• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERCERITA BAHASA JAWA DENGAN METODE SOSIODRAMA KELAS IV SD MUHAMMADIYAH NGLTIHAN KULON PROGO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERCERITA BAHASA JAWA DENGAN METODE SOSIODRAMA KELAS IV SD MUHAMMADIYAH NGLTIHAN KULON PROGO."

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERCERITA BAHASA JAWA DENGAN METODE SOSIODRAMA KELAS IV SD MUHAMMADIYAH

NGLATIHAN KULON PROGO

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Reni Varistin NIM 10108241055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

Ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana, ajining awak saka tumindak.

(Harga diri seseorang ditentukan oleh tutur katanya, penampilan seseorang ditentukan dari cara berpakaiannya, harga

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku (Bapak Nyaman dan Ibu Suwarsih) terima kasih untuk seluruh doa, dukungan, dan kasih sayang yang telah tercurah untukku.

(7)

vii

MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERCERITA BAHASA JAWA DENGAN METODE SOSIODRAMA KELAS IV SD MUHAMMADIYAH

NGLTIHAN KULON PROGO

Oleh Reni Varistin NIM 10108241055

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan bercerita bahasa Jawa menggunakan metode sosiodrama siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo.

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) tipe kolaboratif. Penelitian ini dilaksanakan di SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo dengan subjek penelitian seluruh siswa kelas IV yang berjumlah 12 siswa, terdiri atas 4 siswa laki-laki dan 8 siswa perempuan. Peneliti ini menggunakan desain penelitian tindakan yang dikembangkan oleh Hopkins dengan model spiral. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus tindakan. Setiap siklus terdiri atas tiga kali pertemuan. Pada setiap siklus terdapat kegiatan perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah tes, observasi dan video. Sebelum digunakan dalam penelitian, tes divalidasi menggunakan validasi isi. Sementara teknik analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode sosiodrama dengan memperhatikan keragaman kemampuan individu, memberikan penguatan, mempersiapkan tata panggung sebelum jam pelajaran serta menjelaskan aspek dalam penilaian keterampilan bercerita bahasa Jawa dapat meningkatkan keterampilan bercerita bahasa Jawa siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo. Peningkatan terlihat dari persentase jumlah siswa yang nilainya mencapai KKM (72). Sebelum dilakukan tindakan, persentase jumlah siswa yang mencapai KKM masih rendah yaitu 16,67%. Setelah dilakukan tindakan siklus I, persentase jumlah siswa yang mencapai KKM meningkat menjadi 33,33%. Pada akhir siklus II, persentase jumlah siswa yang mencapai KKM semakin meningkat menjadi 75%.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan seluruh alam, atas limpahan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan sahabatnya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pendidikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tersusun atas bimbingan, bantuan, dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Bapak Dr. Haryanto, M. Pd. yang telah memberikan izin penelitian.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar, Bapak Drs. Suparlan, M.Pd.I., yang telah memberikan kesempatan melakukan penelitian.

3. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak H. Sujati, M.Pd. yang telah membimbing dengan sabar.

4. Dosen Pembimbing Skripsi, Ibu Supartinah, M.Hum yang telah membimbing dengan sabar.

5. Kepala SD Muhammadiyah Nglatihan, Bapak Nur Ridho, S.Pd.I yang telah memberikan izin dan dukungan penelitian.

6. Guru Kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan, Ibu Mulia Wati Fatimah, S.Pd. yang telah bersedia berkolaborasi melaksanakan penelitian.

7. Siswa-siswi Kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan yang telah bersedia belajar bersama.

8. Orang tua tercinta, Bapak Nyaman dan Ibu Suwarsih yang telah memberikan dukungan material, motivasi, dan kasih sayang serta doa yang tiada henti-hentinya.

9. Adik tercinta, Dwi Lusi Indrawati, Monica Dewi Ambarwati dan Monica Wulan Ambarwati yang telah memberikan semangat dan doa.

(9)
(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Batasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 11

BAB II KAJIAN TEORI A. Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa ... 12

1. Pengertian Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa... 12

2. Tujuan Bercerita Bahasa Jawa ... 13

3. Manfaat Bercerita Bahasa Jawa ... 14

4. Penilaian Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa ... 14

B. Metode Sosiodrama ... 23

(11)

xi

2. Tujuan Metode Sosiodrama ... 24

3. Kelebihan dan Kekurangan Metode Sosiodrama ... 26

4. Petunjuk Penggunaan Metode Sosiodrama ... 27

C. Keterkaitan Metode Sosiodrama dengan Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa ... 30

D. Karakteristik Perkembangan Bahasa Siswa Kelas IV SD ... 32

E. Penelitian yang Relevan ... 34

F. Kerangka Pikir ... 35

G. Hipotesis Tindakan ... 36

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian ... 37

B. Desain Penelitian ... 37

C. Setting Penelitian ... 41

D. Subyek Penelitian ... 42

E. Teknik Pengumpulan Data ... 42

F. Instrumen Penelitian ... 44

G. Validitas Instrumen ... 45

H. Teknik Analisis data ... 46

I. Kriteria Keberhasilan Tindakan ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 49

B. Pembahasan ... 70

C. Keterbatasan Penelitian ... 77

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 78

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(12)

xii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1 Kriteria Ketuntasan Minimal Bahasa Jawa ... 46 Tabel 2 Tingkat Keberhasilan Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa

Prasiklus ... 50 Tabel 3 Tingkat Keberhasilan Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa

Siklus I ... 60 Tabel 4 Tingkat Keberhasilan Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1 Proses Penelitian Tindakan Model Hopkins ... 38 Gambar 2 Diagram Peningkatan Persentase Siswa yang Mencapai KKM

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1 Kisi-kisi Observasi Aktivitas Siswa ... 84

Lampiran 2 Lembar Observasi Aktivitas Siswa ... 85

Lampiran 3 Rubrik Penilaian Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa ... 86

Lampiran 4 RPP Siklus I ... 88

Lampiran 5 RPP Siklus II ... 103

Lampiran 6 Analisis Hasil Penelitian Tes Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa ... 117

Lampiran 7 Gambar Penelitian Siklus I ... 121

Lampiran 8 Gambar Penelitian Siklus II ... 122

Lampiran 9 Lembar Observasi Aktivitas Siswa Siklus I dan II ... 123

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia dengan jumlah pemakai paling banyak adalah Bahasa Jawa. Bahasa Jawa biasanya digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Masyarakat menggunakan Bahasa Jawa tidak sekedar untuk bercakap-cakap tetapi juga dalam komunikasi yang lebih resmi.

Perkembangan kehidupan masyarakat diera modern ternyata berdampak pada keberadaan Bahasa Jawa. Pola-pola tingkatan sebagai simbol adat kesopanan dalam berbahasa sudah tidak dipegang lagi. Ditambah lagi saat ini orangtua lebih banyak mendidik anak mereka untuk berbahasa Indonesia atau berbahasa asing daripada mengajarkan anak untuk berkomunikasi menggunakan Bahasa Jawa. Agustinus Ngadiman (2006) mengemukakan bahwa banyak orang tua yang tidak mengajarkan Bahasa Jawa kepada anaknya karena mereka takut anaknya tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

(16)

2

semua kelompok kebudayaan yang menembus batas-batas komunikasi dan dapat menyediakan kesempatan kerja, manfaat-manfaat bagi kehidupan nasional, hak-hak warga negara dan sebagainya. Oleh karena itu, upaya untuk membiasakan serta memperbaiki penggunaan Bahasa Jawa dapat dilakukan melalui pendidikan.

Berdasarkan Kurikulum Muatan Lokal 2010, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan mata pelajaran bahasa, sastra dan budaya Jawa sebagai muatan lokal yang ada disetiap jenjang pendidikan, dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang berlandaskan budaya, adat istiadat yang adiluhung, pengenalan, dan pelestariannya perlu diberikan kepada siswa melalui jalur kurikulum. Pelaksanaan pembelajaran muatan lokal bahasa, sastra, dan budaya Jawa di sekolah dasar (SD) mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Mata pelajaran bahasa, sastra, dan budaya Jawa bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai etika dan unggah-ungguh yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis.

