• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Pasien ICU

2.3.2 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Oleh Keluarga

1. Karakteristik Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas 1.1 Definisi Spiritualitas

Spiritualitas merupakan aspek kepribadian manusia yang memberi kekuatan dan mempengaruhi individu dalam menjalani hidupnya. Spiritualitas merupakan hakikat dari siapa dan bagaimana manusia hidup di dunia. Spiritualitas amat penting bagi keberadaan manusia. Spiritualitas mencakup aspek non fisik dari keberadaan seorang manusia (Young & Koopsen, 2005).

Menurut Mickley, et al (1992 dalam Hamid, 1999) menyatakan bahwa spiritualitas sebagai suatu multidimensi yang terdiri dari dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan. Sementara itu Stoll (1989 dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995) menyatakan bahwa spiritualitas merupakan suatu konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal merupakan hubungan individu dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal merupakan hubungan seseorang dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Spiritualitas merupakan suatu dimensi yang berhubungan dengan menemukan arti dan tujuan hidup, menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri, mempunyai perasaan yang berkaitan dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Burkhardt, 1993 dalam Hamid, 1999).

Spiritualitas merupakan kekuatan yang menyatukan, memberi makna pada kehidupan dan nilai-nilai individu, persepsi, kepercayaan dan keterikatan di antara individu. Spiritualitas merupakan kebutuhan dasar yang terdiri dari

kebutuhan akan makna, tujuan, cinta, keterikatan, dan pengampunan (Kozier, et al, 1995).

1.2 Karakteristik Spiritualitas

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada individu didasarkan pada kebutuhan spiritualitas individu yang terdiri dari kebutuhan spiritualitas yang berkaitan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan orang lain, dan hubungan dengan lingkungan (Bukhardt 1993 dalam Kozier, Erb, & Blais, 1995).

1.2.1 Hubungan dengan Tuhan

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan dapat dilakukan melalui doa dan ritual agama. Doa dan ritual agama merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari individu dan memberikan ketenangan pada individu (Kozier, et al, 1995). Selain itu, doa dan ritual agama dapat membangkitkan harapan dan rasa percaya diri pada seseorang yang sedang sakit yang dapat meningkatkan imunitas (kekebalan) tubuh sehingga mempercepat proses penyembuhan (Hawari, 2002).

1.2.2 Hubungan dengan diri sendiri

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas bersumber dari kekuatan diri individu dalam mengatasi berbagai masalah. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas berkaitan dengan hubungan individu dengan diri sendiri melalui kekuatan diri seseorang yang meliputi kepercayaan, harapan, dan makna kehidupan (Kozier, et al, 1995).

1. Kepercayaan

Kepercayaan merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak dapat dibuktikan dengan pikiran logis. Kepercayaan memberikan kekuatan pada individu dalam menjalani kehidupan ketika individu mengalami kesulitan atau penyakit (Taylor, Lilis, & Le Mone, 1997; Kozier, et al, 1995).

2. Harapan

Harapan merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan dengan orang lain dan Tuhan yang didasarkan pada kepercayaan. Harapan berperan penting dalam mempertahankan hidup ketika individu sakit (Kozier, et al, 1995).

3. Makna Kehidupan

Makna kehidupan merupakan suatu hal yang berarti bagi kehidupan individu ketika individu memiliki perasaan dekat dengan Tuhan, orang lain, dan lingkungan. Individu merasakan kehidupan sebagai sesuatu yang membuat hidup lebih terarah, memiliki masa depan, dan merasakan kasih sayang dari orang lain (Puchalski, 2004; Kozier, et al, 1995).

1.2.3 Hubungan dengan orang lain

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dengan menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain. Pemenuhan spiritualitas tersebut meliputi cinta kasih dan dukungan sosial. Cinta kasih dan dukungan sosial merupakan keinginan individu untuk menjalin hubungan positif antar manusia melalui keyakinan dan cinta kasih. Keluarga dan teman dapat memberikan bantuan dan dukungan emosional untuk membantu individu dalam menghadapi penyakitnya (Hart, 2002; Kozier, et al 1995).

