YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2007-2008
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh :
BERNADINA HESTI WIJAYANTI
NIM : 021114040
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
“Jika doamu tulus, engkau harus yakin bahwa hidup yang engkau jalani saat ini adalah yang terbaik yang Tuhan rencanakan bagimu”
(Renungan )
“ Sepahit apapun hidup, jalani saja Tuhan tak akan diam ” (Penulis)
“The grand essentials of happiness are : something to do, something to love, and something to hope for.”
(Penulis )
Karya sederhana ini ku persembahkan untuk:
v
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 13 Desember 2007
Penulis
vi
MENURUT SISWA KELAS VIII SMP PANGUDI LUHUR I
YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2007-2008
Bernadina Hesti Wijayanti Universitas Sanata Dharma, 2007
Pola pengasuhan adalah bentuk-bentuk perlakuan orangtua dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak. Pola pengasuhan orangtua dalam mendidik anaknya dapat bervariasi antara satu dengan yang lainnya. Dalam penelitian ini pola pengasuhan mengacu pada pendapat Hurlock (1999:93) yang menyatakan bahwa pola pengasuhan terdiri dari tiga macam, yaitu: otoriter, permisif dan demokratik. Untuk mengetahui pendapat siswa terhadap pola pengasuhan orangtua, maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pola pengasuhan orangtua menurut siswa kelas VIII SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta tahun ajaran 2007-2008.
Sampel penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta, sebanyak 81 siswa. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang terdiri dari 69 item pernyataan, terbagi menjadi tiga aspek pola pengasuhan, yaitu demokratik, otoriter dan permisif. Teknik analisis data yang digunakan adalah membuat tabulasi data, menghitung frekuensi, persentase, dan menentukan kategori berdasarkan Penilaian Acuan Mutlak (PAM) Tipe II dengan 5 kategori pilihan, yaitu “sangat tinggi”, “tinggi”, “,sedang”, rendah” dan “sangat rendah”.
vii
THE VIII GRADE STUDENTS IN PANGUDI LUHUR I JUNIOR HIGH
SCHOOL YOGYAKARTA ACADEMIC YEAR OF 2007-2008
Bernadina Hesti Wijayanti Sanata Dharma University, 2007
The pattern of upbringing was the kinds forms of the treatment parents did in taking care of and satisfying childs needs. The pattern of parents upbringing in educating his child could be various between one and the other. In this research the pattern of upbringing was referred in the Hurlock opinion (1999:93) that the pattern of upbringing consisted of three sorts, that is: authoritarian, permissive, and democratic. To know the perception of the student against the pattern of parents upbringing, then this research aimed at receiving the picture about the pattern of the persons upbringing according to the VIII students in PANGUDI LUHUR I Junior High School Yogyakarta academic year of 2007-2008.
This study’s samples were the VIII grade students in PANGUDI LUHUR I Junior High School Yogyakarta academic year of 2007-2008, 81 students. The instrument employed consisted of 69 questions which were divided into three aspects of the pattern of upbringing: democratic, authoritharian, and permissive. The data analysis implemented here was tabulating data, calculating frequency and percentage and categorizing in accordance with PAM type II in 5 categories: “highest”, “high”, “medium”, “low” and “lowness”.
viii
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Baik dan
Murah Hati atas karunia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Di dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini,
penuilis selalu diberi kekuatan, pendampingan dan bimbingan-Nya. Skripsi
disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang
memberikan bantuan, perhatian, serta dukungan hingga terselesaikannya skripsi
ini. Pada kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Drs. A. Samana, M.Pd., Dosen pembimbing I yang telah memberikan
dukungan, saran, motivasi, bimbingan dan dorongan yang berguna bagi
penulis hingga tersusun skripsi ini.
2. Bapak Y.B. Adimassana, M.A., Dosen pembimbing II yang telah memberikan
masukan-masukan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., Ketua Program Studi Bimbingan dan
Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata
Dharma, yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi ini.
4. Br. Heribertus Triyanto, FIC, Kepala Sekolah SMP Pangudi Luhur I
ix
waktu kepada penulis untuk melakukan ujicoba dan penelitian skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu (Bapak Iswanjono dan Ibu Bernadeta Reni Semestiani) yang
telah membimbing, membesarkan, dengan penuh cinta yang tulus. Tak
terhingga cinta yang kalian berikan, menjadikan aku dapat menyelesaikan
studi. Terimakasih atas doa dan cinta yang Bapak dan Ibu berikan. Semoga
aku dapat membahagiakan kalian.
7. Adhek-adhekku, Panji, Valentino, dan Yudha yang selalu membuat kakaknya
tertawa dan marah karena kelucuan dan kenakalannya.
8. Kekasihku Roy Sherlendra Putra yang telah menberi cinta dan sayangnya
kepada penulis…I LOVE U HONEY….
9. Eyang-eyang ku tercinta yang telah menghadap Bapa di surga (Eyang Kakung
& Bunda). Terima kasih karena selalu datang menemui aku di saat aku sedih
dan putus harapan.
10. Kamarku, yang memberi kenyamanan selama ini sebagai tempat berdoa,
tempat belajar, tempat merenung dan termenung, tempat istirahat, tempat
menangis di saat sedih dan putus harapan, serta tempat tertawa di saat
bahagia. Terimakasih telah menemaniku.
11. Buku Diary ku, tempat aku menulis kejadian yang aku alami sehari-hari,
tentang Cintaku, kegiatanku, teman-temanku, dan tempat ku curahkan segala
x
13. Temen-temen seperjuangan angkatan ’02 yang selalu memberikan masukan
yang berharga kepada penulis : Esti, Ina, Tuti, Nena, Sisca, Sari…..makasih
jeng….!
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah turut serta
dalam membantu meyelesaikan skripsi ini, semoga Tuhan selalu memberkati.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari
sempurna. Semoga karya yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Terma kasih.
Yogyakarta, 13 Desember 2007
xi
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Definisi Operasional... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6
A. Pendapat ... 6
1. Pengertian Pendapat ... 6
xii
2. Macam-macam Pola Pengasuhan Orangtua ... 12
C. Posisi serta Peran Orangtua dan Sekolah terhadap Perkembangan Anak ... 17
BAB III METODE PENELTIIAN ... 26
A. Jenis Penelitian... 26
B. Populasi Penelitian ... 26
C. Alat Pengumpulan Data ... 28
D. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Penelitian ... 34
1. Validitas ... 35
2. Reliabilitas ... 37
E. Prosedur Pengumpulan Data ... 39
F. Teknik Analisis Data... 39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41
A. Hasil Penelitian ... 41
1. Pola Pengasuhan Orangtua Demokratik menurut Siswa ... 42
2. Pola Pengasuhan Orangtua Otoriter menurut Siswa ... 43
3. Pola Pengasuhan Orangtua Permisif menurut Siswa ... 44
B. Pembahasan... 45
1. Pola Pengasuhan Orangtua Demokratik menurut Siswa ... 45
xiii
A. Kesimpulan ... 58
B. Saran... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 64
xiv
Tabel 1. Data Populasi Penelitian ... 28
Tabel 2. Sebaran Item dalam Uji Coba Alat Penelitian ... 33
Tabel 3. Sebaran Item Penelitian ... 35
Tabel 4. Klasifikasi Koefisien Korelasi ... 39
Tabel 5. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 40
Tabel 6. Hasil Penelitian ... 42
xv
Lampiran 1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 67
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian ... 71
Lampiran 3. Data Hasil Penelitian ... 76
Lampiran 4. Deskripsi Data Hasil Penelitian... 84
Lampiran 5. Deskripsi Frekuensi Data Hasil Penelitian ... 87
1
Kajian pendahuluan merupakan pengantar yang memuat latar belakang
pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
definisi operasional.
A. Latar Belakang Masalah
Daniel Goleman, penulis buku laris Kecerdasan Emosional yang telah
di terjemahkan kembali oleh T. Hermaya (1996:268) menulis bahwa
keluargalah tempat pertama kali seseorang belajar untuk mengenal bentuk
fisik, kepribadian, pemikiran, dan perasaan orang lain. Keluarga pula tempat
pertama kali seseorang belajar bagaimana dia dikenal orang lain. Di dalam
proses mengenal dan dikenal di lingkungan keluarga ini, seringkali terjadi
benturan yang melibatkan emosi pelakunya. Cara-cara mengatasi
benturan-benturan yang terjadi di lingkungan keluarga inilah, yang menjadi dasar
pembelajaran untuk mengatasi masalah di lingkungan yang lebih besar. Di
dalam sebuah keluarga ada dua generasi, yaitu orangtua dan anak, yang saling
mempengaruhi. Dua generasi ini harus bekerja sama agar bisa mencapai
tujuan yang tertinggi, yaitu kebahagiaan. Pengertian kebahagiaan sangat
beragam dan subjektif. Konsep bahagia menurut orangtua boleh jadi berbeda
dengan konsep bahagia menurut anak. Dalam hal ini, orangtua mempunyai
Anak-anak pun mencapai kebahagiaan, juga dengan cara mereka sendiri. Di
sinilah sering terjadi konflik antara orangtua dan anak, karena baik anak
maupun orangtua mempunyai cara dan standar sendiri untuk mencapai tujuan,
yang secara umum (global) disebut kebahagiaan.