2. Menghargai dan bangga menggunakan Bahasa Jawa sebagai sarana berkomunikasi dan sebagai lambang kebanggaan serta identitas daerah. 3. Memahami Bahasa Jawa dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif

untuk berbagai tujuan.

4. Menggunakan Bahasa Jawa untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.

5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra dan budaya Jawa untuk memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.

6. Menghargai dan mengembangkan sastra Jawa sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

(17)

3

menggunakan Bahasa Jawa dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya sastra dan budaya Jawa.

Ruang lingkup pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah dasar mencakup empat keterampilan yaitu menyimak, berbicara, membaca serta menulis. Salah satu keterampilan bahasa yang penting adalah keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara Bahasa Jawa harus diajarkan sejak dini, jika hal tersebut dilalaikan, maka seorang anak tidak akan bisa berbicara Bahasa Jawa dengan tepat.

Agustinus Ngadiman (2006) menyebutkan bahwa salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat kesantunan seseorang dalam masyarakat Jawa dapat dilihat dari bagaimana orang tersebut bertutur kata. Pepatah Jawa mengatakan “ajining dhiri dumunung ana ing lathi” yang artinya harga diri seseorang dapat

dilihat dari tutur katanya. Lebih dalam lagi pepatah ini mengandung makna bahwa seseorang akan dihargai oleh orang lain karena kesantunan bahasa (unggah-ungguhing basa) yang dipergunakannya. Pentingnya penguasaan keterampilan berbicara juga disampaikan oleh Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2008: 241) bahwa keterampilan berbicara menduduki tempat utama dalam memberi dan menerima informasi serta memajukan hidup dalam peradaban dunia modern.

(18)

4

mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan secara lisan sesuai dengan unggah-ungguh Bahasa Jawa, melalui menceritakan kesan, mengajukan dan menjawab pertanyaan dan menceritakan upacara adat dengan kompetensi dasar menceritakan upacara adat.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo yang dilakukan pada tanggal 12 sampai dengan 24 November 2015 ditemukan berbagai masalah dalam pembelajaran bercerita Bahasa Jawa. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: (1) siswa kesulitan bercerita Bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh (2) penggunaan metode pembelajaran yang digunakan guru belum sesuai dengan tujuan pembelajaran bercerita; (3) media pembelajaran bercerita Bahasa Jawa yang digunakan guru masih terbatas; (4) siswa masih enggan dan merasa gugup ketika bercerita di depan kelas.

(19)

5

Nglatihan dapat diketahui bahwa ada 10 siswa (83,33%) yang nilainya mencapai KKM pada pembelajaran keterampilan menyimak Bahasa Jawa, 9 siswa (75%) yang nilainya mencapai KKM pada pembelajaran keterampilan membaca Bahasa Jawa, 9 siswa (75%) yang nilainya mencapai KKM pada pembelajaran keterampilan menulis Bahasa Jawa, dan hanya 2 siswa (16,67%) yang nilainya mencapai KKM pada pembelajaran keterampilan berbicara Bahasa Jawa, khususnya pada keterampilan bercerita Bahasa Jawa.

Kedua, penggunaan metode pembelajaran yang digunakan guru belum sesuai dengan tujuan pembelajaran bercerita. Pembelajaran bercerita bertujuan agar siswa dapat aktif melakukan kegiatan bercerita. Pada kenyataannya guru hanya menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran bercerita Bahasa Jawa. Guru kurang melibatkan siswa untuk aktif bercerita. Tugas siswa untuk bercerita diganti dengan menulis cerita atau membaca cerita serta menjawab pertanyaan tentang suatu cerita. Seharusnya guru memilih metode yang tepat sehingga tujuan pembelajaran bercerita Bahasa Jawa dapat tercapai.

Ketiga, media pembelajaran bercerita Bahasa Jawa yang digunakan guru masih terbatas. Guru belum menggunakan media yang menarik bagi siswa untuk bercerita. Media yang digunakan guru selama pembelajaran bercerita adalah buku teks.

(20)

6

Melihat luasnya permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran Bahasa Jawa di kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo, maka penelitian dibatasi pada kesulitan siswa bercerita Bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh. Kesulitan siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan dalam bercerita Bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh disebabkan oleh dua faktor.

Pertama, pemilihan metode pembelajaran belum sesuai dengan tujuan pembelajaran. Pembelajaran bercerita bertujuan agar siswa dapat aktif melakukan kegiatan bercerita. Seharusnya guru menggunakan metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif bercerita. Namun guru hanya menggunakan metode ceramah. Ketika menggunakan metode ini, siswa tidak melakukan kegiatan bercerita.

Kedua, kurangnya kesempatan siswa untuk bercerita Bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena jam pelajaran Bahasa Jawa yang hanya dua jam pelajaran dalam satu minggu dengan materi pelajaran yang banyak. Oleh karena itu, guru mengganti tugas bercerita dengan tugas menulis cerita untuk menghemat waktu.

(21)

7

jenjang sekolah yang lebih tinggi siswa akan terbiasa mengemukakan berbagai ide, pengalaman serta mengungkapkan perasaan kepada orang lain menggunakan Bahasa Jawa. Oleh sebab itu, diperlukan penerapan metode pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam bercerita.

Untuk meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa, guru tidak mungkin hanya menggunakan metode ceramah. Siswa harus mengalami sendiri pengalaman menggunakan Bahasa Jawa untuk membiasakan diri bukan menghafal. Selaras dengan pendapat Henry Guntur Tarigan (1987) yang mengungkapkan bahwa keterampilan berbicara hanya dapat diperoleh dengan jalan praktik dan banyak latihan. Berdasarkan pendapat tersebut, peneliti menggunakan metode sosiodrama untuk meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa khususnya bagi siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo. Metode sosiodrama menurut Wina Sanjaya (2013: 160) adalah metode pembelajaran bermain peran untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia.

(22)

8

dalam bermain sosiodrama siswa akan dilatih untuk mengemukakan pendapatnya dengan waktu yang tersedia. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006) juga menjelaskan bahwa dalam sosiodrama siswa berkesempatan untuk berdiskusi sebelum bermain drama agar dalam memainkan drama terjadi kekompakan dan keserasian antarpemain. Diskusi kelas juga dilakukan untuk memecahkan persoalan yang ada pada sosiodrama.

Keterampilan siswa dalam berbahasa juga akan semakin meningkat karena dalam pembelajaran metode sosiodrama terdapat proses penilaian serta pengulangan. Seperti yang diungkapkan oleh Oemar Hamalik (2010: 199) bahwa dalam sosiodrama siswa belajar melalui pengkajian, penilaian, dan pengulangan. Para peserta dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya.

Melalui metode sosiodrama siswa akan lebih memahami masalah maupun karakter tokoh yang diperankan sehingga dapat bercerita dengan baik. Seperti yang diungkapkan oleh Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006) bahwa melalui sosiodrama siswa dapat melatih dirinya untuk memahami, dan mengingat isi bahan yang akan didramakan.

(23)

9

Melalui penerapan metode ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam bercerita Bahasa Jawa. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul “Meningkatkan Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa dengan Metode Sosiodrama Kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo”.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi masalah yang muncul adalah sebagai berikut.

1. Siswa kesulitan bercerita Bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh.

2. Penggunaan metode pembelajaran yang digunakan guru belum sesuai dengan tujuan pembelajaran bercerita.

3. Media pembelajaran bercerita Bahasa Jawa masih terbatas.

4. Siswa masih enggan dan merasa gugup ketika bercerita di depan kelas.

C.Batasan Masalah

(24)

10 D.Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa dengan metode sosiodrama pada siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo?”.

E.Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa menggunakan metode sosiodrama pada siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan manfaat bagi siswa, guru, sekolah serta bagi peneliti sendiri.

1. Manfaat Teoritis

Memperkuat teori bahwa metode pembelajaran sosiodrama dapat meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa.

