BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
Pada bagian ini akan di uraikan secara rinci pandangan penelitian terhadap hasil temuan yang diperoleh dalam penelitian ini. Hasil yang dimaksud adalah kesimpulan yang diperoleh dari data yang terkumpul dan analisis data, berikut ini adalah uraian dari hasil temuan tersebut.
\Dari analisis data di atas menunjukkan dari sepuluh puisi Chairil Anwar terdapat tiga gaya bahasa yang digunakan yaitu:
1) gaya bahasa perbandingan pada puisi “AKU” meliputi gaya bahasa :
Hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung pernyataan berlebih-lebihan dari kenyataan. Gaya bahasa hiperbola pada puisi “AKU” yaitu:
“Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang
………..
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Diksi dari puisi yang berjudul “AKU” yaitu :
“kalau sampai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”. Ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih “Ku mau tak seorang ’kan merayu”.
Merupakan pengganti dari kata “ku tahu”. Penyair merasa sedih dan ia tidak ingin oraang lain campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka.
“Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anakku, istriku, atau kekasihku”.
“tak perlu sedu sedan“ dapat bererti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”.
2) Gaya bahasa penegasan pada judul puisi “ HAMPA” yaitu :
Gaya bahasa repetisi
“Segala menanti. Menanti. Menanti, Sepi di luar. Sepi menekan mendesak, Ini sepi terus ada. Dan menanti”.
Pengulangan kata sepi dan menanti, memberi penegasan bahwa Chairil Anwar sangat kesepian, namun meski sepi, ia akan terus menanti pujaan hatinya.
3) Gaya bahasa perulangan pada judul puisi “HAMPA” yang meliputi:
Tautology yaitu :
“rontok-gugur segala. Setan bertempik”
Diksi terdapat pada larik, lurus kaki pohonan. Tak bergerak, memberat-mencekung pundak, dan udara bertuba setan bertempik. Si penyair
menggunakan kata yang bersifat konotatif karena banyak mengandung arti yang mewakili keseluruhan puisi yaitu terdapat pada kata “sepi” terbukti pada : “sepi diluar menekan mendesak.
4) Gaya bahasa perbandingan pada judul puisi “SIA-SIA” yaitu
Perifrase adalah ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang pendek. Puisi yang menunjukkan gaya bahasa perifrase adalah :
“Serta pandang yang memastikan: untukmu”
karena majas ini gaya bahasa penguraian sepatah kata diganti dengan serangkaian kata yang mengandung arti yang sama.
Gaya bahasa penegasan meliputi gaya bahasa retoris yaitu “
Retoris adalah gaya bahasa ungkapan pernyataan yang jawabannya telah terkandung didalam pernyataan tersebut. Puisi yang memiliki gaya bahasa retoris yaitu “
Lalu kita sama termangu”, “Saling bertanya: apakah ini?” dan
“Cinta? Kita berdua tak mengerti”
Karena berupa pernyataan yang tidak menuntut suatu jawaban.
5) gaya bahasa perbandingan pada judul puisi “DOA” yaitu :
Hiperbola yaitu :
“Tuhanku
Aku hilang bentuk Remuk”
maksudnya adalah si penyair menggambarkan perasaannya kepada sang pencipta yaitu perasaan terharu dan rindu.
Diksi yang digunakan yaitu diksi yang bermakna konotasi pada kalimat
“Aku hilng bentuk”. Dan makna denotasi pada kalimat “Aku mengembara di negeri asing”
Chairil Anwar banyak bercerita tentang kehidupan pribadi dalam setiap isi puisinya. Beliau menggambarkan kehidupannya melalui sajak-sajaknya. Dalam setiap puisinya ia tak ingin menyusahkan orang lain. Beliau juga banyak meramal dalam setiap sajak-sajaknya.
Diksi atau pilihan kata yang digunakan mengandung makna denotasi dan konotasi. Diksi yang digunakan sangat tepat sehingga menarik minat para pembaca dan makna yang terkandung dalam setiap puisi cahiril anwar itu sangat menyentuh hati. Karena setiap sajaknya betul-betul disampaikan dari hati yang paling dalam.
Data yang telah terkumpul dari hasil pengumpulan data yang telah dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Chairil Anwar banyak melakukan diksi dengan makna denotasi dan konotasi dan gaya bahasa dalam puisinya yaitu gaya bahasa perbaningan. Perulangan, dan penegasan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan yang di lakukan pada peneliti pada bab 4, dapat disimpulkan bahwa dari sepuluh puisi Chairil Anwar terdapat tiga gaya bahasa yang digunakan yaitu gaya bahasa perbandingan, perulangan, dan perbandingan. Diksi adalah ketepatan pemilihan kata yaitu kemampuan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara, maka setiap penulis atau pembicara harus berusaha secermat mungkin memilih kata-katanya untuk mencapai maksud tersebut.
Gaya bahasa yang digunakan Chairil Anwar pada sepuluh puisinya di kelompokkan menjadi tiga yaitu 1) gaya bahasa perbandingan yang meliputi gaya bahasa hiperbola, personifikasi, metafora,eufemismus, eponim, alegori. 2) gaya bahasa pengulangan yang meliputi gaya bahasa tautologi. 3) gaya bahasa penegasan yang meliputi gaya bahasa retoris dan repetisi.
Diksi yang digunakan Chairil Anwar dalam puisinya banyak menggnakan makna denotasi dan makna konotasi. Begitu juga dengan gaya bahasanya. Si penyair banyak menggnakan gaya bahasa yang berbeda-beda dalam setiap sajaknya, sehingga menarik minat para pembaca. Puisi Chairil Anwar mengandung makna yang sangat dalam dan
menyantuh karena penyair menuangkan semua kisah hidupnya dalam setiap sajak-sajaknya.
