• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5 Hasil Penelitian dan Pembahasan

5.2 Pembahasan

5.2.1 Analisis Karakteristik Responden

Pengalaman dan pengetahuan anak tentang jenis penyakit berkembang pada usia sekolah (Papalia, 2001 dalam Agias, R & Fens, 2009). Hasil pengamatan karakteristik responden bahwa mayoritas usia anak 12 tahun (25,8%). Anak yang lebih muda cenderung lebih cemas dibandingkan anak yang lebih tua (Stuart & Laraia, 2005). Hasil ini sesuai dengan pendapat Feist (2009) dalam Muafifah. K (2013) yang menyatakan semakin bertambahnya usia akan mempengaruhi kematangan psikologis seseorang sehingga faktor usia mempengaruhi kecemasan seseorang. Umur menunjukan ukuran waktu pertumbuhan dan perkembangan seorang individu. Umur berkorelasi dengan pengalaman, pengalaman berkorelasi dengan pengetahuan, pemahaman dan pandangan terhadap suatu penyakit atau kejadian sehingga akan membentuk persepsi dan sikap (Haryanto, 2002).

Mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki (51,6%), dimana tingkat kecemasan laki-laki jauh lebih rendah dari perempuan. Trismiati (2004) menyatakan bahwa wanita secara umum lebih pencemas daripada pria. Menurut pendapat Wong (2008) menyatakan anak perempuan cenderung mengekspresikan ketakutan yang lebih banyak dan lebih kuat dibandingkan dengan anak laki-laki. Anak perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya daripada anak laki-laki karena anak perempuan lebih sensitif daripada anak laki-laki yang lebih aktif, eksploratif (Myres, 1983).

Mayoritas anak berpendidikan SD (71%). Respon cemas berat cenderung ditemukan pada responden yang berpendidikan rendah karena

rendahnya pemahanan terhadap efek samping kemoterapi sehingga membentuk persepsi yang menakutkan bagi mereka dalam menjalani kemoterapi.

Mayoritas hubungan dengan pasien sebagai ibu (87,1%). Setiawati (2008) mengemukakan bahwa peran sebagai ibu yaitu ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya berperan untuk mengurus rumah tangga sebagai pengasuh, pendidik anak-anaknya, pelindung dan salah satu anggota kelompok sosial dan dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan keluarga.

Mayoritas pekerjaan orangtua Lain-lain (IRT, Petani) 80,6%. Pekerjaan seseorang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh dari pekerjaannya. Jenis pekerjaan yang dimiliki responden sangat berpengaruh pada pengobatan anak yang menderita kanker. Responden yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan lebih akan segera melakukan pengobatan terbaik dan menjalankan pengobatan di rumah sakit terbaik dengan jaminan kualitas kesehatan yang lebih baik. Responden yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan cukup, sedang dan cenderung rendah walaupun demikian orangtua ingin agar anak selalu sehat tetap akan melakukan pengobatan, namun dengan menjalankan pengobatan yang standar (Desiana, 2011).

Mayoritas tingkat pendidikan orangtua SMA 41,9%. Menurut Notoatmodjo (2010) tingkat pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi pemahaman seseorang terhadap suatu pengetahuan. Orangtua dengan pendidikan tinggi cenderung menggunakan koping yang konstruktif dalam mengatasi kecemasan, hal ini disebabkan karena pengetahuan yang dimiliki sangat berperan dalam memberikan tindakan yang efektif terhadap permasalahan yang dihadapi. Pendidikan dapat mempengaruhi perilaku dimana

individu dengan pendidikan lebih tinggi akan lebih mudah menerima informasi, mudah mengerti dan mudah menyelesaikan masalah (Stuart dan Laraia, 2005). Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir, pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan (Notoatmodjo, 2000 dalam Lutfa, 2008). Tingkat pendidikan responden berpengaruh terhadap keteraturan pengobatan pada anak yang menderita kanker. Tingkat pendidikan yang rendah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keterlambatan pengobatan pada anak. Tingkat pengetahuan responden yang rendah menyebabkan rendahnya pengetahuan responden tentang kanker yang dialami anak. Sukardja (2002) dalam Prihatini (2012) menyatakan bahwa salah satu faktor keterlambatan anak dalam pengobatan kanker adalah orangtua kurang menyadari bahaya kanker. Ketidaktahuan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan keterlambatan pengobatan kanker (Hawari, 2004).

Mayoritas penghasilan responden kurang dari Rp 1.750.000. Beberapa orangtua pasien yang kurang mampu telah mendapat bantuan dana dari pemerintah, hal ini dimungkinkan karena program biaya pengobatan negeri berasal dari askes, jamkesmas, jamkesda sehingga orangtua mempunyai kecemasan yang lebih rendah.

