• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASILDAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

5.2.2 Pembahasan Hasil Penelitian

Penelitian tentang interaksi obat pada pasien geriatri ini dilakukan di Instalasi Rawat Inap B Teratai RSUP Fatmawati selama periode bulan Oktober sampai November 2012 dan didapatkan 100 orang pasien geriatri yang memenuhi kriteria inklusi sebagai sampel. Hasil pengamatan menunjukkan bahwasanya obat-obat untuk penyakit kardiovaskular merupakan obat-obat yang paling banyak digunakan oleh subjek penelitian (pasien geriatri), dimana terlihat juga bahwa penyakit yang paling banyak diderita adalah penyakit kardiovaskular.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis 1 dan 3 terbukti, dimana ada interaksi antara obat dengan obat dan obat dengan penyakit pada pasien geriatri yang menderita penyakit jantung dan penyakit dalam di Instalasi Rawat Inap B Teratai RSUP Fatmawati, dan hipotesis 2 tidak terbukti karena tidak ditemukannya interaksi antara obat dengan makanan dan minuman.

Berdasarkan identifikasi interaksi obat secara literatur, didapatkan pasien geriatri yang mengalami interaksi obat lebih banyak (61 pasien) dibandingkan dengan pasien geriatri yang tidak mengalami interaksi obat. Hasil pengamatan terhadap efek interaksi obat tersebut pada pasien geriatri didapatkan bahwa pasien geriatri yang tidak mengalami interaksi obat jauh lebih banyak dibandingkan dengan pasien geriatri yang mengalami interaksi obat (8 pasien), dimana jumlah pasien geriatri yang mengalami interaksi obat dengan jenis kelamin perempuan dan jenis kelamin laki-laki adalah sama banyak, yaitu masing-masing 4 pasien.

Pada penelitian ini, pasien geriatri yang berusia antara 60-69 tahun lebih banyak mengalami interaksi obat dibandingkan pasien geriatri dengan umur 70 tahun atau lebih. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2004), Restalita (2010) dan Soherwardi et al (2012) dimana juga didapatkan

bahwa pasien geriatri yang berusia antara 61-70 tahun lebih banyak mengalami interaksi obat dibandingkan dengan pasien geriatri usia lainnya. Akan tetapi, jumlah pasien yang mengalami interaksi obat berdasarkan usia sebanding dengan jumlah pasien yang diamati berdasarkan usia, dimana sebagian besar pasien geriatri yang diamati pada penelitian ini berusia antara 60-69 tahun.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pasien geriatri yang paling banyak mengalami interaksi obat adalah pasien geriatri yang mendapatkan lima macam obat atau lebih (polifarmasi). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Doubova et al (2007), Ningsih (2004) dan Restalita (2010) dimana juga didapatkan bahwa pasien geriatri yang paling banyak mengalami interaksi obat adalah pasien geriatri yang mendapatkan resep obat polifarmasi. Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2004), multipatologi merupakan salah satu karakteristik pasien geriatri, yang menyebabkannya mendapatkan obat lebih dari 2 macam, lebih dari 3 macam atau bahkan lebih dari 4 macam. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat, sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa risiko terjadinya interaksi obat meningkat dengan meningkatnya jumlah obat yang diresepkan per pasien (Ningsih, 2004; Yeni, 2010; Neto et al., 2012).

Interaksi obat pada pasien geriatri yang diamati pada penelitian ini adalah interaksi obat dengan obat, interaksi obat dengan makanan dan minuman dan interaksi obat dengan penyakit. Dari hasil identifikasi interaksi obat berdasarkan literatur didapatkan 203 kasus interaksi obat dengan obat, interaksi obat dengan makanan dan minuman dan interaksi obat dengan penyakit (Lampiran 1), sedangkan hasil pengamatan menunjukkan adanya 13 kasus interaksi obat dengan obat dan interaksi obat dengan penyakit yang efeknya terjadi pada pasien geriatri yang menderita penyakit jantung dan penyakit dalam di instalasi rawat inap B Teratai RSUP Fatmawati sesuai dengan yang tertulis di literatur.

Perbedaan jumlah interaksi obat yang diidentifikasi berdasarkan literatur dengan jumlah interaksi obat hasil pengamatan dilapangan ini disebabkan karena beberapa dari interaksi yang diidentifikasi berdasarkan literatur efeknya dapat diamati tetapi tidak terjadi pada pasien geriatri yang diamati, selain itu juga

disebabkan karena tidak semua efek dari interaksi obat yang teridentifikasi secara literatur efeknya dapat diamati dan dapat diukur oleh peneliti.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 6kejadian kasus interaksi obat dengan obat yang yang efeknya terjadi pada pasien geriatri sesuai dengan yang tertulis di literatur, 3 diantaranya adalah interaksi antara captopril dengan furosemid. Secara teoritis, captopril merupakan obat antihipertensi yang bekerja menghambat angiotensin converting enzyme (ACE) dan furosemid merupakan obat antihipertensi yang bekerja dengan cara mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume ekstraseluler (Nafrialdi, 2007). Penggunaan bersama captopril dengan furosemid pada beberapa pasien dapat meningkatkan risiko hipotensi. Selain itu, penggunaan bersamaan keduanya juga dapat memperburuk fungsi ginjal pasien (Baxter, 2008). Hasil pengamatan menunjukkan tiga orang pasien dengan interaksi obat ini mengalami peningkatan kadar serum ureum dan serum kreatinin selama limahari sampaidua minggu penggunaan obat secara bersamaan. Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi obat ini termasuk dalam interaksi level kemaknaan klinis 3, dimana diperlukan suatu tindakan untuk meminimalkan risiko dari interaksi obat ini. Adapun tindakan yang direkomendasikan adalah pemantauan fungsi ginjal pasien secara berkala, penggantian atau bahkan penghentian penggunaan obat tersebut pada pasien jika terjadi penurunan fungsi ginjal yang signifikan (Drug Information Handbook, 2009).

