• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5. Hasil Penelitian dan Pembahasan

2. Pembahasan

2.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan responden menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki pengetahuan cukup yaitu 32 orang (46%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rusman (2009) di Kelurahan Mergahayu Kabupaten Bantul Yogyakarta mendapatkan hasil bahwa mayoritas masyarakat memiliki pengetahuan cukup (49%) tentang penyakit dan pencegahan DBD. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian Wahyuni (2011) di Puskesmas Hinai Kiri Kabupaten Langkat menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki pengetahuan kurang baik tentang penyakit DBD dan pencegahannya yaitu 43 orang (60,6%).

Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa bila seseorang mendapatkan stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui. Proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Hal ini berarti bila masyarakat memiliki pengetahuan baik maka akan memiliki tindakan pencegahan yang baik pula dan apabila masyarakat memiliki pengetahuan yang kurang baik maka akan melakukan tindakan pencegahan yang kurang baik pula.

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat dan sebagainya.

Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut (Istiarti, 2007).

Menurut asumsi peneliti, sedikitnya masyarakat yang memiliki pengetahuan baik tentang penyakit DBD dan pencegahannya menyebabkan masyarakat rentan untuk menderita penyakit DBD. Pengetahuan sangat penting sebagai dasar bagi masyarakat untuk memahami terjadinya penyakit DBD serta cara penularannya agar masyarakat dapat melakukan pencegahan penyakit tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian ini, sikap responden menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki sikap kategori cukup yaitu 30 orang (43%). Sejalan dengan penelitian Wahyuni (2011), di Puskesmas Hinai Kiri Kabupaten Langkat mendapatkan hasil bahwa mayoritas responden memiliki sikap negatif terhadap Penyakit DBD yaitu 43 orang (61%).

Sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar. Jika suatu sikap telah terbentuk dalam diri seseorang, maka akan sulit berubah dan memakan waktu yang lama. Tetapi sebaliknya jika sikap itu belum mendalam dalam dirinya, maka sikap tersebut tidak bertahan lama, dan sikap tersebut mudah diubah (Walgito, 2008).

Sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap sebelum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu pengetahuan. Sikap itu merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap

objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang di dalam kehidupan sehari- hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2010).

Menurut asumsi peneliti, sikap seseorang dalam hal ini masyarakat menyikapi penyakit demam berdarah dengue dan tindakan pencegahannya masih belum optimal, karena hanya 17% masyarakat yang memiliki sikap baik yang berarti hanya sedikit masyarakat di Dusun IX Desa Muliorejo yang mengerti dan memahami tentang penyakit DBD. Sedikitnya masyarakat yang memiliki sikap baik menyebabkan rentannya warga untuk menderita DBD karena dengan sikapnya tersebut masyarakat tidak melakukan tindakan-tindakan pencegahan yang tepat dan benar untuk mencegah terjadinya penularan penyakit DBD.

2.2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)

Berdasarkan hasil penelitian, tersedianya alat menurut responden menunjukkan bahwa mayoritas tersedianya alat menurut responden kategori cukup yaitu 40 orang (57%). Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Indriadi (2010), yang meneliti Faktor-faktor yang menyebut terjadinya penularan penyakit DBD di Kampung Teleng Pemko Sawahlunto Sumatera Barat mendapatkan hasil bahwa mayoritas masyarakat menyatakan tersedianya alat pencegahan DBD kategori cukup (50%).

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat yaitu faktor pemungkin (enabling factors). Faktor pemungkin merupakan upaya dari luar yang memungkinkan untuk melakukan pencegahan DBD yaitu tersedianya perangkat/alat yang digunakan untuk pencegahan DBD berupa abatisasi dan fogging. Tersedianya alat yaitu adanya alat-alat yang dapat digunakan untuk melakukan pencegahan DBD, seperti kelambu, semprot nyamuk dan lain-lain (Notoatmodjo, 2010).

Menurut asumsi peneliti, dari hasil penelitian ini terlihat bahwa hanya 5 responden (7%) dengan kategori baik tersedianya alat pencegahan penyakit DBD, artinya lebih banyak lagi masyarakat yang tidak tersedia alat di rumahnya dalam pencegahan DBD di rumahnya, seperti tidak tertutup tempat penampungan air di rumah, tidak menggunakan kelambu, tidak ada alat semprot nyamuk, tidak menggunakan kasa nyamuk, tidak tersedia alat untuk membersihkan kamar mandi, tidak tersedia alat-alat untuk mengubur barang- barang bekas, rumah tidak tersedia ventilasi yang memadai, pencahayaan rumah yang kurang sehingga nyamuk senang di tempat-tempat yang seperti itu.