5.2.1. Dukungan Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas dukungan keluarga terhadap anak usia sekolah yang menderita kanker dalam menjalani kemoterapi adalah baik 45,2% (14 orang). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Julianta (2008) dengan sampel 38 didapat 26 (68,4%) responden mempunyai dukungan keluarga sangat baik terhadap pasien dalam menjalani

kemoterapi, selain itu Dalami (2010) menyatakan bahwa keluarga sangat penting untuk penyembuhan pasien karena keluarga merupakan sistem pendukung yang terdekat bagi pasien. Keterlibatan anggota keluarga secara terus menerus merupakan hal yang sangat menolong dan membangkitkan semangat bagi pasien dalam menjalani pengobatan (Anne & David, 2007).

Menurut Rosinta (2010) melakukan penelitian di Rb 1 RSUP. H. Adam Malik Medan dengan sampel 25 orang didapat 12 (48%) dukungan keluarga dalam kategori baik. Hal ini sesuai penelitian Utami (2013) bahwa dukungan keluarga sangat diperlukan untuk setiap anggota keluarga yang sakit, adanya dukungan keluarga yang tinggi maka pasien akan merasa lebih tenang dan nyaman dalam menjalani masa kemoterapi. Penelitian juga didukung oleh Naufal (2011) bahwa pasien yang menderita kanker sangat membutuhkan dukungan dari orang yang paling dekat sebagai tempat mereka mendapatkan semangat, kasih sayang dan pengertian.

Dukungan keluarga terhadap pasien dalam menjalani kemoterapi relative baik karena anak selama menjalani perawatan dan pengobatan di rumah sakit sebagian besar mendapatkan dukungan dari keluarganya. Hasil penelitian menunjukkan 20 (64,5%) keluarga selalu memuji ketenangan anak saat dilakukan pemeriksaan dalam menjalani kemoterapi. Hal ini sesuai pendapat Anne dan David (2007) bahwa dukungan emosional merupakan dukungan keluarga yang paling penting yang seharusnya diberikan kepada anggota keluarga karena merupakan hal penting dalam meningkatkan semangat pasien dan memberikan ketenangan, 14 (45,2%) keluarga selalu bergantian menjaga dan mendampingi anak pada saat perawatan dalam menjalani kemoterapi.

Adanya pendampingan keluarga, pasien merasa nyaman, tenang dan lebih kuat dalam menerima keadaan fisiknya sehingga akan memberi dampak yang baik terhadap proses penyembuhan penyakit (Chandra, 2009). Hal ini didukung juga Anne dan David (2007) menyatakan bahwa ketika seseorang sedang menghadapi situasi kritis dalam kehidupan, biasanya membutuhkan orang- orang yang dapat diajak bicara dan yang mendengarkan.

Dukungan yang baik dipengaruhi oleh dukungan dari orang yang sangat berarti. Hurlock (1980) dalam Muafifah. K (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang mendalam antara anak dengan keluarga. Menurut data demografi menunjukkan bahwa 27 (87,1%) hubungan dengan pasien sebagai ibu. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiawati (2008) bahwa peran ibu yaitu ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya berperan untuk mengurus rumah tangga sebagai pengasuh, pendidik dan pelindung anak-anaknya. Dukungan juga dipengaruhi oleh pendidikan dan pekerjaan orangtua dimana SMA (41,9%) dan Lain-lain (80,6%), hal ini disebabkan karena orangtua dengan pendidikan yang rendah cenderung diikuti dengan status sosial ekonomi rendah yang akan berpengaruh terhadap biaya dalam proses pengobatan (Friedman, 1998) dan tingkat pendidikan yang rendah cenderung terjadi keterlambatan dalam upaya diagnosis dini ke pelayanan kesehatan akibat kurangnya paparan informasi (Subakti. E, 2004). Menurut data demografi menyatakan bahwa 80,6% orangtua pasien mempunyai penghasilan kurang dari Rp 1.750.000. Beberapa pasien yang kurang mampu telah mendapat bantuan dana dari pemerintah, tetapi bantuan tersebut tidak dapat membantu secara penuh karena pasien masih membutuhkan dana lagi untuk perawatan di rumah. Oleh karena itu,

penghasilan yang didapat oleh keluarga sangat membantu pasien ketika menjalani pengobatan.

