• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Pembahasan

1.

2.

Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Oleh Perawat Baik

Kurang baik

Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Oleh Keluarga Baik Kurang baik 20 10 15 17 66,7 33,3 46,9 53,1

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas pasien yang dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang dilakukan oleh perawat dalam kategori baik, sedangkan pemenuhan kebutuhan spiritualitas yang dilakukan oleh keluarga dalam kategori kurang baik

2.Pembahasan

Bab pembahasan ini menjelaskan tentang makna hasil penelitian dan membandingkan hasil penelitian tersebut dengan penelitian sebelumnya atau literatur yang ada. Pembahasan hasil penelitian menjelaskan tentang karakteristik demografi responden dan variabel pemenuhan kebutuhan spiritualitas oleh perawat dan keluarga terhadap pasien yang dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

2.1 Karakteristik Demografi Responden 2.1.1 Perawat

Berdasarkan usia, sebagian besar perawat berada pada usia dewasa dini sebanyak 24 orang (80%). Kelompok usia dewasa dini merupakan usia produktif yang mendukung dalam melaksanakan pelayanan keperawatan yang baik. Menurut penelitian Riyadi dan Kusnanti (2007) bahwa ada hubungan signifikan antara umur perawat dengan kinerja perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan pada setiap klien (P= 0.006 < 0.05). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin dewasa usia seorang perawat maka semakin tinggi kinerja keperawatannya.

Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar perawat yaitu perempuan sebanyak 24 orang (80%), sedangkan laki-laki yaitu 6 orang (20%). Profesi keperawatan lebih banyak diminati kaum perempuan, mengingat profesi keperawatan lebih dekat dengan masalah mother instink (Bady, et al, 2007).

Berdasarkan agama, sebagian besar perawat beragama Kristen yaitu 17 orang (56,7%), sedangkan beragama Islam yaitu 13 orang (43,3%). Menurut Hamid (1999) bahwa agama merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perawatan spiritualitas pada klien. Perbedaan agama antara perawat dan klien menyebabkan perawat terkadang menghindar untuk memberi asuhan keperawatan spiritualitas. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa 16 orang perawat (53,3%) jarang membantu klien untuk beribadah sehingga sebanyak 14 orang perawat (46,7%) lebih sering memfasilitasi kebutuhan pemuka agama pada klien.

Berdasarkan latar belakang pendidikan, sebagian besar perawat berlatar belakang pendidikan diploma yaitu 24 orang (80%), sedangkan berlatar belakang

pendidikan sarjana keperawatan yaitu 4 orang (13,3%). Menurut Young & Koopsen (2007) bahwa keperawatan profesional mampu melaksanakan perawatan spiritualitas secara maksimal pada klien. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamid (1999) bahwa perawat sebagai tenaga kesehatan yang professional mempunyai kesempatan yang paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan yang komprehensif dengan membantu klien memenuhi kebutuhan dasar yang holistik.

Berdasarkan pengalaman kerja, sebagian besar perawat berpengalaman kerja selama 2-4 tahun yaitu 14 orang (46,6%), 5-10 tahun yaitu 8 orang (26,7%), sedangkan > 10 tahun yaitu 8 orang (26,7%). Menurut Megawati (2004) menyatakan bahwa lama kerja seseorang mempunyai pengaruh terhadap mutu pekerjaan.

2.1.2 Keluarga Pasien

Berdasarkan usia, sebagian besar keluarga pasien berada pada usia dewasa tengah yaitu 17 orang (53,1%). Menurt Erikson (1968 dalam Potter & Perry, 2005) bahwa pada usia dewasa tengah memiliki tugas untuk merawat dan membimbing orang lain. Selain itu, Taylor, et al (1997) menyatakan bahwa perkembangan spiritualitas pada masa dewasa tengah lebih matang sehingga membuat individu mampu untuk mengatasi masalah dan menghadapi kenyataan.

Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar tingkat pendidikan terakhir keluarga pasien adalah SMA sebanyak 21 orang (65,6%), diploma sebanyak 2 orang (6,3%), sedangkan sarjana sebanyak 3 orang (9,4%). Menurut Notoadmojo (2003) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah

menerima informasi dan semakin baik pengetahuan yang dimiliki. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Azwar (1995) bahwa adanya pengetahuan tentang sesuatu hal dan adanya pengetahuan terhadap manfaat sesuatu hal menyebabkan orang mempunyai sikap positif atau negatif terhadap hal tersebut. Sikap positif akan menimbulkan keinginan untuk berbuat. Perbuatan yang sudah dilaksanakan disebut perilaku. Jika seseorang tidak mengetahui sesuatu hal dengan jelas maka sulit bagi orang tersebut untuk menentukan sikap dalam mewujudkannya dalam suatu perbuatan.

