• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Dari tabel 4.2 diketahui sebagian besar nilai peta konsep siswa termasuk kriteria rendah dengan tidak ditemukan siswa yang memiliki kriteria tinggi yang diperlihatkan oleh tabel 4.3. Hal ini dikarenakan berdasarkan dari tabel 4.4 memperlihatkan nilai rata-rata proposisi dan kaitan silang kurang dari 50% dengan nilai rata-rata kaitan silang sebesar 15,8% masih sangat jauh di bawah nilai peta konsep acuan. Padahal kaitan silang yang sahih memberikan nilai skor tertinggi dibandingkan proposisi dan hierarki.

Berdasarkan dari nilai tabel tersebut, nilai rendah peta konsep yang didapat siswa disebabkan siswa tidak bisa membuat proposisi dan kaitan silang dengan disertai kata penghubung yang tepat. Padahal proposisi terdiri dari beberapa unsur, yaitu suatu hubungan dan sekumpulan argumen, berupa suatu hubungan berperan menerangkan dan membatasi suatu argumen. 10 Proposisi bukan saja berupa kata, frasa, dan kalimat tetapi berupa gagasan yang bersifat lebih abstrak.11 Seseorang menyimpan memorinya sebagai proposisi bermakna sehingga ia mudah

10

Dahar, op.cit., h.32

11

untuk menyampaikan gagasan itu kepada orang lain. Proposisi dikatakan shahih jika menggunakan kata penghubung yang tepat, dengan nilai skor 1.

Gambar 4.1 Peta Konsep Siswa dengan Nilai Rendah

Sedangkan kaitan silangadalah hubungan yang bermakna antara suatu konsep pada satu hierarki dengan konsep lain pada hierarki lainnya. Kaitan silang dikatakan sahih jika menggunakan kata penghubung yang tepat dalam menghubungkan kedua konsep pada hierarki yang berbeda. Sementara itu, kaitan silang dikatakan kurang sahih jika tidak menggunakan kata penghubung yang tepat dalam menghubungkan kedua konsep,sehingga hubungan antara kedua konsep tersebut menjadi kurang jelas, untuk setiap kaitan silang yang sahih diberi skor 10. Sedangkan untuk setiap kaitan silang yang kurang sahih diberi skor 2.Kaitan silang memperlihatkan keterkaitan antara konsep yang satu dengan yang lain masih terdapat hubungan.

Hierarkitidak valid karenakonsep yang dicantumkansalah

Proposisitidak valid karena kata penghubung yang digunakantidaktepat

Gambar 4.2 Peta Konsep Siswa dengan Nilai Sedang

Nilai rata-rata peta konsep siswa memperlihatkan proposisi dan kaitan silang yang dibuat siswa masih di bawah peta konsep acuan dibandingkan hierarki. Oleh sebab itu siswa pada umumnya dianggap belum tahu konsep sistem pencernaan pada manusia karena tidak dapat membuat proposisi dan kaitan silang yang sahih, meskipun mendapatkan nilai hierarki yang cukup baik. Hierarkiadalah tingkatan dari konsep yang paling umum sampai konsep yang paling khusus. Urutan penempatan konsep yang lebih umum dituliskan di atas konsep yang lebih khusus. Hierarki dikatakan sahih jika urutan penempatan konsepnya benar, untuk setiap hierarki yang sahih diberi skor 5.

Kaitansilangtidak valid karenakonsep yang dikaitkansalah Hierarkitidak valid karenaadakonsepyang lebihinklunsiftidakdicantumkan di atasnya

Gambar 4.3 Peta Konsep Siswa dengan Nilai Tinggi

Nilai peta konsep yang rendah disebabkan adanya miskonsepsi pada siswa.Berdasarkan pada tabel 4.5 dari hasil analisis rata-rata siswa mengalami miskonsepsi pada konsep sistem pencernaan pada manusia, yaitu sebesar 17,4%. Menurut Mc Clure, menyebutkan salah satu faktor-faktor yang berperan sebagai kesalahan dalam tes peta konsep sendiri juga, yaitu variasi dalam kemampuan pemetaan konsep siswa, variasi dalam pengetahuan konten yang mengevaluasi peta konsep dan konsistensi peta konsep yang dievaluasi dapat memunculkan nilai yang bervariasi.12 Oleh sebab itu, konsistensi penilaian peta konsep siswa dilakukan secara kuntitatif dan kualitatif berdasarkan perbandingannya dengan peta konsep acuan yang tervalidasi ahli sebagai acuannya, sehingga dapat diketahui miskonsepsi yang terjadi di peta konsep siswa.

