah terbukti secara empiris memiliki peran penting sebagai pencetus motivasi belajar dan berkoresponden terhadap perbaikan metode belajar siswa. Tinggi rendahnya efikasi diri yang dimiliki oleh seorang pebelajar, akan berpengaruh terhadap pilihan aktivitas yang akan dilakukan, tingkat usaha yang dilakukan, tingkat kegigihan belajar serta tingkat reaksi emosional yang dikeluarkan.
Sebagai pembelajaran psikomotorik, standarisasi larutan secara volumetrik dalam pengujian keterampilan laboratorium Kimia Analitik merupakan salah satu
commit to user
44
kompetensi yang tidak dapat dikuasai secara tepat dalam waktu singkat. Seorang mahasiswa Analis Kesehatan membutuhkan latihan berulang sampai dapat dinyatakan terampil melakukan standarisasi. Hal ini tentunya tidak cukup mudah bagi mahasiswa dengan tingkat motivasi, usaha serta kegigihan dalam belajar yang rendah. Terlebih, keterampilan analisa laboratorium yang harus dikuasai oleh mahasiswa Analis Kesehatan dalam satu waktu pembelajaran cukup padat. Sehingga, peran motivasi serta kegigihan belajar untuk menjaga kuantitas dan kualitas pembelajaran sangatlah penting.
Kepercayaan atas kemampuan diri dalam menyelesaikan tugas atau aktifitas yang dibebankan akan mempengaruhi cara bertindak individu yang bersangkutan. Demikian pula ketika seorang Analis Kesehatan diminta untuk menyelesaikan tugas profesinya, seperti standarisasi larutan secara volumetrik sebagai kompetensi yang diujikan kepada subyek dalam penelitian ini. Sugesti bahwa seorang mahasiswa mampu menyelesaikan standarisasi larutan dengan baik, akan membantu mahasiswa tersebut menjadi lebih tenang dalam menyelesaikan tugasnya. Ketenangan ini kemudian akan mendorong mahasiswa untuk dapat mengamati proses standarisasi yang dilakukan, sehingga titik akhir titrasi sebagai titik kritis keberhasilan standarisasi secara volumetri dapat teramati dengan baik. Ketenangan akan menjadikan tugas yang dirasa sulit menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan. Bahkan ketika tugas tersebut tidak dapat diselesaikan, ketenangan akan membantu seorang pebelajar untuk dapat memulai langkah perbaikan dengan cepat dengan tingkat usaha yang lebih baik.
commit to user
45
Meski menjadi pembelajaran psikomotorik, pembelajaran laboratorium juga melibatkan proses-proses kognitif. Efikasi diri menurut Rosello dan Bernal (2001) dapat membawa pengaruh positif maupun negatif terhadap proses kognitif seseorang. Sebagian besar perilaku manusia diatur oleh pemikiran sebelumnya, terutama mengenai tujuan yang hendak dicapai. Tujuan pribadi tersebut akan dipengaruhi oleh efikasi diri yang dimiliki. Semakin tinggi tujuan yang hendak dicapai, maka komitmen terhadap tujuan tersebut akan semakin kuat. Efikasi diri juga akan mempertahankan efisiensi yang tinggi dalam berpikir analitis pada situasi pengambilan keputusan yang kompleks. Efikasi diri serta stimulasi kognitif juga saling memberi pengaruh timbal balik. Tingginya efikasi diri akan menciptakan konstruksi kognitif tentang tindakan yang efektif, dan pengalaman keberhasilan secara kognitif akan memperkuat efikasi diri.
Dalam penelitiannya, Devonport dan Lane (2006) menyatakan bahwa efikasi diri dapat dijabarkan melalui beberapa aspek, salah satunya adalah efikasi diri dalam pengaturan waktu. Penilaian keterampilan laboratorium Kimia Analitik dalam penelitian ini dilakukan terhadap subyek dengan memberlakukan batasan waktu. Setiap subyek diminta menyelesaikan proses standarisasi secara volumetrik dalam waktu 60 menit. Pembatasan ini tentunya membutuhkan implementasi strategi kerja yang efisien dan efektif. Subyek dengan efikasi diri yang lebih tinggi akan mampu mengatur waktu analisanya secara lebih efisen, sehingga seluruh kriteria unjuk kerja yang menjadi komponen penilaian keterampilan laboratorium Kimia Analitik dapat dilakukan secara tuntas dan tepat. Sebaliknya, sampel dengan efikasi diri lebih rendah kurang mampu mengatur
commit to user
46
waktu kerja sebaik sampel dengan efikasi diri yang lebih tinggi. Sehingga, beberapa kriteria unjuk kerja tidak dapat diselesaikan dengan tuntas.