Berdasarkan hubungan keluarga dengan pasien, sebagian besar hubungan keluarga dengan pasien yaitu sebagai ibu sebanyak 13 orang (40,6%). Keluarga merupakan tempat pertama kali individu memperoleh pengalaman dan pandangan hidup. Dari keluarga, individu belajar tentang Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri (Taylor, et al, 1997). Menurut Friedman (1998) bahwa dalam sebagian besar keluarga, peran-peran penting bertumpu pada ibu yaitu posisi sebagai istri, dan pemberi asuhan kesehatan pada keluarga.

Berdasarkan lama perawatan pasien, sebagian besar lama perawatan pasien yaitu > 3 hari (53,1%). Menurut Hamid (1999) bahwa ketika individu menderita suatu penyakit, kekuatan spiritualitas sangat berperan penting dalam proses penyembuhan. Selama sakit, individu menjadi kurang mampu untuk merawat diri mereka dan lebih bergantung pada orang lain. Spiritualitas sangat diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit yang dialaminya, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan dalam waktu yang lama dengan hasil yang belum pasti.

Berdasarkan hasil penelitian secara umum bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada pasien yang dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan oleh 20 orang perawat (66,7%) berada dalam kategori baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamid (1999) bahwa perawat sebagai tenaga kesehatan yang professional mempunyai kesempatan yang paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan yang komprehensif dengan membantu klien memenuhi kebutuhan dasar yang holistik. Perawat memandang klien sebagai makhluk bio-psikososio-kultural dan spiritual secara holistik dan unik terhadap perubahan kesehatan atau pada keadaan krisis. Asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat tidak bisa terlepas dari aspek spiritualitas yang merupakan bagian integral dari interaksi perawat dengan klien. Hal ini juga didukung oleh FK UNAIR (2006) bahwa perawat yang bekerja di ruangan ICU harus mampu merawat pasien dengan baik dan benar sesuai dengan standar mutu pelayanan ICU karena keberadaan ICU di setiap rumah sakit merupakan kebutuhan dasar dan kualitas pelayanan ICU yang baik akan mencerminkan mutu pelayanan rumah sakit tersebut. Oleh karena itu, pengelolaan ICU didukung oleh tenaga keperawatan yang memenuhi kualifikasi sebagai perawat ICU.

Namun, sebanyak 10 orang perawat (33,3%) kurang baik dalam pelaksanaan pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada pasien yang dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamid (1999) bahwa salah satu penyebab asuhan keperawatan spiritualitas tidak dapat dilaksanakan oleh perawat dengan baik karena antara perawat dan klien memiliki nilai keyakinan yang berbeda. Hal ini juga didukung

oleh pernyataan Taylor et al (1997) bahwa ketika memberikan asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat menghindar untuk memberikan asuhan keperawatan spiritual. Hal tersebut terjadi karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritualitas, dan tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritualitas dalam keperawatan. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Allen (1999 dalam Astuty, 2005) bahwa perawat yang bekerja di ruang ICU memiliki beban kerja yang cukup tinggi. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Tarnow (2000) bahwa kapsitas dan beban kerja perawat yang tinggi dapat mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat sehingga perawat tidak dapat melaksanakan asuhan keperawatan secara maksimal.

2.2.1 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Berkaitan Hubungan dengan Tuhan

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa 15 orang perawat (50%) sering membimbing klien yang tidak koma untuk berdoa ketika cemas dan takut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aldridge (2001 dalam Young & Koopsen, 2007) menyatakan bahwa berdoa merupakan salah satu terapi yang dapat meningkatkan koping seseorang melalui keterikatan dirinya sendiri dan dengan Tuhan. Perawat dapat memadukan doa dalam perawatan pada pasien. Namun, sebanyak 7 orang perawat (23,3%) jarang membimbing klien yang tidak koma untuk berdoa ketika cemas dan takut dan sebanyak 5 orang perawat (16,7%) tidak pernah membimbing klien yang tidak koma untuk berdoa ketika cemas dan takut. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Brush, Daly, Davidhizar, Bechtel, & Juratovak (2000 dalam Young& Koopsen, 2007) bahwa perawat jarang atau tidak pernah membimbing klien berdoa karena perawat takut melanggar privacy pasien, rasa khawatir akan ketidaktepatan dalam memenuhi kebutuhan spiritualitas pasien, dan kurangnya kesadaran spiritualitas secara pribadi.