Pada dasarnya, tak ada orang tua di dunia ini yang menginginkan
anaknya tidak bahagia dan tidak ada seorang anak pun di dunia yang ingin
menyakiti atau menyengsarakan orangtua. Tetapi, jalan yang ditempuh baik
oleh anak maupun orangtua kadang berbeda. Perbedaan akan tampak semakin
mencolok ketika anak-anak mencapai tahap kehidupan remaja. Di masa
remaja sedang mencari jati diri agar eksistensi mereka diakui, sementara di
saat yang sama mereka sedang mengalami kebingungan menghadapi
perubahan fisik dan emosional dari masa anak ke masa dewasa. Cara-cara
mencari jati diri yang disertai kebingungan menempatkan diri inilah yang
sering bertentangan dengan standar atau norma yang dianut oleh orangtua.
Media massa menyoroti bagaimana remaja berperilaku dan melakukan
sesuatu yang tidak disetujui orangtuanya dan oleh masyarakat sekitarnya,
seperi tawuran, narkoba, mencuri bahkan sampai membunuh. Semua tindakan
tersebut dapat digolongkan sebagai kenakalan remaja. Salah satu penyebab
kenakalan remaja adalah hubungan antara orangtua dan anak yang tidak
selaras/kurang harmonik. Kebutuhan dan harapan-harapan remaja masa kini
sering tidak sesuai dengan harapan orangtua, remaja masa kini menghadapi
Pada hakikatnya orangtua mempunyai harapan agar anak-anak mereka
tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, tidak mudah terjerumus
dalam perilaku yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain yang ada
di sekitarnya. Menyadari akan banyaknya tuntutan dan harapan dari orangtua,
Gunarsa (2004:130) mengemukakan bahwa remaja memerlukan pengertian
dari orang lain yang ada di sekitarnya terutama orangtuanya. Melalui
pandangan humanistik, orangtua belajar untuk berempati terhadap anak
mereka, belajar merasakan apa yang dirasakan oleh anak ketika membutuhkan
perhatian dan merasa kekurangan kasih sayang, sehingga orangtua dapat lebih
menyadari dan bersedia untuk memenuhi kebutuhan anak mereka.
Orangtua menempati posisi penting dalam pembentukan pola sikap
dan perilaku anak. Orangtua sebagai pendamping perkembangan anak
memiliki peranan dalam meletakkan dasar-dasar kepribadian anak. Sikap,
perilaku, dan kebiasaan yang ditunjukkan orangtua akan dijadikan pola yang
dtiru oleh anak. Anak akan cenderung mengadopsi apa yang ia lihat pada
perilaku orangtuanya sehari-hari. Pola perilaku orangtua dijadikan model oleh
anak-anaknya dalam proses belajarnya. Perilaku anak yang diulang secara
terus menerus akan menjadi suatu kebiasaan dan pada akhirnya menjadi suatu
karakter dalam kepribadian anak.
Oleh karena itu, untuk mengarahkan kelakuan anak, yang pertama kali
dipikirkan adalah evaluasi tingkah laku orangtuanya (ibu-bapaknya). Sehingga
dalam mendidik anak harus diawali oleh orangtua dengan mendidik diri
sepenuhnya dalam kegagalan mengasuh anak-anaknya. Alangkah lebih baik
jika orangtua mampu mencegah hal-hal yang tidak diinginkannya sehubungan
dengan perkembangan anaknya, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik.
Penelitian ini tentang bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan
oleh orangtua menurut siswa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa cara
orangtua mengasuh anak menjadi dasar yang kuat terhadap pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian anak. Oleh karena itu masalah penelitian tentang:
Pola Pengasuhan Orangtua Menurut Siswa Kelas VIII SMP Pangudi Luhur I
Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana
pola pengasuhan orangtua menurut siswa kelas VIII SMP Pangudi Luhur I
Yogyakarta tahun ajaran 2007-2008?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pola
pengasuhan orangtua menurut siswa kelas VIII SMP Pangudi Luhur I
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh guru
pembimbing untuk mengembangkan program bimbingan baik bimbingan
pribadi, sosial, belajar maupun karier untuk siswa-siswi.
E. Definisi Operasional
Pola pengasuhan orangtua menurut siswa kelas VIII SMP Pangudi
Luhur I Yogyakarta adalah tanggapan atas rangsang-rangsang yang diterima
atau tanggapan hasil pengamatan terhadap bentuk-bentuk perlakuan orangtua
6
Dalam bab ini, peneliti menyajikan analisis teoritik yang dapat
memperjelas pemahaman mengenai topik penelitian. Kajian pustaka yang
dimaksud meliputi:
A. Pendapat
B. Pola Pengasuhan Orangtua
C. Posisi serta Peran Orangtua dan Sekolah terhadap Perkembangan Anak
A. Pendapat
Pengertian tentang pendapat dan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap pendapat merupakan hal yang penting. Pemahaman tersebut menjadi
dasar yang kuat bagi individu untuk mempersiapkan sesuatu dalam berbagai
kegiatannya.
1. Pengertian Pendapat
Pendapat adalah pengertian terhadap penafsiran rangsang yang
bersumber pada benda, kejadian, tingkah laku manusia dan hal-hal yang
ditemuinya dalam hidup sehari-hari (Mulyono, 1978:22). Ada tiga tahapan
dalam membentuk pendapat, yaitu: (1) seleksi, (2) interpretasi, dan (3)
tanggapan. Seleksi dilakukan terhadap rangsang yang masuk dari luar
melalui penginderaan. Penafsiran dibuat dengan mengorganisasikan
bentuk tingkah laku yang terjadi sebagai akibat dari interpretasi
(Mulyono, 1978:53-54).
Hal yang sama tentang pendapat ditegaskan oleh Kartini Kartono
(1994:57) bahwa proses pendapat itu terjadi karena adanya rangsang dari
luar diri individu, berupa kenyataan sosial dan lingkungan. Rangsang itu
diterima melalui alat indera, kemudian ditafsirkan, sehingga mempunyai
arti bagi seseorang. Adanya rangsang dari luar diri individu itu
mengakibatkan suatu proses pemahaman dalam dirinya, yang pada
akhirnya akan memberi tanggapan terhadap rangsang tersebut.
Dari pengertian di atas disimpulkan bahwa pendapat adalah
tanggapan hasil pengamatan atau tanggapan atas rangsang-rangsang yang
diterima.
2. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pendapat Siswa
Menurut Bimo Walgito (1994:56) pendapat individu terhadap
dunia nyata merupakan olahan semua rangsang (stimuli) yang diterima
oleh indera-indera yang dipengaruhi oleh kondisi psikik dan pengalaman
seseorang. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Perhatian yang selektif individu.
Perhatian merupakan persiapan dalam proses pembentukan
pendapat. Ada tidaknya rangsang ditentukan oleh ada tidaknya
perhatian individu terhadap rangsang itu. Rangsang yang mendapat
dengan cepat. Sedangkan rangsang yang kurang mendapat perhatian
akan kurang disadari dan kurang ditanggapi. Perhatian dan kesadaran
individu berkorelasi positif dalam pembentukan pendapat. Semakin
besar perhatian individu, semakin besar kesadarannya akan rangsang
itu, dan semakin besar pula kemungkinan individu menanggapinya.
Semakin kecil perhatian individu, semakin kecil kesadarannya akan
rangsang itu dan semakin kecil pula kemungkinan individu
menaggapinya.
b. Sifat-sifat rangsang.
Berkaitan dengan perhatian, individu lebih tertarik pada rangsang
yang memiliki intensitas kuat karena dianggap dapat menarik
perhatian. Rangsang dengan warna, lebih menarik perhatian dan lebih
mudah diterima oleh individu. Rangsang dengan perubahan dari
keadaan statik ke dinamik akan lebih mudah diterima oleh individu.
Rangsang dengan ukuran besar dan diterima secara berulang-ulang
memudahkan individu untuk menerimanya.
c. Nilai-nilai dan kebutuhan individu.
Perhatian terhadap rangsang juga ditentukan oleh sejauh mana
rangsang itu bernilai bagi individu dan sesuai dengan kebutuhannya.
Individu akan menaruh perhatian kepada rangsang yang bernilai
baginya daripada rangsang yang kurang bernilai. Individu juga akan
menaruh perhatian kepada rangsang yang sesuai dengan kebutuhannya
karena itu, perhatian individu terhadap rangsang bersifat subjektif,
berbeda antara individu yang satu dan yang lainnya.
d. Pengalaman terdahulu individu.
