• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Penelitian ini menghasilkan dua temuan. Temuan pertama peneliti melakukan penerapan metode sosiodrama pada siklus I. Aksi pada siklus I ini rupanya dapat meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa meskipun

71

peningkatan tersebut belum signifikan karena belum sesuai dengan kriteria keberhasilan tindakan. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil tes pada siklus I. Pada siklus I, jumlah siswa yang tuntas belajar adalah 4 siswa (33,33%), sedangkan jumlah siswa yang tidak tuntas belajar adalah 8 siswa (66,67%).

Penerapan metode sosiodrama pada siklus I dimulai dengan pembagian kelompok yang dilakukan oleh guru. Guru membagi kelompok berdasarkan letak tempat duduk dengan mengabaikan keragaman kemampuan individu siswa. Hal ini menyebabkan kelompok yang anggotanya terdiri atas siswa berkemampuan tinggi mendominasi proses pembelajaran. Dan kelompok lain menjadi kurang aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini selaras dengan pendapat Wina Sanjaya (2013) bahwa kelompok yang dibentuk tanpa memperhatikan kemampuan individu dapat menyebabkan terhambatnya siswa yang memiliki kemampuan tinggi oleh siswa yang mempunyai kemampuan kurang dan sebaliknya siswa yang berkemampuan kurang akan tergusur oleh siswa berkemampuan tinggi. Selain itu pengelompokkan yang dilakukan oleh guru, tidak sesuai dengan pendapat Syaiful Bahri Djamarah (2005: 73) yang mengungkapkan bahwa pola pengelompokkan sebaiknya mempertimbangkan perbedaan individual anak. Pertimbangan itu bisa atas dasar perbedaan biologis, intelektual, ataupun psikologis.

Langkah berikutnya guru memilih kelompok yang akan menjadi kelompok pemeran drama dengan cara mengundi. Penentuan kelompok dengan cara mengundi tidak sesuai dengan pendapat Syaiful Sagala (2010)

72

serta Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006) yang menyatakan bahwa guru memilih kelompok yang dapat atau bersedia untuk menjadi kelompok pemeran. Guru mengambil inisiatif aksi mengundi karena kelompok yang ditunjuk oleh guru tidak bersedia menjadi pemeran drama karena siswa belum memiliki rasa percaya diri dan motivasi dalam belajar. Bahkan dengan adanya kesempatan yang diberikan oleh guru untuk menjadi pemeran drama, tidak ada satu pun kelompok yang termotivasi. Pada langkah-langkah selanjutnya, siswa masih terlihat belum percaya diri dan kurang termotivasi, baik dalam bermain sosiodrama maupun dalam berdiskusi sehingga pembelajaran kurang efektif. Hal demikian terjadi karena guru kurang dalam memberikan dorongan dan motivasi kepada siswa. Hal ini senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh Wina Sanjaya (2013) bahwa dalam pembelajaran sering terjadi siswa yang tidak berhasil dalam pembelajaran bukan disebabkan karena kemampuannya yang kurang, tetapi dikarenakan kurangnya motivasi untuk belajar sehingga siswa tidak berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya.

Langkah selanjutnya yaitu guru membimbing kelompok pengamat untuk mempersiapkan tata panggung bersamaan dengan kelompok pemeran yang sedang melakukan latihan. Aktivitas mempersiapkan tata panggung yang dilakukan oleh kelompok pengamat dengan mengubah letak tempat duduk menyerupai huruf U, ternyata menimbulkan gangguan bagi kelompok pemeran drama dalam mempelajari dan menghafal naskah sosiodrama. Hal ini juga disebutkan oleh Syaiful Sagala (2010) sebagai salah satu kekurangan

73

metode pembelajaran sosiodrama yaitu sering kali siswa maupun kelas lain terganggu oleh suara pemeran dan kelompok pengamat yang kadang-kadang bertepuk tangan, termasuk suara yang ditimbulkan ketika mempersiapkan tata panggung.

Langkah berikutnya, pada akhir pembelajaran guru melakukan evaluasi dengan melaksanakan tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa. Namun, pada langkah ini guru tidak menginformasikan secara rinci tentang bentuk dan teknik tes yang akan dilakukan. Hal ini menyebabkan ketidaktahuan siswa akan hal-hal yang menjadi dasar penilaian sehingga hasil tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa yang diperoleh oleh siswa pun belum sesuai dengan kriteria keberhasilan tindakan. Langkah ini tidak sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2001) bahwa guru harus menginformasikan kepada siswa tentang bentuk dan teknik tes yang dilakukan sehingga siswa dapat melakukan persiapan dengan sebaik mungkin.

Melalui penerapan metode sosiodrama pada siklus I dengan membagi kelompok berdasarkan letak tempat duduk, menentukan kelompok pemeran dengan cara mengundi dan mempersiapkan tata panggung yang dilakukan oleh kelompok pengamat bersamaan dengan latihan yang dilakukan oleh kelompok pemeran dan melakukan penilaian tanpa menginformasikan secara rinci tentang bentuk dan teknik tes yang akan dilakukan, meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa sekalipun peningkatan tersebut belum signifikan. Temuan ini sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Hesti Ratna Sari (2013) yang menyatakan bahwa pembagian kelompok

74

berdasarkan letak tempat duduk, kurangnya pemberian motivasi, aktivitas latihan kelompok pemeran yang tidak maksimal, dan tidak adanya penjelasan terhadap bobot nilai dan aspek dalam penilaian, meningkatkan keterampilan bercerita pada siklus I meskipun peningkatan tersebut belum signifikan.