Sebanyak 14 orang perawat (46,7%) sering memfasilitasi akan kebutuhan pemuka agama pada klien ketika dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aldridge (2001 dalam Young & Koopsen, 2007) menyatakan bahwa berdoa merupakan salah satu terapi yang dapat meningkatkan koping seseorang melalui keterikatan dirinya sendiri dan dengan Tuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brush & Daly (2000 dalam Young & Koopsen, 2007) bahwa salah satu peran perawat dalam pemberian perawatan spiritualitas pada pasien dengan menyerahkannya kepada pemuka agama. Namun, sebanyak 3 orang perawat (10%) jarang memfasilitasi kebutuhan akan pemuka agama pada klien ketika dibutuhkan dan sebanyak 1 orang perawat (3,3%) tidak pernah memfasilitasi akan kebutuhan pemuka agama pada klien ketika dibutuhkan. Peneliti berpendapat bahwa kemungkinan perawat menganggap bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas merupakan salah satu tanggung jawab perawat bukan diserahkan kepada rohaniawan atau tokoh agama.

2.2.2 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Berkaitan Hubungan dengan Diri Sendiri

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa 22 orang perawat (73,3%) selalu menghargai keyakinan atau kepercayaan klien. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamid (1999) bahwa dalam melaksanakan asuhan keperawatan spiritualitas pada

klien, perawat harus selalu menghargai keyakinan dan kepercayaan klien walaupun perawat dan klien memiliki keyakinan yang berbeda.

Sebanyak 13 orang perawat (43,3%) selalu menjaga privasi klien ketika melakukan tindakan perawatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Potter & Perry (2005) bahwa perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien harus selalu menjaga privasi klien. Namun, sebanyak 6 orang perawat (20%) perawat yang jarang menjaga privasi klien ketika melakukan tindakan keperawatan. Hal ini disebabkan oleh beban kerja perawat ICU yang tergolong beban kerja berat sehingga mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan yang diberikan (Allen, 2000).

Sebanyak 15 orang perawat (50%) selalu memperhatikan dan mendengarkan keluhan klien yang kondisinya tidak koma. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brush & Daly (2000 dalam Young & Koopsen, 2007) menyatakan bahwa perawatan spiritualitas pada pasien melalui komunikasi terapeutik pada pasien dengan memperhatikan dan mendengarkan keluhan pasien dengan teliti terhadap bahasa tubuh dan ekspresi wajah. Namun, sebanyak 4 orang perawat (13,3%) jarang memperhatikan dan mendengarkan keluhan klien. Beban kerja atau tuntutan kerja dari rumah sakit yang sibuk dan kekurangan staf merupakan salah satu penyebab perawat jarang memperhatikan dan mendengarkan keluhan klien yang kondisinya tidak koma.

Sebanyak 18 orang perawat (60%) sering mengkaji hal yang dibutuhkan klien. Menurut Nurachmah (2001) menyatakan bahwa perawat perlu mengenali kebutuhan klien secara komprehensif.

2.2.3 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Berkaitan Hubungan dengan Orang Lain

Dari hasil penelitian 12 orang perawat (40%) sering memberikan sentuhan yang penuh perhatian kepada klien ketika melakukan perawatan. Menurut Dossey et al (2000) & Taylor (2002 dalam Young & Koopsen, 2007) menyatakan bahwa sentuhan yang penuh perhatian merupakan bagian dari implementasi perawatan spiritualitas. Sentuhan merupakan bagian penting dari hubungan antara perawat dan klien. Sentuhan merupakan ungkapan dari rasa cinta, dukungan emosi, kelembutan dan perhatian (Potter & Perry, 2005). Namun, 8 orang perawat (26,7%) jarang memberikan sentuhan yang penuh perhatian kepada klien ketika melakukan perawatan. Menurut Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa perawat sering tidak yakin atau ragu dalam menggunakan sentuhan yang penuh perhatian ketika berinteraksi dengan pasien.

