• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN DIKSI/GAYA BAHASA PADA PUISI CHAIRIL ANWAR DALAM KUMPULAN DERU CAMPUR DEBU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGGUNAAN DIKSI/GAYA BAHASA PADA PUISI CHAIRIL ANWAR DALAM KUMPULAN DERU CAMPUR DEBU"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN DIKSI/GAYA BAHASA PADA PUISI CHAIRIL ANWAR DALAM KUMPULAN “DERU CAMPUR DEBU”

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memeroleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh:

HAMSIAH NIM: 10533 6449 10

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014

(2)

vi

MOTO DAN PERSEMBAHAN

Hidup itu bagaikan kertas puith Tak akan memiliki kisah ,Jika tak di hias dengan tinta Bagitupun dengan perjalanan dalam meraih sebuah impian Membuthkan kerja keras dan tetesan keringat Apa yang kita tanam itulah yang kita petik Jangan pernah meneyerah dalam mengerjar cita-cita Karena setiap keringat yang menetes akan membuahkan hasil.

Kupersembahkan karya ini untuk:

Kedua orang tuaku, saudaraku, dan sahabatku atas keikhlasan dan doanya dalam mendukung penulis mewujudkan harapan menjadi kenyataan

(3)

vii ABSTRAK

Hamsiah. 2014. Penggunaan Diksi/Gaya Bahasa pada Puisi Chairil Anwar dalam Kumpulan ”Deru Campur Debu”. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I H.M.Ide Said D.M dan Pembimbing II Munirah.

Pelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan diksi/gaya bahasa pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan “Deru Campur Debu”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.

Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif yaitu memaparkan dan menyampaikan data secara objektif mendeskripsikan penggunaan diksi/gaya bahasa pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan “Deru Campur Debu”. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: (1) Membaca berulang-ulang buku kumpulan Deru Campu Debu. (2) Mencatat data yang termasuk dalam penggunaan diksi dan gaya bahasa yang terdapat dalam buku kumpulan deru campur debu. (3) Mengklasifikasikan data yang termasuk diksi dan gaya bahasa pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan deru campur debu.

Hasil penelitian ini adalah diksi atau pilihan kata yang bermakna denotasi dan makna konotasi dan gaya bahasa yaitu gaya bahasa perbandingan, perulangan, dan penegasan yang terkandung dalam buku kumpulan puisi Deru Campur Cebu.

Kata Kunci: Diksi, Gaya bahsa dan puisi.

(4)

x

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang paling afdal penulis persembahkan kecuali rasa puji dan syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan nikmat berupa kesempatan, kesehatan, ketabahan, petunjuk dan kekuatan iman sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat tak lupa penulis hantarkan kepada Nabi Besar Muhammad saw beserta keluarganya dan para Sahabatnya yang tetap Istiqamah di jalan Allah.

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam rangka menyelesaikan Program Studi pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar. Adapun judul Skripsi ini adalah ”Penggunaan Diksi/Gaya Bahasa Pada Puisi Chairil Anwar dalam Kumpulan Deru Campur Debu”. Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak luput

dari berbagai hambatan dan tantangan. Akan tetapi, semua itu dapat teratasi berkat petunjuk dari Allah swt. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima dengan ikhlas segala koreksi dan masukan-masukan guna penyempurnaan tulisan ini agar kelak dapat bermanfaat.

Skripsi ini dapat terselesaikan berkat adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak

(5)

x

yang turut serta memberikan bantuan baik berupa materi maupun moral. Ananda haturkan penghormatan dan terima kasih kepada: Ayahanda Sampara dan Ibunda Sitti serta Saudara-saudaraku, yang senantiasa memberikan semangat dan dorongan serta doa, yang sejak awal mereka telah mengajarkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan serta telah rela berjuang dan berkorban untuk penulis. Semoga saya bisa menjadi orang yang diharapkan oleh keluarga.

Dr. Irwan Akib, M.Pd. Rektor yang telah membina UNISMUH Makassar ke arah yang lebih baik, Dekan FKIP Bapak Dr. Andi Sukri Syamsuri, Dra. Munirah, M.

Pd., Ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Syekh Adiwijaya, S.

Pd., M. Pd., Sekertaris jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberikan petunjuk serta saran dalam aktifitas akademik.

Bapak Prof. DR. H. M. Ide Said DM, M. Pd. selaku pembimbing I dan ibu Dra. Munirah, M.Pd. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk mencurahkan segenap perhatian, arahan, dorongan dan semangat serta pandangan- pandangan dengan penuh rasa kesabaran sehingga dapat membuka wawasan berpikir yang sangat berarti bagi penulis sejak penyusunan proposal hingga skripsi ini selesai.

Bapak dan Ibu dosen Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membagikan ilmunya kepada penulis selama ini.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga untuk sahabat-sahabat seperjuanganku, Juwita, Suardy Ardiyansah, Salma, Raras, Aini, Fatmawati dan teman-teman angkatan 2010 khususnya kelas A. Terima kasih atas doa, motivasi, dukungan serta masukan-masukannya sehingga skripsi ini terselesaikan. Semoga

(6)

x

kalian semua tetap menjadi sahabatku yang selalu ada di dalam suka maupun duka meskipun kelak waktu akan memisahkan kita karena cita dan cinta yang harus kita capai.

Segenap kemampuan, tenaga dan daya pikir telah tercurahkan dalam menyelesaikan penulisan ini untuk mencapai hasil yang maksimal. Namun sesempurnanya manusia adalah ketika ia melakukan kesalahan, oleh karena itu penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam tulisan ini dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Ya Allah Ya Tuhan kami, terimalah segala usaha kami. Engkau adalah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Semoga Engkau membalas pahala yang berlipat kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini, Amin.

Makassar, Oktober 2014

Penulis

(7)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

SURAT PERYATAAN ... iv

SURAT PERJANJIAN ...v

MOTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...4

C. Tujuan Penelitian ...4

D. Manfaat Penelitian ...4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka ... ..6

1. Penelitian yang Relevan ... ..6

2. Gaya bahasa ... ..6

3. Puisi ... 30

B. Kerangka Pikir ... 32

(8)

xii BAB III METODE PENELITIAN

A.

Fokus dan Desain Penelitian ... 34

B. Definisi Istilah ... 34

C. Data dan Sumber Data... 35

D. Teknik Pengumpulan Data ... 36

E. Teknik Analisis Data ... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.

Penyajian Hasil Analisis ... 37

B. Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Simpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA...63 LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

xi

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah hasil cetusan jiwa pengarang yang dihasilkan melalui bahasa. Bahasa adalah bahan baku dalam sastra, seperti batu dan tembaga untuk seni patung, cat untuk lukisan, dan bunyi untuk seni musik.

Bahasa mempunyai muatan budaya dan linguistik dari kelompok pemakai bahasa tertentu. Salah satu wujud dari bahasa itu adalah puisi. Puisi merupakan untaian kata-kata yang dibentuk dengan bahasa yang khas, memuat pengalaman yang disusun secara khas pula. Puisi dijadikan sarana untuk mengungkapkan pengalaman batin yang ditata secara estetis. Dengan penggunaan bahasa yang khas, puisi dapat menggugah perasaan pembaca dan pendengar/penikmat.

