• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada

Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan

SKRIPSI

Oleh :

Maristha Roswati

111101121

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Terapi Sinema Terhadap

Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan”.

Penulis banyak menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat adanya bantuan, bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Penulis mengucapkan terima kasih yang terutama kepada Ibu Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat untuk penyusunan skripsi ini.

Rasa terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada keluarga yang terkasih, Ibunda I. Simatupang tersayang yang telah berjuang membesarkan dengan penuh cinta dan selalu berdoa serta berusaha memenuhi kebutuhan moral dan materil terutama untuk mendukung pendidikan, juga kepada seluruh kakanda dan abangnda yang memberikan semangat, perhatian dan motivasi yang berharga demi selesainya penyusunan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

(5)

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Direktur Utama RSUP. H. Adam Malik Medan

4. Ibu Nunung Febriany Sitepu, S.Kep, Ns, MNS selaku dosen penguji I. 5. Ibu Reni Asmara Ariga, S.Kp, MARS selaku dosen penguji II.

6. Ibu/Bapak staf pengajar, staf administrasi, bagian pendidikan dan bagian perpustakaan Fakultas Keperawatan USU.

7. Teman-teman S-1 Keperawatan USU 2011

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik bagi perkembangan ilmu keperawatan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi tambahan informasi demi kemajuan pengetahuan khususnya dalam dunia keperawatan.

Medan, Juli 2015

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN HASIL SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

2.1.4 AreaTerapi Sinema ... 11

2.1.4.1 Terapi Sinema Individual ... 11

2.1.4.2 Terapi Pasangan dan Keluarga ... 16

2.1.4.3 Terapi Sinema Kelompok ... 16

2.1.5 Tahapan Terapi Sinema ... 17

2.1.6 Sinema pada Anak ... 18

2.2. Anak Usia Sekolah ... 19

2.2.1 Definisi Anak Usia Sekolah ... 19

2.2.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah ... 19

2.2.2.1 Perkembangan Biologis ... 19

2.2.2.2 Perkembangan Psikososial ... 20

2.2.2.3 Perkembangan Kognitif ... 20

2.2.2.4 Perkembangan Moral ... 21

2.2.2.5 Perkembangan Spiritual ... 22

2.2.2.6 Perkembangan Sosial ... 22

2.3. Konsep Praoperatif ... 23

2.3.1 Definisi Praoperatif ... 23

2.3.2 Indikasi dan Klasifikasi Operasi ... 23

2.3.3 Persiapan Praoperatif pada Anak ... 23

2.3.4 Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah ... 27

BAB 3 KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Penelitian ... 29

3.2. Hipotesis Penelitian ... 29

(7)

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian ... 32

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 33

4.3. Waktu dan Tempat ... 34

4.4. Pertimbangan Etik ... 34

4.5. Instrumen Penelitian ... 35

4.6. Validitas dan Reliabilitas ... 37

4.8. Pengumpulan Data ... 38

4.9. Analisis Data ... 40

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 42

5.1.1. Karakteristik Responden ... 42

5.1.2. Distribusi Kecemasan Responden Berdasarkan Kategori ... 47

5.1.3. Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif ... 48

5.2. Pembahasan ... 48

5.2.1. Karakteristik Demografi Responden ... 48

5.2.2. Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif ... 50

5.3. Keterbatasan Penelitian ... 53

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 54

6.2. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 56

LAMPIRAN

1. Instrumen Penelitian

2. Informed Consent dan Lembar Persetujuan Menjadi Responden 3. Prosedur Pelaksanaan Terapi Sinema

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian... 30

Tabel 4.1 Desain Penelitian ... 32

Tabel 4.2 Nilai Reliabilitas Kappa ... 38

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden ... 43

Tabel 5.2 Distribusi Hasil Observasi Kecemasan Sebelum Terapi ... 44

Tabel 5.3 Distribusi Hasil Observasi Kecemasan Sesudah Terapi ... 45

Tabel 5.4 Distribusi Kecemasan Berdasarkan Kategori Sebelum Terapi ... 47

Tabel 5.5 Distribusi Kecemasan Berdasarkan Kategori Sesudah Terapi... 47

(9)

DAFTAR SKEMA

(10)

Judul : Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan Nama Mahasiswa : Maristha Roswati

NIM : 111101121

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2015

ABSTRAK

Prosedur operasi dapat menimbulkan kecemasan praoperatif pada anak karena anastesi, lingkungan rumah sakit, orang asing, cidera fisik dan perpisahan dari orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan. Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan pendekatan

pre-post test design yang terdiri dari satu kelompok intervensi. Tehnik pengambilan sampel dengan purposive sampling dengan jumlah sampel 8 orang. Analisis data menggunakan uji statistik wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor kecemasan semua responden (8 orang) menurun sesudah diberi terapi sinema dibandingkan sebelum diberi terapi sinema. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,012, maka dapat disimpulkan ada pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah. Oleh karena itu disarankan untuk menerapkan terapi sinema sebagai salah satu intervensi asuhan keperawatan pada anak usia sekolah yang akan dioperasi.

(11)
(12)

Judul : Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan Nama Mahasiswa : Maristha Roswati

NIM : 111101121

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2015

ABSTRAK

Prosedur operasi dapat menimbulkan kecemasan praoperatif pada anak karena anastesi, lingkungan rumah sakit, orang asing, cidera fisik dan perpisahan dari orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan. Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan pendekatan

pre-post test design yang terdiri dari satu kelompok intervensi. Tehnik pengambilan sampel dengan purposive sampling dengan jumlah sampel 8 orang. Analisis data menggunakan uji statistik wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor kecemasan semua responden (8 orang) menurun sesudah diberi terapi sinema dibandingkan sebelum diberi terapi sinema. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,012, maka dapat disimpulkan ada pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah. Oleh karena itu disarankan untuk menerapkan terapi sinema sebagai salah satu intervensi asuhan keperawatan pada anak usia sekolah yang akan dioperasi.

(13)
(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Departemen kesehatan beserta organisasi profesi, lembaga donor dan beberapa universitas di Indonesia telah lama menyusun program jaminan mutu layanan kesehatan di rumah sakit. Jaminan mutu layanan kesehatan atau quality assurance adalah kegiatan pengukuran derajat kesempurnaan layanan kesehatan yang dibandingkan dengan standar layanan kesehatan dan dilanjutkan dengan tindakan perbaikan yang sistematis serta berkesinambungan untuk mencapai layanan kesehatan yang optimal, dimana upaya ini telah dikerjakan dan terus ditingkatkan terutama lewat layanan kesehatan dalam ruang lingkup rumah sakit (Pohan, 2007). Salah satu pelayanan kesehatan yang terus diupayakan peningkatan mutunya ialah prosedur medis operasi, dimana standar yang ditetapkan diharapkan dapat mengurangi variasi tindakan (Al-Assaf, 2009).

Jumlah kasus operasi di dunia telah meningkat tajam 20 tahun terakhir. Indonesia mengalami peningkatan operasi dimana tahun 2000 sebesar 47.22%, tahun 2001 sebesar 45.19%, tahun 2002 sebesar 47.13%, tahun 2003 sebesar 46.87%, tahun 2004 sebesar 53.22%, tahun 2005 sebesar 51.59 %, tahun 2006 sebesar 53.68% (Grace, 2007). Nurhafizah (2012) dalam penelitiannya mendapatkan data bahwa kasus operasi di Medan, yaitu di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, selama tahun 2010 dan 2011 adalah 3547 kasus bedah.

(15)

2

persiapan praoperatif khususnya persiapan kondisi pasien yang juga sangat berperan dalam penanganan praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif (Satyanegara, 2010). Praoperatif merupakan masa sebelum dilakukannya operasi yang dimulai sejak persiapan operasi dan berakhir sampai pasien berada di meja operasi (Uliyah, 2008). Kondisi pasien yang harus dipersiapkan pada masa praoperatif tidak hanya kondisi fisik, tetapi juga terutama kondisi psikologisnya (Wong, 2009).

Tarigan (2014) dalam penelitiannya The Anxiety Levels of Preoperative Patients in General Hospital of Dr. Pirngadi Medan mengungkapkan fenomena bahwa faktor lain selain kondisi fisik sering diabaikan pemberi layanan kesehatan pada masa praoperatif. Pasien properatif dapat mengalami berbagai ketakutan seperti takut terhadap anastesia, takut terhadap nyeri atau kematian, takut tentang ketidaktahuan atau takut tentang deformitas atau ancaman lain terhadap citra tubuh dapat menyebabkan ketidaktenangan atau kecemasan (Gruendemann & Fernsebner, 2006).

