• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL PENELITIAN

5.1.3 Angka Kejadian Diare pada Balita

Setelah dilakukan penelitian kepada responden yaitu ibu-ibu yang mempunyai balita usia satu sampai lima tahun didapatkan bahwa jumlah balita yang pernah mengalami diare cukup banyak. Dari 217 responden yang diteliti menyatakan bahwa anak balita mereka pernah mengalami diare dengan frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali per hari (>3x/hari) dan dengan konsistensi feses yang cair sebanyak 147 balita (67.7%). Sedangkan balita yang mengalami buang air besar kurang dari tiga kali per hari (<3x/hari) dan dengan konsistensi feses yang cair atau seperti biasa (padat) sebanyak 70 balita (32.3%), dengan kata lain balita tersebut tidak mengalami diare.

Dari 147 balita yang pernah mengalami diare, 143 (97.3%) diantaranya mengalami diare dengan lama berlangsung diare kurang dari 14 hari yaitu disebut juga diare akut. Sedangkan 4 balita (2.7%) lainnya mengalami diare lebih dari 14 hari yaitu diare kronik.

Tabel 5.8. Frekuensi buang air besar dalam sehari

BAB Frekuensi Persen (%)

< 3x/hari ( bukan Diare) 70 32.3

> 3x/hari ( Diare) 147 67.7

Total 217 100.0

Tabel 5.9. Lama Berlangsungnya Diare

Lama Diare Frekuensi Persen (%)

Kurang dari 14 hari 143 97.3

Lebih dari 14 hari 4 2.7

Total 147 100.0

Tabel 5.10. Tabulasi Silang Kejadian Diare pada Balita yang Mendapat ASI eksklusif dan Non ASI eksklusif

Frekuensi Diare Total tidak Diare (<3x/hari) Diare (>3x/hari) ASI Eksklusif 67 (72.8%) 25 (27.2%) 92 (100%) Non ASI Eksklusif 3 (2.4%) 122 (97.6%) 125 (100%) Total 70 (32.2%) 147 (67.7%) 217 (100%)

sedangkan balita yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak mengalami diare hanya 3 orang (2.4%). Sementara itu, kejadian diare pada balita yang tidak mendapat ASI eksklusif lebih banyak yaitu 122 orang (97.6%) dibandingkan balita yang mendapat ASI eksklusif yaitu 25 orang (27.2%).

Tabel 5.11. Hygiene Perorangan

Hygiene Perorangan Frekuensi Persen (%)

Baik 212 97.7

Sedang 5 2.3

Total 217 100.0

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebanyak 217 responden yang diteliti, 212 responden diantaranya dengan persentase 97.7% mempunyai tingkat kebersihan perorangan dalam prilaku mencuci tangan masih termasuk dalam kategori baik, dan sebanyak 5 orang responden dengan persentase 2.3 % tingkat kebersihan perorangannya termasuk dalam kategori sedang.

Tabel 5.12. Penyediaan Air Bersih

Penyediaan Air Bersih Frekuensi Persen (%)

Baik 157 72.4

Sedang 60 27.6

Total 217 100.0

Berdasarkan table diatas diketahui bahwa penyediaan, penyimpanan, dan penggunaan air bersih pada 157 responden yang diteliti dengan persentase 72.4 % termasuk dalam kategori baik, sedangkan pada 60 responden lainnya

yaitu dengan persentase 27.6 % penyediaan, penyimpanan dan penggunaan air bersih untuk keperluan sehari-hari termasuk dalam kategori sedang.

Sementara itu untuk ketersediaan jamban pada setiap keluarga dari 217 responden yang diteliti mempunyai persentasi 100 % berarti secara keseluruhan termasuk dalam kategori baik. Begitupula pada sanitasi lingkungan rumah pada keseluruhan responden masih termasuk dalam kategori baik yaitu dengan persentase 100 % yang dapat dilihat pada tabel 5.14. dan tabel 5.15. dibawah ini.

