• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

1. Pihak rumah sakit dan pihak instalasi yang terkait diharapkan sebaiknya memberikan edukasi dan konseling kepada keluarga dari pasien yang menderita stroke mengenai penyakit yang dialami pasien, rehabilitasi medik yang dijalani pasien, dan dukungan keluarga yang sangat dibutuhkan pasien dalam menentukan hasil.

2. Dukungan keluarga terhadap pasien sebaiknya diberikan semaksimal mungkin agar tercapainya upaya rehabilitasi pada pasien. Oleh karena itu, diperlukan upaya penyuluhan kepada pendamping pasien stroke agar memberikan dukungan yang lebih baik kepada pasien. Peran ini dapat

44

dilakukan oleh departemen kesehatan secara umum kepada masyarakat luas atau oleh petugas rumah sakit pada waktu awal menerima pasien.

3. Keluarga sebaiknya mengetahui komponen-komponen bentuk dukungan keluarga dan mendukung penuh pasien dalam menjalani program medis. 4. Pencapaian fungsional pasien bukan semata-mata ada karena keharusan

pasien dalam mengingat terapi dan peduli pada dirinya sendiri tetapi dukungan moral yang diberikan keluarga, terutama dari pasangan, sangat berpengaruh bagi pasien.

5. Kemauan maupun upaya yang sudah dipercaya pasien dalam menjalankan terapi sebaiknya didukung dengan ketersediaannya waktu salah satu dari anggota keluarga untuk dapat menemani pasien dalam menjalani terapi.

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Keluarga sebagai Sistem

Sistem merupakan kumpulan dari beberapa bagian fungsional yang saling berhubungan dan tergantung satu dengan yang lain dalam waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Keluarga sebagai sistem mempunyai sub-sistem yaitu anggota, fungsi, peran, aturan, budaya, dan lainnya yang dipelajari dan dipertahankan dalam kehidupan keluarga. Adanya keterkaitan hubungan dan ketergantungan antar sub-sistem yang merupakan unit (bagian) terkecil dari masyarakat dapat memengaruhi supra- sistemnya.

2.1.1. Definisi Keluarga

Menurut Fitzpatrick (2004) dalam Lestari (2012), definisi tentang keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu:

1. Definisi struktural

Keluarga didefinisikan berdasarkan keberadaan atau ketidakberadaan anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada isi dari keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai tempat melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih (extended family).

2. Definisi fungsional

Keluarga didefinisikan melalui peran dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi, dukungan emosi dan materi, maupun pemenuhan peran-peran tertentu.

3. Definisi intersaksional

Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang memiliki rasa kedekatan satu sama laindengan adanya rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskankeluarga dalam melaksanakan fungsinya.

5

Menurut Patterson (1995) dalam Wong (2008), keluarga menurut pasien adalah hal yang terpenting mengenai apa yang mereka anggap atau pikirkan sebagai keluarga. Emosi yang saling terkait, sering kali menghasilkan beberapa perkembangan konsep baru tentang keluarga.

Berdasarkan teori perkembangan menurut Duvall (1985) dalam Friedman (1998; 2002), salah satu tahap perkembangan keluarga yaitu tahap VIII (keluarga lansia) dimana pada tahap ini terjadilah pergeseran peran bekerja menjadi masa senggang dan persiapan pensiun ataupun pensiun penuh. Pemeliharaan fungsi pasangan dan fungsi individu yang beradaptasi dengan proses penuaan juga termasuk lanjutan dalam tahap perkembangan VIII. Halinilah yang menjadikan individu mempersiapkan diri untuk menghadapi kehilangan pasangan hidup, saudara kandung ataupun teman sebaya dan menghadapi kematian.

2.1.2. Struktur Keluarga

Struktur keluarga dalam melaksanakan fungsi menggambarkan bentuk keluarga dalam masyarakat. Menurut Parad dan Caplan (1965) yang diadopsi Friedman (1998; 2002), ada empat elemen struktur keluarga, yaitu:

1. Struktur peran keluarga, menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga dalam keluarga sendiri (formal) dan perannya di lingkungan masyarakat(informal).

