• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Pembahasan hasil penelitian bertitik tolak dari tujuan penelitian, yaitu ingin mengetahui pola pengasuhan orangtuamenurut siswa kelas VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008. Sesuai dengan jenis penelitian deskriptif, maka penelitian ini juga hanya ingin memaparkan kondisi/keadaan apa adanya dalam situasi tertentu. Sehingga hasil penelitian ini juga hanya representatif dalam jangka waktu tertentu pula. Berikut ini akan dilakukan pembahasan terhadap temuan penelitian tersebut.

1. Pola Pengasuhan Orangtua Demokratik Menurut Siswa

Hasil empirik penelitian menunjukkan bahwa pola pengasuhan orangtua demokratik menurut siswa kelas VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 memperoleh nilai persentase sebesar 74,39% dan tingkat kualifikasinya adalah tinggi.

Berdasarkan kajian teori pada bab sebelumnya dapat diartikan bahwa pola pengasuhan demokratik menggunakan penjelasan, diskusi, dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Pola ini lebih menekankan aspek edukatif daripada hukumannya. Pola pengasuhan demokratik menggunakan hukuman dan penghargaan dengan penekanan yang lebih besar pada apenghargaan. Pola pengasuhan orangtua demokratik akan membentuk perkembangan anak

yang mandiri, percaya diri, tanggung jawab, sikap menghormati, mudah bergaul, ramah, dan mudah bekerjasama dengan orang lain. Pola pengasuhan demokratik ini cocok diterapkan bagi perkembangan anak pada usia siswa kelas VIII, dimana pada usia tersebut perkembangan anak memerlukan pengakuan dan identitas dalam proses bimbingannya memerlukan interaksi antara anak dengan orangtua. Hal ini dikarenakan bahwa lingkungan keluarga dan bimbingan orangtua mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk perkembangan anak di masa yang akan datang. Orangtua yang memiliki hubungan yang baik dengan anak-anaknya akan mempengaruhi perkembangan anak lebih optimal. Nilai-nilai yang ditanamkan di lingkungan keluarga dengan pola pengasuhan demokratik akan membentuk perkembangan sikap dan perilaku anak lebih bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1999:93-94) yang menyatakan bahwa pola pengasuhan orangtua yang demokratik maka akan membentuk harga diri dan kepercayaan diri anak berkembang karena anak dihargai, anak tidak akan takut untuk melakukan sesuatu, anak dilatih mengambil keputusan, anak memiliki keyakinan diri yang mantap karena terbiasa dilatih untuk bertanggung jawan dan orangtua menerima apa adanya.

Kemampuan orangtua dalam memberikan pola pengasuhan yang baik tidak terlepas dari adanya pemahaman orangtua terhadap perkembangan anak itu sendiri. Untuk itu, orangtua dituntut untuk memahami proses perkembangan anak secara baik. berbagai cara yang

dapat dilakukan orangtua dalam memahami perkembangan anak dengan cara melakukan interaksi yang inten dengan anak, memposisikan anak sebagai teman dalam berdiskusi, selalu memberikan mengakuan dan penghargaan terhadap anak jika berprestasi dan banyak cara lainnya seperti banyak menbaca cara membimbing anak atau banyak berdiskusi dengan orang yang dianggap paham dalam hal tersebut.

Kondisi tersebut di atas menguatkan bahwa keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama dan utama dalam kehidupan anak, tempat anak belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam interaksi dengan kelompoknya. Pengalaman-pengalaman interaksi sosial anak di lingkungan keluarga juga akan tercermin dalam bertingkah laku serta bergaul dengan orang lain. Orangtua memiliki tanggung jawab yang besar terhadap perkembangan anak-anak. Peran orangtua berupa mengarahkan dan membimbing kepada anak, sehingga diharapkan dapat berkembang dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution (1985:15) yang menyatakan bahwa seorang anak yang sedang dalam masa perkembangan, membutuhkan pengarahan dari orangtua walaupun anak tidak secara spontan menerima.