Perhatian individu terhadap rangsang ditentukan juga oleh
pengalaman yang berhubungan dengan penafsiran rangsang sejenis
yang dimiliki individu sebelumnya. Pengalaman-pengalaman
terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana individu mempendapat
dunianya.
B. Pola Pengasuhan Orangtua
1. Pengertian Pola Pengasuhan Orangtua
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama di mana anak
lahir, dibesarkan, berkembang, dan mengalami “proses menjadi” pribadi
yang lebih dewasa. Selama masa bayi dan kanak-kanak, fungsi dan
tanggung jawab orangtua adalah mengasuh, memelihara, melindungi dan
melatih anak untuk bersosialisasi. Seiring dengan terjadinya perubahan
pada anak menuju remaja, maka bergeser pula fungsi-fungsi keluarga
sebagai dampak penyesuaian dengan perkembangan dan
kebutuhan-kebutuhan anak. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1992:131)
bahwa dengan lebih mandirinya anak, orangtua menganggap bahwa
anaknya tidak lagi memerlukan perawatan dan pelatihan sebesar
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola pengasuhan
orangtua adalah suatu relasi/interaksi yang terjalin secara mendalam antara
anak dengan orangtuanya. Relasi/interaksi tersebut bukan hanya dalam
pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, dan kesehatan) dan
kebutuhan psikik (seperti kasih sayang, rasa aman, dan penerimaan
penghargaan), tetapi juga bagaimana orangtua memberi contoh dan
mengajarkan tentang peraturan-peraturan/norma-norma yang berlaku di
dalam masyarakat sehingga anak juga memiliki ketrampilan sosial dalam
hubungannya dengan masyarakat.
Ada empat unsur penting dalam pola pengasuhan orangtua
(Hurlock, 1999:85-92), yaitu:
a. Peraturan.
Peraturan adalah pola pengendalian tingkah laku yang ditetapkan
oleh orangtua dengan tujuan untuk membekali anak dalam berperilaku
yang disetujui dalam situasi tertentu. Contohnya, anak tidak boleh
mengambil mainan milik saudaranya tanpa izin si pemilik. Anak akan
dihukum/dimarahi bila melakukan tindakan terlarang ini. Agar
peraturan itu diterima, diingat, dan dimengerti maka peraturan
diberikan dalam rumusan yang dimengerti oleh anak sehingga
peraturan itu berharga sebagai pedoman perilaku dan mengekang
b. Hukuman.
Hukuman harus disesuaikan dengan pelanggaran. Hukuman yang
diberikan harus konsisten sehingga anak itu mengetahui bahwa kapan
saja suatu peraturan dilanggar, hukuman itu tidak dapat dihindarinya.
Apapun bentuk hukuman yang diberikan, perlu diberikan penjelasan
mengenai alasan secara adil dan benar sehingga anak tidak akan
menginterpretasikannya sebagi “kejahatan” si pemberi hukuman.
c. Penghargaan.
Penghargaan berarti bentuk pengakuan untuk suatu hasil yang baik.
Penghargaan tidak perlu berbentuk materi, tetapi dapat berupa
kata-kata pujian, senyuman atau tepukan di punggung. Penghargaan
mempunyai nilai edukatif yang penting. Penghargaan berdampak pada
terbentuknya motivasi yang kuat bagi anak untuk melanjutkan
usahanya dan berperilaku sesuai dengan harapan. Jenis penghargaan
dapat berupa: pujian, senyuman, pelukan, hadiah dan perlakuan
istimewa.
d. Konsistensi.
Konsistensi berarti tingkat keajegan atau stabilitas. Harus ada
konsistensi dalam peraturan yang digunakan sebagai pedoman
perilaku. Anak yang menyadari bahwa penghargaan selalu mengikuti
perilaku yang disetujui dan hukuman selalu mengikuti perilaku yang
dilarang, akan mempunyai keinginan yang jauh lebih besar untuk
disetujui oleh lingkungannya. Suatu tingkah laku anak yang dilarang
oleh orangtua pada waktu tertentu, harus pula dilarang, apabila
dilakukan kembali pada waktu yang lain. Harus ada konsistensi dalam
hal-hal apa yang mendatangkan pujian atau hukuman pada anak.
Antara ayah dan ibu harus ada kesesuaian dalam melarang atau
memperbolehkan tingkah laku tertentu, tentang apa yang baik
dilakukan atau yang tidak baik untuk dilakukan oleh anaknya.
2. Macam-macam Pola Pengasuhan Orangtua
Pola pengasuhan orangtua dalam mendidik anaknya dapat
bervariasi, setiap ahli memiliki cara yang berbeda-beda dalam melihat pola
pengasuhan orangtua. Dalam penelitian ini, peneliti berpedoman pada tiga
tipe pola pengasuhan orangtua menurut Hurlock (1999:93) yaitu: otoriter,
permisif dan demokratik.
Ketiga tipe pola pengasuhan orangtua tersebut dapat dirinci
sebagai berikut:
a. Pola pengasuhan demokratik.
Menurut Hurlock (1999:93-94) pola pengasuhan demokratik
menggunakan penjelasan, diskusi, dan penalaran untuk membantu
anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Pola ini lebih
menekankan aspek edukatif daripada aspek hukumannya. Pola
pengasuhan demokratik menggunakan hukuman dan penghargaan
(2004:280) menambahkan bahwa orangtua dengan pola pengasuhan
demokratik selalu melibatkan anak dalam segala hal yang berkenaan
dengan diri anak tersebut. Orangtua mempercayai pertimbangan dan
penilaian dari anak serta mau berdiskusi dalam mengambil keputusan
yang berkaitan dengan kebutuhan anak. Anak pun belajar untuk
membuat keputusan bagi dirinya sendiri, belajar mendengarkan dan
berdiskusi dengan orangtua. Dari sikap orangtua tersebut di atas maka
harga diri dan kepercayaan diri anak berkembang karena anak
dihargai, anak tidak akan takut untuk melakukan sesuatu karena anak
dilatih mengambil keputusan, anak memiliki keyakinan diri yang
mantap karena terbiasa dilatih untuk bertanggung jawab dan orangtua
menerima apa adanya diri anak. Gunarsa (2004:281) juga berpendapat
bahwa anak yang dibesarkan dengan pola pengasuhan demokratik akan
merasakan suasana rumah yang penuh rasa saling menghormati, penuh
kehangatan dan penerimaan. Dengan demikian, anak akan lebih mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Gunarsa dan Gunarsa (1986:84)
menambahkan bahwa dengan cara demokratik ini, rasa tanggung jawab
pada anak akan berkembang sehubungan dengan tingkah lakunya dan
selanjutnya dapat memupuk rasa percaya dirinya. Selain itu anak
cenderung lebih mandiri, tegas, ramah, mudah bekerjasama dengan
orang lain, mudah bergaul, dapat mengendalikan diri dan berkembang
terbuka dari orangtua ke anak dalam aktualisasi dirinya. Hal ini
menjadi dasar untuk hidup yang produktif.
b. Pola pengasuhan otoriter.
Pola pengasuhan otoriter ditandai dengan peraturan yang keras
untuk memaksakan perilaku yang diinginkan oleh orangtua terhadap
anak. Tekniknya mencakup hukuman yang berat bila terjadi kegagalan
memenuhi standar dan kurangnya persetujuan, pujian atau
penghargaan lainnya bila anak memenuhi standar yang diharapkan
orangtua. Pola pengasuhan otoriter selalu berarti mengendalikan
tingkah laku anak dengan kekuatan eksternal dalam bentuk hukuman
terutama hukuman badan. Bahkan setelah anak bertambah besar,
orangtua yang menggunakan pola otoriter yang kaku jarang
mengendurkan pengendaliannya terhadap tingkah laku anaknya.
Orangtua tidak mendorong anak untuk dengan mandiri mengambil
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan tindakan mereka.
Orangtua hanya mengatakan apa yang harus dilakukan dan tidak
menjelaskan mengapa hal itu harus dilakukan. Jadi, anak-anak
kehilangan kesempatan untuk belajar bagaimana mengendalikan
perilaku mereka sendiri. Dalam keluarga otoriter anak tetap dibatasi
dalam tindakan mereka, dan keputusan-keputusan tentang
permasalahan mereka diambil oleh orangtua (Hurlock, 1999:93).
Gunarsa (2004:280) menambahkan bahwa orangtua otoriter
yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah, yaitu dari orangtua ke
anak. Kurangnya komunikasi antara orangtua dan anak menyebabkan
ketrampilan berkomunikasi anak menjadi kurang.