2. Nilai atau norma keluarga, menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.

3. Pola komunikasi keluarga, menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi anggota keluarga.

4. Struktur kekuatan keluarga, menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk memengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku yang mendukung kesehatan.

Berdasarkan keempat elemen dalam struktur keluarga, menurut Leslie&Korman (1989) dalam Suprajitno (2003) diasumsikan bahwa:

6

2. Keluarga merupakan sistem sosial yang mampu menyelesaikan masalah individu dan lingkungannya.

3. Keluarga merupakan suatu kelompok kecil yang dapat memengaruhi kelompok lain.

4. Perilaku individu yang ditampakkan merupakan gambaran dari nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga.

Selain itu, berdasarkan tipe keberadaan, keluarga dapat dibagi menjadi keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar (extended family). Menurut Lee (1982) dalam Lestari (2012), keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial, yaitu suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling. Keluarga inti yang ditambah dengan anggota keluarga lain (kakek-nenek, paman- bibi, ataupun hubungan orang tua-anak dan saudara yang dapat bersifat biologis, tiri, adopsi atau asuh) disebut keluarga besar. Dalam keluarga inti maupun keluarga besar, hubungan setiap komponen bersifat saling membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan.

2.1.3. Fungsi Keluarga

Keluarga sejahtera dapat dicapai apabila setiap keluarga menerapkan fungsi- fungsi yang menjadi prasyarat, acuan dan pola hidup setiap keluarga, dalam upaya membangun kehidupan keluarga yang berkualitas.

Secara umum fungsi keluarga (Friedman, 1998; 2002) adalah sebagai berikut:

1. Fungsi afektif (the affective function) adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu dalam mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan dalam perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga.

2. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social placement function) adalah fungsi keluarga dalam mengembangkan dan melatih berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

7

3. Fungsi reproduksi (the reproductive function) adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

4. Fungsi ekonomi (the economic function), yaitu keluarga berfungsi dalam memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga.

5. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan (the health care function), yaitu fungsi keluarga dalam mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan.

Di Indonesia, berdasarkan UU No. 10 tahun 1992 jo PP No. 21 tahun 1994, fungsi keluarga dengan bentuk operasional yang dapat dilakukan terbagi menjadi:

1. Fungsi keagamaan, mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana pembinaan kehidupan beragama yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Setiap hal yang dilakukan hendaknya sesuai dengan tuntutan agama yang dianut, serta membina rasa, sikap, dan praktik kehidupan keluarga beragama.

2. Fungsi sosial budaya, mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana pembinaan dan persemaian nilai-nilai luhur budaya, termasuk norma- norma dan budaya masyarakat/bangsa, yang menjadi panutan agar tetap dapat dipertahankan dan dipelihara.

3. Fungsi cinta kasih, mempunyai makna bahwa keluarga menjadi tempat untuk menciptakan suasana cinta dan kasih sayang dalam kehidupan yang akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap keharmonisan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat.

4. Fungsi perlindungan, mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana terciptanya suasana aman, nyaman, damai dan adil bagi seluruh anggota keluarga.

8

5. Fungsi reproduksi, mempunyai makna bahwa keluarga menjadi tempat penerapan cara hidup sehat melalui pemahaman dan pengetahuan cara hidup sehat serta kesehatan reproduksi.

6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana terbaik dalam proses menyadari, merencanakan, menciptakan dan merupakan fondasi pendidikan dan sosialisasi dalam keluarga.

7. Fungsi ekonomi, mempunyai makna bahwa keluarga tempat membina kualitas kehidupan ekonomi dan kesejahteraan keluarga.

8. Fungsi pembinaan lingkungan, mempunyai makna bahwa keluarga adalah menciptakan anggota keluarga yang mampu hidup harmonis dengan antar anggota keluarga, lingkungan masyarakat sekitar dan alam.

2.1.4. Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (1998; 2002), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan kelurga. Anggota keluarga memandang bahwa seseorang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan.