Analisis miskonsepsi yang terjadi pada siswa berdasarkan sebaran pernyataan pengetahuan dari peta konsep siswa. Seperti sama halnya yang diungkapkan Zeilik, menyatakan analisis peta konsep dengan cara berfokus terutama pada aspek kualitatif dari peta konsep siswa dengan penekanan pada akurasi atau

12

John R. Mc Mclure, et. al., “Concept Map Assessment of Classroom Learning: Reliability, Validity and Logistical Practicality,”Journal of Research in Science Teaching, Vol. 36, No. 4, 1999, p. 477.

karena konsep tersusun dari umum ke khusus

keabsahan yang mewakili pengetahuan siswa.13 Peta konsep yang dibuat siswa dianalisis berdasarkan tiga kategori yang diambil dari Novak, yaitu dari proposisi setiap konsep, hierarki, dan kaitan silang antar konsep dalam hierarki yang sama atau pun berbeda. Sedangkan untuk contoh tidak dimasukkan dan dalam peta konsep acuan pun tidak dicantumkan karena contoh tersebut bisa digantikan dengan kaitan silang antar konsep yang menunjukkan hubungan antar konsep. Contoh sendiri merupakan kejadian atau objek spesifik yang sesuai untuk menjelaskan suatu konsep.14Oleh karena itu dalam peta konsep tidak dianjurkan adanya pengulangan konsep yang sama karena dapat menyulitkan dalam penilaian peta konsep disebabkan adanya konsep ganda.

Peta konsep siswa dibandingkan dengan peta konsep acuan yang tervalidasi dengan melihat pernyataan-pernyataan dari proposisi yang berada pada peta konsep siswa. Dari hasil analisis peta konsep siswa juga ditemukan juga selain konsep yang sesuai dengan peta konsep acuan juga terdapat konsep-konsep baru yang muncul yang beberapa ada yang sahih dan tidak. Hal ini juga disebutkan oleh Yarden, bahwa dari konsep-konsep yang sama sejumlah peta konsep berbeda dapat dibangun, selama konsep-konsep sahih tersebut dapat mewakili hubungan yang benar antara konsep-konsep.15

Hasil analisis menunjukan tingkat pemahaman siswa terhadap konsep yang diidentifikasi satu persatu dengan mengecek kebenaran peta konsep siswa yang berupa sebaran pernyataan pengetahuan. Tingkat pemahaman konsep tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga,yaitu tahu konsep, miskonsepsi, dan tidak tahu konsep. Tahu konsep apabila konsep-konsep tersebut sama seperti peta konsep acuan dengan disertai proposisi, hierarki, dan kaitan silang yang sahih yang masing-masing menggunakan kata penghubung yang sesuai. Miskonsepsi apabila konsep-konsep sesuai peta konsep acuan, tetapi tidak disertai proposisi, hierarki, dan kaitan silang yang sahih dengan kata penghubung yang kurang

13

Michael Zeilik, Concept Mapping, Tersedia di

http://www.wcer.wise.edu/archive/cI1/flag/cat/conmap/conmap7.htm diakses 10 Oktober 2012.

14

Concept Mapping Rubrics, Tersedia di http://centeach,uiowa.edu [Online] diakses tanggal 10 Oktober 2012.

15

Hagit Yarden, et al., Using the Concept Map Technique in Teaching Introductory Cell Biolog y to College Freshmen, Journal Bioscene,Vol. 30 (1), 2004, p. 5

tepat, sehingga pernyataan tersebut bisa saja menimbulkan dua pemahaman yang berbeda. Sedangkan kriteria tidak tahu konsep apabila konsep-konsep yang tercantum tidak sesuai dan tidak sahih berdasarkan proposisi, hierarki, dan kaitan silang serta tidak adanya kata penghubung yang tepat atau pun tidak dicantumkan padapetakonsep.

Berfokus pada penelitian untuk mencari tahu miskonsepsi yang ditemukan pada siswa di kelas VIII SMP Negeri 3 Tangerang Selatan dalam belajar konsep sistem pencernaan pada manusia dilihat dari hasil sebaran pernyataan pada peta konsep siswa. Hal ini menunjukkan bahwa masih ditemukan miskonsepsi pada siswa yang disebabkan oleh konsep-konsep tersebut dalam penjelasan di buku atau pengetahuan yang didapatkan dari guru kurang lengkap. Subkonsep yang dimiskonsepsikan tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya. Seorang siswadapat mengalami miskonsepsi atau tidak paham konsep dibedakan secara sederhana dengan membandingkan benar tidaknya sebaran pernyataan peta konsep yang dibuat siswa dengan peta konsep acuan yang telah tervalidasi ahli dengan melihat subkonsep dari konsep yang tercantum,yaitu proposisi, hierarki, dan kaitan silang yang tepat.