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1986:82) pada cara otoriter ini
orangtua menentukan aturan dan batasan yang mutlak harus ditaati
oleh anak Kalau anak tidak memenuhi tuntutan orangtua, anak akan
diancam dan dihukum. Dengan cara otoriter, akan menjadikan anak
“patuh” di hadapan orangtuanya, tetapi di luar pengawasan orangtua,
anak dapat memperlihatkan reaksi-reaksi menentang atau melawannya
karena anak merasa “dipaksa” dalam perkembangannya.
Gunarsa (2004:280) berpendapat bahwa pola pengasuhan
otoriter ini sering kali membuat anak memberontak. Anak akan
bersikap bermusuhan kepada orangtua serta sering kali meyimpan
perasaan tidak puas terhadap dominasi orangtua bila orangtuanya
keras, tidak adil, dan tidak menunjukkan afeksi. Selain itu anak
mungkin menjadi kurang yakin akan kemampuan dirinya, kurang
matang dan menjadi agresif bila orangtua juga menerapkan hukuman
fisik kepada anak. Kartono (1985:97-99) menambahkan bahwa dengan
cara otoriter ini, anak berkembang menjadi anak yang canggung dalam
pergaulan karena anak merasa tidak dapat mengimbangi
teman-temannya dalam banyak hal, sehingga anak menjadi pasif dalam
pergaulan, lama kelamaan anak akan mempunyai perasaan rendah diri
diri, selalu tegang, khawatir, bimbang, labil dan anak tampak penurut
tetapi perasaannya sering diliputi oleh kegelisahan dan potensinya
tidak dapat berkembang secara maksimal.
c. Pola pengasuhan permisif.
Dalam pola pengasuhan permisif biasanya orangtua tidak
membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui oleh masyarakat dan
tidak menggunakan hukuman. Orangtua menganggap kebebasan sama
dengan membiarkan anak-anak meraba-raba dalam situasi yang sulit
untuk dijalani oleh anak sendiri. Anak sering tidak diberi batas-batas
atau aturan-aturan yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan,
mereka diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat
sekehendak mereka sendiri (Hurlock, 1999:93).
Orangtua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri
tata cara yang memberi batasan-batasan dari tingkah lakunya. Hanya
pada hal-hal yang dianggapnya sudah keterlaluan oleh Orangtua,
barulah orangtua bertindak mengendalikannya. Dalam pola permisif
ini pengawasan menjadi longgar. Anak telah terbiasa mengatur dan
menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik. Pada umumnya,
keadaan seperti ini terdapat pada keluarga-keluarga yang kedua
orangtuanya bekerja, terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan sehingga
tidak ada waktu untuk mendidik anak dalam arti yang sebaik-baiknya.
Karena harus menentukan sendiri, maka perkembangan kepribadian
yang terlalu kuat dan kaku menhadapi larangan-larangan yang ada
dalam lingkungan sosialnya (Gunarsa dan Gunarsa, 1986:83).
Dari penjelasan di atas, dalam pola pengasuhan permisif
orangtua cenderung bersikap kurang tegas. Di sini anak diberi
kebebasan untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.
Semua keputusan diberikan kepada anak, tanpa pertimbangan dari
orangtua, sehingga sering anak tidak tahu apakah perilakunya itu benar
atau salah. Pola pengasuhan permisif menempatkan orangtua pada
posisi pasif dalam arti orangtua cenderung membiarkan anak bersikap
tanpa batasan, aturan, dan larangan yang jelas. Sehingga anak dalam
keluarga permisif tampak kurang matang secara sosial, mementingkan
diri sendiri dan kurang percaya diri, ada juga yang agresif, terutama
anak yang tidak pernah ditegur atau dilarang ketika anak bergaul
dengan teman sebaya. Gunarsa (2004:281) menambahkan bahwa cara
permisif ini ternyata menyebabkan anak tidak memiliki kontrol diri
yang baik, anak menjadi egois, selalu memaksakan kehendaknya
sendiri tanpa memperdulikan perasaan orang lain.
C. Posisi serta Peran Orangtua dan Sekolah terhadap Perkembangan Anak
Mengasuh, membesarkan dan mendidik anak merupakan satu tugas
mulia dari orangtua yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan.
Telah banyak usaha yang dilakukan orangtua atau tenaga pendidik (sekolah)
berkaitan dengan perkembangan anak. Gunarsa dan Gunarsa (1986:5-6)
berpendapat bahwa perkembangan anak terjadi karena faktor kematangan dan
belajar. Perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam (bawaan)
dan faktor luar (lingkungan, pengalaman, pengasuhan).
Keluarga tempat anak berasal mempengaruhi kemungkinan anak
menjadi orang yang bertanggung jawab atau tidak. Keluarga yang memiliki
hubungan antar anggota kurang dekat dan hubungan yang tidak harmonis
dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak menjadi tidak
optimal. Lingkungan atau komunitas tempat anak berada juga dapat
mempengaruhi anak tersebut, termasuk nilai-nilai yang dihayati oleh
komunitas tersebut. Apakah komunitas tersebut menekankan pada nilai
hedonisme sehingga anak akan melakukan apa pun untuk memuaskan dirinya
ataukah komunitas tersebut menekankan pada nilai moral seperti kejujuran
dan kerja keras, tentu semua ini akan mempengaruhi anak dalam mengambil
tindakan. Terutama, bila di dalam komunitas tersebut banyak model yang
melakukan tindakan negatif, maka remaja akan lebih berani mengikuti contoh
negatif tersebut. Di lain pihak, bila dalam lingkungan atau komunitas tersebut
nilai positif dijunjung tinggi maka remaja akan berpikir dua kali sebelum
melakukan tindakan negatif.
Sekolah juga salah satu faktor penting dalam perkembangan anak.
Kurangnya keberhasilan akademik seperti nilai akademik yang rendah,
ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri atau bergaul yang baik dengan guru
menjadi penyebab munculnya tingkah laku yang tidak bertanggung jawab
pada anak. Sekolah merupakan suatu hal yang penting bagi anak, karena di
sekolah anak bertemu dengan teman-teman sebaya yang sedang berada pada
tahap perkembangan yang sama dengan diri anak tersebut. Sekolah juga dapat
membentuk perkembangan kepribadian dan sosial anak. Sekolah yang terlalu
menuntut anak untuk menjadi seperti apa yang diharapkan sekolah tanpa
memperhatikan kemampuan anak akan membuat anak merasa tertekan. Begitu
pula bila guru di sekolah bersikap tidak adil serta tidak mau memahami siswa.
Seseorang yang merasa tertekan tentu akan berusaha keluar dari tekanan
tersebut dengan berbagai cara. Bagi anak yang merasa tidak dapat
meyesuaikan diri di sekolah dan dengan gurunya, mungkin anak akan menjadi
lebih sering membolos sekolah, membuat ribut di kelas dan tindakan negatif
yang lain (Gunarsa, 2004:273-274).
Pendidik pertama dan utama adalah orangtua, orangtualah yang
membimbing anak untuk bertingkah laku normatif serta berpengalaman dalam
pergaulan dan kewajiban bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang
lain. Namun tugas orangtua mendidik anak membutuhkan bantuan dari
sekolah. Sekolah mengambil bagian dalam usaha meraih tujuan hidup sebagai
mahkluk berbudaya dan bermasyarakat. Sekolah berperan membantu orangtua
pada bidang yang tak dapat ditangani oleh orangtua yaitu pengajaran. Sekolah
memberikan pengajaran tentang IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)
serta ketrampilan kerja sehingga anak siap memasuki lingkungan masyarakat
jawab tersebut berfungsi sebagai lembaga pengajaran. Sekolah bukan sebagai
pengganti orangtua melainkan membantu orangtua. Ini berarti bahwa sekolah
harus menentukan kebijakan bertindak setelah mendengarkan orangtua (Drost,
1997 : 32-34).
Pelaksanaan pendidikan dapat berjalan dengan baik dan lancar apabila
terdapat kerjasama antara guru (sebagai pendidik di sekolah) dengan orangtua
(sebagai pendidik di rumah). Kerjasama itu dalam bentuk saling pengertian
dalam pelaksanaan pendidikan. Pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah (sekolah). Oleh karena
itu, tanggung jawab pendidikan yang pertama ada pada keluarga (orangtua),
yang kedua masyarakat, dan yang ketiga sekolah (Nugroho, 1985:71).
Gunarsa (2004:275) menambahkan bahwa orangtua, lingkungan dan
sekolah saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Bila keadaan latar
belakang keluarga sudah mendukung suatu perbuatan yang salah, ditambah
dengan lingkungan atau komunitas yang buruk dan kegagalan dari pihak
sekolah untuk menerima dan membimbing siswa (anak), maka kemungkinan
besar dapat terjadi kenakalan remaja. Namun, bila hanya salah satu faktor saja
yang memudahkan untuk terjadinya kenakalan remaja seperti lingkungan atau
komunitas yang buruk tetapi keluarga menekankan nilai-nilai yang baik serta
benar dan sekolah dapat memberikan kegiatan belajar yang bermakna bagi
Perkembangan anak akan maksimal apabila sekolah dan orangtua
berperan secara konstruktif sesuai dengan statusnya masing-masing, seperti
yang terurai di bawah ini:
a. Peranan sekolah.