Menurut Caplan (1976) dalam Friedman (1998; 2002), dukungan keluarga terbagi menjadi:

1. Dukungan informasi

Keluarga berfungsi sebagai kolektor(pengumpul) dan desiminator (penyebar) informasi tentang dunia melalui nasehat, saran, usulan, petunjuk, sugesti dan informasi.

2. Dukungan penilaian

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan membenahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator identitas keluarga dengan memberikan penghargaan, dukungan dan perhatian.

9

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit. Diantaranya penyediaan materi seperti uang, barang, makanan dan pelayanan.

4. Dukungan emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Melalui empati, kepedulian dan perhatian.

Menurut Wright&Leahey (1984; 1995; 2000; 2009) dalam Burchard (2013), penilaian keluarga dalam Calgary Family Assessment Model (CFAM), terdiri dari:

Instrumental : aktivitas kehidupan

Ekspressive : emosi, komunikasi verbal dan non-verbal, komunikasi sirkular, pemecahan masalah, peran, pengaruh dan kekuasaan, kepercayaan, aliansi dan koalisi.

2.2. Stroke 2.2.1. Definisi

Menurut American Heart Association (2013), stroke adalah karakteristik klasik defisit neurologis yang dikaitkan dengan cedera fokal akut pada susunan saraf pusat (SSP) oleh karena pembuluh darah, termasuk infark serebral, perdarahan intraserebral (Intra Cerebral Hemorrhagic(ICH)), dan perdarahan subarahnoid (Sub-arachnoids Hemorrhagic (SAH)), dan merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian di seluruh dunia.

2.2.2. Etiologi

Menurut Mardjono, et al (2012), lesi-lesi vaskular regional yang terjadi di otak sebagian besar disebabkan oleh proses oklusi pada lumen arteri serebral. Sebagian lainnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah. Penyakit vaskular utama yang menimbulkan penyumbatan ialah aterosklerosis dan arteriosklerosis.

Menurut American Heart Association (2014), 87% dari kasus stroke disebabkan oleh stroke iskemik. Stroke iskemik terjadi sebagai hasil dari obstruksi

10

pembuluh darah yang menyediakan darah ke otak. Penyebab kondisi ini karena adanya perkembangan deposit lemak di dalam dinding pembuluh darah. Yang disebut Atherosclerosis. Deposit lemak ini dapat menyebabkan dua jenis obstruksi, yaitu:

1. Cerebral thrombosis, yaitu trombus (bekuan darah) yang berkembang dan menyumbat bagian dari pembuluh darah.

2. Cerebral embolism, yaitu bekuan darah yang lepas dan beredar dalam sirkulasi pembuluh darah dan menuju ke pembuluh darah otak dan menyumbat pada pembuluh darah yang kecil.

Silent cerebral infarction (SCI),atau “silent stroke,” adalah cedera otak yang disebabkan oleh gumpalan darah yang mengganggu aliran darah di otak. Hal ini merupakan faktor resiko untuk stroke di masa depan yang dapat menyebabkan kerusakan otak progresif.

Stroke hemoragik, 13% dari kasus stroke, merupakan hasil dari pembuluh darah lemah yang pecah dan terjadi perdarahan di sekeliling otak. Darah yang terakumulasi, menekan sekeliling dari jaringan otak. Terdapat dua jenis stroke hemoragik, yaitu perdarahan intraserebral (di dalam otak) dan perdarahan subarahnoid. Kelemahan pembuluh darah pada stroke hemoragik, sering kali disebabkan oleh:

1. Aneurysm, pengembungan dari bagian lemah dinding pembuluh darah. Jika tidak ditangani, aneurysm yang tipis, lemah dan mudah bergerak, akan berlanjut sampai terjadi robekan dan pecah. Hal ini menyebabkan terjadinya perdarahan di otak.

2. Arteriovenous malformation (AVM), merupakan jalinan pembuluh darah yang abnormal. Malformasi ini menyebabkan perdarahan di otak jika dinding pembuluh darah yang tipis pecah.

2.2.3. Faktor Resiko

Menurut American Heart Association (2012), faktor resiko dapat dibagi menjadi faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah, diobati ataupun dikontrol.