Tabel 5.13. Ketersediaan Jamban

Ketersediaan jamban Frekuensi Persen (%)

Baik 217 100.0

Total 217 100.0

Tabel 5.14. Sanitasi Lingkungan

Sanitasi Lingkungan Frekuensi Persen (%)

Baik 217 100.0

5.2. PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapat beberapa deskripsi dari karakteristik responden yang diteliti, diantaranya adalah umur, pekerjaan, pendidikan, penghasilan keluarga dan jumlah anak dari responden. Berdasarkan umur, mayoritas responden berusia antara 25 sampai 29 tahun dengan presentasi 31,4%. Sementara itu, responden yang berusia dibawah 25 tahun mempunyai persentasi 19.9 %. Ini menunjukkan bahwa kebanyakan responden yang terpilih sebagai sampel penelitian adalah ibu-ibu muda yang masih dalam usia reproduktif. Usia ibu dapat menjadi faktor yang berpengaruh terhadap pemberian ASI pada bayinya. Organisasi wanita melaporkan bahwa ibu yang tidak memulai ASI atau menyusui pada 6 bulan pertama pada bayinya umumnya adalah ibu-ibu muda, ibu yang tingkat pendidikannya rendah serta ibu yang mempunyai bayi dengan berat badan lahir rendah (Barness and Curran, 2000).

Ibu-ibu muda terutama primipara banyak yang tidak memberikan ASI Eksklusif. Pada umumnya alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya karena ASI belum keluar pada hari pertama kelahiran sehingga bayi dianggap perlu diberikan minuman lain, padahal bayi yang baru lahir cukup bulan dan sehat mempunyai persediaan kalori dan cairan yang dapat mempertahankannya tanpa minuman selama beberapa hari. Disamping itu, pemberian minuman lain sebelum ASI keluar akan memperlambat pengeluaran ASI dan menyebabkan bayi menjadi kenyang dan malas menyusu. Alasan lain adalah karena payudara berukuran kecil dianggap kurang menghasilkan ASI padahal ukuran payudara tidak menentukan apakah produksi ASI cukup atau kurang karena ukuran ditentukan oleh banyaknya lemak pada payudara sedangkan kelenjar penghasil ASI sama banyaknya walaupun payudara kecil dan produksi ASI dapat tetap mencukupi apabila manajemen laktasi dilaksanakan dengan baik dan benar. Pengetahuan ibu

serta informasi tentang manajemen pemberian ASI merupakan faktor yang berperan penting supaya ibu memberikan ASI Eksklusif pada bayinya (Widiasih, 2008).

Jika dikaitkan dengan kejadian diare pada balita, menurut penelitian El-Gylani dan Hammad, (2005) menyatakan bahwa usia ibu mempunyai hubungan yang signifikan terhadap morbiditas diare. Dimana diare akut lebih mungkin terjadi pada ibu-ibu yang usianya lebih muda atau dibawah 25 tahun, hal ini mungkin dikarenakan ibu yang masih usia muda kurang berpengalaman dalam merawat anaknya.

Sementara itu berdasarkan tingkat pendidikan, responden yang tingkat pendidikannya hanya sampai lulusan Sekolah Dasar yaitu sebanyak 48 orang (21.1%), kemudian lulusan SLTP sebanyak 60 orang ( 27.6% ), lulusan SLTA sebanyak 104 orang (47.9%), dan lulusan perguruan tinggi paling sedikit yaitu sebanyak 5 orang (2.3%). Mayoritas pendidikan responden adalah lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas ( SLTA). Berdasarkan data ini dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan rata-rata responden cukup baik yaitu sampai jenjang sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Tingkat pendidikan mungkin merupakan faktor yang menentukan pengetahuan ibu terhadap pemberian ASI eksklusif dan manfaat ASI eksklusif untuk bayinya.