Miskonsepsi yang dialami siswa juga dikarenakan dalam membuat peta konsep ini masih banyak kesulitan bagi siswa dalam menentukan dan meletakan konsep dengan kata penghubung yang tepat yang didukung dari pernyataan wawancara siswa. Hal inipun secara tidak langsung dapat dijadikan sebagai alat evaluasi terhadap materi yang telah dipelajari oleh siswa. Guru dengan peta konsep juga dapat mengetahui sejauh mana pemahaman siswa, dan penggunaannya untuk menganalisis kesalahpahaman (miskonsepsi) terhadap konsep yang telah dipelajari tersebut. Sejalan dengan yang diungkapkan Kharatmal, bahwa keuntungan peta konsep digunakan untuk alat diagnostik, pedagogis, penilaian, pengumpulan data, alat pengetahuan organisasi yang efektif dalam memperlihatkan pengetahuan, menggambarkan kesalahpahaman, menelusuri perubahan konseptual siswa dalam memahami suatu konsep.16

16

Meena Kharatmal, “Concept Mapping for Eliciting Students Understanding of Science”,

Hasil analisis miskonsepsi pada peta konsep siswa pada tabel 4.5juga memperlihatkan paling banyak terjadi pada konsep mulut, yaitupernyataan 1e denganpersentase 46,7% dan konsep usus besar, yaitu pernyataan1n dengan persentase 48,9%. Sedangkan untuk kaitan silang antar konsep pada pernyataan 3a dan 3b mengalami paling banyak miskonsepsi siswa dengan persentase 40%. Miskonsepsi yang muncul mungkin dikarenakan siswa tersebut yang mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Sehingga tidak mustahil kejadian ini dapat memunculkan kesalahan dalam menyusun peta konsep tersebut. Hal ini dapat pula dikarenakan siswa belum terbiasa mengkonstruksi konsep sistem pencernaan pada manusia secara tepat dan belum mempunyai kerangka ilmiah yang dapat digunakan sebagai patokan dalam membangun pengetahuannya. Oleh sebab itu, siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang didapatkan yang mungkin berasal dari pengalamannya sehari-hari.

Pada konsep mulut berdasarkan lampiran 9ditemukan pada siswa kelas VIII yang mengalami miskonsepsi dengan proposisi berdasarkan tabel 4.3adalah pada pernyataan 1e, yaitu: Mulut terdapat gigi dan lidah (13,3%), Mulut terdapat lidah, air liur, dan enzim ptialin (2,2%), Mulut terdapat enzim ptialin (11,1%), mulut terdapat gigi, lidah, dan enzim (4,5%), Mulut terdapat mulut, gigi, dan enzim ptialin (4,5%), Mulut terdiri dari gigi, lidah, dan enzim ptialin (2,2%), Mulut terdiri atas gigi, lidah, dan enzim ptialin (2,2%), Mulut terdiri atas gigi dan lidah (2,2%), Mulut terdiri atas mulut, gigi, dan air liur (2,2%), dan Mulut terjadi gigi dan lidah (2,2%). Hal ini menunjukan bahwa masih lebih banyak siswa yang menyatakan di mulut hanya terdapat gigi dan lidah, sedangkan ada juga konsep enzim ptialin diletakan di bawah konsep mulut, padahal seharusnya enzim ptialin ada di bawah konsep air liur. Sehingga hal inilah yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi.

Pada konsep usus besar pada pernyataan 1n yaitu: usus besar terdiri atas usus buntu (2,2%), usus besar terdiri dari kolon dan rektum (17,8%), usus besar terdiri atas kolon dan rektum (4,5%), usus besar dibagi menjadi kolon dan rektum (4,5%), usus besar terdapat kolon dan rektum (4,5%), ususbesarterdiriatasenzim lipase, amilase, dan tripsin (2,2%), usus besar terbagi atas kolon dan rektum

(6,7%), usus besar terdapat kolon, rektum dan bakteri E.coli (2,2%), usus besar penyakitnya diare, apendiksitis, konstipasi, dan hemoroid (2,2%), dan usus besar penyakitnya apendiksitis dan konstipasi (2,2%). Hal ini menunjukan bahwa siswa masih belum paham mengenai subkonsep saluran pencernaan dalam menentukan konsep-konsep yang tercantum, siswa rata-rata kebanyakan menyatakan hanya ada 2 buah konsep di bawah konsep usus besar, padahal usus besar terdiri dari kolon, rektum, sekum dan apendiks.17