11

Tabel 2.1. Faktor Resiko Stroke

Tidak Dapat Diubah Dapat Diubah

Usia

Jenis kelamin Ras

Riwayat keluarga

Riwayat Transient Ischemic Attack atau serangan jantung

Hipertensi Diabetes melitus Merokok

Penyakit arteri karotis Fibrilasi atrium

Penyakit jantung koroner Kolesterol tinggi

Kurang aktifitas fisik dan obesitas

2.2.4Patofisiologi

Menurut Prince (2003), gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri- arteri yang membentuk sirkulasi Willisi: arteri karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang- cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan.

Oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Hal ini terjadi akibat salah satu dari proses patologik yang mendasari, seperti:

1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan. 2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok

atau hiperviskositas darah.

3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium.

12

2.2.5 Manifestasi Klinis

Menurut Mansjoer (2000), gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Manifestasi klinis dapat berupa:

• Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul mendadak.

• Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan (gangguan hemisensorik).

• Perubahan mendadak status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma).

• Afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan, atau kesulitan memahami ucapan).

• Disartria (bicara pelo atau cadel).

• Gangguan penglihatan (hemianopia atau monokuler) atau diplopia.

• Ataksia (trunkal atau anggota badan).

• Vertigo, mual dan muntah, atau nyeri kepala.

Menurut Baehr, et al(2010), cara berkembangnya gambaran klinis terjadi seiring dengan perjalanan waktu, terutama tergantung pada jenis infark (embolik, hemodinamik, atau lakunar), tetapi defisit neurologis khas yang terlihat merupakan fungsi lokasi lesi.

Tabel 2.2 Manifestasi Klinis

Letak Lesi Defisit Neurologis Manifestasi Klinis

Arteri oftalmika Iskemia retina dan mononuclear

blindness

13

dan/atau defisit thalamik

Arteri khoroidea anterior Hemiparesis dan hemihipestesia

kontralateral serta hemianopsia homonim kontralateral

Bifurkasio (“T”) arteri karotis interna Peningkatan tekanan intrakranial secara cepat

Arteri serebri media (oklusi cabang utama)

Hemiparesis dan hemihipestesia kontralateral, terutama brakhiofasialis. Kadang- kadang hemianopsia homonim kontralateral, dan defisit neuro- psikologis antara lain afasia motorik/sensorik, akalkulia, agrafia, dan apraksia motorik jika lesi pada hemisfer dominan, atau apraksia konstruktif dan kemungkinan anosognosia jika terjadi pada hemisfer non-dominan.

Arteri serebri media (oklusi cabang- cabang perifer)

Lesi pada girus frontalis inferior atau girus angularis, menyebabkan afasia motorik atau sensorik (kanan), apraksia konstruktif, anosognosia (kiri), hemianopsia homonim kontralateral.

Arteri serebri anterior Infark di area sentral adalah

hemiparesis yang terutama mengenai tungkai, paresis tungkai terisolasi, dan paraparesis (pada infark bilateral). Gangguan mental lainnya, defisit neuropsikologis (apraksia), disfungsi

14

kandung kemih (inkontinensia), dan refleks primitif patologis (refleks genggam, refleks isap, dan refleks palmomental).

2.3 Rehabilitasi 2.3.1 Definisi

Rehabilitasi adalah serangkaian langkah-langkah yang membantu individu yang mengalami, atau mungkin akan mengalami, kecacatan untuk mencapai dan mempertahankan fungsi yang optimal dalam interaksi dengan lingkungan(WHO, 2011).

2.3.2 Tujuan

Terapi intervensi yaitu rehabilitasi, telah ditetapkan sebagai perawatan jangka panjang pada usia lanjut untuk mengurangi kecacatan (Forster, 2009).

Rehabilitasi dapat diukur dengan menilai fungsi dan struktur tubuh, aktivitas dan partisipasi serta faktor lingkungan dan faktor individu. Hal ini dapat dicapai melalui:

• Pencegahan dari kehilangan fungsi tubuh.

• Penurunan laju dari kehilangan fungsi tubuh.

• Perbaikan dan pemulihan fungsi tubuh.

• Perbaikan dari kehilangan fungsi tubuh.