Temuan kedua peneliti melakukan penerapan metode sosiodrama pada siklus II. Aksi yang dilakukan pada siklus II ternyata dapat meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa secara signifikan karena sudah sesuai dengan kriteria keberhasilan tindakan. Peningkatan terjadi pada jumlah siswa yang mencapai KKM. Jumlah siswa yang mencapai KKM mengalami peningkatan dari 4 siswa (33,33%) pada siklus I menjadi 9 siswa (75%) pada siklus II atau meningkat sebesar 41,67%.

Penerapan metode sosiodrama pada siklus II dimulai dengan pembagian kelompok yang dilakukan oleh guru. Dalam pembagian kelompok, guru membagi siswa secara heterogen berdasarkan prestasi belajar siswa yang dilihat dari hasil tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa pada siklus I. Hal ini bertujuan agar siswa yang memiliki kemampuan lebih tinggi tidak mendominasi proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2008) bahwa dalam pembagian kelompok, siswa yang mempunyai kemampuan rendah harus disatukan dengan siswa yang memiliki kemampuan tinggi. Langkah ini juga disebutkan sebagai cara untuk membangkitkan motivasi belajar siswa. Serupa dengan pendapat di atas, Robert E. Slavin (2009) juga mengungkapkan bahwa pembagian kelompok secara heterogen selain dimaksudkan untuk memahami

75

konsep yang sulit tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kerja sama serta keikutsertaan siswa dalam proses pembelajaran.

Langkah selanjutnya guru menetapkan kelompok pemeran berdasarkan inisiatif siswa untuk menjadi kelompok pemeran. Hal ini selaras dengan pendapat Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006) yang menyatakan bahwa guru memilih kelompok pemeran yang dapat atau bersedia untuk menjadi kelompok pemeran. Pada siklus II siswa menjadi lebih percaya diri untuk menjadi kelompok pemeran, mengungkapkan pendapat ketika berdiskusi serta menentukan masalah yang akan didramakan. Hal ini terjadi karena guru lebih banyak memberikan penguatan verbal berupa kata-kata pujian, sehingga mendorong siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Wina Sanjaya (2009) bahwa penguatan diberikan sebagai bentuk ganjaran kepada siswa sehingga siswa akan berbesar hati dan meningkatkan partisipasinya dalam proses pembelajaran. Hal senada juga diungkapkan oleh Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2008) bahwa pujian secara lisan yang diberikan guru dapat memotivasi siswa dalam belajar. Pujian secara wajar dapat diberikan kepada siswa ketika menjawab sesuatu dengan benar, mengajukan pertanyaan atau mencapai prestasi yang baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adanya penguatan yang diberikan oleh guru menjadikan siswa lebih termovitasi dalam belajar.

Langkah berikutnya guru berusaha untuk menciptakan dan memelihara kondisi kelas yang optimal untuk mengatasi kegaduhan yang timbul saat siswa mempersiapkan tata panggung sehingga guru mengambil inisatif untuk

76

mempersiapkan tata panggung sebelum proses pembelajaran. Langkah yang dilakukan oleh guru dengan mempersiapkan tata panggung sebelum proses pembelajaran selaras dengan pendapat Syaiful Sagala (2010) bahwa guru harus berusaha untuk mengatasi kelemahan yang terjadi dalam pelaksanaan metode sosiodrama agar pelaksanaan metode sosiodrama dapat berjalan dengan baik.

Langkah selanjutnya guru menjelaskan tentang enam aspek yang menjadi dasar penilaian keterampilan bercerita Bahasa Jawa, skor setiap aspek, serta KKM yang harus dicapai siswa, sehingga siswa dapat menentukan hal-hal apa saja yang perlu ditonjolkan dalam bercerita. Selain itu siswa juga lebih termotivasi untuk mendapatkan nilai sesuai KKM yang ditentukan. Aksi ini sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2001) bahwa guru harus menginformasikan kepada siswa tentang bentuk dan teknik tes yang dilakukan sehingga siswa dapat melakukan persiapan dengan sebaik mungkin.

Penerapan metode sosiodrama dalam pembelajaran Bahasa Jawa pada siklus II meningkatan keterampilan bercerita Bahasa Jawa siswa kelas IV SD Muhammadiyah secara signifikan. Peningkatan yang terjadi pada siklus II disebabkan oleh penerapan metode sosiodrama yang lebih efektif. Keefektifan terjadi sebab guru membentuk kelompok sosiodrama berdasarkan prestasi belajar siswa yang dilihat dari hasil tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa pada siklus I. Selain itu penguatan yang diberikan oleh guru berupa kata-kata pujian membuat siswa lebih berani dan percaya diri baik dalam bertanya,

77

mengungkapkan pendapat, bermain drama serta dalam bercerita. Kegiatan pembelajaran juga dapat berjalan efektif karena guru mengarahkan siswa secara bersama-sama untuk mempersiapkan tata panggung sebelum jam pelajaran dimulai. Guru juga menjelaskan enam aspek dalam penilaian keterampilan bercerita, serta bobot dari setiap aspek sehingga siswa dapat mengetahui hal apa saja yang harus siswa tonjolkan saat bercerita. Peningkatan yang terjadi pada siklus II ini menunjukkan bahwa metode sosiodrama dapat meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan.

Dokumen terkait