(16)

3

Kain, et al. (1996 dalam Wright 2009) menjelaskan kecemasan praoperatif pada anak sebagai fenomena umum, dimana 60% anak yang menjalani operasi dengan anastesi umum merasa cemas terutama sebelum operasi dan selama induksi. Anak-anak lebih mudah mengalami kecemasan dari pada orang dewasa karena tingkat emosional dan perkembangan perilaku mereka belum cukup matang (Wright, 2009).

Lee, et al. (2013) mengatakan bahwa kecemasan pada anak sangat mudah distimulasi, dimana mereka mudah merasa takut dan gelisah karena berbagai penyebab seperti lingkungan rumah sakit, orang asing (termasuk tenaga kesehatan), kurang mengetahui tentang status kesehatan dan pengobatan, takut terhadap cidera fisik dan perpisahan dari orang tua.

Kecemasan praoperatif dapat mengakibatkan munculnya perilaku negatif seperti mimpi buruk, kecemasan perpisahan dan tremor berlebihan, juga meningkatkan insiden munculnya delirium, peningkatan konsumsi analgesik karena nyeri pascaoperasi yang semakin buruk dan peningkatan durasi perawatan pascaoperatif di rumah sakit. Anak dengan nilai observasi kecemasan anak menggunakan Modified Yale Preoperative Anxiety Scale ≥ 70 bahkan tidak

diizinkan untuk memasuki ruang operasi (Lee, et al., 2013).

(17)

4

menurunkan kecemasan praoperatif. Komunikasi pada pasien praoperatif harus mempertimbangkan status perkembangan pasien dalam etika pemberian informasi (Gruendemann dan Fernsebner, 2006). Lee, et al. (2013) mengatakan bahwa pemberian sedatif dan kehadiran orang tua membantu menurunkan kecemasan praoperatif, namun cara ini memiliki efek yang kurang baik dan terbatas.

Anak-anak kecil umumnya berespon lebih baik terhadap permainan dan anak-anak yang lebih besar berespon lebih baik terhadap film sebaya yang dilihatnya (Bates & Brome, 1986 dalam Wong, 2009). Lee. et al., (2012) menjelaskan penelitiannya yang bertujuan untuk menilai pengaruh film kartun terhadap kecemasan anak dan melibatkan 130 anak praoperatif usia 5 sampai 7 tahun yang mengalami kecemasan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan membiarkan pasien pediatrik praoperatif menonton kartun sangat efektif dalam membantu mengurangi kecemasannya.

Film merupakan media dalam terapi sinema (Olivia, 2010; Wolz,2011; dan Goldberg, 2007). Terapi sinema adalah sebuah intervensi terapeutik yang secara visual membiarkan pasien mengkaji interaksi antar karakter dalam film, lingkungannya dan isu-isu personal untuk memfasilitasi perkembangan terapeutik yang positif yang bertujuan untuk mengubah kognitif dan perilaku pasien sesuai tujuan terapeutik yang diharapkan (Caron, 2005 dalam Goldberg, 2007).

(18)

5

1.2. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi karakteristik responden anak usia sekolah yang menjalani fase praoperatif di RSUP. H. Adam Malik Medan

2. Untuk mengidentifikasi kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan sebelum dilakukan intervensi terapi sinema

3. Untuk mengidentifikasi kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan sesudah dilakukan intervensi terapi sinema

(19)

6

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Praktik Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan kepada perawat khususnya yang bertugas di ruang bedah anak bahwa terapi sinema dapat dijadikan salah satu pilihan intervensi keperawatan bagi pasien anak untuk mengurangi kecemasan praoperatif.

1.4.2 Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau sumber data bagi penelitian lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai terapi sinema dalam pengaruhnya bagi kondisi psikologis pasien.

1.4.3 Pendidikan Keperawatan

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Terapi Sinema

2.1.1 Definisi

Olivia (2010) menjelaskan bahwa terapi sinema adalah proses menggunakan film bioskop atau televisi yang dapat memberi efek positif bagi banyak orang untuk tujuan penyembuhan, kecuali orang-orang yang mengalami gangguan psikotik. Film yang merupakan alat kebudayaan yang populer menyingkapkan dan menyiarkan nilai-nilai, konflik dan juga tujuan akhir dalam cerita yang dapat dibagikan dalam terapi sinema (Jones, 2007 dalam Goldberg, 2007).

Terapi sinema adalah sebuah intervensi terapeutik yang membiarkan klien secara visual mengkaji interaksi antarkarakter, lingkungan-lingkungan dan isu-isu personal dalam sebuah film yang bertujuan mendorong perkembangan terapeutik secara positif (Tyson, et al., 2000; Caron, 2005 dalam Goldberg, 2007).

2.1.2 Manfaat Terapi Sinema

(21)

8

belajar bagaimana film dapat memengaruhinya serta menonton beberapa film dengan kesadaran dan kewaspadaan diri.

Wolz (2011) juga menerangkan bahwa film dalam terapi sinema dapat memberikan peningkatan kesehatan emosional yang dapat dijelaskan dengan penelitian medis mengenai tertawa dan menangis. Tertawa mendorong sistem imun dan menurunkan hormon stress sedangkan menangis melepaskan neurotransmitter yang mengurangi nyeri.

2.1.3 Jenis Terapi Sinema

Wolz (2011) memadukan pengalaman menonton film dalam terapi sinema dengan metode terapeutik tradisional yang efektif dan membedakannya menjadi tiga cara, yaitu cara evokatif yang tidak membutuhkan rekomendasi film secara spesifik, cara preskriptif yang menyarankan film tertentu dan cara katartik yang merekomendasikan film ataupun jenis film secara spesifik.

2.1.3.1Cara Evokatif

(22)

9

Klien mengerti reaksi-reaksi yang ditimbulkannya terhadap karakter-karakter dalam film sehingga ia akan tahu sendiri bagian dalam dirinya yang tidak disadari sebelumnya. Akibatnya reaksi-reaksi tersebut akan mengajarkannya bagaimana mencapai peningkatan kesehatan. Hal ini mungkin terjadi karena timbulnya kesadaran sendiri akan membantu melepaskan pola yang tidak sehat dan membangkitkan kembali dirinya yang sebenarnya (Wolz, 2011).

Reaksi negatif terhadap sebuah karakter dalam film penting untuk ditelusuri. Reaksi ini dapat membantu menemukan bagian yang selama ini ditekan ke dalam jiwa dan dipungkiri oleh klien sehingga klien dapat melepaskan pola hidup yang tidak sehat akibat bagian-bagian tersebut dan kembali pada diri yang sebenarnya (Wolz, 2011).

2.1.3.2Cara Preskriptif

(23)

10

2.1.3.3Cara Katartik

Nichols dan Bierenbaum (1978 dalam Wolz, 2011) mengatakan bahwa teknik terapeutik katartik membantu terapis dalam mengakses emosi-emosi klien yang terpendam dan membebaskannya. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak pengalaman katartik klien, semakin cepat pula proses penyembuhannya.

Perasaan yang menyedihkan tidak hanya dapat menyebabkan klien menangis tetapi juga terbukti dapat menghasilkan bahan kimiawi penyebab stress pada tubuh manusia. Cara katarsis dapat membantu menetralkannya dengan jalan melepaskan perasaan-perasaan terpendam. Pada dasarnya, manusia telah diberikan proses katartik alami seperti tertawa dan menangis untuk melepaskan diri dari rasa sedih yang menyakitkan (Wolz, 2011).

Wolz (2011) menjelaskan bahwa film pada umumnya lebih banyak menyebarkan gagasan-gagasannya melalui emosi dari pada melalui intelektual sehingga dapat menetralisir naluri untuk menekan perasaan dan mencetuskan pelepasan emosi. Film membantu menyalurkan perasaan klien dengan menimbulkan emosi-emosi yang selama ini tertahan di dalam dirinya dengan lebih mudah dari pada menuangkan perasaan tersebut pada kehidupan nyata dengan orang yang sebenarnya. Klien juga dapat merasakan pengalaman emosional yang tersembunyi dari kesadaran mereka melalui identifikasi karakter tertentu dan keadaan-keadaan sulit para tokoh dalam film.