Meski demikian, Bandura (1986) juga menyatakan bahwa seseorang tidak akan mampu menyelesaikan tugas yang dibebankan semata-mata akibat dorongan efikasi diri yang dimilikinya. Untuk berfungsi secara kompeten, seseorang membutuhkan keserasian antara kepercayaan diri dan kemampuan serta pengetahuan pada sisi lain. Akan tetapi, hal tersebut berarti bahwa persepsi diri atas kemampuan seseorang akan membantu menentukan apa yang akan dilakukan dengan pengetahuan dan kemampuan yang mereka miliki. Sehingga, efikasi diri menjadi faktor penting pada tahap pertama bagaimana pengetahuan dan kemampuan yang baik dibutuhkan. Hal tersebut didukung pula oleh Schunk dan Meece (2005) yang menyatakan bahwa efikasi diri tidak akan mampu membentuk kompetensi seseorang jika pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mencukupi.
Efikasi diri bersifat spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapi. Seseorang dapat memiliki keyakinan yang tinggi pada suatu tugas atau situasi tertentu, namun tidak pada situasi dan tugas lain. Efikasi diri yang dibangun oleh setiap pebelajar membantu mereka menentukan hal-hal yang akan mereka lakukan terkait dengan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari. Sementara, prestasi akademis, termasuk prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik, merupakan hasil dari apa yang diyakini dan apa yang dapat dicapai oleh mereka. Hal tersebut sedikit menjelaskan mengapa skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada subyek dengan nilai efikasi diri yang sama, mengalami perbedaan.
commit to user
47
3. Pengetahuan Sebelumnya
Jika ditinjau dari seluruh data yang didapatkan, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa sampel dengan skor kemampuan metakognitif yang sama namun memiliki skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang berbeda. Demikian pula pada pengukuran efikasi diri. Terdapat beberapa subyek dengan skor efikasi diri yang sama, tetapi memiliki skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang berbeda. Salah satu penyebab atau confounding factor yang diuji pada penelitian ini adalah pengetahuan sebelumnya.
Dalam penelitiannya terhadap 115 mahasiswa farmasi di Universitas
Helsinki, Hailikari et al (2008) menyimpulkan bahwa prior knowledge
(pengetahuan sebelumnya) dari perkuliahan terdahulu terbukti berkontribusi signifikan terhadap hasil pembelajaran pada tingkat lanjutan. Mahasiswa dengan pengetahuan terdahulu yang lebih baik cenderung mendapatkan nilai akhir yang lebih baik pula.
Sementara, Reid dan Shah (2007) juga menyarankan untuk melakukan
prelabs instruction sebagai bentuk inisiasi pengetahuan sebelumnya pada
mahasiswa yang akan melakukan pembelajaran di labortaorium kimia. Aktivitas tersebut diyakini dapat membantu mahasiswa untuk menemukan konsep serta kerangka berpikir sebelum melakukan pekerjaan laboratoris yang sebenarnya. Stimulasi tersebut merupakan salah satu tahapan yang seharusnya dilakukan untuk menyelenggarakan pembelajaran laboratorium secara efektif dan efisien.
Dalam kaitannya dengan kemampuan metakognitif, Dirkes dalam Blakey dan Spence (1990) menyatakan bahwa salah satu strategi dasar yang dapat
commit to user
48
diterapkan pada pengembangan kemampuan metakognitif adalah konektivitas antara pengetahuan yang baru, dengan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan sebelumnya yang dimiliki oleh mahasiswa juga menjadi bagian penting dalam pencapaian prestasi akademis mahasiswa.
Dalam metode Problem Based Learning (PBL), Harsono (2007)
mengungkapkan bahwa perangsangan terhadap pengetahuan sebelumnya merupakan cara terbaik untuk memulai proses pembelajaran dengan materi baru. Cara tersebut akan menggugah instruktur atau fasilitator dalam membantu peserta didiknya untuk membuat konstruksi baru dan pola pikir yang lebih tepat sesuai dengan konteks yang sedang dihadapi.
Meski prodi D3 Analis Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya belum menjalankan proses pembelajaran Problem Based Learning, namun peran pengetahuan sebelumnya pada proses pembelajaran yang diimplementasikan, khususnya pada pembelajaran laboratorium Kimia Analitik tetap memberikan kontribusi signifikan. Pebelajar dengan pengetahuan sebelumnya yang lebih baik, cenderung akan memiliki keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang lebih baik pula.