Winkel (1991:25) menguraikan bahwa sekolah merupakan
lingkungan pendidikan formal karena di sekolah terlaksana serangkaian
kegiatan yang terorganisir, termasuk kegiatan dalam rangka proses belajar
mengajar di kelas. Kegiatan belajar ini bertujuan menghasilkan
perubahan-perubahan positif di dalam diri anak yang sedang menuju kedewasaan.
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan berarti bahwa sekolah
adalah pengemban misi pendidikan. Sekolah mempunyai ciri khas yaitu
masyarakat belajar, yang di dalamnya ada proses belajar mengajar di
sekolah, yaitu adanya siswa belajar dan guru mengajar (Nugroho, 1985:4).
Gunarsa (1986:109-124) menambahkan orang yang paling
bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas di sekolah adalah guru.
Selain mengajar guru berperan dalam mengembangkan kepribadian anak
didiknya (di samping orangtua). Dalam guru mengajar, ini berarti ia juga
mengemban tugas moral yaitu membantu anak untuk menghayati dan
mengamalkan kebaikan hidup. Inilah citra keguruan. Yang ideal adalah,
dalam situasi guru mengajarkan ilmu pengetahuan guru juga sebagai
pengganti orangtua di sekolah hendaknya mampu menyelami jiwa-jiwa
anak didiknya. Guru adalah tokoh yang paling utama dalam membimbing
Modal utama yang harus dimiliki oleh guru dalam pengajaran adalah kasih
sayang. Sebagai guru sebaiknya senantiasa harus berusaha untuk tidak
hanya mengembangkan potensi anak secara intelektual, tetapi juga mau
mementingkan interaksi guru-siswa yang akan mempengaruhi
perkembangan kepribadian siswa ke arah yang sehat dan matang. Bentuk
hubungan dialogik antara guru dan siswa adalah yang terbaik.
Gunarsa (2004:275) mengemukakan bahwa peran guru di sekolah
merupakan sesuatu yang sangat penting. Guru yang menunjukkan kontrol
diri yang baik, penuh kehangatan, dan bersahabat dalam interaksinya di
kelas akan lebih mudah berhubungan dengan siswa. Siswa (anak) akan
lebih terbuka kepada guru. Guru yang demikian dapat membantu anak
untuk mencapai keberhasilan akademik dan belajar menghargai diri sendiri
serta dengan demikian mengurangi kemungkinan terjadinya kenakalan
remaja.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa esensi pendidikan yang
diselenggarakan di sekolah bertujuan agar perkembangan tiap individu
(peserta didik) semakin optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Pendidikan yang diberikan oleh pihak sekolah, melalui guru kepada siswa
tidak hanya berupa pengajaran bidang studi, IPTEK dan ketrampilam kerja
tetapi dapat berupa pendampingan dan pengarahan perkembangan siswa
seutuhnya. Dalam proses perkembangan, siswa tidak selalu berhasil
oleh siswa berhubungan dengan cara belajar, penyesuaian diri, emosi dan
persiapan berkarier. Hal ini membutuhkan bantuan dari guru dan orangtua.
Winkel (1991:79) menegaskan bahwa bimbingan di sekolah
memusatkan pelayanannya pada peserta didik sebagai individu yang harus
mengembangkan kepribadiannya dan memanfaatkan pendidikan sekolah
yang diterima untuk perkembangan dirinya. Hal ini berarti bahwa upaya
membantu siswa dalam proses pendidikan di sekolah tidak hanya melalui
pengajaran/pelatihan tetapi juga melalui pelayanan bimbingan. Pelayanan
bimbingan di sekolah termasuk ke dalam bidang pembinaan siswa.
b. Peranan Orangtua.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama dan utama
dalam kehidupan anak, tempat anak belajar dan menyatakan diri sebagai
manusia sosial di dalam interaksi dengan kelompoknya.
Pengalaman-pengalaman interaksi sosial anak di keluarga juga tercermin dalam
bertingkah laku serta bergaul dengan orang lain. Orangtua memiliki peran
penting dan memiliki tanggung jawab besar terhadap perkembangan
anak-anaknya. Peran orangtua berupa pengarahan dan bimbingan kepada anak.
Dengan adanya pengarahan dan bimbingan ini, anak diharapkan dapat
tumbuh berkembang dengan baik. Nasution (1985:151) menambahkan
bahwa seorang anak yang sedang dalam masa perkembangan,
membutuhkan pengarahan dari orangtua walaupun anak tidak secara
Menurut Nasution (1985:40) peran orangtua dibagi atas tiga yaitu:
1) Mengasuh dan membimbing anak-anaknya.
Membimbing berarti memberi pengarahan, dapat juga
dikatakan menuntun atau mendampingi anak (Gordon, 1987:69).
Orangtua berkewajiban untuk memberikan bimbingan kepada
anak-anaknya, karena bimbingan itulah yang akan menentukan masa depan
anak. Apabila anak mendapat bimbingan yang baik dari orangtuanya
maka akan berpengaruh baik pula kepada anak, sehingga anak dapat
tumbuh dan berkembang secara wajar. Dengan adanya bimbingan dari
orangtua diharapkan anak dapat menentukan arah yang akan ia tempuh
dalam hidupnya.
2) Mengarahkan pendidikan anak-anaknya.
Orangtua perlu mengawasi kegiatan belajar anak-anaknya,
sebab tanpa adanya pengawasan yang kontinnyu dari orangtua, besar
kemungkinan pendidikan anak-anaknya kurang dapat berjalan lancar.
Pada kenyataannya, anak kurang bersedia belajar dengan baik dan
tekun tanpa adanya pengawasan dari orangtua. Dengan adanya
pengawasan dari orangtua, anak dengan sendirinya akan terdorong
untuk belajar lebih baik dan lebih giat (Nasution, 1985:43).
3) Mengendalikan pergaulan anak-anaknya.
Pada usia remaja terjadi perubahan sosial, dimana pengaruh
teman sebaya sangat kuat. Hal ini merupakan tugas perkembangan
pada masa remaja. Menurut Havighurst (Mappiare, 1982:107) tugas
dengan teman-teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis.
Tambunan (1979:101-106) berpendapat bahwa pergaulan di kalangan
remaja didorong oleh keinginan untuk mencari pengalaman. Orangtua
diharapkan menyadari bahwa pengalaman yang diperoleh anak di
rumah, di sekolah atau di lingkungan tempat tinggal dapat membantu
anak untuk menyesuaikan diri dalam pergaulan. Orangtua perlu
mengantisipasi dampak negatif dari pergaulan remaja. Apabila anak
memiliki kelompok yang suka merokok, minum alkohol, obat-obatan
terlarang, dan seks bebas, maka anak tersebut cenderung mengikutinya
26
Dalam bab ini, peneliti akan membahas tentang jenis penelitian, subjek
penelitian, alat pengumpulan data, prosedur pengumpulan data dan teknik analisis
data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian dekriptif
adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status
gejala pada saat penelitian dilakukan (Suharsimi, 2003:309). Tujuan penelitian
ini adalah untuk melukiskan variabel/kondisi “apa yang ada” dalam suatu
situasi.
Dalam hal ini penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran
mengenai pola pengasuhan orangtua menurut siswa SMP PANGUDI LUHUR
I Yogyakarta.
B. Populasi Penelitian
Populasi penelitian merupakan kelompok individu yang hendak dikenai
generalisasi hasil penelitian, dengan syarat yang harus memiliki ciri-ciri dan
karakteristik yang kurang lebih sama. Populasi dalam penelitian ini adalah
para siswa kelas VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta. Menurut
Suharsimi (2003:312), survei yang mencakup seluruh populasi yang diteliti
disebut sensus, sedangkan survei yang hanya menyelidiki sebagian saja
sebagian saja dari populasi, maka penelitian ini termasuk penelitian survei
sampel.
Dasar pertimbangan yang digunakan dalam menentukan populasi yaitu
siswa kelas VIII SMP adalah siswa yang tergolong remaja awal, yang sudah
mampu merefleksikan pola pengasuhan orangtua mereka. Walaupun semua
siswa SMP termasuk dalam masa remaja, namun siswa kelas VIII SMP lebih
mempunyai banyak waktu dibandingkan dengan kelas IX yang waktunya
tersita untuk mempersiapkan ujian akhir dan kelas VII yang masih dalam masa
penyesuaian diri terhadap lingkungan baru. Adapun data populasi penelitian
adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Data Populasi Penelitian
No. Kelas Jumlah
1 VIII A 42
2 VIII B 42
3 VIII C 42
4 VIII D 43
5 VIII E 42
Total 211
Sampel adalah sebagian/wakil dari populasi. Sampel penelitian diambil
dari populasi penelitian yang berjumlah 211 siswa. Penarikan sampel
dilaksanakan dengan teknik cluster random sampling (sampel kelompok).