2. Manfaat Praktis

(25)

11

b. Bagi guru, guru dapat memperoleh tambahan referensi tentang metode pembelajaran sosiodrama untuk meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa.

c. Bagi sekolah, dapat meningkatkan mutu dan kualitas sekolah melalui peningkatan keterampilan bercerita Bahasa Jawa siswa.

d. Bagi peneliti, penelitian ini akan menjadi bentuk penerapan dari ilmu yang didapat, serta dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat terutama dalam bidang pendidikan.

G. Definisi Operasional

1. Keterampilan bercerita Bahasa Jawa adalah keterampilan menyampaikan secara lisan tentang terjadinya suatu hal maupun peristiwa yang dialami sendiri maupun orang lain menggunakan Bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh basa.

(26)

12 BAB II KAJIAN TEORI A. Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa

1. Pengertian Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa

Bercerita merupakan kegiatan berbicara yang sering dilakukan oleh manusia apalagi anak-anak. Bercerita melibatkan pikiran, kesiapan mental, keberanian, dan perkataan yang jelas agar mudah dipahami oleh orang lain. Mustakim (2005: 20) mengartikan bahwa bercerita adalah upaya untuk mengembangkan potensi keterampilan berbahasa anak melalui pendengaran dan kemudian menuturkan kembali dengan tujuan melatih keterampilan anak dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan. Bachtiar S. Bachri (2005: 10) juga mengemukakan pengertian bercerita adalah sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau suatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagi pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain.

Selengkapnya Burhan Nurgiyantoro (2001: 289) menjelaskan bahwa bercerita merupakan salah satu bentuk tugas keterampilan berbicara yang bersifat pragmatis. Ada dua unsur penting yang harus dikuasai siswa dalam bercerita yaitu unsur linguistik dan unsur apa yang diceritakan. Ketepatan ucapan, tata bahasa, kosakata, kefasihan dan kelancaran, menggambarkan bahwa siswa memiliki keterampilan bercerita yang baik.

(27)

13

orang lain menggunakan Bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh basa. Dalam penelitian ini siswa akan menyampaikan secara lisan peristiwa upacara adat Sekaten, Gugur Gunung dan Mitoni menggunakan Bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh basa.

2. Tujuan Bercerita Bahasa Jawa

Burhan Nurgiyantoro (2001: 277) mengemukakan bahwa tujuan bercerita adalah untuk mengemukakan sesuatu kepada orang lain. Henry Guntur Tarigan (1981: 35) menjelaskan bahwa bercerita merupakan salah satu keterampilan berbicara yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada orang lain. Dikatakan demikian karena bercerita termasuk dalam situasi informatif yang ingin membuat pengertian-pengertian atau makna-makna menjadi jelas. Dengan bercerita, seseorang dapat menyampaikan berbagai macam cerita, ungkapan berbagai perasaan sesuai dengan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, dibaca dan ungkapan kemauan dan keinginan membagikan pengalaman yang diperolehnya.

(28)

14 3. Manfaat Bercerita Bahasa Jawa

Bachtiar S. Bachri (2005: 11) mengatakan bahwa manfaat bercerita adalah dapat memperluas wawasan dan cara berfikir anak, sebab dalam bercerita anak mendapat tambahan pengalaman yang bisa jadi merupakan hal baru baginya atau jika seandainya bukan merupakan hal baru tentu akan mendapatkan kesempatan untuk mengulang kembali ingatan akan hal yang pernah didapat atau dialaminya. Selain itu Musfiroh (2005:95) menjelaskan ditinjau dari beberapa aspek maka manfaat bercerita adalah sebagai berikut (a) membantu pembentukan moral dan pribadi anak, (b) menyalurkan imajinasi dan fantasi (c) memacu keterampilan verbal (d) merangsang minat menulis anak (e) membuka cakrawala pengetahuan anak.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bercerita Bahasa Jawa bermanfaat bagi siswa untuk memacu keterampilan verbal dalam menggunakan Bahasa Jawa sehingga dapat memperluas wawasan dan cara berpikir siswa mengenai upacara adat Sekaten, Gugur Gunung dan Mitoni.

4. Penilaian Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa

(29)

15

menjawab pertanyaan dan menceritakan upacara adat dengan kompetensi dasar menceritakan upacara adat.

Penilaian keterampilan bercerita Bahasa Jawa disusun dan dikembangkan berdasarkan pemahaman teori yang disampaikan oleh beberapa ahli. Diantaranya yaitu Brown (2004: 172-173) mengemukakan bahwa penilaian keterampilan berbicara dibagi menjadi enam kategori, yaitu tata bahasa, kosakata, pemahaman, kelancaran, pengucapan, dan tugas.

Sementara itu Burhan Nurgiyantoro (2012: 143) menjelaskan bahwa penilaian yang dapat digunakan untuk mengetahui peningkatan keterampilan bercerita yaitu dengan tes unjuk kerja atau perfomansi secara lisan. Burhan Nurgiyantoro (2001: 289) menjelaskan bahwa bercerita adalah kegiatan yang bersifat pragmatis. Agar dapat bercerita paling tidak ada dua hal yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu: unsur linguistik (bagaimana cara bercerita, bagaimana memilih bahasa) dan unsur yang diceritakan.

Selain itu, Supartinah (2013: 310-311) menyederhanakan aspek penilaian bercerita Bahasa Jawa menjadi empat aspek, yaitu aspek tata bahasa, kosakata, kefasihan dan tingkat tutur. Penyederhanaan ini dilakukan agar tidak memberikan beban penilaian yang berat bagi peserta didik di sekolah dasar, namun tetap berpedoman pada tujuan pembelajaran Bahasa Jawa yang mengedepankan pembelajaran bermakna dan kontekstual sesuai fungsi Bahasa Jawa.

(30)

16

lebih mengutamakan Bahasa Jawa yang sederhana, bermakna, dan menyenangkan sehingga diharapkan peserta didik dapat tertarik, senang dan berminat untuk belajar Bahasa Jawa. Dengan demikian, peneliti menyusun instrumen penilaian tes unjuk kerja keterampilan bercerita Bahasa Jawa yang terdiri atas enam aspek yakni: (1) isi cerita; (2) tata Bahasa Jawa; (3) kosakata Bahasa Jawa; (4) kelancaran; (5) pengucapan; serta (6) tingkat tutur.

a. Isi Cerita

Isi cerita menurut Titik W.S. dkk. (2003: 56) merupakan sesuatu yang terkandung dalam suatu cerita. Sebuah cerita didalamnya terdapat nama tokoh, tempat kejadian, dan waktu kejadian. Selain itu juga terdapat peristiwa atau masalah. Masalah ini merupakan dasar atau inti yang akan mewarnai seluruh cerita dari awal hingga akhir. Inilah yang disebut tema. Aspek isi cerita pada penilaian keterampilan bercerita Bahasa Jawa adalah kesesuaian nama tokoh, tempat kejadian, waktu kejadian serta peristiwa dalam cerita dengan tema yang telah ditentukan. b. Tata Bahasa Jawa

Wedhawati dkk. (2006: 29-30) memaparkan jika dipahami dari segi maknanya, kata “tata” di dalam “tata bahasa” berarti aturan, kaidah, atau

(31)

17

dengan konsep paramasastra. Kata paramasatra berarti ketentuan dasar penataan kata atau kalimat. Jadi aspek tata Bahasa Jawa dalam penilaian keterampilan bercerita Bahasa Jawa adalah ketepatan struktur penataan kata atau kalimat Bahasa Jawa yang digunakan ketika siswa bercerita sesuai kaidah penggunaan Bahasa Jawa.

c. Kosakata Bahasa Jawa

Burhan Nurgiyantoro (2012: 338) menjelaskan bahwa kosakata, perbendaharaan kata atau kata adalah kekayaan kata yang dimiliki oleh (terdapat dalam) suatu bahasa. Tes kosakata adalah tes yang dimaksudkan mengukur keterampilan siswa terhadap kosakata dalam bahasa tertentu baik yang bersifat reseptif maupun produktif. Keterampilan reseptif adalah keterampilan memahami kosakata yang terlihat dalam kegiatan membaca dan menyimak, sedangkan keterampilan produktif adalah keterampilan mempergunakan kosakata yang tampak dalam kegiatan menulis dan berbicara.