Pada kaitan silang antar konsep berdasarkan lampiran 9 ditemukan pada siswa kelas VIII yang mengalami miskonsepsi dengan proposisi yang paling banyak diperlihatkan pada tabel 4.3 adalah pada pernyataan 3a, yaitu: pencernaan secara mekanik terdapat di mulut (15,6%), pencernaan secara mekanik alat pemprosesnya mulut (2,2%), dan pencernaan mekanik terjadi di mulut (17,8%),pencernaan secara mekanik melalui mulut (2,2%), danpencernaansecaramekanikenzim di mulut (2,2%). Hal ini menunjukkan bahwa siswa masih belum paham mengenai kaitan silang antar konsep tentang pencernaan secara mekanik yang diperlihatkan oleh pernyataan siswa mengenai pencernaan mekanik terjadi di mulut. Pernyataan tersebut kurang tepat, padahal pencernaan mekanik di mulut terjadi dengan bantuan gigi.

Selain itu juga pada pernyataan 3b, yaitu: pencernaan secara kimiawi terjadi di mulut (2,2%), pencernaan secara kimiawi terjadi di lambung (4,4%), pencernaan secara kimiawi terjadi di lambung dan usus halus (15,6%), pencernaan secara kimiawi terdapat di enzim ptialin (4,4%), pencernaan secara kimiawi terdapat di usus halus dan usus besar (4,4%), pencernaan secara kimiawi terjadi di kerongkongan (2,2%), pencernaan secara kimiawi terdapat di mulut (2,2%), pencernaan secara kimiawi melalui lambung (2,2%), dan pencernaan secara kimiawi enzim di mulut (2,2%). Hal ini menunjukkan bahwa siswa masih belum paham mengenaikaitan silang antar konsep tentang pencernaan secara kimiawi yang diperlihatkan oleh pernyataan siswa tersebut kurang tepat dari konsep-konsep yang dikaitkan tidak lengkap, padahal pencernaan secara kimiawi terjadi di enzim ptialin, lambung, dan usus halus.

17

Namun berdasarkan hasil analisis tersebutpada table 4.5, walaupun terjadi miskonsepsi pada peta konsep yang dibuat siswa tidak sebesar persentase kategori dalam tidak tahu konsep. Miskonsepsi yang muncul tersebutakibat dari kesalahpahaman konsep yang terbentuk dari pengetahuannya yang berbeda dengan pengetahuan para ahli.18Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan Dahar, bahwa miskonsepsi biasanya timbul karena terdapat kaitan antara konsep-konsep pada peta konsep-konsep siswa yang mengakibatkan proposisi yang salah19 dimana peta konsep adalah teknik untuk eksternalisasi konsep dan proposisi yang menyatakan hubungan antara konsep-konsep agar terjadi pembelajaran bermakna.20Walaupun demikian mengakibatkan pemahaman siswa tidak sesuai dengan harapan dimana timbul bukan dari pembelajaran hapalan saja. Selain itu, menurut Marbach-Ad dalam Yarden menyatakan bahwa miskonsepsi dapat juga terjadi dari kecenderungan siswa dalam memahami istilah atau konsep-konsep yang sebagian definisi bersifat tumpang tindih, dimana diantara konsep-konsep tersebut memiliki nama yang sama.21 Contohnya ditemukan dalam peta konsep siswa ada pernyataan yang menyebutkan bahwa organkerongkongan menjadi tenggorokan.22

Selain yang telah disebutkan miskonsepsi yang dianalisis sesuai peta konsep acuan ditemukan juga pernyatan-pernyataan proposisi di luar yang dicantumkan meskipun tidak semua ditemukan dalam peta konsep siswa. Sebagian besar pernyataan tersebut juga mengalami miskonsepsi. Pernyataan proposisi ini muncul mungkin diakibatkan karena buku teks yang siswa gunakan ketika belajar di kelas. Hal ini ditunjukkan dari wawancara siswa lebih dari 70% menyatakan buku teks yang digunakan dari segi bahasa dan kedalaman pembahasan masih sulit untuk dimengerti siswa. Sehingga dapat disimpulkan mungkin saja hal ini terjadi karena buku teks itu mempengaruhi pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari siswa dari segi isi, bahasa dan keterbacaannya. Hal ini sejalan

18

Paul Suparno, Misk onsepsi dan Perubahan Konsep Dalam Pendidik an Fisik a, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 6.