Dasar pertimbangan yang digunakan peneliti dalam menggunakan teknik
sama pada kelompok (kelas) anggota populasi yang dipilih sebagai sampel
penelitian.
Penarikan sampel dilaksanakan dengan langkah-langkah yang sesuai
dengan sifat teknik sampling yang digunakan. Langkah pertama, peneliti
menentukan jumlah anggota sampel yang diinginkan. Jumlah anggota sampel
ditetapkan berdasarkan dua pertimbangan, yaitu jumlah sampel (n) minimal 30
orang dan jumlah anggota sampel yang representatif dalam peneltiian
deskriptif untuk mewakili anggota populasi niminal 25%-30% dari jumlah
anggota populasi. Selain itu, jumlah anggota sampel yang semakin mendekati
jumlah anggota populasi, berarti semakin representatif bagi penelitian itu
(Suharsimi, 2003:125). Langkah kedua, penelitia melakukan cluster random
sampling (sampel kelompok) terhadap semua unit satuan kelas yang
dirandom. Langkah ketiga, peneliti menulis lima kelas (VIII A-E) pada kertas
kemudian kertas tersebut digulung dan setelah itu diacak. Langkah keempat,
peneliti melakukan penarikan secara undian sampai akhirnya diperoleh jumlah
anggota sebanyak yang diinginkan peneliti. Penarikan disaksikan oleh guru
pembimbing.
C. Alat Pengumpulan Data
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah kuesioner.
Kuesioner adalah sekumpulan daftar pertanyaan tertulis yang diberikan
kepada subjek penelitian (Suharsimi, 2003:136). Kuesioner ini disusun oleh
memuat tipe-tipe dari pola pengasuhan demokratik, otoriter, dan permisif.
Tipe-tipe/gaya pola pengasuhan anak yang akan diselidiki tersebut adalah:
1. Tipe demokratik, dengan indikator sebagai berikut (Hurlock, 1999:93-94;
Gunarsa, 2004:280-281):
a. Menghargai anak sebagai pribadi yang ingin mandiri.
b. Melibatkan anak dalam membuat keputusan, sementara orangtua ikut
memberi penjelasan (bekerja sama dalam membuat keputusan).
c. Menggunakan wewenang, tetapi terapannya bersifat membimbing.
d. Mendukung, menerima dan bertanggung jawab dalam
mempertimbangkan berbagai alternatif tetapi tidak mendominasi dari
sudut pendirian orangtua.
e. Mendorong tumbuhnya interaksi saling memberi dan menerima.
f. Menempatkan nilai yang tinggi pada perkembangan kemandirian dan
pengaturan diri sendiri.
g. Memakai seperangkat peraturan untuk mengatur anak sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan anak.
h. Melibatkan diri dalam penjelasan dan pembicaraan tentnag disiplin dan
menananmkan kebiasaan rasional.
i. Hangat tetapi tegas.
2. Tipe otoriter, dengan indikator sebagai berikut (Hurlock, 1999:93;
Gunarsa, 2004: 279-280):
b. Kecenderungan suka menghukum dan kaku dalam disiplin.
c. Menuntut anak untuk menerima aturan dan standar yang ditetapkan
orangtua tanpa mempersoalkannya.
d. Cenderung untuk tidak mendukung perilaku bebas dan melarang
otonomi anak.
e. Membuat peraturan untuk mengendalikan perilaku anak.
f. Kurang hangat, kurang menerima dan mendukung anak, membatasi
keterlibatan anak dalam membuat keputusan.
g. Mendesak anak untuk mematuhi perintah orangtua.
h. Berusaha mengendalikan perilaku dan sikap anak sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan.
3. Tipe permisif, dengan indikator sebagai berikut (Gunarsa dan Gunarsa,
1986:83; Hurlock, 1999:93):
a. Cenderung menerima, lunak dan pasif dalam membiasakan disiplin
b. Memberi kebebasan sepenuhnya kepada anak untuk berbuat semaunya
(tanpa mengendalikannya).
c. Menghindari pengawasan terhadap anak, karena pengawasan dianggap
sebagai pelanggaran terhadap kebebasan anak.
d. Melayani anak sepenuhnya dalam setiap kegiatannya dan cenderung
memanjakan anak.
e. Menuruti kemauan anak dan menghindari konflik dengan anak.
Kuesioner ini terdiri dari dua bagian, yaitu: bagian pertama memuat
identitas subjek, tujuan kuesioner, dan petunjuk pengisian kuesioner
sedangkan bagian kedua memuat pernyataan-pernyataan. Jenis kuesioner yang
digunakan adalah kuesioner bentuk tertutup artinya responden menjawab
pernyataan yang berhubungan dengan indikator tipe pola pengasuhan orangtua
dan alternatif jawabannya sudah disediakan sehingga responden tinggal
memilih jawaban yang sesuai dengan dirinya (Suharsimi, 2000:317). Alasan
peneliti menggunakan kuesioner karena, peneliti berpandangan bahwa
kuesioner lebih efisien dari segi waktu dan pendanaan, serta lebih praktis dari
segi pelaksanaannya.
Kuesioner pola pengasuhan orangtua menurut siswa kelas VIII SMP
PANGUDI LUHUR I Yogyakarta ini mendeteksi pola pengasuhan macam apa
yang cenderung diterapkan oleh orangtua dalam rangka merawat, memelihara,
melindungi, mengajar, membimbing dan melatih anak-anak mereka. Tipe pola
pengasuhan yang dimaksud adalah pola pengasuhan demokratik, pola
pengasuhan otoriter dan pola pengasuhan permisif.
Alat atau kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data
penelitian disusun dalma bentuk skala bertingkat berdasarkan prinsip-prinsip
Likert’s Summated Rating atau biasa disebut dengan skala Likerts. Skala
Likerts merupakan serangkaian pernyataan yang masing-masing
mengungkapkan sikap yang jelas baik atau kurang baik. Adapun SkalaLikerts
tersebut adalah: (1) Selalu, (2) Sering), (3) jarang, (4) tidak pernah. Setiap
pilihan jawaban untuk pernyataan positif (favourable) diberi skor bertutr-turut
namun dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan pernyataan positif,
sehingga dalam memberikan skor pada setiap pernyataan berturut-turut yaitu
4, 3, 2, 1. Adapun alasan peneliti menggunakan pernyataan-pernyataan positif,
karena jika pernyataan-pernyataan disusun secara positif dan negatif, maka
dapat menyebabkan suatu item bisa masuk ke dalam pola pengasuhan yang
lain, sehingga dapat membuat suatu pernyataan menjadi ambigu (Andi,
2004:34).
Skala ini juga tidak memakai alternatif jawaban tengah karena dua
alasan yaitu: pertama, kategori ragu-ragu (R) atau netral (N) mempunyai arti
ganda, bisa diartikan responden belum memutuskan atau memberikan jawaban
atau diartikan sebagai pilihan netral karena tidak bisa menentukan pilihannya.
Kedua, menimbulkan kecenderungan untuk menentukan pilihan di tengah,
terutama bagi responden yang ragu-ragu atau bingung untuk menentukan
jawaban.
Kuesioner ini akan diujicobakan terlebih dahulu untuk mendapatkan
butir-butir item yang valid dan reliabel sehingga dapat dipergunakan untuk
penelitian yang sesungguhnya. Adapun kisi-kisi alat penelitian dapat dilihat di
bawah ini:
Tabel 2
Sebaran Item Dalam Uji Coba Alat Penelitian
Kuesioner Aspek Nomor Buitr Jumlah
Demokratik 1,4,7,10,13,16,19,22,25,28, 31,34,37,40,43,46,49,52,55, 58,61,63,65
23 Pola
Pengasuhan Orangtua
Otoriter 2,5,8,11,14,17,20,23,26,29, 32,35,38,41,44,47,50,53,56, 59,62,64,66,67,68,70,71,72,
73,74,75
Permisif 3,6,9,12,15,18,21,24,27,30, 33,36,39,42,45,48,51,54,57, 60
20
Total 75
Untuk mengetahui valid dan tidaknya suatu item digunakanlah analisis
product momentdengan mengkorelasikan skor item dengan skor total. Dalam
penelitian ini pengujian validitas menggunakan program SPSS (Statistical
Programme for Social Science) versi 11.0 for Windows. Setelah mengetahui
valid dan tidaknya suatu item, maka tersusunlah alat yang siap digunakan
untuk penelitian.