Bahasa memungkinkan manusia untuk saling berkomunikasi, saling berbagi pengalaman, saling belajar dengan yang lain, dan mengingatkan kemampuan intelektual. Dengan demikian, fungsi utama bahasa ialah sebagai alat komunikas dan sarana berpikir. Selain itu, bahasa merupakan alat yang dipakai untuk menyampaikan keinginan manusia maupun perasaan manusia yang dihadapi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Samsuri (1978: 4) yang mengatakan bahwa bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan, alat yang dipakai untuk memengaruhi

(10)

dan dipengaruhi, dan bahasa adalah dasar yang pertama-tama yang paling berurat dan berakar pada masyarakat manusia.

Bahasa memegang peran penting dalam komunikasi. Bahasa memunyai enam fungsi, antara lain: (1) fungsi emotif untuk menyatakan sikap perasaan; (2) fungsi fatik untuk mengadakan kontak dengan sesama; (3) fungsi referensial untuk menyatakan pesan dan informasi; (4) fungsi kreatif untuk memengaruhi dan mengimbau orang lain melalui pesan dan desakan;

(5) fungsi puitik untuk memusatkan perhatian pada pesan; dan (6) fungsi metabahasa untuk memusatkan perhatian pada lambang atau kode yang digunakan (Jakobson dalam Wijayanti, 2003: 243).

Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang sangat menarik apabila dilihat dari bentuk dan pilihan katanya. Menurut Rimang (2011: 31) puisi adalah karya sastra yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu da pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Penggunaan bahasa dalam sastra dikenal dengan nama stilistika yang merupakan cabang dari linguistik. Sebelum memiliki stilistika, bahasa dan sastra memang telah memiliki gaya (style). Gaya adalah segala sesuatu yang ”menyimpang” dari pemakaian biasa. Penyimpangan tersebut bertujuan untuk keindahan (Endraswara Suwardi, 2013:71).

Penggunan bahasa dan pilihan kata dalam puisi merupakan hal yang sangat penting, karena sebuah kata dalam puisi dapat mengandung banyak penafsiran. Maka puisi sangat kontekstual, artinya tiap kata tidak hanya membawa makna kamus, tetapi ditentukan oleh konteks pemakaiannya dalam

(11)

kalimat (Agustina, 1996:2). Setiap penulis atau penyair mempunyai cara sendiri yang khas dalam penggunaan bahasanya, yang membedakannya dari karya penulis lain, maka hal ini sering menyebabkan adanya penggunaan diksi/ gaya bahasa. Oleh sebab itu dalam puisi sering terjadi berbagai macam penggunaan gaya bahasa.

Penelitian ini relevan dengan penelitian Agustina dan Desy Dyah Astuti. Agustina dengan judul skripsi “Penyimpangan linguistik pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu”. Dan Agustina menganalisis penyimpangan linguistik yang meliputi bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dyah Astuti (2006) dengan judul skripsi “Analisis Makna Emotif dan Gaya Bahasa iklan di Televisi (Studi Kasus di Wilayah Surakarta)”. Sedangkan pada penelitian ini, peneliti menganalisis puisi Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka karya sastra mempunyai manfaat yang sangat besar bagi pembacanya. Dengan beberapa pertimbangan yang sesuai dengan uraian di atas, maka perlu diadakan pengkajian atau penelitian terhadap puisi-puisi Chairil Anwar dalam “Kumpulan Deru Campur Debu”.

Peneliti mengambil judul ini karena dalam puisi Chairil Anwar terdapat beberapa diksi dan gaya bahasa yang sangat menarik karena puisi itu dibuat berdasarkan pengalaman pribadi si penyair dan makan yang terkandung dalam puisi tersebut sangat menyentuh. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis diksi dan gaya bahasa yang terdapat pada kumpulan puisi Deru

(12)

Campur Debu. Karena banyak orang yang tidak mengetahui apa itu diksi dan gaya bahasa yang terkandung dalam sebuah puisi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini dirumuskan permasalahan untuk mengarahkan keseluruhan proses penelitian. Sesuai dengan judul penelitian, maka yang menjadi permasalahan, yakni “Bagaimanakah penggunaan diksi /gaya bahasa pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu ”?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan gaya bahasa pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu.

D. Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan:

a. Dapat bermanfaat bagi penelitian sastra terutama dalam bidang pendidikan.

b. Dapat dijadikan sebagai motivasi dan acuan bagi peneliti lanjutan, sehingga memeroleh konsep baru yang akan memperkaya wawasan dan pengetahuan kita dalam bidang sastra.

(13)

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bahan informasi bagi pembaca untuk menambah pengetahuan tentang gaya bahasa yang digunakan dalam puisi Chairil Anwar .

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Penelitian yang Relevan

Penelitian ini relevan dengan penelitian Agustina dan Desy Dyah Astuti. Agustina (1996) dengan judul skripsi “Penyimpangan linguistik pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu”. Dan Agustina menganalisis penyimpangan linguistik yang meliputi bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dyah Astuti (2006) dengan judul skripsi “Analisis Makna Emotif dan Gaya Bahasa iklan di Televisi (Studi Kasus di Wilayah Surakarta)”. Sedangkan pada penelitian ini, peneliti menganalisis puisi Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu.

2. Gaya Bahasa

a. Pengertian Gaya Bahasa

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah syle. Gaya bahasa style menjadi bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa, atau klausa tertentu untuk menghadapi hierarki kebahasaan, baik pada tataran pilihan kata secara individu, frasa, klausa, kalimat maupun wacana secara keseluruhan. Style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai bahasa (Gorys Keraf, 2002: 113).

(15)

Menurut Azis Sitti Aida dan Andi Sukri (2011:127) gaya bahasa adalah suatu sarana sastra yang turut menyumbangkan nilai kepuitisan atau estetik karya sastra, bahkan sering kali nilai seni suatu karya sastra ditenukan oleh gaya bahasanya. Gaya bahsa juga merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu. Dalam karya sastra efek ini adalah efek estetik yang turut menyebabkan karya sastra bernilai seni. Nilai seni karya sastra bercerita ataupun penyusunan alurnya. Akan tetapi, gaya bahasa sangat besar sumbangannya kepada pencapaian nilai senikarya sastra.

Slamet mulyana ( Azis Sitti Aida dan Andi Sukri, (2011:127) bahwa gaya bahasa itu disusun perkataan yang terjadi karena perasaan dalam hati pengarang yang dengan sengaja atau tidak menimbulkan suatu perasaan yang tertentu dalam hati pembaca.

Pendapat ahli sastra Panuti Sudjiman (1990: 33) menyatakan bahwa yang disebut gaya bahasa adalah cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata dalam bentuk tulisan maupun lisan. Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 25) penjelasan istilah gaya bahasa secara luas yaitu pertama, pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. Kedua, pemakaian ragam tertentu untuk memeroleh efek-efek tertentu. Ketiga, keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Mengacu dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran dan perasaan batin yang hidup melalui bahasa yang khas dalam bertutur untuk memperoleh efek-efek

(16)

tertentu sehingga apa yang dinyatakan menjadi jelas dan mendapat arti yang pas.

b. Sendi-sendi Gaya Bahasa

Keraf (2002: 113-115) mengungkapkan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan santun, dan menarik.