19

Dahar, op. cit., h. 111.

20

Yarden, et al.,op. cit, p.4.

21 Ibid.

22

dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 43 ayat 5 yang menyatakan buku teks pelajaran dinilai kelayakan isi, kelayakan bahasa, kelayakan penyajian dan kegrafikaannya oleh Badan Standar Nasional Pendidikan dan ditetapkan oleh Peraturan Menteri.23

Penilaian terhadap buku teks sangatlah diperlukan agar dapat membantu guru dan siswa menggunakan dan memehami konsep dalam materi yang akan diajarkan, sehingga tidak terjadi miskonsepsi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11 Tahun 2005 Pasal 1 tentang buku teks pelajaran, yaitu Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang membuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan Standar Nasional Pendidikan.24

Penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa sendiri selain yang telah disebutkan juga sebelumnya, didukung pula dari pernyataan Suparno, yaitu miskonsepsi terjadi dapat berasal dari siswa itu sendiri, pengajar atau guru di sekolah, buku teks pelajaran yang digunakan, konteks dan cara mengajar guru di kelas.25 Sedangkan menurut Tekkaya faktor lain juga yang memberikan konstribusi munculnya miskonsepsi adalah ketika siswa menggabungkan konsep-konsep baru yang dipelajari dengan konsep-konsep yang sudah ada. Sehingga dapat menciptakan konseptual konflik dalam pikiran siswa.26 Misalkan konsep yang mereka ketahui atau didapatkan di tingkatan sekolah sebelumnya yang memang ternyata masih mengandung miskonsepsi.

Miskonsepsi yang dialami siswa pada hakikatnya bertentangan dengan pengetahuan para ilmuan. Selain itu, kenyataannya hal tersebut sulit untuk diluruskan sesuai pemikiran para ahli. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Suparno, berdasarkan pengalamannya, miskonsepsi sulit dibenahi atau dibetulkan,

23

Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 & Peraturan Pemerintah RI No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2011), Cet. V, h.164.

24Ibid.

, h. 60-61.

25Suparno, op. cit. h. 53.

26Ceren Tekkaya, “Misconceptions as Barrier to Understanding Biology”, Hacettepe Universites Egitium Fak ultesi Dergizi, Ankara, 2002, p.260.

terlebih bila miskonsepsi itu dapat membantu memecahkan persoalan tertentu,27 misalkan permasalahn dalam kehidupan sehari-hari, maka miskonsepsi itu akan melekat selama belum ada konsep yang benar-benar masuk akal yang dapat dipahami oleh siswa. Dalam hal ini peranan guru sangat penting untuk mengetahui pada tingkatan pemahaman manakah pengetahuan siswa mengenai suatu konsep dan guru pun perlu belajar mengerti cara berpikir siswa sehingga dapat membantu agar pemahaman siswa benar dan mengembangkanya mendekati pemahaman para ilmuan sehingga diharapkan tidak ditemukan kembali kesalapahaman konsep.

Berdasarkan hasil dari penilaian dan analisis terhadap peta konsep siswa menunjukkan kemampuan siswa membuat peta konsep termasuk kedalam kriteria rendah dengan pemahaman mereka mengenai konsep tersebut ditemukan miskonsepsi sebesar 17,4% dengan lebih banyak yang tidak tahu konsep sebesar 49,4%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil penggunaan peta konsep untuk menganalisis miskonsepsi siswa efektif dalam mengetahui tingkat pemahaman dan mengungkapkan miskonsepsi siswa.

Hasil penelitian ini senada dengan apa yang diungkapkan Novak & Gowin dalam Suparno, menyatakan peta konsep mengungkapkan hubungan berarti antara konsep-konsep dan menegaskan gagasan-gagasan pokok, yang disusun hierarki, dengan jelas dapat mengungkap miskonsepsi siswa yang digambarkan dalam peta konsep tersebut. Peta konsep diidentifikasi dengan melihat hubungan antara konsep-konsep itu benar atau salah dan biasanya juga dilihat dari proposisi yang digunakan salah serta tidak adanya hubungan lengkap antar konsep.28Oleh sebab itu perlu ada cara untuk mengatasi masalah yang terjadi pada siswa, seperti dengan mengungkap miskonsepsi tersebut, mencari penyebabnya dan mengambil tindakan yang sesuai terhadap miskonsepsi yang mereka alami. Misalkan dari cara belajar siswa, cara mengajar guru dan bahkan buku teks yang mungkin terdapat miskonsepsi dalam menjelaskan konsep pelajaran.

27

Suparno, op. cit. h. 7.

28

62 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait