BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.3. Pembahasan
Dari hasil penelitian di dapat bahwa jumlah pasien yang menderita SKA lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan, yaitu sebesar 158 orang pasien laki-laki (81,4%) dan 36 orang pasien perempuan (18,6%) . Hal ini sejalan dengan penelitian Abidin (2012) yaitu dari 132 pasien yang menjadi responden didapati 99 orang laki-laki yang menderita penyakit kardiovaskuler (75%). Sedangkan pada perempuan sebanyak 33 orang (25%). Pada penelitian Jamal (2004) yaitu dari 3.325 pasien ditemukan angka kematian akibat penyakit system sirkulasi pada laki-laki 496 orang pasien (14,9%). Dari penelitian Sulviana (2008) dari 31 orang sample, 19 orang (61,3%) diantaranya berjenis kelamin laki-laki. Berarti terdapat perbedaan bermakna dari kejadian penyakit atau kematian diakibatkan penyakit kardiovaskuler pada laki-laki .
Hal ini sejalan dengan pernyataan Patel (1994) bahwa pria <50 thn memiliki resiko 3-5x lebih besar terkena atau meninggal akibat penyakit kardiovaskuler dibandingkan wanita. Mungkin dikarenakan laki-laki lebih banyak memiliki factor resiko, misalnya pravalensi merokok pada laki-laki hampir 10x lebih banyak dari perempuan ( Darmojo et al, 1994).
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa penderita sindrom koroner akut terbanyak pada umur antara 40-60 tahun yaitu sebanyak 130 kasus (67%). Masih sejalan dengan penelitian Abidin (2012) yang menyatakan bahwa dari 132 responden, sebagian besar kejadian penyakit kardiovaskuler terjadi pada usia 40-60 tahun yaitu sebanyak 87 kasus (65,9%). Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya paparan terhadap faktor-faktor aterogenik (Santoso dan Stiawan, 2005).SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit tersebut (William et al, 2007).
Dapat dilihat juga pada penelitian bahwa mayoritas kejadian pada SKA ditemukan pada kategori STEMI yaitu sebanyak 114 orang pasien (58,9%) dan minoritas kejadian ditemukan pada kategori APTS yaitu sebanyak 39 orang pasien (20,1%). Hal ini menunjukkan bahwa SKA yang terbanyak adalah STEMI,
yaitu sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan NSTEMI dan APTS. Sejalan dengan penelitian Sibarani (2012) bahwa jenis infark miokard akut (SKA) yang paling banyak diderita adalah STEMI, yaitu empat kali lebih banyak dibandingkan NSTEMI. Asumsi penulis, penderita SKA datang berobat ke Rumah Sakit setelah kondisi lanjut atau gejala lebih berat yang biasa terjadi pada STEMI.
Dari hasil yang diperoleh, didapati hasil analisis Spearman Correlation
yang dilakukan, pada kadar kolesterol total baik normal dan mengkhawatirkan sampai tinggi terhadap SKA diperoleh hasil tidak signifikan (p >0,05), yang berarti bahwa pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol total dengan kejadian SKA. Tidak sesuai dengan Anwar (2004) yaitu kadar kolesterol total darah yang sebaiknya adalah <200 mg/dl, bila >200 mg/dl berarti resiko meningkat.
Hasil analisis Spearman Correlation pada kadar kolesterol trigliserida normal dan ambang tinggi sampai tinggi diperoleh hasil tidak signifikan ( p > 0,05). Dalam artian bahwa pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol trigliserida dengan kejadian SKA. Menurut Anwar (2004) dimana kadar trigliserida yang tinggi merupakan faktor resiko, namun kadar trigliserida perlu diperiksa pada keadaan ditemukannya kolesterol total >200 mg/dl dan ditambahi oleh faktor-faktor resiko lainnya.
Hasil analisis Spearman Correlation pada kadar kolesterol HDL rendah dan menghawatirkan diperoleh hasil signifikan p = 0,045 (p < 0,05); sedangkan kadar kolesterol HDL Tinggi diperoleh hasil tidak signifikan p = 0.543 ( p > 0,05). Dalam artian bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol HDL menghawatirkan dan rendah dengan kejadian SKA sedangkan kadar kolesterol HDL Tinggi tidak ada hubungan dengan kejadian SKA. Sesuai dengan Wardani (2011) makin rendah kadar HDL kolesterol, makin besar resiko terjadinya SKA.
Hasil analisis Spearman Correlation pada kadar kolesterol LDL optimal-sub optimal dan LDL mengkhawatirkan - sangat tinggi dengan SKA diperoleh hasil tidak signifikan (p > 0,05). Tidak sesuai dengan Anwar (2004) Kadar LDL
kolesterol > 130 mg/dl akan meningkatkan resiko SKA, karena kadar LDL kolesterol yang meninggi akan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah. Juga terdapat hubungan yang terbalik antara kadar HDL dengan penyakit jantung koroner sehingga ratio kolesterol LDL : HDL merupakan parameter prediktif yang penting (Botham,2009).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Herawati (2008) yang mengatakan bahwa lebih banyak orang menderita penyakit jantung disebabkan oleh kadar HDL nya yang rendah dan bukan karena kadar LDL nya yang tinggi. Dalam penelitiannya diperoleh hasil bahwa dari 20 pasien yang menjadi responden dalam penelitian tersebut, 60% pasien memiliki kadar trigliserida lebih dari normal (>150 mg/dL), 75% pasien memiliki kadar kolesterol HDL kurang dari normal (<40 mg/ dL), dan 70% pasien memiliki kadar kolesterol LDL lebih tinggi dari normal (>130 mg/dL). Dari penelitian Sulviana (2008) dari 31 orang sample lebih dari separuh contoh memiliki kadar trigliserida baik (61,3 % ), lebih dari separuh contoh (74,2%) memiliki kadar kolesterol total dan kadar HDL yang rendah, dan sebanyak 29% dari contoh memiliki kadar LDL pada kategori mendekati optimal dan sedang.
Dari data diatas ternyata lebih banyak orang menderita penyakit kardiovaskuler khususnya SKA disebabkan karena kolesterol HDL yang rendah dan bukan karena LDLnya yang tinggi. Kadar kolesterol HDL yang rendah menunjukkan gambaran plak-plak yang menempel pada dinding pembuluh darah sulit dibersihkan. Namun tingginya kadar LDL yang meningkat dapat menimbulkan plak di dalam darah, sehingga dinding pembuluh darah koroner mengalami penebalan. Hasil kadar kolesterol total, trigliserida, dan LDL dalam batas normal mungkin disebabkan karena penderita sudah terapi dan berobat secara berkala (Herawati, 2008).
Kolesterol, lemak dan substansi lainnya dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lubang dari pembuluh darah tersebut menyempit, proses ini disebut aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran darah pada pembuluh darah koroner yang fungsinya memberi oksigen (O2)
ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya O2 ini akan menyebabkan fungsi otot jantung menjadi berkurang. Kurangnya O2 ini akan menyebabkan otot jantung menjadi lemah, sakit dada, serangan jantung bahkan kematian (Anwar, 2001)