(24)

11

menolong untuk memilih koping terhadap aspek-aspek kehidupan yang tidak dapat didamaikan dengan pemikiran rasional. Tragedi memiliki kekuatan katartik karena hal itu membersihkan gangguan-gangguan emosi dan menyembuhkan truma (Murnaghan, 1951 dalam Wolz, 2011).

Air mata dapat mengalir melalui sebuah film yang menyentuh perasaan, namun dalam beberapa kondisi tidak terjadi pada kehidupan nyata, terutama ketika berada dibawah tekanan atau ancaman. Proses menonton dan berempati dengan sebuah karakter film yang mengalami tragedi dapat menstimulasi keinginan pelepasan emosional. Pelepasan tersebut biasanya meningkatkan semangat dalam jiwa klien sementara waktu karena emosi yang meluap-luap. Energi yang dialirkan oleh depresi dapat saja muncul kembali sewaktu-waktu. Kesempatan ini dapat digunakan untuk mulai menelusuri dan menyembuhkan alasan mendasar atas depresi yang dialami, termasuk dukacita (Wolz, 2011).

2.1.4 Area Terapi Sinema

Wolz (2011) membagi beberapa area terapi sinema berdasarkan lingkungan terapeutiknya. Area tersebut yaitu terapi individual, terapi pasangan atau keluarga, terapi kelompok dan konseling sekolah.

2.1.4.1Terapi Sinema Individual

(25)

12

1. Psikoterapi Mendalam

Wolz (2011) menjelaskan bahwa menonton film menjadi jalan menuju alam bawah sadar klien. Alam bawah sadar mengkomunikasikan isinya lewat simbol-simbol. Komunikasi seperti itu biasanya dapat kita sadari lewat mimpi dan imajinasi aktif yang menjadi celah menuju alam bawah sadar. Keduanya mengubah bentuk visual dari yang tidak disadari menjadi gambar-gambar yang dapat diterima pikiran sadar klien. Oleh karena itu, terapis psikologi mendalam dapat menggunakan respon terhadap film seperti mengunakan mimpi maupun imajinasi aktif. Respon yang ditimbulkan sering menjadi tanda bahwa jalan menuju alam bawah sadar telah diaktifkan.

Pikiran tidak sadar kita sering mengalami konflik dengan gagasan, maksud dan tujuan yang berasal dari pikiran sadar. Keingintahuan terhadap simbolisasi dan pengaruh sebuah film dapat menerobos penghalang diantara kedua tingkat psikologis tersebut dan mengatur aliran komunikasi yang sejati antara keduanya sehingga materi dalam alam bawah sadar menjadi lebih disadari (Wolz, 2011). 2. Terapi Kognitif

Film mendukung pemahaman model kognitif dimana seseorang akan memikirkan dan menginterpretasikan situasi yang menentukan perasaannya. Terapis mengajarkan model kognitif untuk memberikan klien sebuah gambaran dan mengajak mereka mengendalian reaksi emosionalnya. Film sangat berguna untuk membantu proses pengajaran hal-hal tersebut (Wolz, 2011).

(26)

13

sendirian dan mengurangi perasaan menghakimi diri sendiri. Contohnya pada pasien depresi biasanya memiliki penyimpangan kognitif dan kecenderungan untuk membenci diri sendiri, sehingga dalam menjalani terapi kognitif film dapat membantu untuk menerangkannya.

3. Terapi Modifikasi Perilaku

Wolz (2011) mengatakan bahwa film membantu latihan asertif dengan jalan pemodelan yang jelas. Contoh dari perilaku asertif yang tepat ditunjukkan kepada klien, kemudian mereka diminta untuk meniru perilaku tersebut. Hal ini disebut latihan pengulangan perilaku. Film atau klip-klip film yang ditunjukkan menyajikan contoh yang sangat baik.

Wolz (2011) menerangkan bahwa teknik pemodelan tersembunyi dapat dilakukan dengan cara mewajibkan klien untuk membayangkan berespon asertif. Terapis mengarahkan klien kepada suasana dan pemandangan yang disarankan. Imajinasi ini dapat juga menggunakan gambaran karakter-karakter dalam film yang telah disaksikan klien.

(27)

14

Film juga membantu mempersiapkan Flooding and Implosion. Flooding and Implosion adalah terapi induksi kecemasan untuk memadamkan respon fobia.

Flooding dilakukan dengan membiarkan klien terpajan objek yang ditakuti tanpa memiliki kesempatan untuk melarikan diri atau menghindar. Terapi implosion

mewajibkan klien untuk membayangkan hal yang tidak nyata, berlebihan atau peristiwa berbahaya yang berkaitan dengan reaksi fobia (Wolz, 2011).

Kecemasan merupakan hal yang ditekan selama terapi ini sehingga klien perlu mengakses kekuatan dan keberanian batinnya. Klien perlu mengingat dan mengidentifikasi karakter dalam film yang memodelkan kekuatan dalam menghadapi kesulitan agar dapat membantu dalam usaha ini (Wolz, 2011).

Ketika klien dipaparkan sebuah situasi yang menakutkan, mereka sepenuhnya berinteraksi dengan rangsangan tersebut, seperti menyentuh gagang pintu, lantai dan kursi toilet dimana pada titik ini klien merasa takut mereka timbul. Pencegahan respon berarti bahwa mereka harus memblokir setiap kegiatan yang digunakan untuk mencegah bahaya yang merupakan konsekuensi paparan, misalnya mencuci tangan. Klien harus bersedia mentoleransi ketidaknyamanan yang ditimbulkan sampai mereka terbiasa dengan stimulus. Identifikasi film membantu mengakses kekuatan dan keberanian jiwa seseorang sehingga menolongnya dalam mentoleransi rasa takutnya (Wolz, 2011).

4. Hipnoterapi

(28)

15

juga dapat melewati pikiran bawah sadar. Klien merasa memasuki sebuah film dalam sebuah adegan tertentu sebagai karakter tertentu atau dalam sebuah hubungan dengan karakter yang penting menurut mereka. Kemudian klien membiarkan kisah mereka sendiri terungkap dengan bimbingan dari terapis. Biasanya pada saat ini hal-hal yang bahkan tidak disadari klien akan terungkap (Wolz, 2011).

Klien dipandu untuk menjadi sebuah karakter yang perilaku dan keterampilannya telah dimodelkan. Cara ini membantu mereka memperoleh atribut karakter yang diinginkan dalam sebuah film (Wolz, 2011).

Film dalam hipnoterapi juga dapat berguna untuk menciptakan tempat yang aman melalui adegan-adegan film yang menenangkan. Adegan-adegan ini dapat membantu terapis yang biasanya akan membimbing klien untuk membayangkan tempat yang nyaman sesuai pilihan mereka untuk memperdalam klien memasuki terapi. Klien akan masuk dalam tempat nyaman mereka dengan cara masuk dalam adegan film yang didalamnya terdapat tempat yang aman dan menenangkan (Wolz, 2011).

5. Terapi Naratif

(29)

16

mereka merasa tidak cocok dengan pandangan dominan mereka sendiri. Pengalaman-pengalaman yang luar biasa ini menghubungkan kembali klien kepada sumber informasi yang mereka lupakan (Wolz, 2011).

2.1.4.2Terapi Pasangan dan Keluarga

Wolz (2011) mengatakan bahwa terapi pasangan dan keluarga berorientasi pada sistem dan pelatihan komunikasi yang dikombinasikan dengan menonton film yang bertujuan menunjukkan dinamika dalam keluarga. Hal ini membantu klien untuk memahami masalah mereka sebagai fungsi dari bagian sistem yang lebih besar, mengidentifikasi dan membandingkan apa yang dirasakan telah memuaskan dan belum memuaskan sesuai dengan sistem mereka, menkomunikasikan konsep yang tidak lazim pada pasangan mereka melalui film yang memperkenalkannya pada mereka dalam gambar-gambar yang mudah dipahami, serta berguna untuk menghubungkan atau memperbaiki hubungan mereka melalui peningkatan komunikasi.

Solusi dicari dengan menonton film yang berisi perjuangan tokoh dalam masalah yang sama ketika salah satu anggota keluarga menolak terapi, sehingga akan membantu klien untuk lebih bersifat terbuka karena tidak lagi terintimidasi oleh proses terapi dan tidak takut untuk disalahkan (Wolz, 2011).