1.2.4 Hubungan dengan lingkungan

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas meliputi hubungan individu dengan lingkungan. Pemenuhan spiritualitas tersebut melalui kedamaian dan lingkungan atau suasana yang tenang. Kedamaian merupakan keadilan, empati, dan kesatuan. Kedamaian membuat individu menjadi tenang dan dapat meningkatkan status kesehatan (Kozier, et al, 1995).

1.3 Fungsi Spiritualitas

Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup pada individu. Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi individu. Pada saat stres individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti. Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas dan merupakan suatu perlindungan bagi individu (Taylor, et al, 1997).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haris (1999 dalam Hawari, 2005) pada pasien penyakit jantung yang dirawat di unit perawatan intensif yang diberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas hanya membutuhkan sebesar 11% untuk pengobatan lebih lanjut. Menurut American Psychological Association (1992 dalam Hawari, 2005) bahwa spiritualitas dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan jika seseorang sedang sakit dan mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Abernethy (2000 dalam Hawari, 2005)

bahwa spiritualitas dapat meningkatkan imunitas yaitu kadar interleukin-6 (IL-6) seseorang terhadap penyakit sehingga dapat mempercepat penyembuhan bersamaan dengan terapi medis yang diberikan.

Menurut Benson, efek spiritualitas terhadap kesehatan sekitar 70-90 persen dari keseluruhan efek pengobatan Hal ini menunjukan bahwa pasien yang berdasarkan perkiraan medis memiliki harapan sembuh 30 persen atau bahkan 10 persen ternyata bisa sembuh total. Dalam hal ini bahwa spiritualitas berperan penting dalam penyembuhan pasien dari penyakit (Young & Koospen, 2005). Selain itu, spiritualitas dapat meningkatkan imunitas, kesejahteraan, dan kemampuan mengatasi peristiwa yang sulit dalam kehidupan (Koenig, et al, 1997 dalam Young & Kooospen, 2005).

Pada individu yang menderita suatu penyakit, spiritualitas merupakan sumber koping bagi individu. Spiritualitas membuat individu memiliki keyakinan dan harapan terhadap kesembuhan penyakitnya, mampu menerima kondisinya, sumber kekuatan, dan dapat membuat hidup individu menjadi lebih berarti (Pulchaski, 2004).

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dapat membuat individu menerima kondisinya ketika sakit dan memiliki pandangan hidup positif (Young, 1993 dalam Young & Koospen, 2005). Menurut Young & Koopsen (2005) bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas dapat membantu individu dalam menerima keterbatasan kondisi mereka. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas memberi kekuatan pikiran dan tindakan pada individu. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas memberikan semangat pada individu dalam menjalani kehidupan dan menjalani hubungan dengan Tuhan, orang lain, dan lingkungan. Dengan terpenuhinya

spiritualitas, individu menemukan tujuan, makna, kekuatan, dan bimbingan dalam perjalanan hidup.

1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

Menurut Taylor, et al (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang yaitu

1.4.1 Perkembangan

Setiap individu memiliki bentuk pemenuhan spiritualitas yang berbeda-beda sesuai dengan usia, jenis kelamin, agama, dan kepribadian individu. Spiritualitas merupakan bagian dari kehidupan manusia dan berhubungan dengan proses perubahan dan perkembangan pada manusia. Semakin bertambah usia, individu akan memeriksa dan membenarkan keyakinan spiritualitasnya (Taylor, et al, 1997). Menurut Westerhoff’s (1976 dalam Kozier, et al, 1995), perkembangan spiritualitas berdasarkan usia terdiri dari yaitu :

1. Pada masa anak-anak, spiritualitas pada masa ini belum bermakna pada dirinya. Spiritualitas didasarkan pada perilaku yang didapat yaitu melalui interaksi dengan orang lain seperti keluarga. Pada masa ini, anak-anak belum mempunyai pemahaman salah atau benar. Kepercayaan atau keyakinan mengikuti ritual atau meniru orang lain.

