• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

5.2.1 Insidensi Kejadian Penyakit ISPA bagian atas

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari seluruh responden yang berjumlah 60 subjek penelitian ditemukan insidensi balita yang menderita ISPA bagian atas sebanyak 56.7%. Hasil penelitian ini menunjukkan insidensi yang tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Samsuddin di Puskesmas Sabat Kabupaten Langkat yaitu insidens kejadain ISPA bagian atas

pada balita adalah 60,8% (Samsudin, 2009). Penelitian lain yang dilakukan oleh Ribkadi Desa Lembang Batu Sura’ Sulawesi Selatan tahun 2012 juga menunjukkan insidens yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 59,4% (Ribka,2012).

Penelitian tersebut memiliki insidens ISPA bagian atas yang lebih tinggi sekitar 3-4% dibanding penelitian di Puskesmas Tegal Sari karena subjek penelitian dalam penelitian Samsuddin di Puskesmas Sabat lebih banyak yaitu mencakup 110 orang, sedangkan penelitian Ribka di Desa Lembang dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 96 orang.

5.2.2 Hubungan Paparan Asap Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA bagian atas pada balita

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita menderita ISPA bagaian atas yang terpapar asap bahan bakar sejumlah 1 orang (3%) dan yang tidak terpapar asap bahan bakar sejumlah 33 orang (97%). Berdasarkan uji Fisher Exact Test (dalam hal ini uji Chi Square tidak dapat digunakan karena terdapat > 20 % sel mempunyai nilai harapan > 5) dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%) diperoleh nilai p (p value) adalah 1,000 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan antara hubungan paparan asap bahan bakar masak dengan ISPA bagian atas.

Hasil ini tidak sejalan dengan hasil yang didapatkan pada penelitian Mashyuda dimana penelitian tersebut ditemukan adanya hubungan bermakna antara paparan asap bahan bakar masak dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Bangko tahun 2012 dengan ditemukan balita ISPA yang terpapar dengan asap bahan bakar masak sebesar 85% sedangkan balita ISPA yang tidak terpapar sebesar 5% dengan nilai p (p value) adalah 0,045 (p < 0,05) (Mashyuda,2012).

Namun, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Valentina di Kelurahan Gelugur Darat I tahun 2013 berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi Squarediperoleh nilai p = 0,131 (p > 0,05) yang berarti bahwa tidak ditemukan adanya hubungan bermakna antara paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita (Valentina, 2013).

Pencemaran udara dalam ruangan merupakan kondisi perubahan ruangan yang disebabkan masuknya suatu zat atau bahan ke dalam ruangan akibat aktivitas manusia. Bahan bakar memasak dapat menyebabkan polusi udara asap dapur yang dapat menyebar ke dalam ruangan di dalam rumah sehingga mudah menimbulkan penyakit pernapasan khususnya ISPA bila terpapar dalam jangka waktu yang lama. Hasil penelitian valentina sesuai dengan hasil penelitian ini dengan hipotesis yang tidak terbukti, mungkin disebabkan karena dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 81,7% orang tua balita sudah menggunakan jenis bahan bakar yang baik (gas) ini mungkin disebabkan karena semakin membaikknya subsidi gas/elpiji dari pemerintah di daerah tempat penelitian ini. Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu lebih berbahaya dibandingkan dengan asap hasil pembakaran gas. Dari hasil penelitian juga didapatkan 85% ibu tidak membawa anaknya saat memasak dan jumlah waktu orang tua memasak yang tidak terlalu lama (<3 jam) sebanyak 93,3% sehinggawaktu paparan balita dengan asap yang dihasilkan tidak terlalu panjang untuk menimbulkan kejadian ISPA. Penelitian ini juga mungkin diakibatkan karena jumlah subjek penelitian yang sedikit.

5.2.3 Hubungan Paparan Asap Rokok dengan Kejadian ISPA bagian atas pada balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang mengalami ISPA bagian atas akibat paparan asap rokok adalah 7 orang (20,6%) dan tidak terpapar adalah 27 orang (79,4%). Berdasarkan uji Fisher Exact Test (dalam hal ini uji Chi Square tidak dapat digunakan karena terdapat > 20 % sel mempunyai nilai harapan > 5) dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%) diperoleh nilai p ( p value) adalah 0,276 (p> 0,05) yang berarti hal ini menunjukkan bahwa paparan asap

rokok belum dapat disimpulkan sebagai faktor risiko kejadian ISPA bagian atas pada batita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

Penelitian yang dilakukan oleh Yuwono di Puskesmas Kabupaten Kawungaten menunjukkan bahwa anak yang terpapar asap rokok mempunyai risiko terkena ISPA bagian atas 2,7 kali lebih besar dibandingan dengan anak yang tidak terpapar asap rokok. Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah satu atap dengan balita bukan penyebab langsung timbulnya penyakit ISPA bagian atas namun menjadi faktor tidak langsung yang dapat menimbulkan penyakit paru-paru. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernapasan (Yuwono, 2008). Penelitian Marhamah (2012) juga menunjukkan bahwa adanya hubungan paparan asap rokok dengan kejadian ISPA bagian atas dengan p value sebesar 0,025 ( p < 0,05).