Berdasarkan hasil penelitian, tersedianya bahan kimiawi menurut responden menunjukkan bahwa mayoritas tersedianya bahan kimiawi menurut responden kategori cukup yaitu 33 orang (47%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rusman (2009), di Kelurahan Mergahayu Kabupaten Bantul Yogyakarta mendapatkan hasil bahwa mayoritas tersedianya bahan kimia untuk pencegahan penyakit DBD kategori cukup (58%).

Satu lagi faktor pemungkin yang dapat mengubah perilaku masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD yaitu tersedianya bahan kimiawi. Tersedianya bahan kimiawi yaitu adanya bahan kimiawi yang dapat digunakan untuk pencegahan penyakit DBD seperti obat nyamuk, dan lain-lain (Depkes RI, 2003).

Menurut asumsi peneliti, dari hasil penelitian ini terlihat bahwa tidak banyak keluarga yang menyediakan bahan kimiawi untuk pencegahan penyakit DBD. Hal ini berkaitan dengan kurangnya pengetahuan atau pemahaman masyarakat tentang penyakit DBD itu sendiri serta pencegahannya. Hanya 14,3% masyarakat dengan kategori baik, hal ini berarti lebih banyak lagi masyarakat yang tidak menyediakan bahan kimiawi untuk pemberantasan penyakit DBD seperti ketersediaan obat anti nyamuk, bubuk abate, obat-obatan P3K sebagai pertolongan pertama.

2.3. Faktor Pendorong (Reinforcing Factors)

Berdasarkan hasil penelitian, dukungan tokoh masyarakat menurut responden menunjukkan bahwa mayoritas dukungan tokoh masyarakat menurut responden kategori cukup yaitu 36 orang (51%). Hasil penelitian Indriadi (2010), di Kampung Teleng Pemerintah Kota Sawahlunto Sumatera Barat mendapatkan hasil yang hampir sama dengan penelitian ini bahwa mayoritas masyarakat menyatakan dukungan dari tokoh masyarakat dalam kategori cukup (54%).

Salah satu faktor untuk perubahan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh faktor penguat. Faktor penguat (reinforcing factor) yaitu upaya dari luar yang

mendorong responden untuk melakukan pencegahan DBD melalui dukungan tokoh masyarakat. Dukungan tokoh masyarakat yaitu peran tokoh masyarakat dalam membantu dan memberi tuntunan dalam pelaksanaan pencegahan DBD (Notoatmodjo, 2010).

Menurut asumsi peneliti, dari hasil penelitian ini terlihat bahwa menurut masyarakat dukungan tokoh masyarakat dalam kategori cukup, hanya 16% masyarakat yang menyatakan bahwa dukungan tokoh masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD kategori baik. Tokoh masyarakat di Dusun IX Desa Mulio Rejo adalah Kepala Dusun, dan tokoh-tokoh agama. Banyak masyarakat yang menyatakan bahwa dukungan tokoh masyarakat belum sepenuhnya baik karena para tokoh-tokoh masyarakat tersebut lebih banyak berbicara dibandingkan dengan memberikan tindakan atau memberi contoh kepada masyarakat dalam melakukan pencegahan penyakit DBD dengan baik dan benar. Dengan hanya berbicara membuat warga masyarakat tidak menjadikan tokoh masyarakat sebagai panutan dalam upaya-upaya pencegahan penyakit.

Berdasarkan hasil penelitian, dukungan tokoh masyarakat menurut responden menunjukkan bahwa mayoritas dukungan petugas kesehatan menurut responden kategori kurang baik yaitu 34 orang (49%). Sejalan dengan hasil penelitian Rusman (2009), di Kelurahan Mergahayu Kabupaten Bantul Yogyakarta mendapatkan hasil bahwa mayoritas masyarakat menyatakan bahwa dukungan petugas kesehatan dalam pencegahan penyakit DBD kategori cukup (59%).

Salah satu faktor penguat lainnya yang mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD adalah dukungan dari tenaga kesehatan. Dukungan tenaga kesehatan yaitu peran tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas bidang P2P terkait dan upaya pemberantasan DBD dan dalam membantu dan memberi contoh dalam pencegahan penyakit DBD (Depkes RI, 2003).

Menurut asumsi peneliti, sedikitnya masyarakat yang menyatakan bahwa dukungan tenaga kesehatan dalam kategori baik disebabkan banyak warga masyarakat yang kurang mendapatkan pelayanan seperti penyuluhan- penyuluhan kesehatan ataupun bantuan bagi warga masyarakat yang menderita penyakit DBD. Kalaupun ada penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan namun dalam skala kecil yang tidak menjangkau seluruh masyarakat di Dusun IX tetapi kadang di dusun lainnya. Petugas kesehatan lebih banyak bekerja di puskesmas (kantor), tetapi jarang terjun ke lapangan untuk mengetahui keadaan ataupun masalah yang ada di lapangan.

Dokumen terkait