• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas dukungan keluarga yang diberikan kepada pasien stroke dalam upaya rehabilitasi ialah kurang yaitu sebanyak 51%. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan di RSUD Bendan Pekalongan (Haryanto, 2013) dan RSUP Dr Kariadi Semarang (Wurtiningsih, 2005).

Berbagai penyebab rendahnya dukungan keluarga antara lain karena kurangnya informasi mengenai penyakit dan rehabilitasi yang disampaikan keluarga kepada pasien, kurangnya perhatian keluarga dalam mengendalikan emosi pasien, dan kurangnya kesediaan keluarga untuk menemani pasien dalam melakukan terapi rehabilitasi di rumah sakit, maupun terapi yang telah diajarkan di rumah.

Berdasarkan hubungan antara dukungan keluarga dengan karakteristik sosiodemografi terdapat satu dari lima kelompok yang memiliki hubungan bermakna yaitu antara status pekerjaan dengan dukungan keluarga.

Swasta Wiraswast a/Petani/ Lain-lain 14 53,8 12 46,2 26 100,0 Tidak Bekerja 20 38,5 32 61,5 52 100,0

39

Pada penelitian ini didapatkan bahwa dukungan keluarga yang tinggi diperoleh dari responden yang bekerja. Temuan yang serupa juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan di RS Al Irsyad Surabaya (Festy, 2009). Berbagai kemungkinan tingginya dukungan keluarga pada kelompok responden yang bekerja antara lain karena mereka mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dengan sosio-ekonomi yang lebih baik, sehingga mempunyai kesadaran lebih baik dalam memberikan dukungan kepada pasien stroke.

Sebanyak 56,3% dukungan keluarga yang baik diberikan oleh laki-laki. Perbedaan yang tidak signifikan tidak hanya tampak pada penelitian ini, tetapi juga pada penelitian sebelumnya oleh Tsouna-Hadjis (2000) juga tampak bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap dukungan keluarga.

Respoden dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi, memberikan 54,8% dukungan keluarga yang baik (lebih besar dari kelompok responden dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah). Hasil ini dapat dikarenakan responden dengan pendidikan yang tinggi mempunyai kesadaran dan tingkat ekonomi yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Duncan et al (2005), bahwa keluarga dengan latar belakang berpendidikan memiliki kesadaran akan medis dan dapat mengambil keputusan serta perencanaan pengobatan sedini mungkin.

Namun pada penelitian ini tidak tampak adanya perbedaan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan dukungan keluarga, hal ini mungkin disebabkan oleh karena jumlah sampel yang kurang memadai.

Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Vincent C et al (2007), bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan (akademik) dengan dukungan yang diberikan.

Lebih dari setengah dukungan keluarga yang baik (60,5%) diberikan oleh anak. Meskipun tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan dukungan keluarga, namun hal ini sesuai dengan penelitian Vincent C et al (2007) dan Eames S et al (2013), bahwa anak sebagai anggota keluarga biasanya memberikan kepedulian kepada pasien setidaknya selama satu tahun dengan intensitas waktu

40

selama dua sampai dengan dua puluh jam per minggu dalam mengurus pasien dan memberikan informasi terkait dengan penyakit pasien.

Dukungan keluarga yang kurang, tampak dari kurangnya dukungan yang diberikan keluarga dalam bentuk dukungan informasi, dukungan emosional, dukungan instrumental dan dukungan peniaian. Hal ini sesuai dengan penelitian Range et al (2013), bahwa keberadaan anggota keluarga yang memberikan perhatian sepenuhnya kepada pasien dapat memberikan dampak positif dalam proses pemulihan dan rehabilitasi pasien.

Dukungan informasi yang kurang, berupa pemberian informasi terlihat dari kurangnya keluarga mencari informasi mengenai stroke. Hal ini juga tampak pada penelitian Haryanto (2013) bahwa keluarga kurang meminta penjelasan terkait terapi yang pasien jalani. Pengetahuan keluarga akan pentingnya terapi rehabilitasi medik yang dilakukan, dapat diperoleh apabila keluarga ikut berperan aktif dalam setiap diskusi. Hal ini sejalan dengan penelitian Maeshima (2013) bahwa keluarga sebaiknya mengerti mengenai penyakit stroke yang dialami pasien dan mempelajari terapi latihan di rumah dengan mengikuti diskusi pasien.