Sebanyak 13 orang perawat (43,3%) sering mendatangkan keluarga atau orang terdekat klien ketika dibutuhkan. Dukungan keluarga atau orang terdekat merupakan hal yang sangat dibutuhkan seseorang ketika sakit. Keluarga atau orang terdekat klien mampu memberi dukungan tertentu yang tidak mampu disediakan oleh orang lain (Young & Koopsen, 2007).

Sebanyak 14 orang perawat (46,7%) selalu memahami perubahan peran yang dialami klien ketika sakit. Menurut Potter & Perry (2005) bahwa perawat berperan dalam member kenyamanan pada pasien, merawat klien sebagai manusia secara holistik bukan sekedar fisiknya saja. Selama melakukan perawatan, perawat dapat melakukan perawatan dengan menganggap klien sebagai individu yang memiliki perasaan dan kebutuhan yang unik.

Sebanyak 13 orang perawat (43,3%) sering berbicara dengan klien ketika melakukan perawatan. Menurut Potter & Perry (2005) bahwa dalam melakukan perawatan, perawat harus menjalin komunikasi terapeutik dengan klien. Komunikasi merupakan salah satu yang mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan.

Sebanyak 15 orang perawat (50%) selalu memberi dukungan kepada klien dalam menghadapi kondisinya. Menurut Young & Koopsen (2007) menyatakan bahwa peran perawat sebagai expressive/mother substitute role yaitu berperan dalam menciptakan lingkungan dimana klien merasa aman, diterima, dilindungi, dirawat dan didukung oleh perawat.

2.2.4 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Berkaitan Hubungan dengan Lingkungan

Dari hasil penelitian 19 orang perawat (63,3%) selalu menjaga kondisi ruang ICU selalu bersih, 18 orang perawat (60%) selalu menjaga kondisi ruang ICU tidak ribut. Menurut Nurachmah (2001) bahwa perawat perlu mengenali kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan dan kondisi penyakit klien. Kondisi lingkungan tersebut yaitu kenyamanan lingkungan, privasi, dan kebersihan. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Dossey, Keegan, & Guzzetta (2001 dalam Young & Koopsen, 2007) bahwa perawat harus menciptakan kondisi lingkungan untuk proses penyembuhan alami pada klien. Kondisi lingkungan tersebut meliputi kebersihan, ketenanganan, dan kehangatan.

2.3 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Oleh Keluarga

Berdasarkan hasil penelitian secara umum bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada pasien yang dirawat di ruang ICU oleh 17 orang keluarga pasien

(66,7%) dalam kategori kurang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Doherty & Campbell (1988 dalam Friedman,1998) bahwa ketika salah satu anggota keluarga menderita suatu penyakit, maka tingkat stress dan konflik keluarga cenderung tinggi sehingga kebutuhan-kebutuhan afektif anggota keluarga yang sakit sering tidak terpenuhi. Hal ini terjadi karena keluarga lebih memfokuskan pada stres yang dihadapinya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Torrance & Seginson (1997) bahwa ketidakpastian diagnosa dan prognosa penyakit pasien menyebabkan tingkat kecemasan keluarga meningkat sehingga keluarga lebih memfokuskan perhatiannya pada ketidakpastian diagnosa dan prognosa penyakit pasien.

Sebanyak 15 orang keluarga pasien (46,9%) dalam kategori baik. Menurut Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa semakin lama seseorang menghadapi stresor maka individu dapat beradaptasi dengan stresor yang dialaminya. Dari hasil penelitian bahwa lama perawatan pasien sebagian besar di atas 3 hari yaitu 17 orang (46,9%). Berdasarkan hasil penelitian pemenuhan kebutuhan spiritualitas yang paling sering dilakukan oleh keluarga pasien yaitu dengan berdoa sebanyak 25 orang (78,2%). Menurut Friedman (1985) dan Pravikoff (1985 dalam Friedman, 1998) menyatakan bahwa berdoa merupakan salah satu cara bagi keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang sakit dan sebagai suatu cara menghadapi stressor yang berhubungan dengan masalah kesehatan.