(32)

18 d. Kelancaran

Kelancaran menurut Arsjad dan Mukti (dalam Nurbiana, 2008: 36) adalah penggunaan kalimat lisan yang tidak terlalu cepat dalam pengucapan, tidak terputus-putus, dan jarak antar kata tetap atau ajeg. Kelancaran juga didukung oleh kemampuan olah vokal pembicara yang tepat tanpa ada sisipan bunyi /e/, /anu/, /em/, dan sebagainya. Sebaliknya pembicara yang terlalu cepat juga akan menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraan. Jadi, ada 3 hal yang menjadi pokok kelancaran yaitu: (1) penggunaan kalimat yang ajeg; (2) tidak terlalu cepat; (3) serta ketepatan olah vokal.

e. Pengucapan

(33)

19

ketepatan pengucapan bunyi vokal, bunyi konsonan, serta bunyi semivokal.

f.Tingkat Tutur

Tingkat tutur menurut Wedhawati (2006: 10) adalah variasi bahasa yang perbedaannya ditentukan oleh sikap pembicara kepada mitra bicara atau orang ketiga yang dibicarakan. Perbedaan umur, derajat tingkat sosial, dan jarak keakraban antara pembicara dan mitra bicara akan menentukan variasi bahasa yang dipilih. Tingkat tutur diterapkan sesuai dengan unggah-ungguh Bahasa Jawa.

Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2009: 95-119) mengungkapkan bahwa unggah-ungguh Bahasa Jawa secara etik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu ngoko (ragam ngoko) dan krama (ragam krama). Kedua bentuk tersebut diuraikan sebagai berikut.

1) Ragam Ngoko

(34)

20 a) Ngoko Lugu

Ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh Bahasa Jawa yang

semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) baik untuk persona pertama, persona kedua, maupun persona ketiga. Afiks yang digunakan dalam ragam ini adalah afiks di-, -e, -ake.

Contoh:

(1) Akeh wit kang ditegor saperlu dijupuk pathine.

Banyak pohon enau yang ditebang untuk diambil sarinya.

(2) Jenenge kondhang saindenging donya.

Namanya terkenal di seluruh dunia. b) Ngoko Alus

Ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya

terdiri atas leksikon ngoko, netral, leksikon krama inggil, krama andhap, dan krama. Leksikon krama hanya digunakan untuk

menghormati mitra wicara (O2 dan O3). Afiks yang digunakan dalam ngoko alus-- meskipun melekat pada leksikon krama inggil, krama andhap, dan krama-- tetap menggunakan afiks penanda

leksikon ngoko (di-, -e, -ake). Contoh:

(35)

21

(2) Budhe Wagimin yen dicaosi iki kersa opo ora yo? Bude Wagimin jika diberi ini mau atau tidak ya? 2) Ragam Krama

Ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh Bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama. Afiks yang muncul di dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun, -ipun, -aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab

dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam ini mempunyai dua bentuk, yaitu krama lugu dan krama alus.

a) Krama Lugu

Leksikon inti dalam ragam krama lugu adalah leksikon krama, madya, dan netral. Dalam ragam ini leksikon krama inggil

dan krama andhap hanya digunakan untuk menghormati lawan bicara. Afiks ngoko (di-, -e, -ake) cenderung lebih sering muncul daripada afiks krama (dipun-, -ipun, -aken), klitik madya mang- juga sering muncul dalam ragam ini.

Contoh:

(1) Pesenan kula dadose njing napa, Yu? Pesanan saya kapan jadinya, Kak?

(2) Mas, tulung gawan kula niki mangandhapke riyin.

(36)

22 b) Krama Alus

Krama alus adalah bentuk unggah-ungguh basa Jawa yang

semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Leksikon krama inggil dan krama andhap digunakan untuk penghormatan terhadap

mitra wicara. Afiks dipun-, -ipun, -aken lebih sering muncul daripada afiks di-, -e, -ake.

Contoh:

(1) Ing wekdal semanten kathah tiyang sami risak watak lan budi

pakartinipun.

Saat ini banyak orang yang rusak perangai dan budi pekertinya.

(2) Kula rencangipun Mbak Wida. Menawi saged, kula badhe pinaggih.

Saya teman Mbak Wida. Jika bisa, saya ingin bertemu.

Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk unggah-ungguh basa Jawa terdiri atas dua bentuk yaitu ngoko (ragam ngoko) dan

krama (ragam krama). Masing-masing dari keduanya masih dibedakan

lagi menjadi dua. Ragam ngoko terbagi menjadi ngoko lugu dan ngoko alus, sedangkan ragam krama juga terdiri atas krama lugu dan krama

alus. Dalam penelitian ini penerapan tingkat tutur harus tepat sesuai

(37)

23 B.Metode Sosiodrama

1. Pengertian Metode Sosiodrama

Sosiodrama menurut Syaiful Sagala (2010: 213) berasal dari kata sosio dan drama. Sosio berarti sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat menunjukan pada kegiatan-kegiatan sosial, dan drama berarti mempertunjukkan, mempertontonkan, atau memperlihatkan. Sosial atau masyarakat terdiri atas manusia yang satu sama lain terjalin hubungan yang dikatakan hubungan sosial. Drama dalam pengertian luas adalah mempertunjukan atau mempertontonkan suatu keadaan atau peristiwa-peristiwa yang dialami orang dan tingkah laku orang. Metode sosiodrama berarti cara menyajikan bahan pelajaran dengan mempertunjukkan dan mempertontonkan atau mendramatisasikan cara tingkah laku dalam hubungan sosial. Jadi sosiodrama ialah metode mengajar yang dalam pelaksanaannya peserta didik mendapat tugas dari guru untuk mendramatisasikan suatu situasi sosial yang mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah yang muncul dari suatu situasi sosial

(38)

24

atau sebagai pengamat (obsever) tergantung pada tujuan-tujuan dari penerapan teknik tersebut.

Wina Sanjaya (2013: 160) menjelaskan sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga yang otoriter, dan lain sebagainya. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006: 88) menyebutkan bahwa sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial. Roestiyah. N. K (2001: 90) juga menjelaskan tehnik sosiodrama ialah siswa dapat mendramatisasikan tingkah laku atau ungkapan gerak-gerik wajah seseorang dalam hubungan sosial antar manusia.

Dari beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa metode sosiodrama adalah suatu metode yang melibatkan siswa untuk bermain peran atau mendramakan suatu masalah sosial kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam penelitian ini, permasalahan sosial yang akan dikenalkan kepada siswa adalah upacara adat Sekaten, Gugur Gunung, dan Mitoni.

2. Tujuan Metode Sosiodrama

(39)

25

sosial serta mengembangkan keterampilan siswa untuk memecahkan masalah-masalah sosial serta mengembangkan keterampilan siswa untuk memecahkannya.

Selanjutnya Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006: 88) menyebutkan tujuan yang diharapkan dengan penggunaan metode sosiodrama antara lain adalah: (a) agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain; (b) dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab; (c) dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara spontan; (d) merangsang kelas untuk berfikir dan memecahkan masalah.

Oemar Hamalik (2010: 199) menjelaskan tujuan bermainperanan, sesuai dengan jenis belajar adalah sebagai berikut.

1) Belajar dengan berbuat. Para siswa melakukan peranan tertentu sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan interaktif atau keterampilan-keterampilan rekatif.

2) Belajar melalui peniruan (imitasi). Para siswa pengamat drama menyamakan diri dengan pelaku (aktor) dan tingkah laku mereka.

3) Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi) perilaku para pemain/pemegang peran yang telah ditampilkan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari perilaku keterampilan yang telah didramakan. 4) Belajar melalui pengkajian, penilaian, dan pengulangan. Para peserta

dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya.

(40)

26

masalah bersama. Mengacu pada teori tersebut, dalam penelitian ini penerapan metode sosiodrama bertujuan untuk agar siswa memahami berbagai aktivitas, alat, dan kebermanfaatan upacara adat Sekaten, Gugur Gunung, dan Mitoni.

3. Kelebihan dan Kekurangan Metode Sosiodrama

Metode sosiodrama mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode lainnya. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006: 88) menerangkan kelebihan metode sosiodrama sebagai berikut.

1) Siswa melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat isi bahan yang akan didramakan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian, daya ingatan siswa harus tajam dan tahan lama.

2) Siswa akan terlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu main drama para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.

3) Bakat yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah. Jika seni drama mereka dibina dengan baik kemungkinan besar mereka akan menjadi pemain yang baik kelak.

4) Kerja sama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya.

5) Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya.

6) Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain.

(41)

27

memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit menjadi kurang bebas; (4) sering kelas lain terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan, dan sebagainya.

4. Petunjuk Penggunanaan Metode Sosiodrama

Metode sosiodrama memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut harus dapat diatasi agar pelaksanaan metode sosiodrama dapat berjalan dengan baik. Usaha untuk mengatasi kelemahan dari metode sosiodrama diuraikan oleh Syaiful Sagala (2010: 214), antara lain ialah: a. Guru harus menerangkan kepada siswa, untuk memperkenalkan metode

ini, bahwa dengan jalan sosiodrama siswa diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual ada di masyarakat. Kemudian guru menunjuk beberapa siswa yang berperan, dan siswa yang lain menjadi penonton dengan tugas-tugas tertentu pula.

b. Guru harus memilih masalah yang urgen sehingga menarik minat anak. Guru dapat menjelaskan dengan baik dan menarik, sehingga siswa terangsang untuk memecahkan masalah itu.

c. Agar siswa memahami peristiwanya maka guru harus bisa menceritakan sambil mengatur adegan pertama.

d. Bobot atau luasnya bahan pelajaran yang akan didramakan harus sesuai dengan waktu yang tersedia. Oleh karena itu harus diusahakan agar para pemain berbicara dan melakukan gerakan jangan sampai banyak variasi yang kurang berguna.

(42)

28

a. Tetapkan dahulu masalah-masalah sosial yang menarik perhatian siswa untuk dibahas. Permasalahan disesuaikan dengan tingkat pengetahuan siswa dan sesuai kenyataan rill masalah yang dialami siswa.

b. Ceritakan kepada kelas (siswa) mengenai isi dari masalah-masalah dalam konteks cerita tersebut. Masalah perlu dipahami siswa agar siswa dapat menghayati dan memainkan peran tersebut. Masalah perlu difokuskan agar siswa memahami sesuai tingkat pemahaman siswa tersebut.

c. Tetapkan siswa yang dapat atau yang bersedia untuk memainkan peranannya di depan kelas. Siswa dapat dipilih secara bergilir atau bergantian. Siswa diberi gambaran tentang peran yang dimainkan agar siswa memahami dan menghayati peran tersebut.

d. Jelaskan kepada pendengar mengenai peranan mereka pada waktu sosiodrama sedang berlangsung.

e. Beri kesempatan kepada para pelaku untuk berunding beberapa menit sebelum mereka memainkan perannya. Diskusi diperlukan agar dalam memainkan drama terjadi kekompakan dan keserasian antarpemain. f. Akhiri sosiodrama pada waktu situasi pembicaraan mencapai ketegangan. g. Akhiri sosiodrama dengan diskusi kelas untuk bersama-sama

memecahkan masalah persoalan yang ada pada sosiodrama tersebut. h. Jangan lupa menilai hasil sosiodrama tersebut sebagai bahan

(43)

29

Selain menyesuaikan dengan petunjuk penggunaan, langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran juga harus tepat agar metode sosiodrama dapat berjalan efektif. Roestiyah N. K (2001: 91-92) menguraikan langkah-langkah pembelajaran menggunakan metode sosiodrama sebagai berikut: (a) guru mengenalkan dan menjelaskan tujuan metode sosiodrama kepada siswa (b) guru memilih masalah yang bisa memotivasi siswa untuk memecahkan masalah tersebut (c) guru menjelaskan masalah sambil mengatur adegan (d) guru mempertimbangkan pemeran dalam drama (e) guru menjelaskan tugas pemeran drama (f) guru menjelaskan tugas penonton drama (g) guru membantu jalannya drama (h) guru menghentikan drama ketika drama mencapai klimaks (h) guru membimbing tanya jawab dan diskusi.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan langkah-langkah penggunaan metode sosiodrama terdiri atas beberapa tahapan sebagai berikut.

1. Siswa mendengarkan penjelasan guru tentang tujuan dan langkah-langkah pembelajaran sosiodrama, serta tugas pemeran drama dan pengamat drama.

2. Siswa dan guru menetapkan masalah yang akan didramakan, pada penelitian ini akan difokuskan pada upacara adat Sekaten, Gugur Gunung dan Mitoni.

(44)

30

4. Kelompok pemeran drama membuat skenario sederhana dan melakukan latihan, sedangkan kelompok pengamat mempersiapkan tata panggung kemudian mencermati lembar pengamatan pemeran drama yang dibagikan guru.

5. Kelompok pemeran drama melakukan pementasan dan kelompok pengamat drama mengamati pementasan drama kemudian mengisi lembar pengamatan pemeran drama.

6. Siswa dan guru melakukan diskusi tentang penampilan kelompok pemeran drama, serta kesalahan bahasa yang terjadi selama pementasan drama.

7. Siswa dan guru mengambil kesimpulan tentang pembelajaran sosiodrama yang telah dilakukan.

Langkah-langkah pembelajaran sosiodrama tersebut kemudian dijadikan landasan untuk menyusun lembar observasi aktivitas siswa.

C.Keterkaitan Metode Sosiodrama dengan Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa

(45)

31

keterampilan berbicara. Sesuai pernyataan di atas agar siswa mampu bercerita dengan baik yang dibutuhkan bukanlah penjelasan teori oleh guru saja, akan tetapi siswa juga harus mendapat kesempatan untuk praktik dan latihan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam berbagai bentuk kegiatan.

Metode sosiodrama adalah salah satu metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk praktik dan latihan menggunakan Bahasa Jawa dalam berbagai konteks berbahasa. Dalam penerapan metode ini siswa akan praktik menggunakan Bahasa Jawa ketika bermain peran, berdiskusi, bertanya kepada guru maupun teman, serta mengungkapkan pendapat.

(46)

32

Selain itu salah satu kelebihan metode sosiodrama menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006) adalah untuk membina bahasa lisan yang digunakan siswa agar menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain. Apabila bahasa lisan yang digunakan dalam metode ini adalah Bahasa Jawa maka Bahasa Jawa yang digunakan siswa akan semakin baik termasuk ketika bercerita.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa metode sosiodrama dapat memberi kesempatan siswa untuk praktik dan latihan menggunakan Bahasa Jawa serta dapat mendekatkan hal atau peristiwa yang akan diceritakan dengan diri siswa. Jadi, dengan menggunakan metode sosiodrama keterampilan bercerita Bahasa Jawa siswa akan meningkat.

D.Karakteristik Perkembangan Bahasa Siswa Kelas IV SD

Menurut Chomsky (John W. Santrock, 1995: 180), anak dilahirkan ke dunia dengan alat penguasaan bahasa (language acquisition device/LAD). LAD merupakan suatu kemampuan tata bahasa bawaan yang mendasari semua bahasa manusia. Anak mengimitasi orang lain dan memperoleh kosa kata atau kalimat-kalimat dari lingkungan.

(47)

33

membuat kalimat yang lebih sempurna, (2) dapat membuat kalimat majemuk, (3) dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan.

Menurut John W. Santrock (2007), selama masa kanak-kanak menengah dan akhir, anak-anak membuat banyak kemajuan dalam kosakata serta tata bahasa. Dalam masa ini, anak-anak sudah mampu memahami dan menggunakan tata bahasa yang kompleks. Anak-anak juga belajar menggunakan bahasa dalam cara yang lebih teratur. Mereka juga sudah dapat membuat percakapan yang rapi, menghubungkan kalimat yang satu dengan yang lain dan menghasilkan deskripsi, definisi, dan cerita (narasi) yang saling melengkapi serta masuk akal.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan perkembangan bahasa siswa kelas tinggi dengan rentang usia antara 9-12 tahun sudah semakin kompleks. Pada usia ini anak sudah dapat menguasai sekitar 50.000 kata, membuat dan menghubungkan kalimat, menyusun dan mengajukan pertanyaan, membuat percakapan yang rapi, menghasilkan deskripsi dan cerita serta tata bahasa yang digunakan pun sudah semakin kompleks.

(48)

34

metode sosiodrama akan diceritakan secara individu. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa penerapan metode sosiodrama sesuai dengan perkembangan bahasa siswa kelas IV SD.

E.Penelitian yang Relevan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain bahwa melalui penggunaan metode sosiodrama dapat meningkatkan keterampilan berbicara. Berikut hasil penelitian yang telah dilakukan.

Hesti Ratna Sari dengan judul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Menggunakan Metode Sosiodrama Siswa Kelas VB SD Negeri Keputran I

Yogyakarta”. Hasil penelitian setelah diterapkannya metode sosiodrama,

keterampilan berbicara siswa mengalami peningkatan. Peningkatan keterampilan berbicara pada siklus I sebesar 7,38 dari kondisi awal 60,35 meningkat menjadi 67,73. Pada siklus II meningkat sebesar 16,17 dari kondisi awal 60,35 meningkat menjadi 76,52.

Penelitian yang dilakukan oleh Sri Haryani dengan judul “Upaya

Meningkatkan Keterampilan Berbicara dan Motivasi Belajar Siswa dengan

Metode Sosiodrama pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas III B MI

Ma’arif Bego Tahun Ajaran 2013/2014”. Hasil penelitan yang diperoleh yaitu

(49)

35

siswa juga mengalami peningkatan yaitu, 58,06% pada prasiklus, 80,97% pada siklus I, 83,72 pada siklus II, dan 88,42% pada siklus III.

Penelitian di atas berfungsi untuk menguatkan kajian teori yang sudah diuraikan sebelumnya. Kemudian penelitian tersebut menjadi acuan bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian dengan judul “Meningkatkan Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa dengan Metode Sosiodrama Kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo”.

F. Kerangka Pikir

Keterampilan bercerita Bahasa Jawa siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Siswa masih kesulitan bercerita Bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh basa. Kesulitan yang dialami siswa disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah penggunaan metode yang belum sesuai dengan tujuan pembelajaran bercerita. Selama ini siswa dituntut untuk mendengarkan cerita dari guru, menulis cerita atau menjawab pertanyaan sesuai cerita. Kurangnya kesempatan siswa dalam merasakan pengalaman bercerita mengakibatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa masih rendah. Sehubungan dengan hal tersebut, peran guru adalah menentukan metode yang sesuai dengan tujuan pembelajaran bercerita.

(50)

36

Jawa. Setiap siswa akan mendapat peran yang berbeda. Melalui peran yang diperoleh, siswa akan belajar bagaimana berbicara dengan orang lain sesuai unggah-ungguh basa. Pengalaman nyata dalam menggunakan Bahasa Jawa

sesuai unggah-ungguh ini diharapkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk ketika siswa bercerita, sehingga keterampilan siswa dalam bercerita Bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh dapat meningkat.

G.Hipotesis Tindakan

(51)

37 BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Wina Sanjaya (2013: 26) menjelaskan bahwa PTK adalah proses pengkajian masalah pembelajaran di dalam kelas melalui refleksi diri dalam upaya untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara melakukan berbagai tindakan yang terencana dalam situasi nyata serta menganalisis setiap pengaruh dari perlakuan tersebut.

Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas kolaboratif. Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi (2008: 17) menyatakan bahwa dalam penelitian tindakan kelas kolaboratif, pihak yang melakukan tindakan adalah guru, sedangkan yang melakukan pengamatan terhadap berlangsungnya proses tindakan adalah peneliti bukan guru yang sedang melakukan tindakan. Dalam penelitian ini yang akan melakukan tindakan adalah guru kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo.

B.Desain Penelitian

(52)

38

Gambar 1. Proses Penelitian Tindakan Model Hopkins (Wina Sanjaya, 2013: 54)

Setiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan aksi, pengamatan serta refleksi. Penjelasan dari setiap siklus adalah sebagai berikut.

1. Perencanaan

Kolaborator dalam penelitian ini adalah guru kelas IV yaitu Mulia Wati Fatimah S.Pd. Pada tahap perencanaan, peneliti dan kolaborator menetapkan cara yang tepat untuk meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa. Adapun perencanaan sebelum aksi adalah sebagai berikut. a. Peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan kolaborator untuk

menemukan masalah dalam pembelajaran bercerita Bahasa Jawa.

b. Peneliti dan kolaborator menetapkan metode sosiodrama sebagai metode yang tepat untuk meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa.

Identifikasi masalah

Observasi Refleksi

Perencanaan

Aksi

Perencanaan Ulang

Refleksi

Observasi

[image:52.595.190.449.79.362.2]
(53)

39

c. Peneliti dan kolaborator menentukan SK dan KD yang digunakan dalam penelitian.

d. Peneliti dan kolaborator menyusun langkah-langkah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). RPP kemudian dikonsultasikan kepada dosen. e. Peneliti dan kolaborator mempersiapkan sumber dan media pembelajaran

yang digunakan dalam proses pembelajaran.

f. Peneliti menyiapkan instrumen penelitian berupa lembar observasi, lembar penilaian keterampilan bercerita.

2. Aksi

Tahap aksi merupakan pelaksanaan dari rencana yang telah dibahas sebelumnya. Tahap pelaksanaan dalam penelitian ini yaitu guru menerapkan metode sosiodrama untuk meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa sesuai RPP yang telah dibuat sebelumnya. Langkah-langkah pembelajaran menggunakan metode sosiodrama adalah sebagai berikut. a. Kegiatan Awal

1) Siswa menjawab salam pembuka dari guru.

2) Siswa memperhatikan apersepsi yang disampaikan guru. b. Kegiatan Inti

(54)

40

2) Siswa dan guru menetapkan masalah yang akan didramakan, pada penelitian ini akan difokuskan pada upacara adat Sekaten, Gugur Gunung dan Mitoni.

3) Siswa dan guru menetapkan satu kelompok yang menjadi pemeran drama, sedangkan siswa yang lain menjadi tiga kelompok pengamat drama. Peran dalam drama terdiri atas peran anak-anak dan orang dewasa.

4) Kelompok pemeran drama membuat skenario sederhana dan melakukan latihan, sedangkan kelompok pengamat mempersiapkan tata panggung kemudian mencermati lembar pengamatan pemeran drama yang dibagikan guru.

5) Kelompok pemeran drama melakukan pementasan dan kelompok pengamat drama mengamati pementasan drama kemudian mengisi lembar pengamatan pemeran drama.

6) Siswa dan guru melakukan diskusi tentang penampilan kelompok pemeran drama, serta kesalahan bahasa yang terjadi selama pementasan drama.

7) Siswa yang masih belum paham diberi kesempatan untuk bertanya. 8) Siswa dan guru mengambil kesimpulan tentang pembelajaran

sosiodrama yang telah dilakukan. c. Kegiatan Akhir

(55)

41

2) Siswa mendengarkan penjelasan guru tentang pelajaran untuk pertemuan selanjutnya.

3) Siswa menjawab salam penutup. 3. Observasi

Peneliti melakukan observasi selama proses pembelajaran berlangsung. Observasi dilaksanakan untuk mengetahui hal-hal yang muncul sebagai respon atas aksi yang dilakukan. Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi terstruktur yaitu kegiatan pengamat telah diatur dan dibatasi dengan kerangka kerja yang tersusun secara sistematis dalam lembar observasi. Lembar observasi digunakan untuk mengamati aktivitas siswa dalam proses pembelajaran Bahasa Jawa.

4. Refleksi

Pada tahap refleksi guru mengevaluasi hasil aksi yang telah dilakukan. Guru dan peneliti selanjutnya mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran dan menganalisis hasil evaluasi siswa untuk menentukan keberhasilan dalam siklus penelitian. Kendala yang dihadapi, kemudian dicari pemecahannya agar tidak terjadi pada siklus berikutnya. Jika hasil evaluasi siswa pada siklus pertama kurang memuaskan maka dilakukan aksi siklus kedua dan seterusnya.

C.Setting Penelitian

(56)

42

Ngentakrejo Kecamatan Lendah Kabupaten Kulon Progo. Waktu pelaksanaan penelitian adalah pada semester genap tahun ajaran 2015/2016 tepatnya pada bulan Januari dan Februari 2016. Ruang kelas IV menghadap ke barat dan berada diantara kelas III dan V. Ukuran ruang kelas IV adalah 6 m x 4 m dengan kondisi rapi, bersih serta pencahayaan yang cukup terang. Papan tulis serta meja guru berada di sebelah timur. Di bagian barat ada dua buah almari yang berisi buku-buku pelajaran. Tempat duduk siswa akan dibentuk seperti huruf U, sehingga bagian tengah dapat digunakan sebagai panggung dalam pelaksanaan pembelajaran sosiodrama.

D.Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo. Adapun siswa kelas IV berjumlah 12 siswa (4 siswa laki-laki dan 8 siswa perempuan), yaitu untuk memperoleh data tentang aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran Bahasa Jawa serta data terkait keterampilan bercerita siswa dalam pembelajaran Bahasa Jawa.

E.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan observasi, tes unjuk kerja dan video.

1. Observasi.

(57)

43

Observasi (pengamatan) merupakan cara untuk mendapatkan informasi dengan mengamati objek secara cermat dan terencana. Berdasarkan rencana kerja pihak pengamat, observasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu observasi berstruktur dan tidak berstruktur (Burhan Nurgiyantoro, 2012: 93). Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi terstruktur yaitu kegiatan pengamat telah diatur dan dibatasi dengan kerangka kerja yang tersusun secara sistematis dalam lembar observasi. Lembar observasi digunakan untuk mengamati aktivitas siswa dalam proses pembelajaran Bahasa Jawa.

2. Tes unjuk kerja

Tes adalah salah satu bentuk pengukuran atau cara untuk mendapatkan informasi (kompetensi, pengetahuan, keterampilan) tentang peserta didik. Tes instrumen pengumpulan data digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam aspek kognitif, atau tingkat penguasaan materi pembelajaran (Wina Sanjaya, 2013). Tes yang digunakan untuk mengukur peningkatan keterampilan bercerita adalah tes unjuk kerja atau perfomansi secara lisan (Burhan Nurgiyantoro, 2012).

(58)

44 3. Video

Teknik ini digunakan untuk memperoleh rekaman aktivitas siswa ketika bercerita Bahasa Jawa dalam bentuk video. Video ini sebagai bukti konkret dilakukannya tes keterampilan bercerita. Selanjutnya hasil dari video ini dideskripsikan sesuai dengan keadaan yang ada sehingga akan mempermudah proses penilaian keterampilan bercerita serta memperkuat pembahasan dalam setiap siklus menjadi lebih jelas dan lengkap.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Suharsimi Arikunto, 2010:101). Dengan kata lain, instrumen ini merupakan alat bantu dalam penggunaan metode penelitian. Alat yang digunakan peneliti sebagai pengumpul data adalah lembar observasi aktivitas siswa dan lembar penilaian keterampilan bercerita Bahasa Jawa.

1. Lembar Observasi

(59)

45

2. Lembar Penilaian Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa

Instrumen yang digunakan untuk tes unjuk kerja adalah lembar penilaian keterampilan bercerita Bahasa Jawa. Lembar penilaian ini digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembelajaran bercerita Bahasa Jawa siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan, Ngentakrejo, Lendah, Kulon Progo. Instrumen penilaian terdiri atas enam aspek yaitu: (1) isi cerita; (2) tata Bahasa Jawa; (3) kosa kata Bahasa Jawa; (4) kelancaran; (5) pengucapan serta (6) tingkat tutur. Adapun instrumen lembar penilaian terdapat pada lampiran halaman 86-87.

G.Validitas Instrumen

Menurut Wina Sanjaya (2013:41) validitas pada penelitian tindakan kelas adalah keajekan proses penelitian seperti yang disyaratkan dalam penelitian kualitatif. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2011:173). Validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas isi atau content validity.

(60)

46 H.Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif. Analisis data secara deskriptif kuantitatif digunakan untuk mengolah data yang diperoleh dari tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa. Sedangkan analisis data secara deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan data yang diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti.

1. Teknik Analisis Data Secara Deskriptif Kuantitatif

Data kuantitatif merupakan informasi yang muncul di lapangan yang dapat ditampilkan dalam bentuk angka. Data kuantitatif yang terkumpul dari penelitian ini berupa nilai tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa dalam setiap siklus. Adapun langkah-langkah untuk menganalisis data kuantitatif adalah sebagai berikut.

a. Menentukan nilai berdasarkan skor yang diperoleh setiap siswa. Adapun untuk mencari nilai digunakan rumus berikut (Purwanto, 2010: 207).

[image:60.595.161.519.638.703.2]

b. Hasil perhitungan kemudian dikategorikan melalui kriteria ketuntasan belajar siswa yang dikelompokkan dalam dua kategori yaitu tuntas dan tidak tuntas. Kriteria ketuntasan adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Kriteria Ketuntasan Minimal Bahasa Jawa Kriteria Ketuntasan Kualifikasi

≥ 72 Tuntas

< 72 Tidak Tuntas

(61)

47

c. Menghitung ketuntasan belajar secara klasikal dan penyajian data kuantitatif dipaparkan dalam bentuk persentase. Adapun untuk mencari persentase menurut Burhan Nurgiyantoro (2005:361) digunakan rumus berikut.

2. Teknik Analisis Data Secara Deskriptif Kualitatif

Data kualitatif merupakan semua informasi yang diperoleh dari hasil observasi. Setelah hasil observasi terkumpul, maka langkah selanjutnya dalam proses penelitian adalah menganalisis data. Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan tahapan analisis data kualitatif sesuai dengan penjelasan Wina Sanjaya (2009: 106) sebagai berikut.

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan ditulis dalam bentuk uraian yang terinci. Laporan tersebut harus direduksi terlebih dahulu, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, yang difokuskan pada hal-hal penting, dicari tema/pola untuk memudahkan. Data yang direduksi akan memberikan gambaran yang tajam dan akurat tentang hasil pengamatan di lapangan, dimana dapat dicari kembali bila peneliti memerlukannya.

2. Display Data

(62)

48

mengambil kesimpulan atau menentukan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.

3. Mengambil Kesimpulan

Analisis data dilakukan sepanjang proses pelaksanaan tindakan. Mengambil kesimpulan tentang peningkatan atau perubahan yang terjadi secara bertahap mulai dari kesimpulan sementara, yang ditarik pada akhir siklus I, kekesimpulan terevisi pada akhir siklus II dan seterusnya, dan kesimpulan terakhir pada akhir siklus terakhir. Kesimpulan yang pertama sampai dengan terakhir saling terkait dan kesimpulan pertama sebagai pijakan.

I. Kriteria Keberhasilan Tindakan

(63)

49 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian 1. Deskripsi Prasiklus

Sebagai langkah awal, peneliti melakukan pengamatan pembelajaran di kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan pada hari Kamis, 7 Januari 2016. Berdasarkan pengamatan tersebut, ditemukan suatu permasalahan dalam pembelajaran bercerita Bahasa Jawa. Dalam proses pembelajaran, guru menyampaikan materi upacara adat Sekaten hanya melalui metode ceramah. Setelah itu guru memberi tugas kepada siswa untuk bercerita secara individu mengenai materi tersebut. Siswa cenderung merasa takut dan kesulitan untuk bercerita. Siswa justru melakukan aksi saling tunjuk saat guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bercerita di depan kelas. Hal tersebut terjadi karena siswa belum sepenuhnya memahami materi. Oleh sebab itu perlu dikembangkan pembelajaran yang efektif untuk membuat siswa lebih paham, sehingga keterampilan siswa dalam bercerita semakin meningkat.

(64)

50

tuntas belajar sebanyak 10 siswa (83,33%). Data hasil tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa prasiklus dapat dilihat pada lampiran halaman 117. Adapun tabel tingkat keberhasilan siswa pada prasiklus adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Tingkat Keberhasilan Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa Prasiklus

Jumlah

Nilai Ketuntasan

Jumlah Siswa

Presentase (%)

695.83 Tuntas Belajar 2 16,67%

Tidak Tuntas Belajar 10 83,33%

Dari nilai tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa prasiklus di atas diketahui bahwa jumlah siswa yang berhasil mencapai KKM hanya sebanyak 2 siswa dengan persentase 16,67% dari seluruh siswa kelas IV. Sedangkan jumlah siswa yang tidak berhasil mencapai KKM sebanyak 10 siswa dengan persentase 83,33% dari seluruh siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan.

[image:64.595.142.514.235.303.2]
(65)

51

dapat meningkatkan aktivitas siswa dan keterampilan bercerita Bahasa Jawa siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan.

2. Deskripsi Pelaksanaan Aksi Siklus I a. Perencanaan Aksi Siklus I

Tahap pertama yang dilakukan pada siklus I adalah perencanaan. Tahap perencanaan dimulai dari penemuan adanya masalah kemudian merancang aksi yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Setelah mengetahui kondisi pembelajaran Bahasa Jawa di kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan, peneliti dan guru melakukan identifikasi masalah. Identifikasi masalah menunjukkan bahwa keterampilan bercerita Bahasa Jawa siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan masih rendah.

Setelah itu peneliti dan guru menentukan solusi sebagai upaya meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Solusi yang dipilih oleh peneliti guru adalah dengan menerapkan metode sosiodrama pada pembelajaran keterampilan bercerita Bahasa Jawa. Selanjutnya peneliti dan guru mendiskusikan tahap perencanaan siklus I dengan hasil sebagai berikut.

(66)

52

2) Peneliti dan guru merancang skenario pembelajaran, perangkat pembelajaran, dan instrumen penelitian mulai dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), lembar observasi siswa dan guru, lembar penilaian, serta naskah sosiodrama.

b. Pelaksanaan Aksi Siklus I

Pelaksanaan aksi disesuaikan dengan skenario pembelajaran yang telah disusun oleh peneliti dan guru pada tahap perencanaan. Skenario pembelajaran yang disusun bersifat dinamis. Artinya, skenario pembelajaran yang disusun dapat berubah karena tidak tertutup pada kemungkinan yang akan terjadi saat proses pembelajaran berlangsung. Secara garis besar aksi yang dilakukan adalah melaksanakan pembelajaran keterampilan bercerita Bahasa Jawa dengan metode pembelajaran sosiodrama. Pelaksanaan aksi pada siklus I terdiri atas tiga kali pertemuan. Ketiga pertemuan tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1) Pertemuan Pertama Siklus I

(67)

53

pembelajaran yaitu melalui sosiodrama siswa dapat mendemonstrasikan cara bertamu dengan unggah-ungguh yang tepat.

Setelah menyampaikan tujuan pembelajaran, guru menginformasikan bahwa siswa akan belajar mendemonstrasikan cara bertamu dengan unggah-ungguh yang tepat melalui metode sosiodrama. Guru menjelaskan pengertian metode sosiodrama, langkah-langkah metode sosiodrama, adanya kelompok pemeran drama dan pengamat drama, serta tugas kelompok pemeran drama dan pengamat drama. Guru memberitahukan bahwa drama yang akan dilaksanakan berjudul “Mara Tamu” dengan naskah yang telah dipersiapkan guru.

Kegiatan selanjutnya yaitu guru membagi siswa menjadi empat kelompok, setiap kelompok beranggotakan tiga siswa. Kelompok tersebut dibagi berdasarkan letak tempat duduk. Kemudian siswa duduk bersama anggota lainnya. Setelah itu guru bertanya, kelompok siapakah yang berani menjadi kelompok pemeran. Berhubung tidak ada kelompok yang berani, maka guru mengambil aksi dengan cara mengundi. Guru membuat empat kertas undian. Dari keempat kertas tersebut, satu diantaranya bertuliskan kelompok pemeran dan tiga lainnya bertuliskan kelompok pengamat.

(68)

54

naskah sosiodrama yang berjudul “Mara Tamu” kepada kelompok pemeran, sedangkan tiga kelompok pengamat diminta untuk mempersiapkan tata panggung. Tiga kelompok tersebut kemudian bersama-sama mempersiapkan tata panggung dengan mengubah letak tempat duduk menyerupai huruf U.

Saat tiga kelompok pengamat sedang mempersiapkan tata panggung, kondisi kelas menjadi gaduh. Keadaan tersebut mengganggu kelompok pemeran dalam mempelajari dan menghafal naskah drama. Oleh sebab itu, guru meminta kelompok pemeran untuk menghafal naskah di perpustakaan. Guru membimbing kelompok pemeran agar berdialog dengan suara yang jelas serta tampil dengan percaya diri. Setelah 15 menit berlatih, kelompok pemeran kembali ke ruang kelas.

Kegiatan berikutnya yaitu guru membagi lembar pengamatan pemeran drama kepada setiap kelompok pengamat dan menjelaskan bagaimana cara mengisi lembar tersebut. Setelah itu guru memberi arahan bagi kelompok pengamat agar tenang dan tidak mengganggu jalannya drama.

(69)

55

Langkah berikutnya, kelompok pengamat mengisi lembar pengamatan pemeran drama. Guru berkeliling untuk membantu siswa dalam mengisi lembar tersebut. Setelah itu, guru meminta agar setiap kelompok membacakan hasil pengamatan mereka tentang bagaimana penampilan pemeran drama. Setiap kali perwakilan kelompok selesai membacakan hasil pengamatan, guru dan siswa dari kelompok lain membahas secara bersama-sama.

Selanjutnya guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk bertanya tentang hal yang tidak dimengerti, kemudian siswa menarik kesimpulan materi pembelajaran melalui bimbingan guru. Sebelum mengakhiri pembelajaran, guru memberikan tugas kepada setiap kelompok untuk membuat naskah sosiodrama mengenai kesan yang paling menarik berkaitan dengan upacara adat Sekaten. Guru juga berpesan agar siswa dapat membiasakan diri bertamu dengan unggah-ungguh yang tepat. Setelah itu siswa diminta untuk beristirahat.

2) Pertemuan Kedua Siklus I

(70)

Gambar

Gambar 1. Proses Penelitian Tindakan Model Hopkins (Wina Sanjaya,
Tabel 1. Kriteria Ketuntasan Minimal Bahasa Jawa
Tabel 2. Tingkat Keberhasilan Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa
Tabel 3. Tingkat Keberhasilan Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa
+5

Referensi

Dokumen terkait

Asuransi Mega Pratama dalam menentukan siapa yang akan pantas atau tidak menjadi agen terbaik dan kriteria yang terdiri dari tersebut ditentukan oleh pihak perusahaan asuransi

jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar

[r]

[r]

PENGERTIAN Insiden Keselamatan Pasien ( IKP ) adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan tidak diharapkan yang dapat mengakibatkan atau berpotensi

Adanya hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru fisika dengan motivasi belajar fisika menunjukkan benar bahwa untuk menguatkan atau

[r]

Variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan memiliki arah yang positif, infrastruktur dan tenaga kerja juga berpengaruh signifikan dengan arah yang positif