• Pemeliharaan fungsi saat ini. (WHO,2011)

Hasil rehabilitasi juga dapat diukur melalui perubahan penggunaan sumber daya, misalnya, mengurangi kebutuhan waktu setiap minggu untuk pelayanan dukungan dan bantuan (Turner-Stokes, et al., 2005).

15

Fungsi yang dimaksud dalam rehabilitasi yaitu kemampuan/keterampilan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari, aktivitas pekerjaan maupun perilaku dan interaksi sosial. Rehabilitasi dapat meningkatkan keseimbangan, postur, dan perubahan dari gerakan atau keterbatasan fungsi, serta penurunan resiko jatuh (Rees, 2004; Jolliffe, 2009).

Tujuan dari pelayanan rehabilitasi dan program pada saat ini, berdasarkan keputusan tenaga profesional yang mengevaluasi kecacatan fungsi yaitu terdapatnya kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, rekreasi yang signifikan, kegiatan kerja dan aktivitas sosial dalam menentukan kebutuhan (Béland, 1987 dalam Vincent, et al., 2007).

2.3.3 Tim dan Prinsip

Tim rehabilitasi yang berasal dari disiplin ilmu tertentu dapat bekerja di berbagai kategori. Rehabilitasi hanya akan berhasil bila tim, pasien dan para perawat bekerja sama untuk menetapkan tujuan interdisiplin. Selain itu, tim dan keluarga wajib melakukan pertemuan rutin untuk mendiskusikan gangguan fungsional serta keberhasilan pasien dalam menjalani rehabilitasi. Anggota tim terdiri dari:

• Dokter rehabilitasi medik

Biasanya sebagai pemimpin tim dan bekerja sama dengan perawat dalam menentukan kecacatan, dan untuk mengobati dan mencegah secondary

komplikasi.

• Fisioterapi

Berfokus pada kelemahan anggota gerak, tonus yang abnormal (flaksid atau spastik) dan keseimbangan dari pasien.

• Terapis okupasi

Mampu mengajarkan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari, membimbing pasien (jika memungkinkan perbaikan) melalui kebersihan pribadi.

• Terapis wicara

16

• Perawat

Latihan buang air besar atau kecil, menghabiskan banyak waktu bersama pasien dan keluarga pasien sebagai anggota tim dengan membantu pasien dalam aktivitas sehari-hari dan mobilisasi.

• Ortotik prostetik

Menyediakan teknologi alat bantu yang telah disesuaikan dengan pasien.

• Neuropsikologis

Melakukan penilaian kapasitas pasien dalam hal defisit kognitif.

• Petugas sosial (Pollack, 2002)

Prinsip-prinsip dalam rehabilitasi yaitu: 1. Bergerak merupakan obat yang paling baik.

2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional dari pada gerak tanpa ada tujuan tertentu.

3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal. 4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah

tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan berdiri.

5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan. 6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh

kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang utuh.

(Wirawan, 2009)

Hasil tersebut dapat dicapai bila pasien memiliki motivasi, yaitu indikasi sikap pasien dan pola sukarela terhadap rehabilitasi. Salah satu yang mempengaruhi motivasi adalah faktor keluarga, yang tampak sebagai efek yang positif (Maclean, et al., 2002).

17

Langkah – langkah rehabilitasi medis terdiri dari peningkatan fungsi tubuh melalui diagnosis dan pengobatan kondisi kesehatan, mengurangi gangguan, dan mencegah atau mengobati komplikasi (Stucki, 2007 dan Gutunbrunner, 2007).

Hal ini dapat dicapai melalui terapi yang berkaitan dengan mengembalikan dan mengkompensasi hilangnya fungsi serta memperlambat penurunan fungsi dalam setiap area dari kehidupan seseorang. Terapis dan pekerja dalam rehabilitasi, termasuk terapis okupasi, fisioterapi, ortotik prostetik, psikologis, asisten teknis dan rehabilitasi, petugas sosial, terapis bicara dan berbahasa, melakukan terapi yang terdiri dari:

Training, exercises, and compensatory strategies.

o Terapi fisik/fisioterapi o Terapi wicara

o Psikoterapi

• Pendidikan.