Melihat uraian di atas yang menyatakan bahwa pola pengasuhan orangtua demokratik akan membentuk perkembangan anak yang baik, hal ini pula dapat dirasakan oleh siswa kelas VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008. Hal ini dibuktikan dengan hasil

penelitian yang menujukkan bahwa menurut siswa pola pengasuhan orangtua demokratik mempunyai persentase yang tinggi (74,39%).

Pola pengasuhan demokratik juga mempunyai prinsip take and give (memberi dan menerima), sehingga rasa tanggung jawab anak dapat semakin meningkat. Orangtua demokratik menempatkan nilai yang tinggi pada perkembangan kemandirian dan pengendalian diri pada perilaku anak, menanamkan kebiasaan rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak serta memegang teguh perilaku disiplin. Otoritas orangtua diekspresikan melalui bimbingan dan pendidikan yang disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Selain itu, anak didorong untuk melepaskan diri secara berangsur-angsur dari ketergantungan terhadap keluarga.

Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh pola pengasuhan orangtua demokratik yang telah diuraikan di atas, pola pengasuhan orangtua demokratik dapat diterapkan dalam sistem bimbingan dan konseling terhadap siswa kelas VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008.

2. Pola Pengasuhan Orangtua Otoriter Menurut Siswa

Temuan empirik dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pengasuhan orangtua otoriter menurut siswa kelas VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 memperoleh nilai persentase sebesar 64,19% dan tingkat kualifikasinya sedang.

Berdasarkan kajian teori pada bab sebelumnya yang mengatakan bahwa pola pengasuhan otoriter dintandai dengan peraturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang diinginkan oleh orangtua terhadap anak. Tekniknya lebih pada memberikan hukuman yang berat bila terjadi kegagalan memenuhi standar dan kurangnya pendekatan, persetujuan, pujian atau penghargaan lainnya bila anak memenuhi standar yang diharapkan orangtua. Pola pengasuhan otoriter mencerminkan orangtua tidak mendorong anak untuk mandiri mengambil keputusan yang berhubungan dengan tindakan mereka. Orangtua hanya mengatakan apa yang harus dilakukan oleh anak tanpa menjelaskan alasan.

Pola pengasuhan otoriter berdampak terhadap perkembangan anak yang kurang baik, karena anak merasa tertekan dan tidak dapat mengekspresikan apa yang diinginkannya. Anak akan kehilangan kesempatan untuk belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri. Dalam keluarga otoriter anak tetap dibatasi dalam tindakan mereka, dan keputusan-keputusan tentang permasalahan mereka diambil oleh orangtua. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarsa (2004:280) yang menyatakan bahwa orangtua otoriter tidak melakukan komunikasi yang baik dengan anak. Komunikasi yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah, yaitu dari orangtua ke anak. Kurangnya komunikasi antara orangtua dan anak menyebabkan ketrampilan berkomunikasi anak menjadi kurang.

Akibat dari pengasuhan otoriter tersebut, anak mempunyai kecenderungan akan memberontak dan mempunyai sikap bermusuhan

kepada orangtua. Orangtua terlalu dominan dalam mengatur kehidupan anak tanpa memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan keinginannya dan berkomunkasi dengan orangtua. Akibat lainnya, anak akan merasa canggung jika berada dalam lingkungan atau komunitasnya karena selalu dibentuk dalam kondisi yang harus mengikuti. Padahal kehidupan dan perkembangan anak memerlukan kebebasan yang berlandaskan kedisiplinan dan bertanggung jawab. Kemungkinan lain dari pola pengasuhan otoriter, anak tidak akan mampu berkomunikasi dengan orang lain, menjadi pasif, selalu mengikuti arus. Lama kelamaan anak akan mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan diri. Selain itu anak takut untuk membuka diri, selalu tegang, khawatir, bimbang, labil dan anak tampak penurut tetapi perasaannya sering diliputi kegelisahan dan potensinya tidak dapat berkembang secara maksimal.