1) Kejujuran

Kejujuran dalam bahasa berarti diikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Pembicara atau penulis tidak menyampaikan isi pikirannya secara terus terang; seolah-olah ia menyembunyikan pikirannya itu di balik rangkaian kata-kata yang kabur dan jaringan kalimat yang berbelit- belit tidak menentu. Ia hanya mengelabui pendengar atau pembaca dengan mempergunakan kata-kata yang kabur dan “hebat”, hanya agar bisa tampak lebih intelek atau lebih dalam pengetahuannya. Di pihak lain, pemakai bahasa yang berbelit-belit menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Ia mencoba menyembunyikan kekurangannya di balik berondongan kata-kata hampa. Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Oleh sebab itu, bahasa harus digunakan pula tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran.

2) Sopan santun

(17)

Pengertian sopan santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca.

Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan. Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau pendengar memeras keringat untuk mencari apa yang ditulis atau dikatakan. Di samping itu, pembaca atau pendengar tidak perlu membuang-buang waktu untuk mendengar atau membaca sesuatu secara panjang lebar, kalau hal itu diungkapkan dalam beberapa rangkaian kata.

Kejelasan dengan demikian akan diukur dalam beberapa butir kaidah berikut, yaitu:

a) Kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat.

b) Kejelasan dalam korespondensi dengan fakta dan kata-kata yang diungkapkan melalui kalimat tadi.

c) Kejelasan dalam pengurutan ide secara logis.

d) Kejelasan dalam pengggunaan kiasan dan perbandingan.

Kesingkatan sering jauh lebih efektif daripada jalinan yang berliku- liku. Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata- kata secara efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang bersinonim secara longgar, menghindari tautology; atau mengadakan repertisi yang tidak perlu.

3) Menarik

Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup

(18)

(vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi). Penggunaan variasi akan menghindari monotoni dalam nada, struktur, dan pilihan kata. Untuk itu, seorang penulis perlu memiliki kekayaan dalam kosa kata, memiliki kemauan untuk mengubah panjang-pendeknya kalimat, dan struktur-struktur morfologis. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan daya khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman.

c. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Keraf (2002: 124-145) membagi gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang meliputi: 1) klimaks; 2) antiklimaks; 3) paralelisme; 4) antitesis;

dan 5) repetisi (epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanolepsis, dan anadiplosis). Kemudian berdasarkan langsung tidaknya makna, meliputi: 1) gaya bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrofa, apofasis (preterisiso), apostrof, asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, histeron prosteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma, koreksio, hiperbola, paradoks dan oksimoron; 2) gaya bahasa kiasan, meliputi persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdok, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme dan sarkasme, satire, innuendo, dan antifrasis.

Berbeda dengan Perrin (dalam Tarigan, 1995: 141) membedakan gaya bahasa menjadi tiga yaitu: 1) perbandingan, yang meliputi metafora,

(19)

kesamaan, dan analogi; 2) hubungan, yang meliputi metonimia dan sinekdok;

3) pernyataan, yang meliputi hiperbola, litotes, dan ironi. Sementara itu Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 21-30) berpendapat: Gaya bahasa dibagi menjadi lima golongan, yaitu: 1) gaya bahasa penegasan, yang meliputi repetisi dan paralelisme; 2) gaya bahasa perbandingan, yang meliputi hiperbola, metonimia, personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdok, alusi, simile, asosiasi, eufemisme, pars pro toto, epitet, eponim, dan hipalase; 3) gaya bahasa pertentangan, mencakup paradoks, antitesis, litotes, oksimoron, histeron prosteron, dan okupasi; 4) gaya bahasa sindiran, yang meliputi ironi, sinisme, innuendo, melosis, sarkasme, satire, dan antifrasis; 5) gaya bahasa perulangan,yang meliputi aliterasi, atnaklasis, anafor, anadiplosis, asonansi, simploke, mesodiplosis, epanolepsis, dan epizeuksis.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dapat dibedakan menjadi lima kelompok yaitu: 1) gaya bahasa perbandingan, meliputi: hiperbola, metonimia, personifikasi, metafora, sinekdok, alusi, simile, asosiasi, eufemisme, pars pro toto, epitet, eponim, dan hipalase; 2) gaya bahasa perulangan, meliputi: aliterasi, anafora, anadiplosis, mesodiplosis, epanolipsis, dan epizeuksis; 3) gaya bahasa sindiran, meliputi: ironi, sinisme, innuendo, sarkasme, satire, dan antifrasis; 4) gaya bahasa pertentangan, meliputi: paradoks, antitesis, litotes, oksimoron, dan histeron prosteron; 5) gaya bahasa penegasan, meliputi: repetisi dan paralelisme.

Adapun penjelasan masing-masing gaya bahasa di atas adalah sebagai berikut.

1) Gaya bahasa perbandingan

(20)

Rachmat Djoko Pradopo (1997: 62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan ialah gaya bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata perbandingan seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penak, dan kata-kata perbandingan yang lain. Gaya bahasa perbandingan meliputi: hiperbola, metonimia, personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdok, alusi, asosiasi, eufemisme, pars pro toto, epitet, eponim, dan hipalase.

a) Hiperbola

Hiperbola adalah melebih-lebihkan, sebagai gaya bahasa yang dilambangkan kata-kata yang membawa pernyataan yang berlebih-lebihan dengan tujuan untuk menegaskan atau menekankan pandangan, perasaan, dan pikiran. Muhammad sadikin (2011: 158 ) menyatakan bahwa hiperbola adalah pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa hiperbola. Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan berlebih-lebihan dari kenyataan. Contoh: Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku.

b) Metominia

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 23) berpendapat bahwa metonimia adalah gaya bahasa penamaan terhadap suatu benda dengan mempergunakan nama pabrik, merek dagang, nama penemu, nama jenis, dan lain-lain. Yandianto (2004: 143) memberikan definisi mengenai metonimia

(21)

sebagai gaya bahasa yang mempergunakan nama benda tersebut sebagai pengganti menyebutkan jenis bendanya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa metonimia. Metonimia adalah penamaan terhadap suatu benda dengan mempergunakan nama yang sudah terkenal atau melekat pada suatu benda tersebut. Contoh: Ia membeli sebuah chevrolet.

c) Personifikasi

Personifikasi merupakan gaya bahasa yang menganggap benda mati sebagai manusia Rachmat Djoko Pradopo (1997: 75) berpendapat bahwa personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. (2011: 175) personifikasi adalah mempersamakan benda dengan sifat manusia.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa personifiksi. Personifikasi adalah gaya bahasa yang mempersamakan benda-benda mati seolah-olah dapat hidup atau mempunyai sifat kemanusiaan. Contoh: Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami.

d) Metafora

Metafora adalah gaya bahasa yang memperbandingkan benda dengan benda lain yang mempunyai sifat sama, secara lengkap Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 24) memberikan pengertian tentang metafora sebagai gaya bahasa perbandingan atau analogi dengan membandingkan dua

(22)

hal secara langsung, tetapi dengan cara singkat dan padat. (2011:174) meafora adalah menyatakan hal yang satu sama dengan hal yang lain yang sesungguhnya tidak sama.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa metafora. Metafora adalah membandingkan dua hal secara langsung dengan singkat. Contoh: Pemuda adalah bunga bangsa.

e) Sinekdok

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 24) menyatakan sinekdok adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan sebagian.