B. Saran
1. Bagi para penikmat sastra, khususnya siswa-siswi/mahasiswa yang ingin memahami suatu puisi secara mendalam agar membiasakan diri menganalisis diksi dan gaya bahasa pada puisi tersebut.
2. Sudah sepatutnya uraian dalam tulisan ini tidak hanya sekedar kritik ilmiah bagi penulis dan pembaca, tetapi dapat memberikan hikmah ilmiah dan dapat dijadikan pelajaran berharga menyikapi permasalahan dalam kehidupan.
3. Penelitian ini sangat terbatas, karena itu bagi para peneliti lain kiranya dapat mengkaji bentuk-bentuk penyimpangan pada puisi lain secara lebih mendalam dan bila perlu dapat membandingkannya dengan puisi yang lain, agar semua bentuk-bentuk penyimpangan yang dilakukan penyair dalam puisinya dapat diidentifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina. 1996. Skripsi Penyimpangan Linguistik pada puisis Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makasar.
Agustinus. 2003. “Eufemisme dan Sarkasme Bahasa Bikinan Siapa?”. Dalam http://www.opinipribadi.blogspot.com/2003 01 05 opinipribadi archive.html, diakses 1 Mei 2014.
Astuti, Dyah Desi. 2006. ”Analisis Makna Emotif dan Gaya Bahasa Iklan di Televisi”. Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Azis, Sitti Aida dan Andi Sukri Syamsuri. 2011. Apresiasi dan Kajian Puisi.
Surabaya: CV Bintang.
, 2011. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Bakar, Irwan Abu. 2003. ”Garis Panduan dan Tips untuk Penyiar dan Peminat Puisi”. Dalam http://www. esastera. com/ kursus/ kepenyiaran. htm
#11(1), diakses 5 Mei 2014.
Daud, Harun. 1998. “Bahasa dalam Mantera: Penggunaannya dan Pengucapannya”. Dalam http://www. dbp. gov. my/ dbp98/ majalah/
bahasa 99/ josguna. htm+ jenis+ majas+ & ht=en, diakses I Mei 2014.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nurdin, Ade dkk. 2004. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMU.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Purba, Antilan. 2010. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rimang, Sitti Suwadah. 2011. Kajian Sastra Teori Dan Praktik. Yogyakarta: Aura Pustaka.
Sadikin. 2011. Ejaan Yang Disempurnakan. Bekasi: Laskar Aksara.
Samosir, Tiorida. 2013. Apresiasi Puisi. Bandung: Yrama Widya.
Sudjirman. 2012. Kamus Pintar Pantun, Puisi, dan Majas. Yogyakarta: Immortal Publisher.
Tarigan, Henry Guntur. 1995. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Yandianto. 2004. Apresiasi Karya Sastra dan Pujangga Indonesia. Bambang: CV.
M2S.
http//rohmatullah.blogspot.com>sekolah.
Hamsiah, Lahir pada tanggal 05 Januari 1992 di
Sungguminasa. Merupakan buah kasih sayang dari Ayahanda Sampara dan Ibunda Sitti sebagai anak ke Dua dari Empat bersaudara
Pada tahun 1998, penulis memasuki jenjang pendidikan formal di SD Inpres Paccinongang dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2004, kemudian pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri 3 Sungguminasa dan selesai pada tahun 2007, kemudian melanjutkan di tingkat lanjutan atas di SMA Negeri 1 Sungguminasa dan selesai pada tahun 2010. Setelah menempuh pendidikan tingkat menengah atas, pada tahun yang sama penulis berhasil melanjutkan pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Berkat Rahmat Allah swt yang disertai iringan doa kedua orang tua dan saudara. Perjuangan panjang penulis yang penuh suka dan duka di dalam mengikuti pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Penggunaan Diksi/Gaya Bahasa pada Puisi Chairil Anwar dalam Kumpulan “Deru Campur Debu”.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
LAMPIRAN
Kumpulan puisi Chairil Anwar dalan kumpulan Deru Campur Debu
Aku
kalau sampai waktuku
‘ku mau tak seorang, ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa ku bawa berlari Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi
Hampa
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memangut Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencengkung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Sia-Sia
Penghabisan kali itu kau datang Membawa karangan kembang Mawar merah dan melatih puith:
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.
Sudah itu kita sama termangu Saling bertanya: Apakah itu?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh CayaMU papas suci
Tuhanku
Aku hilang bentuk Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing Tuhanku
Dipintumu aku mengetuk Aku tidak bisa berpalin
Kepada Peminta-Minta
Baik, baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku
Jangan lagi kamu bercerita Sudah tercacar semua di muka Nanah meleleh dari muka Sambil berjalan kau usap juga
Bersuara tiap kaumelangkah Mengerang tiap kaumemandang Menetes dari suasana kaudatang Sembarang kaumerebah
Mengganggu dalam mimpiku Menghempas aku di bumi keras Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku
Baik, baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segela dosa.
Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku.
Penerimaan
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yangdulu lagi Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani Kalau kau mau kuterima kau kembali Untuk sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
Senja dipelabuhan kecil
Ini kali tidak ada yangmencari cinta Di antara gudang, rumah tua, pada cerita Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada Berlaut menghembus diri dalam Mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercerpat kelam. Ada juga
Kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap Sekali tiba diujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
Cintaku jauh di pulau
Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar bulan memancar
Dileher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar
Angin membantu, laut terang,
Tapi terasa aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu, Diperasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta sambil berkata
“tujukan perahu kepangkuanku saja”
Amboi! Jalan sudan bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempatt berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh du pulau
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.