2.1.4.3Terapi Sinema Kelompok

(30)

17

untuk proses psikologis sejalan dengan efek terapi dari dinamika kelompok. Refleksi anggota kelompok mengenai respon emosional pada film adalah komponen utama yang memperkaya terapi kelompok. Peserta memperoleh alat yang efektif untuk mengenal diri mereka sendiri dan orang lain melalui pemahaman dan saling berbagi tentang adegan atau karakter yang menyentuh.

Suasana hati yang menyenangkan muncul setelah menonton film yang lucu dan menggembirakan, sedangkan suasana hati yang lebih berat dirasakan setelah menonton film yang membahas hubungan dan kehidupan yang penuh masalah (Wolz, 2011). Hal ini membuktikan bahwa manusia rentan terhadap pengaruh dari luar. Film yang bahkan bukanlah sebuah kenyataan melainkan merupakan cahaya yang diproyeksikan melalui layar juga dapat mempengaruhi manusia. Pengalaman batin seseorang dibentuk oleh proyeksi terhadap lingkungan disekitarnya (Wolz, 2011).

2.1.5 Tahapan Terapi Sinema

(31)

18

memperhatikan bagaimana jalan cerita film tersebut, karakter tokohnya, percakapan demi percakapannya tanpa berkomentar atau mengkritiknya; (6) film bisa ditonton sendiri atau juga berkelompok yang berisi tiga sampai delapan orang apabila ingin menonton bersama, berdiskusi dan saling berbagi; (7) setelah menonton film maka kondisi dalam film dapat dikaitkan dengan kondisi pribadi. Cara ini memiliki tiga fungsi yaitu kreatif (menempatkan satu keadaan dalam berbagai kondisi), adaptif (sudah menghadapinya, lalu apa tindakan selanjutnya), akomodatif (jika belum terjadi bagaimana cara mencegahnya).

2.1.6 Sinema pada Anak

Bandura & Ros (1963 dalam Papalia,dkk, 2008) mencatat informasi riset pembelajaran sosial yang menyatakan bahwa anak-anak mengimitasi contoh yang difilmkan bahkan lebih dari yang nyata. Pengaruh tersebut bertambah kuat apabila anak yakin bahwa kondisi yang diceritakan dalam film adalah nyata sehingga ia mengidentifikasikan dirinya dengan setiap adegan dan karakter-karakter yang bermain didalamnya. Misalnya ketika anak menonton kekerasan di televisi, mereka mungkin menyerap nilai yang digambarkan dan memandangnya sebagai perilaku yang dapat diterima.

(32)

19

tahun (baik pria maupun wanita) adalah tingkat kekerasan dalam pertunjukan yang mereka tonton saat mereka masih anak kecil.

2.2Anak Usia Sekolah

2.2.1 Definisi Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah adalah anak yang berada pada rentang usia kehidupan mulai dari enam sampai dua belas tahun yang diawali dengan masuknya anak ke lingkungan sekolah dasar sehingga mengalami dampak perkembangan dan hubungan dengan orang lain (Wong, 2009).

2.2.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah

Usia sekolah merupakan saat dimana terjadi pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap dengan peningkatan yang lebih besar pada aspek fisik dan emosional (Wong, 2009).

2.2.2.1 Perkembangan Biologis

(33)

20

2.2.2.2 Perkembangan Psikososial

Wong (2009) menyebutkan bahwa tahapan keempat dalam perkembangan psikososial menurut Erikson adalah tahap industri dan inferioritas (enam sampai dua belas tahun). Tahap ini adalah tahap dimana anak siap bekerja dan berproduksi. Mereka mau terlibat dalam melaksanakan tugas dan aktivitas hingga selesai dan menginginkan pencapaian yang nyata. Pada masa ini anak akan belajar berkompetisi dan bekerja sama dengan mempelajari aturan-aturan yang akan mendorong mereka untuk memproduksi kompetensi. Saat ini adalah waktu dimana anak memantapkan hubungan sosial mereka. Rasa inferioritas dapat terjadi apabila terlalu banyak yang diharapkan dari mereka atau jika mereka percaya bahwa mereka tidak dapat memenuhi standar yang ditetapkan orang lain pada mereka. Perasaan inferioritas atau kurang berharga dapat diperoleh dari anak sendiri atau dari lingkungan mereka.

Wong (2009) menjelaskan bahwa masa usia sekolah merupakan masa perkembangan psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten, yaitu periode antara fase Odipus pada masa kanak-kanak awal dan erotisme pada masa remaja. Periode laten merupakan periode dimana anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis setelah pengabaian pada tahun-tahun sebelumnya dan didahului ketertarikan pada lawan jenis yang menyertai pubertas.

2.2.2.3 Perkembangan Kognitif

(34)

21

Tahap ini disebut sebagai tahap operasional konkret menurut Pieget, yaitu tahap dimana anak mampu menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan, juga merupakan tahap dimana egosentris telah digantikan dengan proses pikir yang memungkinkan anak melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (Wong, 2009).

Keterampilan yang paling penting pada usia sekolah yaitu keterampilan membaca yang merupakan alat paling berharga untuk menyelidiki kemandirian anak. Kemampuan anak untuk mengeksplorasi, berimajinasi dan memperluas pengetahuan ditingkatkan dengan kemampuan membaca (Wong, 2009).

2.2.2.4 Perkembangan Moral

Perkembangan psikomoral anak menurut Kohlberg disimpulkan kembali oleh Wong (2009) dalam tiga tingkat utama, yaitu tingkat prakonvensional, konvensional dan pascakonvensional, autonomi atau prinsip. Anak usia sekolah berada pada tingkat konvensional, yaitu tahap dimana anak terfokus pada kepatuhan dan loyalitas. Perilaku yang disetujui atau membantu orang dianggap sebagai perilaku yang baik.

(35)

22

menerima konsep memperlakukan orang lain seperti bagaimana mereka ingin diperlakukan (Wong, 2009).

2.2.2.5 Perkembangan Spiritual

Anak pada usia sekolah berpikir dalam batasan yang sangat konkret tetapi tetap berkemauan besar dalam mempelajari Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan sebagai manusia yang memiliki sifat penyayang dan penolong. Anak juga tertarik terhadap konsep surga dan neraka sebagai bentuk imbalan dari setiap perilaku. Pada usia ini anak mulai belajar membedakan antara natural dan supranatural tetapi mengalami kesulitan dalam memahami simbol-simbol. Kegiatan doa dalam beribadah cenderung menuntut balasan yang nyata (Wong, 2009).

2.2.2.6 Perkembangan Sosial

(36)

23

2.3Konsep Praoperatif

2.3.1 Definisi Praoperatif

Praoperatif adalah fase awal dari sebuah pengalaman operasi yang disebut perioperatif, dimana setelah fase ini akan dilanjutkan kepada fase berikutnya yaitu intraoperatif dan pascaoperatif. Fase praoperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi operasi dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.2 Indikasi dan Klasifikasi Operasi

Operasi mungkin dilakukan karena berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut yaitu diagnostik, seperti ketika dilakukan biopsi atau laparotomi eksplorasi; kuratif, seperti ketika mengeksisi masa tumor atau mengangkat apendiks yang mengalami inflamasi; reparatif, seperti ketika harus memperbaiki luka multipel; rekonstruktif atau kosmetik, seperti ketika melakukan mammoplasti atau perbaikan wajah; dan paliatif, seperti ketika harus menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah seperti contohnya ketika selang gastrostomi dipasang untuk mengkompensasi terhadap ketidakmampuan untuk menelan makanan. Operasi juga dapat diklasifikasikan sesuai tingkat urgensinya yaitu kedaruratan, urgen, diperlukan, elektif (yang direncanakan) dan pilihan (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.3 Persiapan Praoperatif pada Anak

(37)

24

penerimaan, uji darah, injeksi obat praoperatif (jika diresepkan), periode sebelum dan selama pemindahan ke ruang operasi, dan kembalinya ke unit perawatan pasca-anastesi (PACU) (Wong, 2009).