Secara lebih singkat Yandianto (2004: 145) mengelompokkan sinekdok menjadi dua, yaitu pars pro toto, yang menyatakan sebagian untuk seluruh, dan totem pro parte, yang menyatakan umum menjadi khusus, dalam hal ini artinya menyempit.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai sinekdok. Sinekdok adalah gaya bahasa yang menggunakan nama sebagian untuk seluruhnya atau sebaliknya, menggunakan nama seluruh untuk sebagian. Contoh: Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,00.

Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4.

f) Alusi

Alusi adalah menggunakan ungkapan atau peribahasa yang sudah lazim, sementara itu Muhammad Sadikin (2011:156) berpendapat bahwa alusi

(23)

adalah pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.

Gorys Keraf (2002: 142) menyatakan bahwa alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa alusi. Alusi adalah gaya bahasa yang merujuk sesuatu secara tidak langsung kesamaan antara orang, peristiwa, atau tempat. Contoh: Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya.

g) Asosiasi

Asosiasi adalah gaya bahasa yang menyebutkan perbandingan terhadap suatu benda, sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 24) berpendapat bahwa asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan. Masih dalam pengertian yang sama Yandianto (2004: 142) berpendapat asosiasi adalah memperbandingkan suatu benda terhadap benda lain sehingga membawa asosiasi benda yang diperbandingkan, dengan demikian sifat benda pertama lebih jelas.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa asosiasi. Asosiasi adalah gaya bahasa yang berusaha membandingkan sesuatu dengan hal lain yang sesuai dengan keadaan yang digambarkan. Contoh: Rambutnya bagai mayang terurai.

h) Eufemismus

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 25) berpendapat bahwa eufemismus adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat menggantikan

(24)

satu pengertian dengan kata lain yang hampir sama untuk menghaluskan maksud. Sejalan dengan pendapat tersebut. Masih dalam pengertian yang sama Agustinus (2003: 1) menyatakan bahwa eufemismus adalah wacana yang dituturkan dengan maksud halus sehingga mengaburkan makna aslinya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa eufemismus. Eufemismus adalah gaya bahasa yang berusaha menggunakan ungkapan-ungkapan lain dengan maksud memperhalus. Contoh:

Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (= mati).

i) Pars pro toto

Pars pro toto adalah gaya bahasa yang menyatakan sebagian untuk seluruhnya. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 25) yang menyatakan sebagian untuk keseluruhan.

Begitu juga dengan pengertian yang disampaikan Herman J. Waluyo (1995:

85) yang menyatakan bahwa pars pro toto merupakan gaya bahasa yang menyebut sebagian untuk keseluruhan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa pars pro toto. Pars pro toto merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa sebagai penggantian dari wakil keseluruhan. Contoh: Sudah lama Feri tidak kelihatan batang hidungnya.

j) Epitet

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 25) berpendapat bahwa epitet adalah gaya bahasa berwujud seseorang atau sesuatu benda tertentu sehingga namanya dipakai untuk menyatakan sifat itu. Sementara itu Gorys

(25)

Keraf (2002: 141) menyatakan bahwa epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa epitet. Epitet adalah gaya bahasa acuan yang menjadi suatu ciri dari seseorang atau sesuatu hal. Contoh: Lonceng pagi untuk ayam jantan.

k) Eponim

Sadikin (2011: 160) berpendapat bahwa eponim adalah menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata . Sejalan dengan pendapat tersebut, Gorys Keraf (2002: 141) menyatakan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa eponim. Eponim adalah pemakaian nama seseorang yang dihubungkan berdasarkan sifat yang sudah melekat padanya. Contoh:

Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan.

l) Hipalase

Gorys Keraf (2002: 142) berpendapat bahwa hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain.

Sementara itu Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 25) hipalase adalah gaya bahasa yang menggunakan kata tertentu untuk menerangkan sesuatu, namun kata tersebut tidak tepat bagi kata yang diterangkannya.

(26)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa hipalase. Hipalase merupakan gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain.

Contoh: Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah. (yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya).

m) Simile

Harun Daud (1998: 3) menjelaskan bahwa simile adalah gaya bahasa yang bermaksud tamsil atau kiasan yang membandingkan dua objek yang mempunyai sifat dan nilai yang sama. Simile selalu menggunakan kata sandi seperti, bagai, umpama, atau, bak. Secara lebih lanjut Sadikin (2011: 156) mendefinisikan simile adalah pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung.

Sementara itu, Irwan Abu Bakar (2003: 1) menyatakan simile adalah perbandingan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang dibuat secara langsung melalui penggunaan kata-kata tertentu, misalnya: bak, bagaikan, laksana, ibarat, seperti, umpama, serupa, dan semacamnya. Contohnya:

Bibirnya seperti delima merekah.

n) Alegori

http//rohmattullah.blogspot.com>sekolah

Alegori adalah Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.

Alegori: majas perbandingan yang bertautan satu dan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh.

(27)

Contoh: Suami sebagai nahkoda, Istri sebagai juru mudi

Alegori biasanya berbentuk cerita yang penuh dengan simbol-simbol bermuatan moral.

Contoh:

Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing- tebing, yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut.

o) simbolik

menurut Sadikin (2011: 160) simbolik adalah melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambing untuk menyatakan maksud.

Contoh : Katakanlah cinta dengan bunga p) perifrase

menurut Sadikin (2011: 159) perifrase adalah ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.

Contoh : Ke mana pun ia pergi, besi tua bermerek, Yamaha produksi tahun 1970 selalu menemaninya.

2) Gaya bahasa perulangan

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 24) berpendapat bahwa gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata, entah itu yang diulang pada bagian depan, tengah, atau akhir sebuah kalimat.

Gaya bahasa perulangan meliputi: aliterasi, anafora, anadiplosis, mesodiplosis, epanolipsis, epizeuksis.

a) Aliterasi

(28)

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 28) berpendapat bahwa aliterasi adalah gaya bahasa yang memanfaatkan kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Harun Daud (1998: 3) secara lengkap memberikan definisi aliterasi merupakan pengulangan bunyi konsonan awal yang sama atau bunyi vokal yang berturut-turut atau pengulangan perkataan atau suku kata yang berhampiran.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa aliterasi. Aliterasi adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama yang diulang lagi pada kata berikutnya. Contoh: Takut titik lalu tumpah.

b) Anafora

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 28) berpendapat bahwa anafora adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan kata pertama dari kalimat pertama menjadi kata pertama dalam kalimat berikutnya. Secara lebih lengkap Harun Daud (1998: 3) menyatakan anafora ialah pengucapan (perkataan atau perkataan-perkataan) yang sama diulang-ulang pada permulaan dua kata atau lebih baris, ayat atau ungkapan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa anafora. Anafora adalah perulangan kata pertama yang sama pada kalimat berikutnya. Contoh: Bahasa yang baku pertama-pertama berperan sebagai pemersatu dalam pembentukan suatu masyarakat bahasa yang bermacam-macam dialeknya. Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek Indonesia secara geografis, yang tumbuh bawah sadar pamakai

(29)

bahasa Indonesia, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara. Bahasa yang baku itu akan mengakibatkan selingan bentuk yang sekecil-kecilnya.

c) Epanolepsis

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 30) berpendapat bahwa epanolepsis adalah gaya bahasa repetisi kata terakhir pada akhir kalimat atau klausa. Kemudian menurut Gorys Keraf (2002: 128) yang dimaksud epanolepsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kalimat pertama.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa epanolepsis. Epanolepsis adalah pengulangan kata pertama untuk ditempatkan pada akhir baris dari suatu kalimat. Contoh: Kita gunakan pikiran dan perasaan kita.

d) Anadiplosis

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 28) berpendapat bahwa anadiplosis adalah gaya bahasa yang selalu mengulang kata terakhir atau frasa terakhir dalam suatu kalimat atau frasa pertama dari klausa dalam kalimat berikutnya. Sementara itu, menurut Keraf (2002: 128) anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa anadiplosis. Anadiplosis adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama dari suatu kalimat menjadi kata terakhir. Contoh: Dalam laut ada tiram, dalam tiram ada mutiara.