Setelah melakukan uji coba alat penelitian maka ada beberapa item yang
tidak valid. Untuk item yang tidak valid, peneliti melakukan revisi terhadap
beberapa item, sehingga tidak langsung menggugurkan. Ada tiga alasan
peneliti melakukan revisi terhadap beberapa item yang gugur, yaitu pertama,
hasil uji validitas mempunyai nilai yang mendekati nilai standar validitas yang
ditentukan (r = 0,3), sedangkan yang jauh dari nilai standar validitas
digugurkan. Kedua, peneliti mempertimbangkan sebaran item yang direvisi
sehubungan dengan aspek dalam kisi-kisi, danketiga isi/pesan dipertahankan,
tetapi rumusan kebahasaannya direvisi. Secara terperinsi penjelasan item yang
gugur berdasarkan aspek-aspek adalah sebagai berikut: item aspek pola
pengasuhan demokratik yang semula berjumlah 23 item, yang tidak valid
sebanyak 3 item, kemudian direvisi 1 item dan yang gugur 2 item sehingga
yang digunakan untuk penelitian 21 item. Aspek pola pengasuhan otoriter
item dan yang gugur 3, sehingga yang digunakan untuk penelitian 28 item.
Aspek pola pengasuhan permisif yang semula berjumlah 20 yang tidak valid 3
item, kemudian dari ketiga item tersebut direvisi sehingga yang digunakan
dalam penelitian 20 item. Jadi total item yang keseluruhan semula berjumlah
75 item, setelah melakukan uji coba, diketahui ada 11 item yang tidak valid,
tetapi dilakukan revisi berjumlah 5 item dan digugurkan berjumlah 6 item,
sehingga akhirnya terdapatlah 69 item yang digunakan dalam penelitian
selanjutnya. Untuk melihat item valid dan tidak valid secara jelas ada pada
lampiran 3. Adapun sebaran item yang digunakan dalam penelitian adalah
sebagai berikut:
Tabel 3
Sebaran Item Dalam Alat Penelitian
Kuesioner Aspek Nomor Buitr Jumlah
Demokratik 1,4,7,10,13,16,19,22,25,28,
D. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Penelitian
Uji coba instrumen penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat
validitas dan reliabilitas alat ukur tersebut sebelum digunakan dalam
item-item yang telah disusun oleh peneliti. Apabila siswa banyak bertanya saat
menjawab item, berarti item kurang dapat dipahami oleh siswa sehingga
diperlukan revisi. Uji coba instrumen penelitian dilaksanakan pada tanggal 30
Agustus 2007. Populasi yang digunakan dalam uji coba adalah siswa kelas
VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta, sebanyak satu kelas dengan
jumlah 42 siswa yang tidak tergolong sampel penelitian. Jumlah tersebut
dinilai representatif dan memiliki karkateristik yang sama dengan subjek
penelitian. Kesamaannya dapat dilihat dari sama-sama siswa SMP PANGUDI
LUHUR I Yogyakarta dan sama-sama kelas VIII.
Ujicoba instrumen atau alat penelitian ini untuk koefisien validitas dan
taraf reliabilitas dari item instrumen penelitian. Setelah uji coba dilaksanakan
hasil pengisian kuesioner dimasukkan dalam program komputer Microsoft
Excel 5.0 for Windows. Sedangkan untuk menganalisis koefisien validitas dan
taraf reliabilitas item digunakan bantuan komputer program SPSS (Statistical
Programme for Social Science)versi 11.0 for Windows.
1. Validitas
Validitas atau kesahihan suatu alat ukur dapat diartikan sebagai taraf
sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang seharusnya diukur
(Masidjo, 1995:242). Dalam penelitian ini digunakan validitas isi (content
validity). Validitas isi adalah validitas yang menunjukkan pada sejauh
mana instrumen atau kuesioner tersebut mencerminkan isi yang
dikehendaki (Suharsimi, 2003:219). Tidak jauh berbeda dengan pendapat
suatu validitas yang menunjukkan sampai di mana suatu isi suatu tes atau
kuesioner mencerminkan hal-hal yang mau diukur atau diteskan.
Langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti untuk mengetahui
validitas isi adalah melakukan analisis item. Uji validitas item dilakukan
dengan cara mengkorelasikan skor setiap item dengan total skor item per
tipe pola pengasuhan terkait. Korelasi skor tiap item dengan skor total item
setiap tipe pola pengasuhan ini adalah penentuan validitas yang dilakukan
secara internal.
Proses penghitungan korelasi tersebut ditempuh dengan formula
hitung korelasi product moment dari Pearson. Apabila suatu item tidak
berkorelasi secara memadai dengan skor total item per tipe pola
pengasuhan terkait dalam tipe terkait, maka item tersebut harus duiperbaiki
atau digugurkan.
Adapun rumus korelasi product moment dari Pearson, adalah
sebagai berikut:
rxy : Koefisisien korelasi
X : Jumlah skor dalam sebaran X
Y : Jumlah skor dalam sebaran Y
XY : Jumlah hasil kali skor X dan Y yang berpasangan
Y2 : Jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran Y
Supaya penghitungan tersebut bisa efektif dan efisien, maka
penghitungan akan dilakukan dengan bantuan komputer melalui program
SPSS (Statistical Programme for Social Science)versi 11.0 for Windows.
Sebagai kriterium penilaian item berdasarkan korelasi skor item dan
skor total per tipe pola pengasuhan terkait, digunakan batasan minimum r
= 0,30. Jika nilai item di bawah r = 0,30 maka item tersebut gugur, jika r
mendekati 0,30 disebut item kritis, maka perlu direvisi atau diperbaiki dan
jika r di atas 0,30 maka item tersebut valid bisa dipertahankan. Alasan
digunakannya batasan tersebut, karena menurut Azwar (1999:103)
kriterium item total memiliki daya deskriminasi yang memuaskan.
Sedangkan menurut Masidjo (1995) dalam tabel korelasiProduct Moment
dari Pearson untuk jumlah siswa 42 atas dasar signifikansi 5% yang
dijadikan angka kritis 0,28. Dalam hal ini peneliti menggunakan kriteria
dengan bantuan komputer program SPSS (Statistical Programme for
Social Science) versi 11.0 for Windows, atas dasar signifikansi 5%,
didapatkan item kritis 0,24. jika koefisien korelasi di bawah 0,24 maka
item tersebut gugur dan sebaliknya jika koefisien korelasi di atas 0,24
maka item tersebut valid dan bisa dipertahankan.
2. Reliabilitas
Menurut Suharsimi (2003:224) reliabilitas adalah ketetapan hasil tes.
tidak begitu atau tidak signifikan. Sedangkan menurut Masidjo (1995:209)
reliabilitas adalah taraf sampai di mana suatu tes mampu menunjukkan
konsistensi hasil pengukurannya yang diperlihatkan dalam taraf ketepatan
dan ketelitian hasil.
Teknik yang digunakan untuk mencari reliabilitas alat ukur adalah
dengan menggunakan metode belah dua (split half method). Skor-skor dari
kedua belahan tersebut yakni item-item yang bernomor gasal dan genap
diperbandingkan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment
dari Pearson dengan rumus angka kasar atau dengan rumus singkat.
Karena hasil tes itu dibagi menjadi dua bagian, maka koefisien korelasi
dari dua bagian tersebut baru mencerminkan taraf reliabilitas setengah
tes/alat, perlu dikenai formula koreksi dari Spearman-Brown, dengan
rumus sebagai berikut (Masidjo, 1995:219):
rtt= gg gg
xr xr
1 2
Keterangan:
rtt : Koefisien reliabilitas
rgg : Koefisien genap-gasal
Koefisien reliabilitas dinyatakan dalam suatu bilangan koefisien
antara -1,00 sampai dengan 1,00. untuk memberi arti terhadap koefisien
reliabilitas yang diperoleh, dipakai tabel statistik atas dasar taraf
signifikansi 5% serta berpegangan kualifikasi taraf korelasi sebagai berikut
Tabel 4
Klasifikasi Koefisien Korelasi
Koefisien Korelasi Klasifikasi
±0,70 - ±1,00 Tinggi- Sangat tinggi
±0,40 - ±0,70 Cukup
±0,30 - ±0,40 Rendah
0,00 - ±0,20 Tidak rendah-Sangat rendah
Adapun koefisien reliabilitas yang diperoleh dalam uji coba alat
penelitian adalah untuk pola pengasuhan demokratik sebesar rtt = 0,9354,
pola pengasuhan otoriter sebesar rtt = 0,8401, pola pengasuhan permisif
sebesar rtt = 0,9193, sehingg koefisien reliabilitas alat penelitian tersebut
dikualifikasikantinggi. Secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 3.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian akan dilaksanakan di SMP PANGUDI
LUHUR I Yogyakarta, sesuai dengan jadwal layanan bimbingan, sehingga
tidak banyak menganggu pembelajaran mata pelajaran di sekolah. Sebelumnya
peneliti telah bertemu dengan kepala SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta
dan menyerahkan surat ijin penelitian dari program studi, untuk minta ijin
penelitian. Setelah kepala sekolah mengijinkan untuk penelitian, maka peneliti
menghadap guru bimbingan dan konseling untuk menentukan hari dan waktu
penelitian. Jam pembelajaran yang digunakan adalah jam bimbingan dan
konseling. Pada saat masuk kelas peneliti didampingi guru bimbingan dan
Tabel 5
Jadwal Penelitian
Kelas Waktu Hadir Tidak Hadir Jumlah
VIII-C 10.25 – 11.05 41 1 42
VIII-D 12.00 – 12.40 40 3 43
Total 81 4 85
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
scoring, tabulasi data, penghitungan frekuensi dan persentase, serta penetapan
susunan peringkat. Proses analisis data dilaksanakan dengan mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membuat tabulasi data dan menghitung total skor, baik per item maupun
total item per tipe pola pengasuhan dengan bantuan komputer program
Microsoft Exel 5,0 for Windows.
