• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

5.2.1. Karakteristik Demografi Responden

Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas anak berusia 6 tahun dengan jumlah mencapai 4 orang (50%). Ahmed (2011) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko kecemasan praoperatif pada anak dan manajemen non-farmakologi menunjukkan hasil bahwa anak-anak dengan

49

usia 1 - 6 tahun menjadi golongan usia anak yang paling rentan mengalami kecemasan praoperatif.

Greundemann & Fernsebner (2006) mengatakan bahwa usia dan perkembangan anak mempengaruhi jenis informasi yang diberikan dan kapan harus diberikan terkait rencana operasi. Penjelasan dengan waktu yang berdekatan sebelum prosedur aktual akan semakin baik untuk mencegah fantasi dan kekhawatiran pada anak yang lebih kecil, sedangkan anak-anak yang lebih besar lebih membutuhkan banyak waktu untuk asimilasi informasi dalam menghadapi prosedur yang kompleks.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah responden anak berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari laki-laki. Responden perempuan berjumlah 5 orang (62,5%) sedangkan laki-laki berjumlah 3 orang (37,5%). Schwartz (2014) mengatakan bahwa faktor jenis kelamin tidak memiliki pengaruh yang berarti pada kecemasan praoperatif pada anak.

Mayoritas responden dalam penelitian ini bersuku batak dengan jumlah sebanyak 5 orang (62,5%). Kecemasan responden bersuku batak cukup tinggi dibandingkan dengan kecemasan suku Jawa, baik dalam observasi kecemasan sebelum maupun sesudah dilakukan terapi sinema. Schwartz (2014) menjelaskan bahwa budaya, termasuk bahasa dan etnik, berkontribusi membentuk tempramen anak. Tempramen mempengaruhi kecemasan praoperatif yang ditunjukkan melalui perilaku meliputi kondisi emosional, aktivitas, sosialisasi dan perilaku impulsif.

50

Data demografi menunjukkan bahwa responden dengan jumlah terbanyak yaitu 5 orang (62,5%) beragama Islam. Kalkhoran (2007) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk menilai hubungan antara keagamaan dan kecemasan praoperatif pada 150 orang responden dalam populasi beragama Islam menemukan bahwa terdapat hubungan antara ketaatan beragama dengan kecemasan praoperatif sekalipun hasilnya tidak signifikan.

5.2.2. Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah

Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa semua responden anak yang akan menjalani prosedur operasi mengalami kecemasan praoperatif sebelum dilakukan terapi, yaitu sebanyak 8 orang (100%). Anak dikatakan cemas karena skor kecemasan >30 didapati pada semua anak pada pengkajian kecemasan sebelum terapi sinema dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Smeltzer & Bare (2002) yang menjelaskan bahwa salah satu prosedur medis yang berpotensi besar untuk menimbulkan kecemasan adalah prosedur operasi, dimana segala bentuk prosedur operasi selalu didahului dengan suatu reaksi emosional tertentu oleh pasien, dan reaksi tersebut bisa telihat jelas atau tersembunyi, normal atau abnormal. Senada dengan itu, Videbeck (2008) mengatakan bahwa kecemasan dapat terjadi karena peristiwa akut yang menimbulkan stress atau bahkan stressor kronis seperti masalah kesehatan dan medikasi operasi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 5 orang anak (62,5%) yang mengalami kecemasan setelah dilakukan terapi sinema. Angka ini mengalami penurunan sebanyak 3 orang (37,5%) dari angka sebelumnya ketika responden

51

anak belum mendapat perlakuan terapi sinema. Keberhasilan terapi sinema sebenarnya tidak hanya pada 3 responden saja, melainkan telah berhasil menurunkan kecemasan seluruh responden, hanya saja tidak semuanya mencapai skor < 30 pada hasil observasi kecemasan setelah dilakukan terapi sinema.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Dumtrache (2014) yang dalam penelitiannya memakai terapi sinema berkelompok untuk menurunkan kecemasan pada anak muda dengan jumlah sampel sebanyak 60 orang, dimana sampel dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok intervensi masing-masing 30 orang. Penelitian tersebut menunjukkan adanya penurunan kecemasan yang signifikan pada kelompok yang diberikan intervensi terapi sinema dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi sinema.

Hasil penelitian mengenai penurunan kecemasan praoperatif menggunakan terapi sinema dapat dijelaskan oleh adanya efek katalis yang sangat kuat pada terapi tersebut untuk penyembuhan dan pertumbuhan bagi siapa saja yang mau membuka diri dan belajar bagaimana film dapat memengaruhinya serta menonton beberapa film dengan kesadaran dan kewaspadaan diri (Olivia, 2010). Terapi sinema dalam penelitian ini menggunakan film anak-anak / kartun karena anak berespon lebih baik terhadap film sebaya yang dilihatnya (Greundemann & Fernsebner, 2006).

Olivia (2010) mengatakan bahwa terapi sinema dapat membantu memperbaiki kondisi emosi dan mental dengan jalan memberikan efek untuk berimajinasi dengan plot, karakter, musik dan sebagainya yang membuat pikiran

52

seseorang mendapat ilham, terinspirasi, pelepasan emosional atau kelegaan dan perubahan alami. Pelepasan emosional yang dimaksud tersebut terlihat ketika terapi sinema dilakukan dalam penelitian ini, dimana mayoritas anak terlihat tersenyum dan terlihat senang ketika menonton film. Hal ini juga terlihat pada hasil observasi kecemasan sesudah terapi sinema pada domain luapan emosi yang menunjukkan bahwa 4 orang anak (50%) terlihat senang, tersenyum atau asyik dengan kegiatannya.

Penelitian Ahmed (2011) yang salah satu tujuannya adalah untuk menilai manajemen farmakologi yang sesuai untuk mereduksi kecemasan praoperatif anak, mengatakan bahwa distraksi dan intervensi perilaku pengembangan keterampilan koping yang baik merupakan cara yang paling efektif pada anak untuk mengurangi kecemasan praoperatif. Hal ini sesuai dengan penurunan kecemasan praoperatif yang terjadi pada penelitian ini, dimana film dalam terapi sinema tidak hanya sebagai distraksi yang menghibur tetapi juga sebagai pemberi arah kepada koping yang baik menghadapi prosedur operasi. Dalam penelitian ini, koping yang baik semakin ditekankan pada anak lewat diskusi setelah menonton film. Hal ini dapat diterima oleh responden dan sebagian dari responden menanggapi bahwa mereka tidak takut dioperasi.

Haruyama (2011) mengatakan bahwa seseorang yang menanggapi stresor secara positif akan memicu pembentukan hormon-hormon bahagia berbahan dasar tirosina seperti beta-endorfin dan enfekalin yang tidak hanya memberi kebahagiaan, tetapi juga memperkuat kekebalan tubuh, menambah daya ingat dan stamina serta memberi efek analgesik. Sebaliknya, apabila seseorang menanggapi

Dokumen terkait