(30)

e) Mesodiplosis

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 29) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa yang menggunakan pengulangan di tengah- tengah baris atau kalimat secara berurutan. Keraf (2002: 128) mesodiplosis adalah perulangan di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa mesodiplosis. Mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang mengulang kata di tengah-tengah baris atau kalimat. Contoh: Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon. Para pembesar jangan mencuri bensin.

f) Epizeuksis

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 30) berpendapat bahwa epizeuksis adalah gaya bahasa repetisi yang bersifat langsung dari kata-kata yang dipentingkan dan diulang beberapa kali sebagai penegasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Keraf (2002: 127) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata-kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa epizeuksis. Epizeuksis adalah pengulangan kata yang langsung secara berturut-turut untuk menegaskan maksud. Contoh: Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk mengejar semua ketinggalan kita.

g) Tautologi

Menurut Sadikin (2011: 162) tautologi adalah pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.

(31)

Contoh: Kejadian itu tidak saya inginkan dan tidak saya harapkan.

3) Gaya bahasa sindiran, meliputi: sinisme, innuendo, sarkasme, satire, dan antifrasis.

a) Sinisme

Sadikin (2011: 160) berpendapat bahwa sinisme adalah ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasardari ironi). Secara lebih lengkap Yandianto (2004: 148) mendefinisikan sinisme sebagai gaya bahasa yang hampir sama dengan ironi, hanya dalam sinisme nada suara atau ungkapannya agak lebih kasar, tujuannya untuk menyindir.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa sinisme. Sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir sesuatu secara kasar. Contoh: Harum benar badanmu. (padahal bau busuk karena belum mandi, atau karena bau badannya yang memang busuk).

b) Innuendo

Sadikin (2011: 161) berpendapat bahwa innuendo adalah sindiriran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya. Kemudian menurut pendapat Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 27) innuendo adalah gaya bahasa sindiran yang mengecilkan maksud yang sebenarnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa innuendo. Innuendo adalah gaya bahasa sindiran yang mengungkapkan kenyataan lebih kecil dari yang sebenarnya. Contoh: Ia menjadi kaya raya karena sedikit mengadakan komersialisasi jabatannya.

(32)

c) Sarkasme

Sarkasme adalah mengejek dengan kasar. Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 27) berpendapat sarkasme adalah gaya bahasa yang sindirannya paling kasar dalam penggunaannya. Secara lebih lengkap Yandianto (2004: 148) menyatakan sarkasme adalah gaya bahasa yang tidak lagi merupakan sindiran, tetapi lebih berbentuk luapan emosi orang yang sedang marah, oleh karena itu kata yang dipergunakan biasanya kasar dan tak terdengar tidak sopan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa sarkasme. Gaya bahasa sarkasme adalah penyindiran dengan menggunakan kata-kata kasar. Contoh: Kelakuannya memuakkan saya.

d) Satire

Sadikin (2011: 160) berpendapat bahwa satire adalah ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parody, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll. Sementara itu, menurut Keraf (2002:

144) satire adalah ungkapan yang menertawakan sesuatu.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa satire. Satire adalah gaya bahasa yang menolak sesuatu untuk mencari kebenarannya sebagai suatu sindiran. Contoh: Sekilas tampangnya seperti anak berandalan, tapi kita jangan langsung menuduhnya, jangan melihat dari penampilan luarnya saja.

(33)

e) Antifrasis

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 28) berpendapat bahwa antifrasis adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang bermakna kebalikannya dan bernada ironis. Sementara itu, Keraf (2002: 144) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa antifrasis. Antifrasis adalah gaya bahasa dengan kata-kata yang bermakna kebalikannya dengan tujuan menyindir. Contoh: Lihatlah si raksasa telah tiba.

(maksudnya si cebol) 4) Gaya bahasa pertentangan

Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang ada. Menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 26) gaya bahasa pertentangan meliputi: paradoks, antitesis, litotes, oksimoron, dan histeron prosteron.

a) Paradoks

Paradoks adalah gaya bahasa yang menunjukkan seolah-olah bertentangan padahal tidak (dalam Learning Central, 2004: 2). Sementara itu, Azis Sitti Aida dan Syamsuri (2011: 136) menyatakan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Dapat pula berarti semua hal yang menarik perhatian karena

(34)

kebenarannya. Sadikin (2002: 144) menyatakan bahwa paradoks adalah pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa paradoks. Paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya mengandung pertentangan dengan fakta yang ada. Contoh: Musuh sering merupakan kawan akrab.

b) Antitesis

Antitesis adalah penyebutan kata yang berlawanan (dalam Learning Central, 2004: 3). Sementara itu, Azis Sitti Aida dan Andi Sukri (2011: 131) berpendapat bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan yang bertentangan, dengan menggunakan kata-kata atau kelompok yang berlawanan (kalimat berimbang). Secara lebih lengkap Yandianto (2004: 147) menyatakan antitesis adalah gaya bahasa yang mempergunakan paduan kata yang berlawanan makna

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa antitesis. Antitesis adalah gaya bahasa yang kata-katanya merupakan dua hal yang bertentangan. Contoh: Suka duka kita akan bersama.

c) Litotes

Litotes adalah teknik bahasa untuk memperkecil/memperhalus. Masih dalam pengertian yang sama Sadikin (2011: 158) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan litotes yakni ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri. Secara lebih lengkap Ade Nurdin, Yani Maryani,

(35)

dan Mumu (2004: 26) berpendapat bahwa litotes adalah gaya bahasa yang ditujukan untuk mengurangi atau mengecilkan kenyataan yang sebenarnya, tujuannya untuk merendahkan diri.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikurangi (dikecilkan dari makna yang sebenarnya). Contoh: Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.

d) Oksimoron

Oksimoron adalah sesuatu yang membuat pembaca/pendengar terpikat, sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 26) menjelaskan bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang antara bagian-bagiannya menyatakan sesuatu yang bertentangan. Masih dalam pengertian yang sama Keraf (2002: 136) menyatakan oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks. Sadikin (2011:166) oksimoron adalah paradoks dalam satu fase.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa oksimoron. Oksimoron adalah gaya bahasa yang menyatakan dua hal yang bagian-bagiannya saling bertentangan. Contoh: Keramah-tamahan yang bengis.

(36)

e) Histeron prosteron

Keraf (2002: 136) berpendapat bahwa histeron prosteron yakni semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 26) berpendapat bahwa histeron prosteron adalah gaya bahasa yang berwujud kebalikan dari sesuatu yang logis.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa histeron prosteron. Histeron prosteron adalah gaya bahasa yang menyatakan makna kebalikannya yang dianggap bertentangan dengan kenyatan yang ada. Contoh: Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang.