2.3.3.1. Persiapan Fisik

Persiapan fisik yang paling umum menjelang prosedur operasi ialah menyangkut kebutuhan nutrisi dan cairan. Masukan makanan atau air per oral harus sudah tidak diberikan 8 sampai 10 jam sebelum operasi. Makanan kecil diperbolehkan pada malam sebelumnya jika pembedahan dijadwalkan pagi hari. Pasien dehidrasi cairan per oral dianjurkan minum sebelum operasi dilakukan dan selain itu cairan diresepkan secara intravena, terutama pada pasien yang tidak mampu minum. Sarapan pagi lunak bisa saja diberikan jika pembedahan dijadwalkan pada siang hari dan tidak melibatkan bagian gastrointestinal manapun (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.3.2. Persiapan Psikologik

(38)

25

Secara umum persiapan psikologik dapat menggunakan berbagai tehnik seperti yang dipakai pada persiapan anak untuk hospitalisasi, yaitu film, buku, permainan dan tur. Intervensi psikologik terdiri atas persiapan yang sistematik, latihan kejadian yang akan datang dan perawatan penunjang selama saat-saat stress (misalnya saat masuk rumah sakit) yang telah terbukti efektif dalam mempersiapkan anak. Peningkatan pengenalan dengan prosedur medis dapat menurunkan kecemasan (Wong, 2009).

Bermain adalah salah satu cara yang dapat digunakan anak untuk memanipulasi atau mengendalikan situasi, dan bermain dapat membantu anak mengatasi stress. Bermain praoperatif telah terbukti dapat mengurangi rasa cemas pada anak-anak (Greundemann & Fernsebner, 2006).

Secara umum anak-anak berespon lebih baik terhadap materi permainan, dan anak-anak yang lebih besar berespon lebih baik terhadap film sebaya yang dilihatnya (Greundemann dan Fernsebner, 2006). Selain itu tempramen anak, strategi koping yang sudah ada dan pengalaman sebelumnya terkait proses persiapan secara individual penting dipertimbangkan (Greundemann & Fernsebner, 2006 ).

(39)

26

et al. (2013) mengatakan bahwa salah satu intervensi untuk menangani kecemasan praoperatif ialah dengan mengizinkan orang tua mendampingi anak selama induksi anastesi, namun pengaruh intervensi ini terbatas.

Pasien anak praoperatif penting untuk mendapatkan informasi terkait tindakan operasi yang akan dijalaninya. Usia dan perkembangan anak mempengaruhi jenis informasi yang diberikan dan kapan harus diberikan. Bayi dan anak toddler muda biasanya secara kognitif tidak mampu mengerti informasi prosedural yang terinci atau mengantisipasi kejadian. Anak toddler tua dapat diberikan penjelasan yang sederhana. Anak yang lebih tua memperoleh manfaat dari persiapan yang dilakukan beberapa hari sebelum prosedur karena memiliki waktu untuk berpikir respon apa yang akan diberikan dan perilaku apa yang dapat digunakan untuk mengatasi pengalaman operasi (Melamed et al., 1976 dalam Greundemann & Fernsebner, 2006). Penjelasan dengan waktu yang berdekatan sebelum prosedur aktual akan semakin baik untuk mencegah fantasi dan kekhawatiran pada anak yang lebih kecil. Prosedur yang kompleks lebih membutuhkan banyak waktu untuk asimilasi informasi, terutama pada anak-anak yang lebih besar (Greundemann & Fernsebner, 2006).

(40)

27

2.3.4 Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah

Lee, et al. (2013) mengatakan bahwa kecemasan adalah wilayah emosional negatif yang ditimbulkan oleh stres maupun keadaan sekitar yang mengancam. Videbeck (2008) mengatakan bahwa kecemasan dapat timbul tanpa peristiwa pencetus atau dapat terjadi karena peristiwa akut yang menimbulkan stress atau bahkan stressor kronis seperti masalah kesehatan dan medikasi dimana salah satu prosedur medis yang berpotensi besar untuk menimbulkan kecemasan adalah prosedur operasi. Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan bahwa segala bentuk prosedur operasi selalu didahului dengan suatu reaksi emosional tertentu oleh pasien, dimana reaksi tersebut bisa telihat jelas atau tersembunyi, normal atau abnormal. Kecemasan praoperatif merupakan suatu respon antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh atau bahkan kehidupannya itu sendiri (Smeltzer & Bare, 2002).

Kejadian yang paling mengkhawatirkan pada pasien praoperatif usia anak umumnya adalah injeksi praoperatif atau anastesi dan juga masker wajah khususnya untuk anak usia sekolah (Wong, 2009). Lee, et al. (2013) mengatakan bahwa sumber kecemasan praoperatif anak usia 4 sampai 6 tahun ialah rasa takut terhadap operasi itu sendiri, sedangkan pada anak yang lebih tua merasa takut mengenai kesadaran selama operasi dan kemungkinan untuk tidak sembuh dari anastesi.

(41)

28

memperlihatkan masalah emosi atau perilaku yang akut atau bertahan lama seperti mimpi buruk, peningkatan ketergantungan, regresi, hilangnya kemampuan buang air sendiri, gangguan makan dan peningkatan rasa takut. Lee, et al. (2013) menambahkan dampak kecemasan praoperatif yaitu munculnya perilaku negatif seperti kecemasan perpisahan dan tremor berlebihan, juga meningkatkan insiden munculnya delirium, peningkatan konsumsi analgesik karena nyeri pascaoperasi yang semakin buruk dan peningkatan durasi perawatan pascaoperasi di rumah sakit.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan praoperatif pada anak ialah karakter anak, kecemasan orang tua, status perkembangan yang belum dewasa dan riwayat perawatan di rumah sakit (Lee, et al., 2013).

Kecemasan praoperatif pada anak diukur dengan observasi karena mempertimbangkan kemampuan anak merespon secara verbal masih terbatas sesuai status perkembangannya. Observasi kecemasan dapat menggunakan

(42)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Penelitian

Kerangka konseptual adalah model pendahuluan yang menggambarkan sebuah masalah penelitian, dan merupakan refleksi dari hubungan variabel-variabel yang diteliti (Swarjana, 2012). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah dan variabel independen adalah terapi sinema yang dilakukan kepada anak yang akan dioperasi. Penelitian ini terdiri atas satu kelompok yaitu kelompok intervensi. Hasil yang diharapkan adalah berkurangnya kecemasan pada anak usia sekolah yang diberi intervensi terapi sinema saat menjalani fase praoperatif.

Variabel Independen Variabel Dependen

Skema 1.Skema Kerangka Konsep

3.2. HipotesisPenelitian

Hipotesa penelitian adalah hipotesa alternatif, yaitu ada pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan.

(43)

30

3.3. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Terapi Sinema

(44)

31

Kecemasan Praoperatif

(45)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi-eksperimen dengan pendekatan pre post test design yaitu menggunakan satu kelompok subjek penelitian dengan observasi sebelum dan sesudah perlakuan. Subjek perlakuan diberikan terapi sinema selama 20 menit untuk mengidentifikasi pengaruh terapi sinema dalam mengurangi kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah.

Desain ini digambarkan:

Pre Test Perlakuan Post Test

01 X 02

Tabel 4.1 Desain Penelitian

Keterangan:

01: Pengukuran kecemasan praoperatif sebelum dilakukan terapi sinema pada responden penelitian

X : Perlakuan intervensi terapi sinema pada responden penelitian

(46)

33

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian

4.2.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah anak yang berusia 6-12 tahun yang akan menjalani operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan sebanyak 146 orang anak pada bulan Januari-September 2014 (diperoleh dari jadwal operasi Instalasi Bedah Pusat RSUP. H. Adam Malik Medan).

4.2.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari elemen populasi yang dihasilkan dari strategi sampling dan dapat mewakili populasi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling dengan besar sampel ditentukan menggunakan rumus :

n = N

N.d2+1

= 146

146( 0,1)2+1

= 146

2,46

= 59 orang

(47)

34

pendengaran, penglihatan dan pengucapan; dapat berbahasa Indonesia dengan baik; pasien dan orang tua / wali setuju anak menjadi responden; bersedia tanpa didampingi orang tua selama penelitian; tidak dalam pengaruh sedatif

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini ialah pasien anak yang mengalami gangguan psikotik, gangguan tumbuh kembang dan tidak kooperatif.

4.3. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan karena mempertimbangkan sulitnya menemukan responden penelitian di beberapa rumah sakit lainnya di kota Medan, dan karena RSUP. H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit tipe A dan merupakan rumah sakit rujukan, sekalipun responden penelitian juga sulit ditemukan di RSUP. H. Adam Malik Medan selama penelitian.

Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 - Juli 2015, terhitung sejak pengajuan judul penelitian sampai pengumpulan skripsi. Pengumpulan data penelitian dilakukan sejak 8 April - 8 Juni 2015.