Kondisi tersebut dapat tampak dalam hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pola pengasuhan orangtua mempunyai kualifikasi sedang. Hal ini berarti bahwa kecenderungan terhadap pola pengasuhan orangtua otoriter kurang mendorong perkembangan anak yang baik. adanya kualifikasi sedang tersebut dimungkinkan bahwa siswa merasa bahwa pola pengasuhan otoriter pernah dirasakan bahkan sering dirasakan. Pengamatan siswa tersebut dapat dimaklumi karena perkembangan pada usia siswa kelas VIII SMP kadangkala bersikap yang kebablasan, melanggar norma-norma yang berlaku, sehingga dapat berperilaku negatif. Hal ini didorong dengan perkembangan anak pada usia remaja awal yang

penuh dengan sensasi karena dalam proses mencari identitas dan pengakuan, baik dari keluarga maupun lingkungan sosial. Dalam fase remaja awal tersebut, orangtua perlu juga menerapkan pendidikan yang tegas dan menerapkan hukuman, tetapi tentu saja dalam batas kewajaran sesuai dengan sikap dan perilaku anak. Pola pendidikan orangtua yang otoriter perlu juga dilakukan bagi anak yang sudah tidak lagi didekati dengan pola pengasuhan lainnya, tetapi bukan berarti pola tersebut harus selalu diterapkan karena kalau terus menerus akan berakibat buruk terhadap perkembangan anak.

Pola pengasuhan otoriter akan berdampak terhadap sikap dan perilaku anak yang cenderung suka berbohong, ketika anak dihadapan orangtua kelihatan meurut dan patuh, tetapi ketika di luar pengawasan orangtua, anak akan memperlihatkan reaksi-reaksi menentang atau melawannya karena anak merasa tertekan dan dipaksa dalam perkembangannya. Kondisi tersebut akan membentuk jiwa anak yang keras. Kurangnya bimbingan dan perhatian dari orangtua, anak akan memberontak dan mencari kebebasan di luar lingkungan keluarga, sehingga akan terjadilah kenakalan remaja yang berpotensi dapat merugikan perkembangan anak di masa mendatang, seperti terjerumus dalam minum-minuman keras, obata-obatan berbahaya, free sex, kriminalitas dan lain sebagainya (Gunarsa, 2004:280).

Hasil empirik penelitian menunjukkan bahwa pola pengasuhan orangtua permisif menurut siswa kelas VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 memperoleh nilai persentase sebesar 68,59% dan tingkat kualifikasinya adalah tinggi.

Berdasarkan kajian teori pada bab sebelumnya mengatakan bahwa pola pengasuhan permisif adalah orangtua memberikan kebebasan pada anak untuk mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan-batasan dari tingkah lakunya. Hanya pada hal-hal yang dianggapnya sudah keterlaluan oleh orangtua, barulah orangtua bertindak mengendalikannya. Dalam pola permisif ini pengawasan menjadi longgar. Anak telah terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik. Pada umumnya, keadaan seperti ini terdapat pada keluarga-keluarga yang kedua orangtuanya bekerja, terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan sehingga tidak ada waktu untuk mendidik anak dalam arti yang sebaik-baiknya. Karena harus menentukan sendiri, maka perkembangan kepribadian anak cenderung tidak terarah (Gunarsa, 2004:281).

Pola pengasuhan permisif, orangtua cenderung bersikap kurang tegas. Anak diberi kebebasan untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Semua keputusan diberikan kepada anak, tanpa pertimbangan dari orangtua, sehingga anak sering tidak tahu apakah perilakunya itu benar atau salah. Pola pengasuhan permisif menempatkan orangtua pada posisi pasif dalam arti orang cenderung membiarkan anak

bersikap tanpa batasan, aturan dan larangan yang jelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarsa (2004:281) yang mengatakan bahwa cara permisif ternyata menyebabkan anak cenderung tidak memiliki kontrol diri yang baik, anak menjadi egois, selalu memaksakan kehendaknya sendiri tanpa memperdulikan perasaan orang lain.