5) Gaya bahasa penegasan

Gaya bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata- katanya dalam satu baris kalimat. Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2004: 22) membagi gaya bahasa penegasan menjadi dua, yaitu: repetisi dan paralelisme.

a) Repetisi

Repetisi adalah penyebutan baik kata maupun kalimat diulang-ulang, sementara itu Azis Sitti Aida dan Andi Sukri (2011: 132) berpendapat bahwa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Masih

(37)

dalam pengertian yang sama Sadikin (2011: 161) repetisi adalah perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa repetisi. Repetisi adalah gaya bahasa yang mengulang kata-kata sebagai suatu penegasan terhadap maksudnya. Contoh: Maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka yang menyusupi tanah, menyusupi alam?

b) Paralelisme

Sadikin (2011: 162) berpendapat bahwa paralelisme adalah pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.

Sementara itu, Azis Sitti Aida dan Andi Sukri (2011: 131) paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Gaya bahasa ini lahir dari struktur yang berimbang.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai gaya bahasa paralelisme. Paralelisme adalah gaya bahasa yang mengulang kata atau yang menduduki fungsi gramatikal yang sama untuk mencapai suatu kesejajaran. Contoh: Sangat ironis kedengaran bahwa ia menderita kelaparan dlam sebuah daerah yang subur dan kaya serta mati terbubuh dalam sebuah negeri yang sudah ratusan hidup dalam ketentraman dan kedamaian.

c) retoris

menurut Sadikin (2011: 163)retoris adalah ungkapan pernyataan yang jawabannya terkandung didalam pernyataan tersebut.

(38)

Contoh : inikah yang kau namai pekerjaan?

3. Puisi

a. Pengertian Puisi

Menurut B.P Situmorang (dalam purba antilan, 2010:9) membeberkan bahwa perkataan puisi berasal dari bahasa yunani yang juga dalam bahas latin poietes (latin poeta). Mula-mula artinya pembangun, pembentuk, dan pembuat. Asal kata poieo atau poio atau poeo yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, dan menyair. Arti yang mula-mula itu lama- kelamaan semakin dipersempit menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut irama, sajak, dan kadang-kadang kata-kata kiasan.

Menurut kamus istilah sastra (Sudjirman 2012: 82 ) puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, serta penyusunan larik dan bait.

Menurut Tiorida Samosir (2013:18) puisi adalah sebuah ciptaan manusia berupa ungkapan jiwa yang ditampilkan secara ekspresif dituangkan dalam bentuk bahasa indah, kata-kata yang estetis, rangkaian bunyi yang anggun dan memiliki daya tarik bagi para pembaca.

Puisi adalah salah satu bentuk sastra merupakan pancaran susila dan gejolak kejiwaan yang timbul dalam batin penyair.pancaran kehidupan tersebut timbul akibat adanya interaksi langsung maupun tidak langsung, secara sadar maupun tidak sadar, dalam suatu keadaan yang dialaminya yang diwujudkan dalam bentuk tulisan ditata sedemikian rupa dengan

(39)

menggunakan kata-kata yang singkat dan padat (Azis, sitti Aida dan Andi Syukri Syamsuri, 2011:2).

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa puisi adalah karya sastra yang merupakan perpaduan antara imajinasi pengarang dengan fenomena alam serta pengalaman yang di alami yang bersifat emosiaonal.

Puisi sebagai karya seni haruslah puitis, artinya mengandung nilai-nilai keindahan. Penulis menyadari bahwa sukar untuk memberi defenisi puitis itu dan juga sukar menguraikan bagaimana sifat-sifat yang disebut puitis itu.

Namun secara umum, khususnya dalam karya sastra, puisi itu disebut puitis apabila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas atau menimbulkan kaharuan.

Penelitian ini berhubungan dengan apresiasi puisi. Oleh karena itu, disamping harus mengetahui apakah puisi itu sebenarnya, peneliti harus pula membekali diri dengan pemahaman apresiasi puisi.

Siti Aida Azis dan Andi Syukri Syamsuri (2011:3) mengatakan bahwa:

“Apresiasi sastra adalah kegiatan untuk mengakrabi karya sastra dengan sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, dan setelah itu penerapan”.

Dalam hubungannya dengan karya sastra berbentuk puisi, maka dapatlah dikatakan bahwa apresiasi puisi adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membentuk penghargaan terhadap puisi dengan menilai secara tepat, memahami, dan menikmati, puisi tersebut

(40)

B. Kerangka Pikir

Puisi merupakan ungkapan nyata dari pengalaman jiwa seorang penyair yang dituangkan dalam media bahasa. Untuk memahami makna yang terkandung dalam sebuah puisi, terlebih dahulu harus dipahami bahasa yang digunakan oleh penyairnya.

Bahasa merupakan pembentuk komunikasi, sehingga bahasa berperan penting dalam sebuah puisi. Gaya bahasa pada puisi yang digunakan oleh penyair merupakan salah satu sarana yang digunakan penyair dalam pencapaian kepuitisan suatu puisi. Dengan gaya bahasa yang digunakan dalam puisi, maka puisi tersebut akan hidup sebab makna bisa dinyatakan secara tersurat dan tersirat. Untuk mengetahui makan yang terkandung dalam sebuah puisi, maka terlebih dahulu seseorang harus memahami gaya bahasa yang digunakan dalam puisi tersebut.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada bagan kerangka pikir berikut:

(41)

Karya Sastra

Puisi

Bagan Kerangka Pikir

Perbandingan perulangan Penegasan

Hiperbola, personifikasi, Tautologi Retoris, repetisi alegori, eufemismus,

eponim,metafora, simbolik, perifrase

Analisis

Temuan Gaya Bahasa

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Fokus dan Desain Penelitian 1. Fokus Penelitian

Setelah memerhatikan uraian di atas, maka dapatlah ditentukan bahwa fokus penelitian ini adalah menganalisis gaya bahasa pada puisi Charil Anwar dalam kumpulan “Deru Campur Debu”.

2. Desain Penelitian

Desain penelitian pada hakekatnya merupakan strategi yang mengatur ruang atau teknis penelitian agar memeroleh data maupun kesimpulan penelitian. Menurut jenisnya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Oleh karena itu, dalam penyusunan desain harus dirancang berdasarkan pada prinsip metode deskriptif kualitatif, yang mengumpulkan, mengolah, mereduksi, menganalisis dan menyajikan data secara objektif atau sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan untuk memperoleh data. Untuk itu, peneliti dalam menjaring data mendeskriftifkan penggunaan diksi /gaya bahasa pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu.

B. Definisi Istilah

Definisi istilah pada hakikatnya merupakan pendefinisian istilah dalam bentuk yang dapat diukur, agar lebih lugas dan tidak menimbulkan bias atau

(43)

membingungkan. Penelitian bebas merumuskan, menentukan definisi istilah sesuai dengan tujuan penelitinya, dan tatanan teoriti dari variabel yang ditelitinya.

Untuk menghindari salah tafsir dalam penelitian ini, maka focus definisi istilah yang akan dibahas adalah sebagai berikut ;

a. Bahasa adalah alat komunikasi yang menghubungkan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.

b. Analisis adalah penyelidikan terhadap sesuatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.

c. Diksi adalah ketetapan pilihan kata.

d. Gaya bahasa adalah adalah cara mengungkapkan pikiran dan perasaan batin yang hidup melalui bahasa yang khas dalam bertutur untuk memperoleh efek- efek tertentu sehingga apa yang dinyatakan menjadi jelas dan mendapat arti yang pas.

e. Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.

f. Deru campur debu adalah salah satu kumpulan puisi Chairil Anwar yang lahir pada masa angkata 45.