4.4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari insitusi pendidikan yaitu Fakultas Keperawatan USU dan izin Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan. Penelitian ini memberikan aspek pertimbangan etik yang meliputi

(48)

35

discomfort. Kerahasiaan catatan mengenai data responden dijaga dengan cara tidak menuliskan nama responden di Instrumen, tetapi menggunakan inisial. Data yang diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian dan tidak adanya deskriminasi dari penelitian.

Penelitian juga menyangkut beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan etik, yaitu memberikan penjelasan kepada responden tentang tujuan penelitian, manfaat, dan prosedur pelaksanaan penelitian. Peneliti kemudian meminta persetujuan menjadi responden penelitian kepada pasien praoperatif anak usia sekolah dalam bentuk penjelasan dan kepada orang tua / walinya dalam bentuk informed consent. Pasien anak atas izin orangtua atau wali sebagai penanggung jawab anak secara hukum, memiliki kebebasan dengan sukarela untuk menjadi responden penelitian ini dengan menandatangani lembar persetujuan yang diwakilkan oleh orang tua atau wali, dan dapat pula menolak atau mengundurkan diri dalam berpartisipasi pada penelitian ini.

4.5. Instrumen Penelitian

4.5.1 Kuesioner Penelitian dan Lembar Observasi

Instrumen penelitian terdiri dari dua bagian yaitu kuesioner data demografi dan lembar observasi kecemasan anak. Kuesioner data demografi berisi informasi mengenai jenis kelamin, umur, suku dan agama.

Lembar observasi kecemasan anak yang dipakai dalam penelitian ini adalah

(49)

36

Instrumen ini dipakai dengan terlebih dahulu telah meminta izin kepada pembuat instrumen mYPAS. Instrumen ini telah diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh LIA.

Cara penilaian dalam mYPAS adalah dengan memilih 22 kategori untuk menilai 5 domain mulai dari skor 1-4 atau 1-6 yang semakin besar nilainya maka menunjukkan kecemasan yang semakin meningkat pada masing-masing domain, lalu dimasukkan ke dalam rumus (A/4 + B/6 + C/4 + D/4 + E/4) × 100/5 untuk mendapatkan skor total kecemasan yang berada pada skor maksimal 100. Skor total mYPAS < 30 dikatakan tidak cemas pada anak yang akan dioperasi dan >30 dikatakan ada cemas (Lee, 2013). Semakin besar skor total yang didapatkan maka semakin meningkat kecemasan pada anak.

4.5.2 Terapi Sinema

Terapi sinema dalam penelitian eksperimen ini menggunakan film kartun Upin dan Ipin berjudul “Gigi Susu” berdurasi total 20 menit yang ditayangkan

menggunakan tablet Asus Fonepad 8. Alat ini tidak sesuai dengan yang tercantum dalam prosedur pelaksanaan penelitian terapi sinema yaitu menggunakan notebook. Tablet Asus Fonepad 8 dipilih karena mempertimbangkan pemakaiannya yang lebih praktis.

Film Upin Ipin merupakan kartun asal Malaysia karya Burhanuddin Radzi dan Ainon. Karena berbagai keterbatasan, peneliti belum meminta izin dalam pemakaian film ini kepada pihak perusahaan produksi film dan animasi LES

(50)

37

Film tersebut memberikan nilai positif karena lucu dan menghibur serta mengajarkan bagaimana menjaga kesehatan gigi dan mulut sekaligus memberikan pesan bahwa tindakan medis yang terkesan menakutkan pada anak (dalam film ini adalah pencabutan gigi) bertujuan memulihkan kesehatannya kembali.

4.6. Validitas dan Realibilitas

4.6.1. Uji Validitas

Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Suatu instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur data dari variabel yang diteliti secara tepat. Uji validitas instrument Modified Yale Preoperative Anxiety Scale (mYPAS) dilakukan dengan content validity oleh ahli perawatan anak sekaligus wakil kepala instalasi Rindu B RSUP. H. Adam Malik Medan yaitu Ibu Saodah Hanim, S.Kep, Ns dan Ibu Efri Suriati Pakpahan, S. Kep, Ns sebagai Kepala ruang Kenanga III RSUD Dr. Pirngadi Medan, dengan nilai CVI yang didapatkan yaitu 0,8.

4.6.2. Uji Reliabilitas

(51)

38

ibu Roselin, ibu Tety dan ibu Oktisa. Uji reliabilitas dilakukan sejak 18 Maret – 8 April 2015.

Hasil observasi kemudian dihitung dengan menggunakan Fleiss

Kappa. Fleiss Kappa merupakan pengukuran statistik untuk mengkaji reliabilitas dari kesepakatan antar sejumlah raters yang melakukan penilaian secara kategorik terhadap sejumlah subjek atau penggolongan subjek, dimana subjek yang berbeda dapat dinilai oleh individu / raters yang berbeda (World Public Library Association, 2015).

Nilai reliabilitas kappa dikatakan sangat jelek apabila bernilai < 0; jelek 0 - 0,20; kurang 0,21 - 0,40; sedang 0,41 - 0,60; baik 0,61 - 0,80 dan sangat baik 0,81 – 1 (Landis & Koch dalam Hussein & Zolait, 2013). Nilai reliabilitas kappa masing-masing domain pada instrument Modified Yale Preoperative Anxiety Scale didapatkan sebagai berikut:

Tabel 4.2 Nilai Reliabilitas Kappa

Domain Nilai kappa Nilai reliabilitas

A.Kegiatan 0,65 Baik

B.Pernyataan 0,65 Baik

C.Luapan Emosi 0,74 Baik

D.Keadaan Ingin Tahu 0,65 Baik

E. Peranan orang tua 0,55 Sedang

4.7. Pengumpulan Data

(52)

39

Setelah mendapat izin penelitian, peneliti melakukan uji reliabilitas terlebih dahulu dengan meminta bantuan 4 orang perawat yang bertugas di ruang RB2A untuk mengobservasi kecemasan praoperatif pada 3 orang anak usia sekolah yang dirawat di ruangan tersebut menggunakan instrumen penelitian yaitu mYPAS. Selanjutnya baru peneliti melakukan penelitian dengan cara memantau jadwal operasi anak setiap harinya ataupun apabila jadwal tidak peneliti temui maka peneliti berkunjung langsung ke tiap kamar di ruang RB2A dan RB2B untuk melihat ada tidaknya pasien anak di kamar-kamar tersebut. Apabila peneliti menemukan pasien anak, peneliti menyapa pasien dan keluarga, bertanya tentang usia anak dan ada tidaknya rencana operasi pasien anak tersebut demi mendapatkan responden yang sesuai kriteria.

(53)

40

film. Peneliti memfasilitasi responden penelitian untuk menonton film kartun berdurasi 18 menit menggunakan tablet Asus Fonepad 8 dan menemani responden untuk menonton sambil mengamati reaksi klien . Peneliti juga berdiskusi singkat selama dua menit untuk menegaskan kembali pesan positif film dan mengaitkan dengan kondisinya. Peneliti kemudian mengakhiri dengan pengukuran kecemasan kembali (post-test) di ruang rawat sebelum responden dibawa ke ruang operasi.

Responden yang peneliti dapatkan selama kurang lebih 2 bulan sejak 8 April 2015 berjumlah 8 orang yaitu anak usia sekolah yang akan dioperasi dan telah dirawat inap di ruang RB2A atau RB2B. Penelitian ini dilakukan pada responden di ruang rawat inap yang dalam waktu kira-kira satu jam kemudian akan didorong ke ruang operasi. Keadaan responden pada saat dilakukan penelitian ini yaitu sedang menjalani puasa, diberikan tambahan cairan IV dan area yang akan dioperasi pada umumnya sudah digambar oleh dokter menggunakan spidol.

4.8. Analisis Data

Pengolahan data dilakukan peneliti melalui beberapa tahap yaitu: (1) tahap

(54)

41

memasukan data ke dalam komputer untuk dilakukan uji statistik, (5) cleaning, hasil data diperiksa ulang untuk memastikan tidak ada kesalahan, (6) saving, data disimpan sebagai hasil penelitian.

Analisis data dibedakan menjadi dua yaitu:

4.8.1. Analisis Univariat

Analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif untuk menyajikan karakteristik responden dari data demografi yaitu umur, jenis kelamin, suku, agama serta kecemasan anak sebelum dan sesudah dilakukan terapi sinema.