Dari hasil penelitian juga didapat bahwa responden yang tingkat pendidikannya hanya sampai sekolah dasar sebanyak 48 orang (21.1%) dan lulusan SLTP sebanyak 60 orang ( 27.6% ), dari hasil ini terlihat bahwa banyak dari responden yang tingkat pendidikannya masih rendah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Roebijoso et al., (2012) menunjukan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan terhadap pemberian ASI eksklusif. Sedangkan menurut hasil penelitian Sulistyoningsih, (2005) menyatakan adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu menyusui dengan prilaku pemberian ASI. Hal ini mungkin

dikaitkan dengan semakin rendah tingkat pendidikan ibu maka sikap dan pengetahuan ibu terhadap pemberian ASI eksklusif semakin kurang sehingga cenderung untuk tidak memberikan ASI Eksklusif.

Berdasarkan pekerjaan responden, mayoritas jenis pekerjaan responden adalah sebagai Ibu Rumah Tangga yaitu sebanyak 200 orang dengan persentase 92.1%. Data ini menunjukkan bahwa waktu luang ibu dengan balita lebih banyak sehingga balita masih dalam perawatan ibu dan memperhatikan pola makan dan kesehatan balita. Jika ditinjau dari pemberian ASI Eksklusif, dari 200 responden yang tidak bekerja sebanyak 116 orang tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya dan sisanya 84 responden memberikan ASI Eksklusif.

Berdasarkan penelitian Lestari, et al., (2013) juga diperoleh persentasi ibu yang tidak bekerja lebih banyak yang tidak memberikan ASI eksklusif. Penyebabnya adalah pekerjaan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif. Pemberian ASI eksklusif tidak bisa didasarkan hanya dengan faktor kebebasan waktu yang dimiliki seorang ibu. Seorang ibu yang tidak bekerja belum bisa menjamin ibu tersebut akan memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, walaupun ibu memiliki bayak waktu dan kesempatan yang banyak bersama bayinya. Faktor pengetahuan juga memiliki peranan yang penting bagi seorang ibu dalam pengambilan tindakan memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Seorang ibu yang tidak bekerja belum tentu memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai pemberian ASI eksklusif dibandingkan ibu yang bekerja, walaupun ia memiliki waktu yang luang yang lebih banyak. Maka dapat disimpulkan bahwa tindakan seorang ibu dalam pemberian ASI eksklusif lebih ditentukan oleh pengetahuannya dari pada pekerjaanya.

Ditinjau dari penghasilan keluarga perbulan, responden yang mempunyai penghasilan rendah masih cukup banyak yaitu 152 orang (70 %),

sedangkan responden yang penghasilan keluarganya tinggi adalah sebanyak 65 orang (30 %). Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi keluarga yang rendah dengan kejadian diare pada keluarga. Dimana bayi dan balita dari keluarga dengan tingkat sosioekonomi yang rendah pada umumnya lebih sering mengalami diare (Adisasmito, 2007).

Dari 217 responden yang diteliti menyatakan bahwa anak balita mereka pernah mengalami diare dengan frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali per hari (>3x/hari) dan dengan konsistensi feses yang cair sebanyak 147 balita (67.7%). Sedangkan balita yang mengalami buang air besar kurang dari tiga kali per hari (<3x/hari) dan dengan konsistensi feses yang cair atau seperti biasa (padat) sebanyak 70 balita (32.3%), dengan kata lain balita tersebut tidak mengalami diare.

Dilihat dari hasil tersebut bahwa angka kejadian diare pada balita masih tinggi dan jenis diare yang paling banyak dialami balita adalah diare akut. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor infeksi, malabsorbsi (gangguan penyerapan zat gizi) dan faktor makanan. Pada umumnya makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, beracun, terlalu banyak lemak, mentah dan kurang matang (Widjaja, 2008).