2. Menghitung besarnya persentase per aspek pola pengasuhan dari hasil
jawaban siswa tersebut.
3. Menentukan peringkat frekuensi kecenderungan pola pengasuhan yang
diterapkan orangtua, menurut pendapat siswa kelas VIII SMP PANGUDI
LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2006-2007, dengan mengacu pada
Penilaian Acuan Mutlak (PAM) Tipe II (Masidjo, 1995:209). Untuk
mengetahui gambaran tentang pola pengasuhan orangtua menurut siswa
kelas VIII SMP Pangudi Luhur I Yogyakarta tahun ajaran 2007-2008,
siswa pada tipe-tipe tertentu dengan skor yang real diperoleh siswa pada
tipe-tipe tertentu. Hasil tersebut dinyatakan dengan kualifikasi penilaian
acuan mutlak (PAM) Tipe II.
4. Menyimpulkan pola pengasuhan orangtua menurut siswa kelas VIII SMP
41
Bab ini akan memuat hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian
berupa kecenderungan pola pengasuhan orangtua menurut siswa kelas VIII SMP
PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008.
A. Hasil Penelitian
Pengolahan data hasil penelitian dilakukan dengan sistem persentase
pada masing-masing aspek pola pengasuhan orangtua dengan mengacu pada
Penilaian Acuan Mutlak (PAM) tipe II. Untuk mendapatkan persentase pada
masing-masing aspek pola pengasuhan orangtua, peneliti membandingkan
antara skor total yang seharusnya dicapai oleh siswa pada aspek-aspek tertentu
dengan skor yang real diperoleh siswa pada tipe-tipe tertentu. Secara lengkap
hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 6
Hasil Penelitian
Aspek Jml
item
Skor
Mak
Jml
Responden
Skor
Real
Skor
Seharusnya Persentase
Demokratik 21 4 81 5.058 6.804 74,39%
Otoriter 28 4 81 5.823 9.072 64,19%
Dalam melakukan proses penghitungan skor-skor per aspek dalam
tabulasi, peneliti menggunakan bantuan komputer program Microsoft Excel
5.0 for Windows. Secara lengkap proses perhitungan datanya ada pada
lampiran 5.
Penggolongan kecenderungan pola pengasuhan orangtua siswa kelas
VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008, dapat
dinyatakan dalam lima kualifikasi, yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah,
sangat rendah. Penggolongan kecenderungan pola pengasuhan orangtua
menurut siswa berdasarkan Penilaian Acuan Mutlak (PAM) Tipe II, disajikan
pada tabel berikut:
Tabel 7
PAM Tipe II
Tingkat Penguasaan Nilia Huruf Nilai Kualifikasi
81% - 100% A Sangat Tinggi
66% - 80% B Tinggi
56% - 65% C Sedang
46%-55% D Rendah
Di bawah 46% E Sangat Rendah
1. Pola Pengasuhan Orangtua Demokratik Menurut Siswa
Pola pengasuhan orangtua demokratik menurut siswa kelas VIII
SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 dapat
dilihat dari besarnya persentase. Dalam menentukan persentase pola
pengasuhan orangtua demokratik mengacu pada Penilaian Acuan Mutlak
dengan skor yang real dicapai oleh siswa (Masidjo, 1995:209). Dalam hal
ini skor yang harus dibandingkan adalah skor total seharusnya yang
diperoleh siswa pada aspek pola pengasuhan orangtua demokratik dengan
skor total yang real diperoleh siswa pada aspek pengasuhan orangtua
demokratik. Adapun jumlah item dari aspek pola pengasuhan orangtua
demokratik adalah 21 butir. Sehingga skor yang dicapai 21 x 4 x 81 =
6.804. Namun ternyata skor yang real dicapai sebesar 5.058, sehingga
dapat dihitung persentasenya 5.058 : 6.804 x 100% = 74,39%. Dengan
mengacu pada Penilaian Acuan Mutlak (PAM) Tipe II, maka pola
pengasuhan orangtua demokratik menurut siswa kelas VIII SMP
PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 berada pada
kualifikasitinggi.
2. Pola Pengasuhan Orangtua Otoriter Menurut Siswa
Pola pengasuhan orangtua otoriter menurut siswa kelas VIII SMP
PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 dapat dilihat
dari besarnya persentase. Dalam menentukan persentase pola pengasuhan
orangtua otoriter mengacu pada Penilaian Acuan Mutlak (PAM) Tipe II,
yaitu membandingkan antara skor total yang seharusnya dicapai dengan
skor real yang dapat dicapai oleh siswa. Dalam hal ini skor yang harus
dibandingkan adalah skor total seharusnya yang diperoleh siswa pada
aspek pola pengasuhan orangtua otoriter dengan skor total yang real
item dari aspek pola pengasuhan orangtua otoriter adalah 28 butir.
Sehingga skor yang dicapai 28 x 4 x 81 = 9.072. Namun ternyata skor
yang dicapai sebesar 5.823, sehingga dapat dihitung persentasenya 5.823 :
9.072 x 100% =64,19%. Dengan mengacu pada Penilaian Acuan Mutlak
(PAM) Tipe II, maka pola pengasuhan orangtua otoriter menurut siswa
kelas VIII SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008
berada pada kualifikasisedang.
3. Pola Pengasuhan Orangtua Permisif Menurut Siswa
Pola pengasuhan orangtua permisif menurut siswa kelas VIII SMP
PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 dapat dilihat
dari besarnya persentase. Dalam menentukan persentase pola pengasuhan
orangtua permisif mengacu pada Penilaian Acuan Mutlak (PAM) Tipe II,
yaitu membandingkan antara skor yang seharusnya dicapai dengan skor
yang real dicapai oleh siswa. Dalam hal ini skor yang harus dibandingkan
adalah skor total seharusnya yang diperoleh siswa pada aspek pola
pengasuhan orangtua permisif dengan skor total yang diperoleh siswa pada
aspek pengasuhan orangtua permisif. Adapun jumlah item dari aspek pola
pengasuhan orangtua otoriter adalah 20 butir. Sehingga skor total yang
mungkin dicapai 20 x 4 x 81 = 6.480. Namun ternyata skor total yang real
dicapai sebesar 4.445, sehingga dapat dihitung persentasenya 4.445 : 6.480
x 100% =68,59%. Dengan mengacu pada Penilaian Acuan Mutlak (PAM)
SMP PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 berada
pada kualifikasitinggi.
B. Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian bertitik tolak dari tujuan penelitian, yaitu
ingin mengetahui pola pengasuhan orangtuamenurut siswa kelas VIII SMP
PANGUDI LUHUR I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008. Sesuai dengan
jenis penelitian deskriptif, maka penelitian ini juga hanya ingin memaparkan
kondisi/keadaan apa adanya dalam situasi tertentu. Sehingga hasil penelitian
ini juga hanya representatif dalam jangka waktu tertentu pula. Berikut ini akan
dilakukan pembahasan terhadap temuan penelitian tersebut.
1. Pola Pengasuhan Orangtua Demokratik Menurut Siswa
Hasil empirik penelitian menunjukkan bahwa pola pengasuhan
orangtua demokratik menurut siswa kelas VIII SMP PANGUDI LUHUR I
Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 memperoleh nilai persentase sebesar
74,39% dan tingkat kualifikasinya adalah tinggi.
Berdasarkan kajian teori pada bab sebelumnya dapat diartikan
bahwa pola pengasuhan demokratik menggunakan penjelasan, diskusi, dan
penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu
diharapkan. Pola ini lebih menekankan aspek edukatif daripada
hukumannya. Pola pengasuhan demokratik menggunakan hukuman dan
penghargaan dengan penekanan yang lebih besar pada apenghargaan. Pola