2. Pada masa remaja, spiritualitas pada masa ini sudah mulai pada keinginan akan pencapaian kebutuhan spiritualitas seperti keinginan melalui berdoa kepada penciptaNya, yang berarti sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui keyakinan atau kepercayaan. Bila pemenuhan kebutuhan spiritualitas tidak terpenuhi, akan menimbulkan kekecewaan.

3. Pada masa dewasa awal, spiritualitas pada masa ini adanya pencarian kepercayaan diri, diawali dengan proses pernyataan akan keyakinan atau kepercayaan yang dikaitkan secara kognitif sebagai bentuk yang tepat untuk mempercayainya. Pada masa ini, pemikiran sudah bersifat rasional. Segala pertanyaan tentang kepercayaan harus dapat dijawab dan timbul perasaan akan penghargaan terhadap kepercayaan.

4. Pada masa dewasa pertengahan dan lansia, spiritualitas pada masa ini yaitu semakin kuatnya kepercayaan diri yang dipertahankan walaupun menghadapi perbedaan keyakinan yang lain dan lebih mengerti akan kepercayaan dirinya. Perkembangan spiritualitas pada tahap ini lebih matang sehingga membuat individu mampu untuk mengatasi masalah dan menghadapi kenyataan. 1.4.2 Budaya

Setiap budaya memiliki bentuk pemenuhan spiritualitas yang berbeda-beda. Budaya dan spiritualitas menjadi dasar seseorang dalam melakukan sesuatu dan menjalani cobaan atau masalah dalam hidup dengan seimbang (Taylor, et al, 1997).

Pada umumnya seseorang akan mengikuti budaya dan spiritualitas yang dianut oleh keluarga. Individu belajar tentang nilai moral serta spiritualitas dari hubungan keluarga. Apapun tradisi dan sistem kepercayaan yang dianut individu, pengalaman spiritualitas merupakan hal yang unik bagi setiap individu (Hamid, 1999).

1.4.3 Keluarga

Keluarga sangat berperan dalam perkembangan spiritualitas individu. Keluarga merupakan tempat pertama kali individu memperoleh pengalaman dan

pandangan hidup. Dari keluarga, individu belajar tentang Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri. Keluarga memiliki peran yang penting dalam memenuhi kebutuhan sipitualitas karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dengan individu (Hidayat, 2006; Taylor, et al, 1997).

1.4.4 Agama

Agama sangat mempengaruhi spiritualitas individu. Agama merupakan suatu sistem keyakinan dan ibadah yang dipraktikkan individu dalam pemenuhan spiritualitas individu. Agama merupakan cara dalam pemeliharaan hidup terhadap segala aspek kehidupan. Agama berperan sebagai sumber kekuatan dan kesejahteraan pada individu (Potter & Perry, 2005).

1.4.5 Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup mempengaruhi seseorang dalam mengartikan secara spiritual terhadap kejadian yang dialaminya. Pengalaman hidup yang menyenangkan dapat menyebabkan seseorang bersyukur atau tidak bersyukur. Sebagian besar individu bersyukur terhadap pengalaman hidup yang menyenangkan (Taylor, et al, 1997).

1.4.6 Krisis dan Perubahan

Krisis dan perubahan dapat menguatkan spiritualitas pada seseorang. Krisis sering dialami seseorang ketika mengahadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dialami seseorang merupakan pengalaman spiritualitas yang bersifat fisikal dan emosional (Craven & Hirnle, 1996).

1.4.7 Isu Moral Terkait dengan Terapi

Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya walaupun ada agama yang menolak intervensi pengobatan. Prosedur medik seringkali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama, misalnya sirkumsisi, transplantasi organ, pencegahan kehamilan, sterilisasi. Konflik antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh klien dan tenaga kesehatan (Taylor, et al, 1997).