2.3.1Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Berkaitan Hubungan dengan Tuhan

Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 25 orang keluarga pasien (78,2%) selalu membacakan doa untuk pasien ketika jam kunjungan ke ruangan. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Friedman (1985) dan Pravikoff (1985 dalam Friedman, 1998) menyatakan bahwa berdoa merupakan salah satu cara bagi keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang sakit dan sebagai suatu cara menghadapi stressor yang berhubungan dengan masalah kesehatan. Namun, sebanyak 2 orang keluarga pasien (6,2%) jarang membacakan doa untuk pasien ketika jam kunjungan ke ruangan. Menurut Torrance & Seginson (1997) bahwa ketidakpastian diagnosa dan prognosa penyakit pasien menyebabkan tingkat kecemasan keluarga meningkat sehingga keluarga lebih memfokuskan perhatiannya pada ketidakpastian diagnosa dan prognosa penyakit pasien.

Sebanyak 22 orang keluarga pasien (68,8%) jarang membacakan kitab suci untuk pasien ketika jam kunjungan ke ruangan. Menurut Friedman (1985) dan Pravikoff (1985 dalam Friedman, 1998) menyatakan bahwa berdoa merupakan salah satu cara bagi keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang sakit dan sebagai suatu cara menghadapi stressor yang berhubungan dengan masalah kesehatan. Peneliti berpendapat bahwa jam kunjungan keluarga yang terbatas merupakan salah satu penyebab keluarga jarang membacakan kitab suci pada pasien ketika jam kunjungan ke ruangan.

Sebanyak 17 orang keluarga pasien (53,1%) sering bekerjasama dengan perawat dalam memfasilitasi kebutuhan pemuka agama. Namun, sebanyak 15 orang keluarga pasien (46,9%) jarang bekerjasama dengan perawat dalam memfasilitasi kebutuhan pemuka agama. Menurut Friedman (1985) dan Pravikoff (1985 dalam Friedman, 1998) menyatakan bahwa berdoa merupakan salah satu cara bagi keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang sakit dan sebagai suatu cara menghadapi stressor yang berhubungan dengan masalah kesehatan.

2.3.2 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Berkaitan Hubungan dengan Diri Sendiri

Berdasarkan hasil penelitian bahwa sebanyak 17 orang keluarga pasien (53,1%) jarang meyakinkan pada pasien bahwa kondisi yang dialami saat ini ada hikmahnya dan sebanyak 6 orang keluarga pasien (18,8%) tidak pernah meyakinkan pada pasien bahwa kondisi yang dialami saat ini ada hikmahnya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Cunam (1993 dalam Supartini, 2004) menyatakan bahwa ketika salah satu anggota keluarga sakit, keluarga membutuhkan dukungan dari anggota keluarga yang lain untuk mencegah penumpukan stress pada keluarga sehingga dapat mengembangkan koping postif dalam menghadapi anggota keluarga yang sakit.

Sebanyak 18 orang keluarga pasien (56,3%) jarang menceritakan pengalaman yang menyenangkan bagi pasien. Menurut Doherty & Campbell (1988 dalam Friedman,1998) bahwa ketika salah satu anggota keluarga menderita suatu penyakit, maka tingkat stress dan konflik keluarga cenderung tinggi sehingga kebutuhan-kebutuhan afektif anggota keluarga yang sakit sering tidak terpenuhi. Hal ini terjadi karena keluarga lebih memfokuskan pada stress yang dihadapinya.

Sebanyak 12 orang keluarga pasien (37,5%) sering menanyakan kepada perawat atau dokter mengenai hal yang dibutuhkan pasien. Menurut Handerson & Chien (2004 dalam Sagala, 2007) bahwa stres dan ketidakpastian kondisi serta diagnosa penyakit pasien membuat keluarga menjadi bingung dan selalu bertanya-tanya kepada setiap orang yang dijumpai. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Hunges et al (2000) & Kliber et al (1994) dalam Sagala (2007) bahwa kebutuhan

informasi tentang keluarga yang sakit kritis sampai menunjukan tanda-tanda meningkatnya stabilitas atau sembuh sangat dibutuhkan oleh keluarga. Namun, sebanyak 9 orang keluarga pasien (28,1%) jarang menanyakan kepada perawat atau dokter mengenai hal yang dibutuhkan pasien dan sebanyak 5 orang keluarga pasien (15,6%) tidak pernah menanyakan kepada perawat atau dokter mengenai hal yang dibutuhkan pasien. Sagala (2007) menyatkan bahwa ketidakpastian kondisi dan diagnosa penyakit pasien menyebabkan keluarga pasien lebih banyak pasrah dan menyerahkan segala perawatan pasien kepada dokter dan perawat.