Namun berbeda dengan penelitian Taisir (2005), tidak ada hubungan yang bermakna paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPAbagian atas pada balita. Adapun penelitian Chahaya dan Nurmaini (2005) di Deli Serdang, tidak ada pengaruh yang signifikan paparan asap rokok dengan kejadian ISPA.

Penelitian di Puskesmas Tegal Sari-Medan sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tasir dan Chahaya, ini mungkin disebabkan karena pada penelitian ini walaupun jumlah batang rokok pada keluarga yang merokok sebanyak 5 atau lebih setiap harinya dan diketahui bahwa dengan semakin banyak rokok yang dihisap semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA namun kebanyakan balita tidak dekat saat orang tuanya merokok (59%). Kondisi ini juga bisa disebabkan karena ventilasi rumah responden dalam keadaan yang cukup baik sebanyak 82,3%. Dengan adanya ventilasi yang memenuhi syarat dengan jumlah yang cukup dapat memelihara kondisi udara yang sehat bagi manusia. Menurut Yusup (2005) setiap ruang yang dipakai sebagai ruang kediaman sekurang-kurangnya terdapat satu jendela lubang ventilasi yang langsung berhubungan dengan udara luar bebas. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti kadar karbon dioksida yang bersifat racun yang dihasilkan rokok jumlahnya akan semakin meningkat. Tidak

adanya hubungan pada penelitian di Tegal Sari-Medan ini juga mungkin diakibatkan karena adanya faktor perancu lainnya seperti pemberian ASI yang baik serta berat badan lahir normal.

5.2.4 Hubungan Paparan Asap Obat Nyamuk dengan Kejadian ISPA bagian atas pada balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang mengalami ISPA bagian atas akibat paparan obat nyamuk adalah 6 orang (16,7%) dan tidak terpapar adalah 28 orang (82,3%). Berdasarkan uji Fisher Exact Test (dalam hal ini uji Chi Square tidak dapat digunakan karena terdapat > 20 % sel mempunyai nilai harapan > 5) dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%) diperoleh nilai p adalah 0,126 ( p > 0,05) yang berarti hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ditolak yaitu tidak adanya hubungan asap obat nyamuk dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

Penelitian Ernawati dan Farich di Puskesma Karang Anyar menunjukan bahwa anak yang terpapar asap obat nyamuk meningkatkan risiko 1,7 kali lipat menderita ISPA dibandingkan dengan yang tidak terpapar. Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menurunkan kualitas udara dalam ruangan sehingga menyebabkan gangguan saluran pernapasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernapasan (Ernawati dan Farich, 2012).

Resti dan dan Gulo (2008) juga meneliti tentang hubungan paparan asap obat nyamuk dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita hasilnya menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli dengan nilai p = 0,454 (p > 0,05). Penelitian Resti dan Gulo sejalan dengan penelitian ini. Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan mungkin disebabkan karena responden lebih banyak yang tidak menggunakan obat nyamuk (76,7%) .Produk berbahan dasar kimia ini yang digunakan untuk membasmi nyamuk pada umumnya produk-produk semacam itu bersifat toksik, meninggalkan bau, dapat

menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan, pencemaran lingkungan.

Sedangkan bagi responden yang menggunakan obat nyamuk mungkin mereka sudah memiliki pengetahuan yang meningkat dan kemampuan orang tua responden untuk menggunakan obat nyamuk berupa gas/ elektrik. Penggunaan obat nyamuk bakar akan menghasilkan gas yang lebih banyak dibandingkan dengan dengan gas/elektrik sehingga akan meningkatkan paparan terhadap asap hasil pembakaran. Penelitian ini juga mungkin diakibatkan karena faktor perancu lainnya seperti ventilasi rumah yang baik dan kepadatan hunian dalam satu kamar yang baik dimana dari hasil kuesioner didapatkan mayoritas jumlah maksimal orang dewasa dalam satu kamar yaitu sebanyak 2 orang (70%).

Dokumen terkait