1.4.8 Asuhan Keperawatan yang Kurang Sesuai

Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritualitas klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat menghindar untuk memberikan asuhan keperawatan spiritualitas. Hal tersebut terjadi karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritualitas, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritualitas dalam keperawatan atau merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas klien bukan merupakan tugasnya tetapi tanggung jawab pemuka agama (Taylor, et al, 1997).

Asuhan keperawatan untuk kebutuhan spiritualitas mengalir dari sumber spiritualitas perawat. Perawat tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritualitas tanpa terlebih dahulu memenuhi kebutuhan spiritualitas mereka sendiri. Perawat yang bekerja digaris terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia termasuk juga kebutuhan spiritualitas klien. Berbagai cara perawat untuk memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritualitas sampai dengan menfasilitasi untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya (Widyatuti, 1999).

2. Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Pasien ICU 2.1 Pasien ICU

Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien yang sakit gawat bahkan dalam keadaan terminal yang sepenuhnya tergantung pada orang yang merawatnya dan memerlukan perawatan secara intensif. Pasien ICU yaitu pasien yang kondisinya kritis sehingga memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi, berkelanjutan, dan memerlukan pemantauan secara terus menerus (Hanafie, 2007; Rabb, 1998).

Pasien ICU tidak hanya memerlukan perawatan dari segi fisik tetapi memerlukan perawatan secara holistik. Kondisi pasien yang dirawat di ICU (Hanafie, 2007; Rabb, 1998) yaitu (1 ) Pasien sakit berat, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara terus menerus, seperti pasien dengan gagal napas berat, pasien pasca bedah jantung terbuka, dan syok septik (2) Pasien yang memerlukan bantuan pemantauan intensif sehingga komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi seperti pasien pasca bedah besar dan luas, pasien dengan penyakit jantung, paru, dan ginjal (3) Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasi-komplikasi dari penyakitnya seperti pasien dengan tumor ganas dengan komplikasi infeksi dan penyakit jantung.

Dari pemaparan di atas bahwa kondisi pasien ICU yang mengalami masalah fisik seperti demikian akan mempengaruhi kondisi psikis, sosial, dan spiritualitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hupcey (2000) bahwa pasien 45 pasien ICU yang dirawat selama tiga hari di ICU mengalami distress spiritual. Distress spiritualitas merupakan suatu keadaan ketika pasien mengalami gangguan dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan,

harapan dan arti kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan spiritual, mengungkapkan adanya keraguan dalam sistem kepercayaan, adanya keraguan yang berlebihan dalam mengartikan hidup, mengungkapkan perhatian yang lebih pada kematian, menolak kegiatan ritual dan terdapat tanda-tanda seperti menangis, menarik diri, cemas dan marah, kemudian didukung dengan tanda-tanda fisik seperti nafsu makan terganggu, kesulitan tidur dan tekanan darah meningkat (Hidayat, 2006).

2.2 Kebutuhan Spiritualitas Pasien ICU

Kebutuhan spiritualitas adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Menurut Hamid (1999) bahwa kebutuhan spiritual yaitu kebutuhan akan arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan berhubungan serta kebutuhan mendapatkan pengampunan.

Ketika penyakit menyerang seseorang, kekuatan spiritualitas sangat berperan penting dalam proses penyembuhan. Selama sakit, individu menjadi kurang mampu untuk merawat diri mereka dan lebih bergantung pada orang lain. Individu yang menderita suatu penyakit mengalami distress spiritualitas. Distress spiritualitas menyebabkan individu mencari tahu sesuatu yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan individu merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain (Potter & Perry, 2005).