Sebanyak 21 orang keluarga pasien (65,6%) selalu mendukung terapi dan perawatan pasien untuk kesembuhan pasien. Menurut Friedman (1998) menyatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggota keluarga. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Fitra (2004) bahwa keluarga berperan penting memelihara dan meningkatkan kesehatan anggota keluarga serta keberhasilan suatu tindakan pengobatan.

2.3.3 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Berkaitan Hubungan dengan Orang Lain

Berdasarkan penelitian bahwa 19 orang keluarga pasien (59,4%) jarang mendatangkan teman atau orang terdekat pasien untuk menjenguk pasien ketika jam kunjungan ke ruangan dan sebanyak 3 orang keluarga pasien (9,4%) tidak pernah mendatangkan teman atau orang terdekat pasien untuk menjenguk pasien ketika jam kunjungan ke ruangan. Menurut Doherty & Campbell (1988 dalam Friedman,1998) bahwa ketika salah satu anggota keluarga menderita suatu penyakit, maka tingkat stres dan konflik keluarga cenderung tinggi sehingga

kebutuhan-kebutuhan afektif anggota keluarga yang sakit sering tidak terpenuhi. Hal ini terjadi karena keluarga lebih memfokuskan pada stress yang dihadapinya.

Sebanyak 15 orang keluarga pasien (46,9%) tidak pernah mengucapkan kata-kata yang berisikan dukungan dan motivasi untuk pasien ketika jam kunjungan ke ruangan dan sebanyak 11 orang keluarga pasien (34,4%) jarang mengucapkan kata-kata yang berisikan dukungan dan motivasi untuk pasien ketika jam kunjungan ke ruangan. Menurut Kozier (1995) bahwa dukungan serta motivasi dari keluarga dan teman dapat membantu individu dalam menghadapi penyakitnya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Cunam (1993 dalam Supartini, 2004) menyatakan bahwa ketika salah satu anggota keluarga sakit, keluarga membutuhkan dukungan dari anggota keluarga yang lain untuk mencegah penumpukan stress pada keluarga sehingga dapat mengembangkan koping postif dalam menghadapi anggota keluarga yang sakit.

Sebanyak 13 orang keluarga pasien (40,6%) jarang memberikan sentuhan yang penuh perhatian kepada pasien ketika jam kunjungan ke ruangan. Menurut Doherty & Campbell (1988 dalam Friedman,1998) bahwa ketika salah satu anggota keluarga menderita suatu penyakit, maka tingkat stres dan konflik keluarga cenderung tinggi sehingga kebutuhan-kebutuhan afektif anggota keluarga yang sakit sering tidak terpenuhi. Hal ini terjadi karena keluarga lebih memfokuskan pada stress yang dihadapinya.

Sebanyak 18 orang keluarga pasien (56,3%) sering berada di samping pasien ketika jam kunjungan ke ruangan. Menurut Kuntjoro (2002) bahwa keluarga turut mendampingi pasien selama masa perawatan karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain.

Dengan adanya pendampingan dari keluarga, pasien merasa nyaman, tenang dan lebih kuat dalam menerima keadaannya sehingga memberikan dampak yang baik terhadap proses penyembuhan pasien.

Sebanyak 19 orang keluarga pasien (59,4%) sering memahami perubahan peran yang dialami oleh pasien ketika sakit. Menurut Potter & Perry (2005) ketika salah satu anggota keluarga sakit maka keluarga berperan dalam mengambil keputusan, memberi dukungan kepada anggota keluarga yang sakit, dan melakukan koping terhadap perubahan dan tantangan hidup sehari-hari.

2.3.4 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Berkaitan Hubungan dengan Lingkungan

Berdasarkan hasil penelitian bahwa 19 orang keluarga pasien (59,4%) sering menciptakan kondisi lingkungan yang tenang dan tidak menimbulkan keributan ketika menjenguk pasien ke ruangan. Menurut Kaplan et al (1993 dalam Sari, 2003) menyatakan bahwa lingkungan yang nyaman mendukung proses penyembuhan pasien. Faktor lingkungan mempunyai pengaruh sebesar 40% dalam proses penyembuhan.

Sebanyak 18 orang keluarga pasien (56,3%) jarang membantu pasien untuk memperoleh kenyamanan dengan kondisi lingkungan yang dihadapinya. Menurut

Dokumen terkait