Perkembangan siswa kelas VIII SMP pada usia remaja awal memang cenderung kurang terkontrol karena pada masa tersebut, siswa akan cenderung berbuat sesuatu untuk mencari perhatian dan pengakuan dari teman-temannya dan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan hasil penelitian yang diperoleh bahwa pendapat siswa terhadap pengasuhan orangtua permisif berada pada kualifikasi tinggi (68,59%). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pendapat siswa mempunyai keinginan yang bebas tanpa ada batasan-batasan atau aturan-aturan dalam bersikap dan berperilaku. Hal tersebut juga dapat menunjukkan bahwa orangtua siswa memang selalu sibuk di luar rumah dengan berbagai kegiatannya, sehingga anak sudah merasa terbiasa tanpa adanya kontrol dan perhatian dari orangtua. Kurangnya intensitas pertemuan dan komunikasi antara anak dan orangtua akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak yang merasa bebas dalam menentukan sesuatu yang diinginkannya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kebebasan adalah sesuatu yang menjadi idaman oleh setiap orang, begitu juga dengan anak. Anak ingin bebas dan jika kebebasannya selalu dihalangi oleh orangtua, mereka akan menjadi antipati terhadap orangtua

dan lingkungan keluarga. Alasan inilah kiranya yang menyebabkan pola pengasuhan permisif berada pada kualifikasi tinggi dalam pendapat siswa. Selain itu, penerapan pola pengasuhan permisif diakibatkan oleh pola pengasuhan demokratik yang kebablasan, karena kasih sayang yang terlalu besar orangtua cenderung mengikuti apa yang diinginkan oleh anak.

Berdasarkan pembahasan dari ketiga pola pengasuhan tersebut di atas, timbul pertanyaan: pola pengasuhan apa yang baik diterapkan kepada anak-anak? Pertanyaan tersebut memang sulit untuk dijawab secara pasti, karena pembentukan dan perkembangan anak tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga saja tetapi ada lingkungan-lingkungan lain yang sama-sama mempunyai peranan penting terhadap perkembangan anak. Permasalahannya adalah bagaimana lingkungan-lingkungan tersebut dapat berjalan secara seimbang dan bersifat konstruktif dalam membentuk perkembangan anak yang lebih baik. Dari beberapa lingkungan yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan anak, di antaranya adalah: 1. Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama dirasakan oleh anak. Pengalaman-pengalaman yang dirasakan dalam lingkungan keluarga menjadi salah satu ukuran dalam perkembangan anak. Kondisi lingkungan keluarga yang baik akan berpengaruh terhadap perkembangan anak yang baik. Dan sebaliknya kondisi lingkungan keluarga yang buruk akan berdampak negatif terhadap perkembangan anak. Pengalaman anak dalam keluarga dapat menjadi suatu landasan perkembangan bagi anak

dalam menghadapi berbagai permasalahan. Di sinilah, orangtua mempunyai peranan sangat penting dalam memberikan bimbingan dan perhatian terhadap anak, sehingga anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan keinginanannya dengan landasan norma-norma yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution (1985:40) yang menyatakan bahwa ada tiga peranan orangtua terhadap anaknya, yaitu;

a. Mengasuh dan membimbing anak-anaknya

Orangtua berkewajiban untuk memberikan bimbingan kepada anak-anaknya, karena bimbingan itulah yang akan menentukan masa depan anak. Apabila anak mendapat bimbingan yang baik dari orangtuanya maka akan berpengaruh baik pila kepada anak, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Dengan adanya bimbingan dari orangtua diharapkan anak dapat menentukan arah yang akan ia tempuh dalam hidupnya.