C. Data dan Sumber Data 1. Data

Data dalam penelitian ini adalah keterangan yang dijadikan objek kajian, yakni setiap kata, kalimat/ungkapan yang mendukung penggunaan gaya bahasa pada puisi Chairil Anwar.

(44)

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini, yakni buku kumpulan puisi Chairil Anwar “Deru Campur Debu” berjumlah 42 halaman diterbitkan oleh Dian Rakyat pada tahun 2010 di Jakarta

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dengan cara penelitian pustaka yaitu:

1. Membaca berulang-ulang puisi Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu.

2. Mencatat data yang termasuk penggunaan gaya bahasa pada puisi,

3. Mengklasifikasikan data yang termasuk gaya bahasa di dalam puisi tersebut.

E. Teknik Analisis Data

Berdasarkan teknik pengumpulan data yang dipergunakan, maka analisis penggunaan gaya bahasa pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan

“Deru Campur Debu” dapat dicocokkan sesuai teknik pengumpulan data yang digunakan, yakni analisis gaya bahasa puisi Chairil Anwar.

Pendeskripsian penggunaan gaya bahasa pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu dapat yang dijadikan acuan dalam penelitian meliputi:

1) Menganalisis seluruh penggunaan diksi / gaya bahasa pada puisi Chairil Anwar dalam kumpulan Deru Campur Debu.

2) Mendeskripsikan data pada puisi Chairil Anwar.

(45)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan menguraikan secara mendetail hasil penelitian dari puisi kumpulan Deru Campur Debu karya Chairil Anwar, yakni dari segi penggunaan diksi/ gaya bahasa. Di samping itu akan dijelaskan pula bukti-bukti konkret yang diperoleh dari hasil analisis data yang merupakan hasil penelitian.

A. P enyajian Hasil Analisis Data

Supaya mudah menanggapi semua masalah di dalam penelitian ini, ada baiknya apa yang diteliti, cermati dan dipahami dahulu secara mendalam apa permasalahan yang menjadi fokus penelitian tersebut.

Di dalam menganalisis sebuah puisi tersebut, yang difokuskan pada masalah gaya bahasa pada kumpulan puisi Deru Campur Debu karya Chairil Anwar.

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah syle. Gaya bahasa style menjadi bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa, atau klausa tertentu untuk menghadapi hierarki kebahasaan, baik pada tataran pilihan kata secara individu, frasa, klausa, kalimat maupun wacana secara keseluruhan. Style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai bahasa (Gorys Keraf, 2002:

113).

(46)

Pendapat ahli sastra Panuti Sudjiman (1990: 33) menyatakan bahwa yang disebut gaya bahasa adalah cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata- kata dalam bentuk tulisan maupun lisan. Menurut Harimurti Kridalaksana (2001:

25) penjelasan istilah gaya bahasa secara luas yaitu pertama, pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. Kedua, pemakaian ragam tertentu untuk memeroleh efek-efek tertentu. Ketiga, keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran dan perasaan batin yang hidup melalui bahasa yang khas dalam bertutur untuk memperoleh efek-efek tertentu sehingga apa yang dinyatakan menjadi jelas dan mendapat arti yang pas.

Diksi adalah ketepatan pilihan kata. Penggunaan ketepatan pilihan kata dipengaruhi oleh kemampuan pengguna bahasa yang terkait dengan kemampuan mengetahui, memahami, menguasai, dan menggunakan sejumlah kosa kata secara aktif yang dapat mengungkapkan gagasan secara tepat sehingga mampu mengomunikasikannya secara efektif kepada pembaca atau pendengarnya.

Di dalam diksi juga memiliki makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi adalah kata yang bermakna lugas atau tidak bermakna ganda. Makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki sebuah leksem. Contoh: Kata kurus, bermakna denotatif keadaan tubuhnya yang lebih kecil & ukuran badannya normal. Sedangkan konotasi ialah kata yang dapat menimbulkan bermacam- macam makna. makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa orang / kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Contoh: Kata kurus pada contoh di atas bermakna konotatif netral,

(47)

artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan, tetapi kata ramping bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotatif positif, nilai yang mengenakkan. Orang akan senang bila dikatakan ramping.

Adapun penjelasan tentang jenis-jenis gaya bahasa/diksi dalam kumpulan puisi Deru Campur Debu karya Chairil Anwar yaitu:

a. Gaya bahasa/ diksi

Gaya bahasa dikelompokkan menjadi lima yaitu gaya bahasa perbandingan, perulangan, sindiran, pertentangan dan penegasan. Berikut ini ada beberapa puisi Chairil Anwar yang memiliki gaya bahasa :

Aku

kalau sampai waktuku

‘ku mau tak seorang, ‘kan merayu Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa ku bawa berlari Berlari

Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli

(48)

Aku mau hidup seribu tahun lagi

 Diksi

Untuk ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah kata-katanya.

Seperti pada baris kedua: bait pertama

“kalau sampai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”. Ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih “Ku mau tak seorang ’kan merayu”. Merupakan pengganti dari kata “ku tahu”. Penyair merasa sedih dan ia tidak ingin oraang lain campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka.

“Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anakku, istriku, atau kekasihku”.

“tak perlu sedu sedan“ dapat bererti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”.

 Gaya bahasa

Dalam puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku” terdapat gaya bahasa perbandingan yaitu gaya bahasa hiperbola. Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan berlebih-lebihan dari kenyataan. Puisi Chairil Anwar yang menunjukkan gaya bahasa hiperbola adalah :

Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar perlu menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang

(49)

………

Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Si aku adalah binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kumpulannya, ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat. Bahkan meskipun ia di tembak, peluru menembus kulitnya, si aku tetap berang dan memberontak terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut.si aku ingin hidup seribu tahun lagi, maksudnya secara kiasan, si aku menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.

Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas : Luka dan bisa kubawa berlari. Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli Aku ingin hidup seribu tahun lagi.

Dengan demikian jelas hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampak makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di dalam dunianya.

Hampa

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memangut Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti

Sepi

(50)

Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencengkung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti.

 Diksi (Pilihan Kata)

Diksi atau pemilihan kata yang digunakan Chairil Anwar dalam mengungkapkan perasaannya pada puisi di atas, menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif, seperti pada larik: Lurus kaku pohonan. Tak bergerak, Memberat-mencekung pundak, dan udara bertuba setan bertempik. Pilihan kata yang digunakan si penyair dalam mengungkapkan perasaannya dalam puisinya yang menggunakan kata yang bersifat konotatif karena banyak mengandung arti dan yang mewakili keseluruhan puisi yaitu terdapat pada kata “sepi”, terbukti pada : “Sepi diluar menekan mendesak”

 Gaya bahasa yang terdapat pada judul puisi hampa yaitu : 1. Gaya bahasa penegasan yang meliputi gaya bahasa :

 Repetisi yaitu gaya bahasa yang mengulang kata-kata sebagai suatu penegasan terhadap maksudnya. Seperti sajak berikut ini :

“Segala menanti. Menanti. Menanti, Sepi di luar. Sepi menekan mendesak, Ini sepi terus ada. Dan menanti”.