Pada kedua persamaan regresi yang dilakukan untuk menganalisa hubungan antar seluruh variabel, pengetahuan sebelumnya terbukti secara statistik memiliki hubungan positif yang signifikan dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik. Bahkan koefisien regresi antara pengetahuan sebelumnya dan
commit to user
49
metakognitif memiliki nilai yang sama dalam memberikan kontribusi kepada prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik.
4. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, variabel yang dinilai berperan untuk menentukan tinggi rendahnya prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada mahasiswa Analis Kesehatan dibatasi pada kemampuan metakognitif, efikasi diri serta pengetahuan yang dimiliki sebelumnya oleh pebelajar. Sementara, meski tidak dilakukan pada penilaian keterampilan laboratorium Kimia Analitik, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi akademis seorang pebelajar. Diantaranya adalah faktor psikologis seperti motivasi dan kecerdasan emosi (Tella, 2007; Petrides et al,
2004), metode belajar yang digunakan serta kondisi proses pembelajaran yang terbangun di sekolah.
Disamping itu, variabel prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik dinilai melalui lembar observasional dengan metode checklist berisi 1 materi saja, yaitu standarisasi larutan secara volumetri. Secara faktual, nilai akhir dari keterampilan laboratorium Kimia Analitik tidak hanya ditentukan berdasarkan keterampilan mahasiswa dalam melakukan standarisasi larutan secara volumetri. Materi uji juga meliputi penetapan kadar sampel, baik dengan metode volumetri maupun metode lain seperti spektrofotometri dan gravimetri.
Jika ditinjau dari skor hasil penilaian keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada penelitian ini, hampir seluruh subyek penelitian mampu mendapat
commit to user
50
nilai mutu AB dan A, dengan satu subyek saja yang mendapat nilai B. Hal tersebut berbeda dengan data yang diperoleh dari bagian evaluasi Prodi D3 Analis Kesehatan, dimana nilai keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang diperoleh mahasiswa pada 2 tahun akademik terakhir (2007/2008 dan 2008/2009) didominasi oleh nilai mutu BC dan B. Hal ini diduga karena pada pembelajaran yang sebenarnya, keterampilan laboratorium Kimia Analitik diukur dengan materi uji yang lebih banyak.
commit to user
51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara kemampuan kognitif dan efikasi diri dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik mahasiswa Analis Kesehatan. Setelah memperhitungkan pengaruh pengetahuan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kemampuan metakognitif pebelajar, semakin tinggi pula prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang diraih (β = 0,4; CI 95% 0,4 sd 0,5). Demikian pula dengan hubungan antara efikasi diri dan prestasi ketrampilan laboratorium Kimia Analitik, dimana semakin tinggi efikasi diri pebelajar, semakin tinggi pula prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitiknya (β = 0,9; CI 95% 0,7 sd 1,1).
B.Implikasi
1. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa setiap penelitian yang akan mempelajari prestasi akademik, baik dalam pembelajaran kelas atau teoritis, maupun pembelajarana laboratorium (praktek), perlu memperhitungkan dan mengendalikan pengaruh variabel kemampuan metakognitif, efikasi diri dan pengetahuan sebelumnya.
2. Implikasi kebijakan dari penelitian ini bagi institusi pendidikan kesehatan, dalam hal ini Prodi D3 Analis Kesehatan Universitas Muhammadiyah
commit to user
52
Surabaya adalah, perlu diimplementasikannya teknik pembelajaran dengan pengasahan terhadap kemampuan metakognitif dan efikasi diri, untuk meningkatkan prestasi keterampilan laboratorium mahasiswa.
3. Institusi pendidikan perlu mengantisipasi dan mengatasi faktor-faktor yang menghambat perkembangan kemampuan metakognitif dan efikasi diri untuk mengoptimalkan pencapaian kompetensi para peserta didiknya.
C. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan prestasi keterampilan laboratorium dengan variabel-variabel lain, seperti motivasi, tingkat kecerdasan intelektual dan emosional pebelajar serta metode dan kondisi proses pembelajaran yang dilakukan.
2. Untuk meneliti pencapaian prestasi keterampilan laboratorium para pebelajar, perlu dilakukan penilaian keterampilan laboratorium secara lebih menyeluruh dengan menguji lebih dari satu kompetensi.