4.8.2. Analisis Bivariat

(55)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Bab ini akan menguraikan hasil penelitian serta pembahasan mengenai pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan. RSUP. H. Adam Malik Medan adalah rumah sakit besar yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17 Medan dan merupakan rumah sakit negeri kelas A yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan sub spesialis yang luas. Rumah sakit ini ditetapkan pemerintah sebagai rumah sakit rujukan tertinggi di wilayah Sumatera Utara.

Pengumpulan data di RSUP. H. Adam Malik dilakukan dari tanggal 8 April 2015 sampai dengan 8 Juni 2015 dengan jumlah responden sebanyak 8 orang. Responden merupakan kelompok yang dilakukan intervensi terapi sinema.

5.1.1. Karakteristik Responden

(56)

43

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Penelitian di ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

(57)

44

Tabel 5.2 Distribusi Hasil Observasi Kecemasan Praoperatif Anak Sebelum dilakukan Terapi Sinema di ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

Pernyataan Sebelum

ya % tidak % A. Kegiatan

1. Memperhatikan sekeliling, ingin tahu, bermain, membaca (atau kebiasaan lainnya)

2. Tidak mau melakukan kegiatan, menunduk, gelisah dengan memainkan tangan, duduk dekat dengan orang tua

3. Bergerak tanpa aktivitas yang jelas, menggeliat, memegang orangtuanya

4. Menghindari tenaga kesehatan, menolak

perlakuan dengan kaki dan tangan atau dengan seluruh tubuh, tidak mau bermain dan tidak mau terpisah dari orang tua

B. Pernyataan

1. Membaca (tanpa suara), bertanya, berkomentar, menjawab pertanyaan, terlalu asyik bermain untuk merespon

2. Menanggapi orang yang lebih dewasa dengan

berbisik, hanya menganggukkan kepala

3. Diam, tidak ada respon terhadap orang yang lebih dewasa

4. Merengek, mengerang, merintih

5. Menangis atau bahkan berteriak “tidak mau dioperasi”

6. Menangis, berteriak keras terus menerus

C. Luapan Emosi

1. Terlihat senang, tersenyum, atau asyik dengan kegiatannya

2. Netral, tidak terlihat emosi yang berarti pada wajah

3. Sedih, wajah ketakutan, terlihat tegang

4. Menangis, menjadi sangat marah

D. Keadaaan Ingin Tahu

1. Berjaga-jaga, melihat sekeliling, melihat apa yang dilakukan tenaga kesehatan

2. Anak berdiam diri dengan duduk tenang dan diam, menatap orang yang lebih dewasa

3. Waspada melihat sekitarnya, terkejut akan suara-suara tertentu, mata waspada, badan menegang

(58)

45

4. Panik dan merengek, menangis, mendorong orang di sekitarnya

E. Peranan Orang tua

1. Sibuk bermain atau sibuk dengan kebiasaannya, duduk tenang, tidak membutuhkan orang tua, mau berinteraksi dengan orang tua apabila orang tuanya yang memulai

2. Menggapai orang tua, mencari perlindungan dan kenyamanan, bersandar pada orang tua

3. Menatap orang tua, tidak ingin berhubungan dengan orang lain, melakukan apa yang disuruh bila orang tua berada di dekatnya

4. Tidak bisa jauh dari orang tua dan akan marah/menangis apabila berpisah dengan orang tuanya, memegang erat orang tua dan tidak melepaskannya, atau mendorong menjauhi orangtuanya

Observasi kecemasan praoperatif berikutnya dilakukan setelah perlakuan terapi sinema, dimana hasil yang didapatkan paling banyak bernilai 1 pada domain kegiatan yaitu sebanyak 6 orang (75%), bernilai 1 pada domain pernyataan yaitu sebanyak 5 orang (62,5%), bernilai 1 dan 2 pada domain luapan emosi dengan hasil yang sama sebanyak 4 orang (50%), bernilai 1 pada domain keadaan ingin tahu yaitu sebanyak 5 orang (62,5%), dan bernilai 1 pada domain peranan orang tua yaitu sebanyak 7 orang (87,5%). Informasi yang lebih jelas terlihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi Hasil Observasi Kecemasan Praoperatif Anak Sesudah dilakukan Terapi Sinema di ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

Pernyataan Sesudah

ya % tidak % A. Kegiatan

(59)

46

dengan orang tua

3. Bergerak tanpa aktivitas yang jelas, menggeliat, memegang orangtuanya

4. Menghindari tenaga kesehatan, menolak

perlakuan dengan kaki dan tangan atau dengan seluruh tubuh, tidak mau bermain dan tidak mau terpisah dari orang tua

B. Pernyataan

1. Membaca (tanpa suara), bertanya, berkomentar, menjawab pertanyaan, terlalu asyik bermain untuk merespon

2. Menanggapi orang yang lebih dewasa dengan

berbisik, hanya menganggukkan kepala

3. Diam, tidak ada respon terhadap orang yang lebih dewasa

4. Merengek, mengerang, merintih

5. Menangis atau bahkan berteriak “tidak mau dioperasi”

6. Menangis, berteriak keras terus menerus

C. Luapan Emosi

1. Terlihat senang, tersenyum, atau asyik dengan kegiatannya

2. Netral, tidak terlihat emosi yang berarti pada wajah

3. Sedih, wajah ketakutan, terlihat tegang

4. Menangis, menjadi sangat marah

D. Keadaaan Ingin Tahu

1. Berjaga-jaga, melihat sekeliling, melihat apa yang dilakukan tenaga kesehatan

2. Anak berdiam diri dengan duduk tenang dan diam, menatap orang yang lebih dewasa

3. Waspada melihat sekitarnya, terkejut akan suara-suara tertentu, mata waspada, badan menegang 4. Panik dan merengek, menangis, mendorong orang

di sekitarnya

E. Peranan Orang tua

1. Sibuk bermain atau sibuk dengan kebiasaannya, duduk tenang, tidak membutuhkan orang tua, mau berinteraksi dengan orang tua apabila orang tuanya yang memulai

2. Menggapai orang tua, mencari perlindungan dan kenyamanan, bersandar pada orang tua

(60)

47

3. Menatap orang tua, tidak ingin berhubungan dengan orang lain, melakukan apa yang disuruh bila orang tua berada di dekatnya

4. Tidak bisa jauh dari orang tua dan akan marah/menangis apabila berpisah dengan orang tuanya, memegang erat orang tua dan tidak melepaskannya, atau mendorong menjauhi orangtuanya

5.1.2. Distribusi Kecemasan Responden Berdasarkan Kategori Kecemasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 8 orang responden (100%) yang cemas sebelum dilakukan terapi sinema dan tidak ada responden yang tidak mengalami kecemasan. Hal ini digambarkan pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Kecemasan Berdasarkan Kategori Kecemasan Sebelum Dilakukan Terapi Sinema di Ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

Variabel f %

Hasil observasi kecemasan praoperatif anak setelah dilakukan terapi sinema menunjukkan bahwa terdapat 5 orang responden yang cemas (62,5%) dan 3 orang (37,5%) yang tidak cemas. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 Distribusi Kecemasan Berdasarkan Kategori Kecemasan Sesudah Dilakukan Terapi Sinema di Ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

(61)

48

5.1.3. Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada

Anak Usia Sekolah

Tabel 5.6 menjelaskan a sebagai nilai kecemasan sesudah terapi sinema < kecemasan sebelum terapi sinema dilakukan, b sebagai nilai kecemasan sesudah terapi sinema > kecemasan sebelum dilakukan terapi sinema, dan nilai c sebagai nilai kecemasan sesudah terapi sinema = kecemasan sebelum terapi sinema.

Hasil penelitian diperoleh data skor kecemasan semua responden (8 orang) menurun sesudah diberi terapi sinema dibandingkan sebelum diberi terapi sinema. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,012, maka dapat disimpulkan ada pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah. Hasil uji statistik tersebut dapat ditemukan pada tabel 5.6 berikut.

Tabel 5.6 Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif Anak di Ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015

(62)

49

usia 1 - 6 tahun menjadi golongan usia anak yang paling rentan mengalami kecemasan praoperatif.