Pasien yang dirawat di ICU bukan hanya mengalami masalah fisik, psikis dan sosial, tetapi mengalami masalah pada spiritualitas sehingga pasien

kehilangan hubungan dengan Tuhan dan hidup tidak berarti. Perasaan-perasaan tersebut menyebabkan seseorang menjadi stres dan depresi berat menurunkan kekebalan tubuh dan akan memperberat kondisinya (Young & Koopsen, 2005). Pada pasien yang dirawat di ruang ICU memiliki kebutuhan spiritualitas berupa doa dari keluarga, teman, dan sahabat. Selain itu, pasien membutuhkan kehadiran orang yang dicintai dan kehadiran orang-orang yang merawat pasien. Kehadiran orang tersebut dapat memberikan dukungan, merasakan apa yang dirasakan, selalu berada disamping pasien, dan merawat pasien dengan tulus (Zerwekh, 1997 dalam Young & Koopsen, 2005). Hal ini juga didukung oleh O’ Brien (1999) bahwa kebutuhan spiritualitas pasien yang dirawat di ruang ICU yaitu menginginkan adanya dukungan dari keluarga, ketenangan dari gangguan suara di ruangan, berinteraksi dengan orang-orang yang dibutuhkannya, dan dapat melaksanakan praktik keagamaan seperti beribadah dan berdoa.

2.3 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Pasien ICU 2.3.1 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Oleh Perawat

Perawat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan. Perawat membantu pasien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Proses penyembuhan bukan hanya sembuh dari penyakit tertentu. Asuhan keperawatan yang diberikan tidak hanya berfokus pada perawatan fisik, tetapi perawatan secara holistik.

Perawat merupakan orang yang selalu berinteraksi dengan pasien selama 24 jam. Perawat sangat berperan dalam membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas pasien seperti mendatangkan pemuka agama sesuai dengan agama

yang diyakini pasien, memberikan privacy untuk berdoa, memberi kesempatan pada pasien untuk berinteraksi dengan orang lain (keluarga atau teman) (Young & Koopsen, 20005; Hamid, 1999). Selain itu, perawat dapat memberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas kepada pasien yaitu dengan memberikan dukungan emosional, membantu dan mengajarkan doa, memotivasi dan mengingatkan waktu ibadah sholat, mengajarkan relaksasi dengan berzikir ketika sedang kesakitan, berdiri di dekat klien, memberikan sentuhan selama perawatan (Potter & Perry, 2005).

2.3.2 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Oleh Keluarga

Menurut Duval (1972 dalam Setiadi, 2008) bahwa keluarga merupakan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual dari setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan orang terdekat dari individu ketika sakit. Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, ikut merawat anggota keluarga yang sakit, dan memodifikasi lingkungan (Friedman, 1998).

Keluarga mempunyai fungsi-fungsi yang terdiri dari fungsi keagamaan, fungsi budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi ekonomi, dan fungsi pelestarian lingkungan (Setiadi, 2008). Keluarga berperan dalam memberikan kasih sayang kepada anggota keluarga, memberikan kenyamanan pada anggota keluarga baik secara fisik maupun psikis, dan membina praktik keagamaan dalam kehidupan sehari-hari (Friedman, 1998).

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada pasien yang dirawat di ruang ICU dapat dilakukan oleh keluarga. Keluarga sangat berperan dalam perkembangan

spiritualitas individu. Keluarga merupakan tempat pertama kali individu memperoleh pengalaman dan pandangan hidup. Dari keluarga, individu belajar tentang Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri (Taylor, et al, 1997). Keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien dalam memberikan dukungan dan keyakinan pada mereka. Menurut Davis (2007) menyatakan bahwa keluarga beperan dalam perawatan pasien ICU khususnya pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada pasien yang mempengaruhi penyembuhan pasien. Keluarga dapat memberikan dukungan spiritual pada anggota keluarganya yang sakit dengan bantuan doa, ritual agama, menghiburnya, merasakan penderitaan yang dialami oleh anggota keluarga yang sakit. Keluarga dapat memberikan dukungan spiritual tertentu yang tidak dapat diberikan oleh orang lain (Taylor, 2002 dalam Young & Koopsen, 2005).

Dokumen terkait