(51)

Pengulangan kata sepi dan menanti, memberi penegasan bahwa Chairil Anwar sangat kesepian, namun meski sepi, ia akan terus menanti pujaan hatinya.

2. Gaya bahasa perulangan yang meliputi gaya bahasa :

 tautologi yaitu pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.

“Romtok-gugur segala. Setan bertempik “ 3. gaya bahasa perbandingan yang meliputi gaya bahasa :

 Personifikasi yaitu gaya bahasa yang mempersamakan benda- benda mati seolah-olah dapat hidup atau mempunyai sifat kemanusiaan. Seperti :

“Lurus kaku pepohonan tak bergerak”

Kata pohonan disini seakan-akan makhluk hidup yang memiliki rasa kaku.

Rasa kesepian itu membuat Chairil Anwar bagaikan pohon yang tak bergerak. Hampa, kosong, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.

 Hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung pernyataan berlebih-lebihan dari kenyataan. Seperti sajak berikut:

“Udara bertuba setan bertempik”

Suasana sekitar yang dirasakan Chairil Anwar begitu penat, ia merasakan hatinya menjerit-jerit, sehingga membuat ia semakin tak kuasa menahan penantiannya itu. Menggunakan kata setan, yang terkesan berlebihan.

“Sepi.Tambah ini menanti jadi mencekik. Memberat-mencekung punda,sampai binasa segala”

(52)

yang artinya dalam kesepian dia menunggu sampai membungkukkan pundaknya sampai tak sanggup lagi menanti.

Sia-Sia

Penghabisan kali itu kau datang Membawa karangan kembang Mawar merah dan melatih puith:

Darah dan suci Kau tebarkan depanku

Serta pandang yang memastikan: untukmu.

Sudah itu kita sama termangu Saling bertanya: Apakah itu?

Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

 Diksi

Sajak karya Chairil Anwar mampu memberikan imajinasi yang kuat dan membangkitkan kesan yang berbeda. Seperti pada pernyataan berikut

“Penghabisan kali itu kau datang” kata penghabisan dipilihnya karena terasa lebih indah dan dalam daripada kata terakhir walaupun sama artinya. Setelah kalimat ditulisnya “membawa kembang berkarang”, kata kembang berasal dari bahasa sunda yang artinya bunga. Sudah menjadi hal yang biasa khususnya di dalam karya sastra seorang gadis itu dilambangkan dengan bunga.

(53)

“Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri.” Dari lirik itu jelas bahwa si “aku” melakukan pertemuan dengan kekasihnya. Tetapi ketika sedang berjumpa itu, mereka tidak saling menyapa, yang ada hanya saling berdiam diri saja. Tetapi diakhir bait si “aku” seakan-akan menyesal dengan perlakuannya terhadap gadis tersebut “Ah! Hatiku yang tak mampu memberi”. Akhirnya si “aku” mengutuki dirinya sendiri dengan kata “Mampus kau dikoyak-koyak sepi”.

 Gaya Bahasa yang terdapat pada puisi “sia-sia” yaitu : 1. Gaya bahasa perbandingan yang meliputi gaya bahasa :

 Simbolik adalah melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambing untuk menyatakan maksud. Puisi yang menunjukkan gaya bahasa simbolik yaitu :

“Penghabisan kali itu kau datang”, “Membawa kembang berkarang”

karena gaya bahasa kiasan untuk melukiskan sesuatu dengan menggunakan benda–benda sebagai simbol atau perlambang.

 Alegori adalah menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran. Puisi yang menunjukkan gaya bahasa alegori yaitu:

“Mawar mewah dan melati putih”, “Darah dan suci” dan “Kau terbarkan depanku”

karena majas ini gaya bahasa yang mengungkapkan beberapa perbandingan yang bertaut satu dengan yang lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh.

 Perifrase adalah ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang pendek. Puisi yang menunjukkan gaya bahasa perifrase adalah :

“Serta pandang yang memastikan: untukmu”

karena majas ini gaya bahasa penguraian sepatah kata diganti dengan serangkaian kata yang mengandung arti yang sama.

(54)

 Eufemismus adalah gaya bahasa yang berusaha menggunakan ungkapan-ungkapan lain dengan maksud memperhalus. Puisi yang menunjukkan gaya bahasa eufemismua yaitu :

“Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri”

karena majas ini menyatakan sesuatu dengan ungkapan yang lebih halus.

Maksudnya mereka bersama tapi tidak saling menghampiri, tidak saling menyapa satu sama lain.

 Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan. Puisi yang menunjukkan gaya bahasa hiperbola adalah :

“Ah! Hatiku yang tak mau memberi”, “Mampus kau dkoyak-koyak sepi”

karena majas ini mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Pada kata “Ah! Hatiku yang tak mau memberi/Mampus kau dikoyak-koyak sepi” penyair menggunakan kata mampus semata-mata memberikan gambaran bahwa si “aku” benar-benar sedang dalam keadaan kesepian, kesunyian, penderitaan, tetapi Chairil Anwar tetap memilihnya, dan dia menistakan dirinya karena memilih perbuatan itu.

2. Gaya bahasa penegasan melipuit gaya bahasa :

 Retoris adalah gaya bahasa ungkapan pernyataan yang jawabannya telah terkandung didalam pernyataan tersebut. Puisi yang memiliki gaya bahasa retoris yaitu “

Lalu kita sama termangu”, “Saling bertanya: apakah ini?” dan

“Cinta? Kita berdua tak mengerti”

Karena berupa pernyataan yang tidak menuntut suatu jawaban.

(55)

Doa

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh Mengingat kau penuh seluruh

CayaMU papas suci Tuhanku Aku hilang bentuk

Remuk Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing Tuhanku

Dipintumu aku mengetuk Aku tidak bisa berpalin

Puisi di atas menceritakan tentang ketuhanan. . Hal ini dapat kita rasakan dari beberapa bukti. Pertama, diksi yang digunakan sangat kental dengan kata-kata bernaka ketuhanan. Kata “doa” yang digunakan sebagai judul menggambarkan sebuah permohonan atau komunikasi seorang penyair dengan Sang Pencipta.

Kata-kata lain yang mendukung tema adalah: Tuhanku, nama-Mu, mengingat Kau, caya-Mu, di pintu-Mu. Kedua, dari segi isi puisi tersebut menggambarkan

Referensi

Dokumen terkait

pengawasan dibagi menjadi empat, yaitu: produksi, keuangan, waktu, dan manusia serta kegiatan- kegiatannya. Pada bidang produksi, pengawasan dapat ditujukan terhadap

Dalam kalkulus , integral takwajar adalah limit dari integral tentu dengan batas pengintegralan mendekati bilangan riil tertentu, atau ∞ −∞ atau, pada beberapa

dengan istilah fenomena disosiatif yang diartikan sebagai keadaan psikologis yang terjadi karena suatu perubahan dalam fungsi self (identitas, memori atau kesadaran) (Nevid,

Dari hasil proses pengerjaan penelitian Inovasi Ruang Isolasi Apung yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut ini: (a)

Itu karena pada kebijakan first come first served jumlah inventory yang disediakan lebih banyak dan mengakibatkan biaya holding cost bertambah besar karena jumlah

Pada perdagangan 5 November IHSG ditutup menguat sebesar +3.04% ke level 5,206 Sentimen penggerak pasar hari ini diantaranya bursa saham AS yang ditutup menguat membawa