Greundemann & Fernsebner (2006) mengatakan bahwa usia dan perkembangan anak mempengaruhi jenis informasi yang diberikan dan kapan harus diberikan terkait rencana operasi. Penjelasan dengan waktu yang berdekatan sebelum prosedur aktual akan semakin baik untuk mencegah fantasi dan kekhawatiran pada anak yang lebih kecil, sedangkan anak-anak yang lebih besar lebih membutuhkan banyak waktu untuk asimilasi informasi dalam menghadapi prosedur yang kompleks.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah responden anak berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari laki-laki. Responden perempuan berjumlah 5 orang (62,5%) sedangkan laki-laki berjumlah 3 orang (37,5%). Schwartz (2014) mengatakan bahwa faktor jenis kelamin tidak memiliki pengaruh yang berarti pada kecemasan praoperatif pada anak.

(63)

50

Data demografi menunjukkan bahwa responden dengan jumlah terbanyak yaitu 5 orang (62,5%) beragama Islam. Kalkhoran (2007) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk menilai hubungan antara keagamaan dan kecemasan praoperatif pada 150 orang responden dalam populasi beragama Islam menemukan bahwa terdapat hubungan antara ketaatan beragama dengan kecemasan praoperatif sekalipun hasilnya tidak signifikan.

5.2.2. Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada

Anak Usia Sekolah

Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa semua responden anak yang akan menjalani prosedur operasi mengalami kecemasan praoperatif sebelum dilakukan terapi, yaitu sebanyak 8 orang (100%). Anak dikatakan cemas karena skor kecemasan >30 didapati pada semua anak pada pengkajian kecemasan sebelum terapi sinema dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Smeltzer & Bare (2002) yang menjelaskan bahwa salah satu prosedur medis yang berpotensi besar untuk menimbulkan kecemasan adalah prosedur operasi, dimana segala bentuk prosedur operasi selalu didahului dengan suatu reaksi emosional tertentu oleh pasien, dan reaksi tersebut bisa telihat jelas atau tersembunyi, normal atau abnormal. Senada dengan itu, Videbeck (2008) mengatakan bahwa kecemasan dapat terjadi karena peristiwa akut yang menimbulkan stress atau bahkan stressor kronis seperti masalah kesehatan dan medikasi operasi.

(64)

51

anak belum mendapat perlakuan terapi sinema. Keberhasilan terapi sinema sebenarnya tidak hanya pada 3 responden saja, melainkan telah berhasil menurunkan kecemasan seluruh responden, hanya saja tidak semuanya mencapai skor < 30 pada hasil observasi kecemasan setelah dilakukan terapi sinema.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Dumtrache (2014) yang dalam penelitiannya memakai terapi sinema berkelompok untuk menurunkan kecemasan pada anak muda dengan jumlah sampel sebanyak 60 orang, dimana sampel dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok intervensi masing-masing 30 orang. Penelitian tersebut menunjukkan adanya penurunan kecemasan yang signifikan pada kelompok yang diberikan intervensi terapi sinema dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi sinema.

Hasil penelitian mengenai penurunan kecemasan praoperatif menggunakan terapi sinema dapat dijelaskan oleh adanya efek katalis yang sangat kuat pada terapi tersebut untuk penyembuhan dan pertumbuhan bagi siapa saja yang mau membuka diri dan belajar bagaimana film dapat memengaruhinya serta menonton beberapa film dengan kesadaran dan kewaspadaan diri (Olivia, 2010). Terapi sinema dalam penelitian ini menggunakan film anak-anak / kartun karena anak berespon lebih baik terhadap film sebaya yang dilihatnya (Greundemann & Fernsebner, 2006).

(65)

52

seseorang mendapat ilham, terinspirasi, pelepasan emosional atau kelegaan dan perubahan alami. Pelepasan emosional yang dimaksud tersebut terlihat ketika terapi sinema dilakukan dalam penelitian ini, dimana mayoritas anak terlihat tersenyum dan terlihat senang ketika menonton film. Hal ini juga terlihat pada hasil observasi kecemasan sesudah terapi sinema pada domain luapan emosi yang menunjukkan bahwa 4 orang anak (50%) terlihat senang, tersenyum atau asyik dengan kegiatannya.

Penelitian Ahmed (2011) yang salah satu tujuannya adalah untuk menilai manajemen farmakologi yang sesuai untuk mereduksi kecemasan praoperatif anak, mengatakan bahwa distraksi dan intervensi perilaku pengembangan keterampilan koping yang baik merupakan cara yang paling efektif pada anak untuk mengurangi kecemasan praoperatif. Hal ini sesuai dengan penurunan kecemasan praoperatif yang terjadi pada penelitian ini, dimana film dalam terapi sinema tidak hanya sebagai distraksi yang menghibur tetapi juga sebagai pemberi arah kepada koping yang baik menghadapi prosedur operasi. Dalam penelitian ini, koping yang baik semakin ditekankan pada anak lewat diskusi setelah menonton film. Hal ini dapat diterima oleh responden dan sebagian dari responden menanggapi bahwa mereka tidak takut dioperasi.

(66)

53

sesuatu secara negatif, maka sebagai gantinya akan muncul substansi lain yakni non-adrenalin dan adrenalin yang tidak hanya beracun tetapi juga memicu pembentukan oksigen aktif yang berbahaya.

5.3. Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti masih memiliki beberapa keterbatasan. Adapun keterbatasan penelitian ini adalah:

1. Jumlah sampel pada penelitian ini kurang dari jumlah yang diharapkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan sedikitnya responden yang ditemui di rumah sakit yang memenuhi kriteria, keterbatasan waktu penelitian, dan daerah penelitian yang hanya dalam lingkup RB2A dan RB2B.

(67)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang diberikan terapi sinema mayoritas berusia 6 tahun (50%), berjenis kelamin perempuan (62,5%), bersuku batak (62,5%), dan beragama Islam (62,5%). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terjadi penurunan kecemasan pada responden, dimana pada awalnya diketahui 8 responden (100%) yang cemas sebelum dilakukan terapi sinema dan berkurang menjadi 5 orang (62,5%) setelah terapi sinema dilakukan.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa sebanyak 8 responden (100%) memiliki nilai kecemasan yang berkurang setelah terapi sinema dilakukan. Nilai p yang diperoleh 0,012 , maka dapat disimpulkan ada pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada: 1. Pendidikan Keperawatan

(68)

55

2. Praktik Keperawatan

Saat ini terapi sinema masih jarang dilakukan di rumah sakit, oleh karena itu perawat diharapkan dapat menjadikan terapi ini sebagai salah satu intervensi menurunkan kecemasan anak usia sekolah yang akan menjalani prosedur operasi.

3. Tempat Penelitian

RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan merupakan ruang rawat inap yang berfokus pada pasien bedah, oleh karena itu disarankan bagi tempat penelitian untuk mengaplikasikan terapi sinema sebagai salah satu intervensi perawatan praoperatif pada anak usia sekolah dan menyediakan fasilitas menonton yang dibutuhkan dalam terapi ini.

4. Penelitian Selanjutnya

Gambar

Tabel 4.1 Desain Penelitian
Tabel 4.2 Nilai Reliabilitas Kappa
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Penelitian
Tabel 5.2 Distribusi Hasil Observasi Kecemasan Praoperatif Anak Sebelum dilakukan Terapi Sinema di ruang RB2A dan RB2B RSUP
+4

Referensi

Dokumen terkait

Akan me lakukan penelitian dengan judul “Gambaran Tekanan Darah Pasien Saat Menjalani Hemodialisis Di RSUP Haji Adam Malik Medan”. Saya sebagai peneliti mohon kesediaan

Paparan Asap Rokok Orang Tua dan Lingkungan rumah dengan Kejadian Leukemia Pada Anak yang dirawat Inap di RSUP H.. Adam

Sistoid Makula Paska Operasi Katarak dengan Pemeriksaan Optical.. Coherence Tomography Di RSUP. Adam Malik Medan dan RSUD.

Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang dengan judul Pelaksanaan Discharge Planning oleh Perawat di Ruang Rawat Inap Anak RSUP H.. Adam

Judul : Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Haji Adam Malik Medan.. Nama Peneliti : Rizky

Gambaran Tekanan Darah Pasien Saat Menjalani Hemodialisis di RSUP Haji Adam Malik

Pasien Saat Menjalani Hemodialisis Di RSUP Haji Adam Malik Medan”. Saya sebagai peneliti mohon kesediaan bapak/ibu untuk menjadi responden pada penelitian ini. Penelitian

Mengetahui profil kadar homosistein serum pasien vitiligo di RSUP. Adam