Meskipun mayoritas anak mendapat dukungan keluarga baik tetapi ada juga mendapat dukungan keluarga kurang sebanyak 5 orang (16,1%). Berdasarkan hasil penelitian McCaughan (2000) terhadap pasien yang diterapi menunjukkan bahwa lebih dari setengah jumlah pasien yang diteliti menyatakan tidak mendapat dukungan informasi dari keluarga disebabkan karena hubungan yang kurang baik antara keluarga dengan pasien. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McCauchan (2000) berbeda dengan penelitian ini karena dukungan informasional yang kurang bukan disebabkan karena hubungan yang tidak baik antara pasien dan keluarga tetapi berdasarkan karakteristik responden menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga membuat keluarga kesulitan untuk mencari informasi dan menjelaskannya kepada responden. Selain itu, keluarga pasien kurang memahami efek samping yang timbul akibat pengobatan kemoterapi sehingga kurang dapat memberikan dukungan pada pasien tersebut untuk melanjutkan pengobatan kemoterapi yang sangat lama.

Dari hasil pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa mayoritas anak mendapatkan dukungan keluarga baik, hal ini disebabkan karena keterlibatan keluarga terus menerus dapat menolong dan membangkitkan semangat bagi anak dalam menjalani pengobatan. Adanya pendampingan keluarga maka anak merasa nyaman, tenang dan lebih kuat dalam menerima keadaan fisiknya sehingga keluarga sangat penting bagi penyembuhan anak. Selain itu juga dipengaruhi oleh karakteristik data demografi terdiri dari hubungan dengan

pasien, pekerjaan orangtua/wali, pendidikan orangtua/wali dan penghasilan. Terdapat juga anak kurang mendapatkan dukungan keluarga, hal ini disebabkan oleh dukungan informasional yang kurang antara anak dan keluarga karena berdasarkan karakteristik menunjukkan bahwa mayoritas anak memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan keluarga kurang memahami efek samping kemoterapi untuk menjelaskannya kepada anak.

5.2.2 Tingkat Cemas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas cemas anak dalam menjalani kemoterapi ringan 41,9% (13 orang). Hal ini sesuai penelitian Nuraidar (2011) dengan sampel 36 sebanyak 12 (33.3%) responden berada dalam kecemasan ringan. Hal ini dimungkinkan pengalaman pasien sebelumnya terhadap perawatan dan pengobatan di rumah sakit mempengaruhi kecemasan. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan sangat menentukan bagi kondisi mental pasien di kemudian hari (Supartini, 2004). Hal ini juga didukung Lutfa (2008) menyatakan bahwa pengalaman pasien tentang kemoterapi kurang maka cenderung mempengaruhi peningkatan kecemasan dalam menajalani kemoterapi

Selain itu Hockenbery & Wilson (2000) menyatakan bahwa reaksi anak akibat situasi krisis salah satunya dipengaruhi oleh faktor usia anak, hal ini dimungkinkan karena dipengaruhi oleh faktor koping anak dalam menghadapi situasi krisis tersebut. Koping anak juga dipengaruhi oleh pengalaman dan pendampingan keluarga kepada anak dalam menjalani kemoterapi. Hal ini juga didukung Nursalam (2005) bahwa keluarga memberikan perhatian serta

memberikan rasa aman dan nyaman pada anak sehingga dapat meminimalkan dampak kecemasan dan stress pada anak.

Tingkat kecemasan pasien dalam menjalani kemoterapi relative ringan karena sebagian besar anak sudah lebih dari 1-2 x menjalani kemoterapi, sehingga tingkat kecemasan saat pengobatan lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan 20 (64,5%) responden tidak pernah khawatir mual muntah setiap menjalani kemoterapi. Pengalaman awal pasien dalam pengobatan merupakan pengalaman- pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada individu terutama untuk masa-masa yang datang (Kaplan & Sadock, 1997), hal ini disebabkan mual muntah merupakan salah satu efek samping yang paling dicemaskan oleh pasien dalam menjalani kemoterapi, 20 (64,5%) responden selalu bersemangat dalam menjalani kemoterapi. Hal ini sesuai dengan Lutfa (2008) bahwa dukungan keluarga yang besar kepada pasien secara psikologis dapat menambah semangat hidup yang dapat berdampak pada tingkat kecemasan yang rendah, selain itu motivasi hidup juga mampu mengurangi tingkat kecemasan karena dengan motivasi hidup yang dimiliki pasien tidak akan selalu berorientasi pada kecemasan yang dialami akan tetapi berusaha untuk mengejar tujuan dalam hidupnya.

Respon cemas anak ringan juga dipengaruhi oleh karakteristik demografi dimana responden mayoritas berumur 12 tahun (25,8%) sehingga anak mengetahui dengan jelas diagnosis dan jenis kanker yang mereka alami. Selain itu, anak sudah dapat menerima kondisinya dan mau menjalani pengobatan yang harus dijalani terhadap dirinya bahwa kanker merupakan pernyakit yang membutuhkan perawatan dan pengobatan dalam jangka waktu yang relatif

panjang karena bertujuan untuk mengatasi penyebaran kanker hingga ke akar- akarnya supaya dapat sembuh dari kanker.

