• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

5.2.1 Tingkat Pengetahuan Responden Membaca Grafik Pertumbuhan

Berdasarkan penelitian Trintin 2001 di beberapa daerah di Indonesia, penggunaan KMS sebagai instrumen pemantau pertumbuhan balita sudah diketahui oleh 60% kader. Akan tetapi, pemahaman tentang grafik pertumbuhan hanya diketahui oleh 8,6 % kader. Sementara itu, Ibu balita yang tahu tentang arti grafik dalam KMS sebanyak 18,0%.

Ekawaty Suryani Mastari : Hubungan Pengetahuan Ibu Balita Dalam Membaca Grafik Pertumbuhan Kms Dengan Status Gizi Balita Di Kelurahan Glugur Darat 1, 2009.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian oleh peneliti yakni hanya 9% responden memiliki pengetahuan yang baik dalam membaca grafik pertumbuhan. Sementara itu, 91% lainnya memiliki pengetahuan yang kurang baik.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ibu sebagian besar ibu mengetahui kepanjangan KMS (94%) dan tempat memperoleh KMS (98%). Akan tetapi, ibu yang mengetahui kelima manfaat KMS hanya 2%, sementara sebagian besar ibu (49%) hanya mengetahui satu manfaat KMS.

Mengenai grafik pertumbuhan, dari tiga grafik yang disajikan, kekeliruan tentang makna grafik paling besar tejadi pada grafik bawah garis merah yakni 59% responden. Korelasi antara tindakan yang akan dilakukan ibu dengan pengetahuan ibu tenatng arti grafik juga turut dinilai.

Pada grafik pertumbuhan yang menurun, dari 59 responden yang mengetahui arti grafik, lima orang di antaranya keliru dalam menentukan tindakan yang sebaiknya dilakukan. Sementara pada grafik pertumbuhan yang meningkat, dari 85 responden yang mengetahui arti grafik, 83 di antaranya mengetahui tindakan yang sebaiknya dilakukan. Selanjutnya, untuk grafik di bawah garis merah, dari 41 responden yang mengetahui arti grafik, seluruhnya mengetahui tindakan yang sebaiknya dilakukan.

Kekeliruan pengetahuan dapat disebabkan oleh tidak jelasnya informasi yang diperoleh oleh responden. Hal ini sesuai dengan pernyataan Notoadmojo ( 1997) bahwa pengetahuan mampu dikembangkan manusia disebabkan salah satunya karena manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi tersebut. Jika bahasa yang mengkomunikasikan informasi tersebut salah diterima, maka pengetahuan tentu tidak akan berkembang dengan baik.

5.2.2 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Status Gizi Balita

Menurut Santoso (1999), status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak akibat interaksi antara makanan dalam tubuh dengan lingkungan

Ekawaty Suryani Mastari : Hubungan Pengetahuan Ibu Balita Dalam Membaca Grafik Pertumbuhan Kms Dengan Status Gizi Balita Di Kelurahan Glugur Darat 1, 2009.

sekitarnya. Nilai keadaan gizi anak sebagai refleksi kecukupan gizi, merupakan salah satu parameter yang penting untuk nilai tumbuh kembang fisik dan kesehatan anak tersebut.

Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa 73% responden memiliki status gizi yang baik. Sementara 27% lainnya dikategorikan dengan status gizi tidak baik karena berada dalam keadaan gizi buruk, gizi kurang, dan gizi lebih.

Pada hasil tabulasi silang dengan analisis statistik chi square diperoleh nilai p> 0,05. Ini berarti tidak terdapat hubungan pengetahuan ibu membaca grafik pertumbuhan KMS dengan status gizi balita. Dalam tabel 5.20 yang menyajikan tabulasi silang pengetahuan ibu dan status gizi balita, dapat dilihat bahwa 71,4% ibu dengan pengetahuan kurang baik memiliki balita dengan status gizi yang baik. Hal tersebut dapat terjadi mengingat bahwa pola konsumsi makanan dan keadaan kesehatan anak merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi balita.

Penyebab tidak langsung yang berkontribusi pada status gizi balita yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi (Unicef, 1998).

Selain penjelasan tersebut di atas, adanya korelasi antara pengetahuan ibu tentang pemantauan status gizi balita dengan sikap dan tindakan ibu merupakan salah satu hal yang harus dikaitkan dengan status gizi balita. Pada penelitian selanjutnya diharapkan hal demikian dapat dicermati.

Perbandingan terhadap faktor –faktor yang mempengaruhi status gizi balita dapat dilihat pada uraian di bawah ini.

Ekawaty Suryani Mastari : Hubungan Pengetahuan Ibu Balita Dalam Membaca Grafik Pertumbuhan Kms Dengan Status Gizi Balita Di Kelurahan Glugur Darat 1, 2009.

Pada penelitian yang dilakukan Anwar (2006), ditemukan bahwa status gizi dipengaruhi oleh kompleks karakteristik keluarga dan pola asuh.. Ditinjau dari pola asuhnya, Engle dan Riccuti (1995) menyatakan bahwa rangsangan psikososial yang baiknya umumnya berkaitan erat dengan status gizi dan kesehatan anak. Sementara itu, karakteristik keluarga memiliki proporsi sendiri yaitu tingkat pendapatan keluarga (5,03 kali), berat lahir anak (5,73 kali), pemberian ASI (2,57 kali), status imunisasi (10,28 kali), pengetahuan ibu (15,64 kali) dan pola makan anak (3,27 kali).

Pada penelitian yang dilakukan Dewi Andarwati (2007), karakteristik keluarga tersebut di atas memiliki proporsi yang berbeda dalam mempengaruhi status gizi anak. Proporsinya yaitu : pendapatan keluarga (11,2 kali), pengetahuan gizi ibu (11,9 kali), besar keluarga dan pekerjaan ibu (0,489 kali), pantangan makan balita (22,5 kali), dan konsumsi energi protein (18 kali).

Beragamnya proporsi pengaruh pengetahuan ibu terhadap status gizi pada dua penelitian di atas masalah gizi merupakan masalah multikompleks tidak dapat dinilai dengan satu faktor saja.

Pada penelitian ini terdapat beberapa hambatan dan kekurangan seperti kecenderungan ibu balita untuk tidak lagi membawa balita ke Posyandu setelah anak tersebut menyelesaikan imunisasi lengkap sehingga balita yang disertakan dalam penelitian tidak memiliki persebaran umur yang merata. Selain itu, adanya pencatatan KMS yang kurang baik sehingga menyulitkan peneliti mendapatkan data berat badan selama tiga bulan berturut-turut. Kurangnya partisipasi aktif ibu untuk ikut serta dalam kegiatan Posyandu sehingga peneliti sulit mendapatkan data KMS terutama berat badan anak yang lengkap. Faktor lainnya adalah kurangnya pemahaman ibu tentang pentingnya KMS sebagai penilaian status gizi balita sehingga KMS tidak disimpan di tempat yang benar.

Ekawaty Suryani Mastari : Hubungan Pengetahuan Ibu Balita Dalam Membaca Grafik Pertumbuhan Kms Dengan Status Gizi Balita Di Kelurahan Glugur Darat 1, 2009.

Dokumen terkait