Dari 147 balita yang pernah mengalami diare, 143 (97.3%) diantaranya mengalami diare dengan lama berlangsung diare kurang dari 14 hari yaitu disebut juga diare akut. Sedangkan 4 balita (2.7%) lainnya mengalami diare lebih dari 14 hari yaitu diare kronik. Diare akut merupakan diare yang paling sering dialami oleh balita dan juga orang dewasa. Diare akut maupun diare kronik dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab. Diare akut dapat disebabkan oleh berberapa faktor diantaranya adalah virus gastroenteritis yaitu infeksi virus pada lambung dan usus halus, makanan

kuman penyebabnya adalah E.coli, bakteri enterokolitis dimana bakteri menginvasi usus halus dan kolon sehingga menyebabkan inflamasi pada usus halus dan kolon (Enterokolitis). Obat-obatan juga dapat menyebabkan diare seperti antasid dan suplemen yang mengandung magnesium dan lain-lain. Sedangkan pada diare kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyebab

diantaranya penyakit Irritable bowel syndrome (IBS), penyakit infeksi seperti

pada pasien AIDS, pertumbuhan bakteri yang berlebihan pada usus halus, kanker kolon, malabsorbsi karbohidrat, malabsobsi lemak, penyakit endokrin seperti pada penyakit hipertiroid dan penyakit Addison dan juga akibat penyalahgunaan laksatif (Marks, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah responden yang memberikan ASI secara eksklusif kepada balita mereka sebanyak 92 orang yaitu dengan persentase 42.4 %, sedangkan responden yang tidak memberikan ASI eksklusif adalah sebanyak 125 orang yaitu dengan persentase 57.6 %. ASI sangat penting untuk bayi, terutama pada 6 bulan pertama kehidupannya. Setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan dengan makanan lain (Kemenkes RI, 2011). ASI eksklusif dapat melindungi terhadap infeksi gastrointestinal dan infeksi pernapasan, dan juga dapat meningkatkan perkembangan motorik pada anak (Kimani-Murage et al., 2011).

ASI memiliki semua unsur-unsur yang memenuhi semua kebutuhan bayi akan nutrien selama periode 6 bulan. Keberadaan antibodi dan sel-sel makrofag dalam kolostrum dan ASI memberikan perlindungan terhadap jenis-jenis infeksi tertentu. Imunitas terhadap penyakit enteral dan parenteral pada taraf yang lebih rendah, berasal dari antibodi. Oleh karena itu bayi-bayi yang mendapat ASI secara penuh jarang terjangkit oleh penyakit diare (Gibney et al., 2008).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah balita yang mendapat ASI eksklusif dan tidak mengalami diare berjumlah 67 orang (72.8%),

sedangkan balita yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak mengalami diare hanya 3 orang (2.4%). Sementara itu, kejadian diare pada balita yang tidak mendapat ASI eksklusif lebih banyak yaitu 122 orang (97.6%) dibandingkan balita yang mendapat ASI eksklusif yaitu 25 orang (27.2%).. Penelitian lain juga dilakukan oleh Hardi et al,. (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare. Dari hasil penelitian terlihat bahwa balita yang tidak mendapat ASI eksklusif lebih banyak mengalami diare dibandingkan dengan balita yang mendapat ASI eksklusif. Ini membuktikan bahwa Imunitas yang diperoleh dari ASI eksklusif dapat memberikan perlindungan dari berbagai macam infeksi pada balita.

Kejadian diare dipengaruhi banyak faktor risiko diantaranya hygiene perorangan, penyediaan sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari, ketersediaan jamban dan sanitasi lingkungan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 217 responden yang diteliti, 212 responden diantaranya dengan persentase 97.7% mempunyai tingkat kebersihan perorangan dalam prilaku mencuci tangan masih termasuk dalam kategori baik, dan sebanyak 5 orang responden dengan persentase 2.3 % tingkat kebersihan perorangannya termasuk dalam kategori sedang. Hasil penelitian Kasman (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor hygiene perorangan dengan kejadian diare.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyediaan, penyimpanan, dan penggunaan air bersih pada 157 responden yang diteliti dengan persentase 72.4 % termasuk dalam kategori baik, sedangkan pada 60 responden lainnya yaitu dengan persentase 27.6 % penyediaan, penyimpanan dan penggunaan air bersih untuk keperluan sehari-hari termasuk dalam kategori sedang. Dari hasil ini kemungkinan penyediaan air bersih pada sebagian responden yang kurang baik merupakan salah satu faktor penyebab

sanitasi lingkungan rata-rata para responden di Desa Sei Sentosa masih termasuk dalam kategori baik.

Dokumen terkait