• Dukungan dan konseling.

• Modifikasi lingkungan.

• Penyediaan sumber daya dan teknologi alat bantu. (WHO, 2011)

Teknologi alat bantu yang disediakan merupakan setiap jenis, peralatan, atau produk, yang diperoleh secara komersial, dimodifikasi, ataupun disesuaikan, yang digunakan untuk meningkatkan, mempertahankan, ataupun membuat perbaikan kemampuan fungsional seseorang dengan kecacatan (Assistive Technology Act. United States Congress, 2004).

Tahapan intervensi rehabilitasi medis yang diberikan dibedakan dalam beberapa fase, yaitu:

a. Stroke fase akut (2 minggu pertama pasca serangan stroke)

Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dalam perawatan di rumah sakit. Program rehabilitasi dilakukan setelah kondisi pasien stabil, 24-72 jam setelah penanganan medik. Terapi dilakukan selama

18

b. Stroke fase subakut (Antara 2 minggu- 6 bulan pasca stroke)

Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan penanganan rehabilitasi yang intensif. Terapi dilakukan seperti hal nya pada fase akut tetapi dengan jangka waktu yang lama. Peran keluarga dengan melatih pasien dalam melakukan aktivitas dasar merawat diri sangat dibutuhkan.

c. Stroke fase kronis (Diatas 6 bulan pasca stroke)

Program latihan yang dilakukan tidak berbeda dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak telah terbentuk, dan pembuatan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Pada tahap ini peran keluarga melalui bantuan dan dukungan kepada pasien dibutuhkan sehingga pasien dapat mencapai aktivitas aktif yang optimal.

(Wirawan, 2009)

Fisioterapi dapat berhasil dengan memperhitungkan kemampuan khusus dan membimbing seseorang melalui gerakan, serta motivasi yang sangat didukung oleh terapis (Balaam, 2011).

Hasil rehabilitasi berupa manfaat dan perubahan dalam fungsi individu dari waktu ke waktu, dapat disebabkan oleh satu ataupun serangkaian tindakan (Finch, et al., 2002).

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Stroke yang merupakan penyakit yang tidak menular, bertanggung jawab terhadap lebih dari dua pertiga (70%) kematian populasi global. Kematian karena stroke akan terus meningkat di seluruh dunia, dan diprediksi menjadi penyebab kematian no.3 di negara berkembang (WHO, 2014).

Stroke tidak hanya menyebabkan kematian tetapi juga kecacatan serius jangka panjang. Di Amerika Serikat, 130.000 kematian pertahun terjadi oleh karena stroke. Setiap tahunnya, lebih dari 795.000 kasus stroke terjadi di Amerika Serikat dengan 610.000 diantaranya merupakan serangan pertama dan sisanya merupakan serangan berulang(Centers for Disease Control and Prevention(CDC), 2014).

Stroke juga merupakan masalah kesehatan utama di negara berkembang seperti Indonesia. Data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan (kecacatan neurologis) yang utama di Indonesia. Stroke menempati peringkat ke- 2 dari 10 besar penyakit penyebab rawat inap di rumah sakit pada tahun 2009 dan 2010. Stroke termasuk penyakit dengan tingkat kefatalan yang tinggi, laporan dari Kementerian kesehatan menunjukkan Case Fatality Rate

(CFR) stroke, tertinggi yaitu 12,68% pada tahun 2009 dan 8,7% pada tahun 2010. Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mil atau gejala sebesar 12,1 per mil. Pada tahun 2009, tercatat bahwa angka persentase kasus rawat inap penyakit tidak menular tertinggi berdasarkan provinsi terdapat di Sumatera Utara (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita stroke adalah dengan memberikan rehabilitasi yang saat ini telah menjadi standar pemulihan fungsi tubuh (Maeshima, S., 2013).

Rehabilitasi dilakukan dengan fisioterapi yang berkesinambungan, terapi okupasional dan terapi wicara, serta keterlibatan petugas sosial (Ginsberg, L.,

2

2007). Keluarga memainkan peranan penting dalam keberhasilan proses

Dokumen terkait