b. Mengarahkan pendidikan anak-anaknya

Orangtua perlu mengawasi dan mengarahkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak-anaknya, tanpa adanya pengawasan yang baik dari orangtua, kemungkinan besar anak-anak akan bersikap dan berperilaku bebas dalam bertindak. Kenyataannya, dengan adanya pengawasan pun tidak sedikit orangtua merasa kecolongan dengan terjadinya tindakan anak-anaknya cenderung menyimpang dari norma-norma agama, hukum dan sosial.

c. Mengendalikan pergaulan anak-anaknya

Pada usia remaja akan terjadi perubahan psikologis dan sosial yang ditunjukkan dalam rangka menemukan identitas dirinya. Adanya teman-teman sebaya sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Perkembangan remaja lebih didominasi dengan adanya interaksi dan upaya menjalin hubungan yang baru dengan teman-teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis. Untuk itu, orangtua diharapkan menyadari bahwa pergaulan remaja tidak selalu baik, sehingga orangtua harus mengendalikannya. Orangtua harus dapat mengantisipasi dampak dari pergaulan anaknya. Misalnya anak-anak memiliki kelompok yang suka merokok, minum alkohol, obat-obatan terlarang, dan seks bebas, maka anak cenderung mengikuti tanpa mempertimbangkan akibatnya. Dengan demikian peranan orangtua dalam membimbing, mengarahkan dan mengendalikan anak-anaknya sangat diperlukan.

2. Lingkungan Sekolah

Winkel (1991:25) menguraikan bahwa sekolah merupakan lingkungan pendidikan formal karena di sekolah terlaksana serangkaian kegiatan yang terorganisir, termasuk kegiatan dalam rangka proses belajar mengajar di kelas. Kegiatan belajar ini bertujuan menghasilkan perubahan-perubahan positif di dalam diri anak yang sedang dalam masa perkembangan.

Di lingkungan sekolah yang mempunyai tanggung jawab terhadap perkembangan anak adalah guru. Disinilah peranan guru dituntut sebagai pengganti orangtua dalam keluarga untuk membimbing, mengarahkan dan mengendalikan perkembangan anak. Seorang guru dituntut untuk memahami terhadap proses perkembangan siswanya, sehingga guru dapat memahami potensi yang dimiliki oleh setiap siswa. Selanjutnya guru berperan untuk mendorong dan mengembangkan potensi yang dimiliki siswa menjadi suatu kegiatan atau ketrampilan yang mendukung perkembangan siswa yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarsa (2004:275) yang mengatakan bahwa peran guru di sekolah merupakan sesuatu yang sangat penting. Guru yang menunjukkan kontrol diri yang baik, penuh kehangatan, dan bersahabat dalam interaksinya di kelas akan lebih mudah berhubungan dengan siswa, sehingga siswa akan lebih terbuka kepada guru. Guru yang demikian dapat membantu anak untuk mencapai keberhasilan akademik dan belajar menghargai diri sendiri dan orang lain serta dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kenakalan remaja.

Dari kedua lingkungan yang telah di uraikan di atas, maka jelas bahwa lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah mempunyai peranan yang sangat besar terhadap perkembangan anak. Untuk itu, antara orangtua dari lingkungan keluarga dan guru dari lingkungan sekolah harus mempunyai jalinan yang baik,, sehingga pengaruh bimbingannya bersifat sinergik.

58

Pada bagian ini akan disajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang disajikan pada bagian ini berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan. Dalam peneltian ini kesimpulan hanya berlaku pada populasi penelitian, sedangkan saran akan diberikan dalam penelitian ini hanya berdasarkan hasil penelitian, yang ditunjukkan kepada pihak orangtua, lembaga yang terkait dan usulan kepada orang yang akan melakukan penelitian lanjutan.

Dokumen terkait