Jika dilihat dari dari jenis kelamin dan pendidikan dimana mayoritas anak laki-laki (51,6%) dan SD (71%), menurut Power dalam Myers (1983) menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih rileks dibanding perempuan dan anak laki-laki memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap adaptasi (Battrick & Glasper, 2004). Selain itu, faktor usia mempengaruhi kecemasan karena semakin bertambahnya usia akan mempengaruhi kematangan psikologis seseorang, sehingga anak yang lebih muda cenderung lebih cemas dibandingkan anak yang lebih tua.

Meskipun mayoritas anak memiliki respon cemas ringan tetapi ada juga anak memiliki respon cemas berat sebanyak 6 orang (19,4%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rollintan (2006) didapat hasil bahwa 14 (48,3%) pada pasien kanker berada dalam kecemasan berat. Menurut Jenkins (1991) dalam Rollintan (2006) mengungkapkan bahwa kecemasan dapat semakin meningkat akibat rasa nyeri yang ditimbulkan selama menjalani pengobatan. Kecemasan yang dirasakan pasien pada umumnya bercampur dengan suasana hati lainnya berupa ketidakpastian, ancaman terhadap kelangsungan hidup dan kemungkinanan cacat atau kehilangan fungsi tubuh (Jong, 2004). Selain itu Potter & Perry (2001) menyatakan bahwa tingginya kecemasan seseorang individu dimungkinkan oleh kondisi sakit, hospitalisasi, ketidaktahuan tentang pemeriksaan dan prosedur tindakan medis, takut terhadap nyeri, bergantung pada orang, deformitas atau ancaman lain terhadap citra tubuh dan kematian.

Dari hasil pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa mayoritas anak mengalami respon cemas ringan, hal ini disebabkan oleh pengalaman anak sebelumnya terhadap perawatan, pengobatan dan pendampingan keluarga kepada anak dalam menjalani kemoterapi. Selain itu juga dipengaruhi oleh karakteristik demografi anak yang terdiri dari usia anak, jenis kelamin dan pendidikan. Terdapat juga anak mengalami respon cemas berat, hal ini disebabkan oleh hospitalisasi, ketidaktahuan tentang pemeriksaan dan prosedur tindakan medis, takut terhadap nyeri, bergantung pada orang, deformitas atau ancaman lain terhadap citra tubuh dan kematian.

5.2.3 Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Respon Cemas Anak Usia Sekolah yang Menderita Kanker dalam Menjalani Kemoterapi

Hasil penelitian hubungan dukungan keluarga terhadap respon cemas anak usia sekolah dalam menjalani kemoterapi di RSUP. H. Adam Malik Medan menunjukkan bahwa nilai Probabilitas (p) dukungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan p=0,000 lebih kecil dari nilai level of significance

yaitu 0,05 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan respon cemas anak usia sekolah dalam menjalani kemoterapi. Hasil hipotesa alternative pada penelitian ini diterima yaitu terdapat hubungan antara dukungan keluarga terhadap respon cemas anak usia sekolah dalam menjalani kemoterapi. Didapat nilai korelasinya r=-0,609 dengan interprestasi kuat yang berarti semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin rendah respon cemas anak usia sekolah dalam menjalani kemoterapi.

Hasil penelitian ini sesuai Utami (2013) yang membuktikan bahwa semakin tinggi dukungan keluarga yang diberikan dari keluarga terhadap

pasien dalam menjalani kemoterapi maka akan semakin rendah tingkat kecemasan yang dialami pasien bahkan tidak mengalami kecemasan sama sekali. Dukungan keluarga yang besar kepada pasien dapat menambah semangat hidup bagi pasien yang dapat berdampak pada tingkat kecemasan yang rendah (Lutfa, 2008). Penelitian didukung juga Engel (2013) bahwa dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat membantu pasien dalam meningkatkan kemampuan koping pasien dalam menghadapi berbagai

stressor yang dihadapinya. Dengan kemampuan koping tersebut maka tingkat kecemasan pasien yang dialaminya dapat diminimalisir.

Mangan (2003) menyatakan bahwa pasien kanker umumnya muncul perasaan cemas akan penyakitnya sehingga pasien cenderung sulit untuk beradaptasi dengan penyakit yang dideritanya dan juga gelisah pada saat mengalami gejala pada penyakitnya. Dukungan dari keluarga adalah sumber dukungan sosial yang paling tinggi, saat pasien yakin bahwa mereka mempunyai keluarga yang mendukung maka keyakinan akan kemampuan mengatasi kecemasan yang dialaminya akan meningkat yang dapat meredakan dan mengatasi tekanan yang dirasakannya (Sarason 1986 dalam Christine 2010)          

Dokumen terkait