Kurangnya keluarga dalam mengingatkan pasien dapat mempengaruhi hasil terapi pasien. Hal ini sesuai dengan penelitian Tsouna-Hadjis (2000), yang mengatakan bahwa kepatuhan pasien dalam melakukan pengobatan sangat dipengaruhi dari informasi yang disampaikan oleh keluarga. Hal ini terkait dengan pernyataan Cameron et al (2014) dalam penelitiannya, bahwa informasi yang diberikan dapat berupa informasi mengenai penyakit stroke yang diderita pasien dan terapi pengobatan yang dilakukan.

Dukungan emosional yang kurang, dalam bentuk perhatian melalui motivasi kepada pasien sebaiknya diberikan keluarga agar pasien semangat dalam melakukan rehabilitasi medik. Hasil ini berbeda dengan penelitian Festy (2009) yang menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga pasien stroke memberikan motivasi tinggi kepada pasien. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh karena adanya ragam karakteristik sosiodemografi dari keluarga.

Seperti yang disampaikan dalam penelitian Hallams S Baker (2009), pasien bertekad menjalani terapi karena adanya dorongan motivasi, bukan hanya dari

41

dalam diri sendiri tetapi juga dari keluarga. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Maclean et al (2002) dalam penelitiannya, bahwa motivasi terbentuk dengan adanya dorongan dari keluarga, lingkungan dan tim rehabilitasi.

Dukungan instrumental yang kurang, seperti meluangkan waktu untuk menemani pasien dalam melakukan terapi dan membimbing pasien untuk melakukan latihan yang telah diajarkan di rumah sangat dibutuhkan pasien dalam meningkatkan kondisi fungsional. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian Wurtingsih (2005) bahwa keluarga kurang memberikan fasilitas untuk membantu pasien selama masa pengobatan. Hal ini sesuai dengan penelitian Tsouna-Hadjis (2000) bahwa adanya keterbatasan fisik membuat pasien bergantung dan membutuhkan bimbingan terapi dari anggota keluarga.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian Björkdahl (2007) yang menyatakan bahwa pasien membutuhkan segala sesuatu seperti alat ataupun sarana untuk mendukung latihan terapi. Selain itu, Langhorne P (2003) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa pengaruh dari latihan yang telah diajarkan di rumah dapat menurunkan keterbatasan fisik pasien dengan meningkatkan kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

Pola hidup sehat dan seimbang dipengaruhi oleh tindakan yang dilakukan keluarga dalam menjaga kesehatan pasien berupa nutrisi, olahraga ataupun latihan pergerakan tubuh, sesuai dengan anjuran dokter. Hal ini sesuai dengan penelitian Range et al (2013) bahwa aktifitas sehari-hari pasien dengan pola hidup yang sehat dan seimbang dapat mengurangi kejadian stroke berulang.

Hal tersebut juga disampaikan oleh Gordon et al (2004) dalam penelitiannya, bahwa terapi pengobatan yang dikombinasikan dengan pola hidup yang sehat dan seimbang merupakan tujuan dasar awal dalam pencegahan terjadinya stroke berulang dan serangan jantung pada penderita stroke.

Dukungan penilaian yang baik, diberikan oleh hampir separuh responden, seperti mendengarkan keluhan pasien, membantu pasien menggunakan bagian tubuh yang lemah untuk melakukan aktifitas, serta perlakuan dan tanggapan keluarga terhadap pasien. Hal ini sejalan dengan penelitian Cobley et al (2013),

42

bahwa dukungan keluarga berupa bantuan dan kepedulian dibutuhkan pasien untuk memonitor pasien.

Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan McAdam J J et al (2013), bahwa suasana hati pasien (mood) dapat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan keluarga, hal ini dapat berdampak dalam aktifitas yang dilakukan pasien dan kualitas hidup pasien.

Pujian yang diberikan responden kepada pasien setiap menjalani terapi dan mengajak pasien untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dapat meningkatkan kepercayaan pasien terhadap terapi yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan penelitian Vincent C et al (2007), bahwa keluarga dapat mempengaruhi sosial pasien, hal ini terlihat dari banyaknya pasien stroke yang dapat bertahan dengan adanya interaksi yang dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien.

43

Dokumen terkait