Interaksi obat dengan obat lainnya yang terjadi adalah interaksi antara ondansetron dengan tramadol. Secara teoritis, tramadol bekerja dengan meningkatkan efek ambilan norefinefrin dan serotonin dan ondansetron bekerja dengan menghambat efek serotonin-mediated dari tramadol, sehingga efek analgetik tramadol menurun (Baxter, 2008). Hasil pengamatan menunjukkan dua orang pasien yang menggunakan kedua obat ini secara bersamaan mengeluh tetap merasa nyeri meski telah mengkonsumsi obat. Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi obat ini termasuk dalam interaksi level kemaknaan klinis 3, dimana diperlukan suatu tindakan untuk meminimalkan risiko dari interaksi obat ini. Adapun tindakan yang direkomendasikan adalah penyesuaian dosis tramadol jika digunakan bersama ondansetron, yaitu menjadi dua kali dosis

normal, atau penggantian ondansetron dengan obat antiemetik lainnya (Baxter, 2008).

Interaksi obat dengan obat lainnya juga terjadi antara captopril dengan valsartan. Secara teoritis, penggunaan bersama captopril dengan valsartan pada beberapa pasien dapat meningkatkan risiko hipotensi. Selain itu, penggunaan keduanya bersamaan jugadapat memperburuk fungsi ginjal pasien (Baxter, 2008). Hasil pengamatan menunjukkan satu orang yang menggunakan kombinasi kedua obat tersebut mengalami peningkatan kadar serum ureum dan serum kreatinin selama tiga hari penggunaan obat secara bersamaan. Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi obat ini termasuk dalam interaksi level kemaknaan klinis 3, dimana diperlukan suatu tindakan untuk meminimalkan risiko dari interaksi obat ini. Adapun tindakan yang direkomendasikan adalah pemantauan fungsi ginjal pasien secara berkala, penggantian atau bahkan penghentian penggunaan obat tersebut pada pasien jika terjadi penurunan fungsi ginjal yang signifikan (Drug Information Handbook, 2009).

Adapun kasus interaksi obat dengan penyakit yang efeknya terjadi pada pasien geriatri sesuai dengan yang tertulis di literatur adalah interaksi yang melibatkan penyakit ginjal dengan beberapa obat, yaitu furosemid, captopril, lisinopril dan valsartan. Interaksi ini terjadi karena obat-obat tersebut dapat memperburuk penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya yang terlihat dari meningkatnya kadar serum ureum dan serum kreatinin (Drug Information Handbook, 2009). Hasil pengamatan menunjukkan empat orang yang menggunakan furosemid dan masing-masing satu orang yang menggunakan captopril, lisinopril dan valsartan, dan sebelumnya telah mengalami gangguan fungsi ginjal, mengalami peningkatan kadar serum ureum dan serum kreatinin selama empat sampai lima hari penggunaan obat-obat tersebut. Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa semua interaksi obat dengan penyakit yang terjadi ini termasuk dalam interaksi level kemaknaan klinis 3, dimana diperlukan suatu tindakan untuk meminimalkan risiko dari interaksi tersebut. Adapun tindakan yang direkomendasikan adalah pemantauan fungsi ginjal pasien secara berkala atau bahkan penghentian penggunaan obat tersebut pada pasien jika

terjadi penurunan fungsi ginjal yang signifikan (Drug Information Handbook, 2009).

Meskipun ada beberapa faktor lain yang menyebabkan peningkatan kadar serum ureum dan serum kreatinin pada pasien geriatri yang diamati, namun interaksi obat yang terjadi juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab peningkatan tersebut sehingga sebaiknya tetap menjadi perhatian para ahli medis di rumah sakit.

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya kasus interaksi obat dengan makanan dan minuman yang efeknya terjadi pada pasien geriatri sesuai dengan yang tertulis di literatur. Identifikasi berdasarkan literatur menunjukkan adanya 49 kasus interaksi obat dengan makanan dan minuman. Adapun kasus interaksi obat dengan makanan dan minuman yang paling banyak terjadi berdasarkan identifikasi secara literatur adalah interaksi antara captopril dengan nasi, lauk pauk dan makanan yang mengandung kalium dan valsartan dengan makanan yang mengandung kalium seperti pisang. Menurut literatur, captopril dapat meningkatkan kadar kalium darah dengan menghambat sistem renin-aldosteron angiotensin dan valsartan dapat meningkatkan kadar kalium darah dengan menghambat angiotensin II yang menginduksi sekresi aldosteron sehingga efek ini sinergis dengan makanan yang mengandung kalium dan dapat menyebabkan hiperkalemia (drugs.com-druginteractionschecker).

Menurut Dietitians of Canada (2006), satu buah pisang mengandung 211mg kalium. Sedangkan menurut Kumar et al(2012), satu buah pisang ukuran medium mengandung kalium sebesar 350 mg dan mampu mencukupi 23% dari total kalium yang diperlukan oleh tubuh perhari. Adapun rekomendasi intake kalium dari makanan adalah kira-kira 50 mEq/hari, yaitu setara dengan 1,955 g/hari (Brophy dan Gehr, 2005).

Adapun interaksi obat dengan minuman yang terjadi berdasarkan identifikasi secara literatur adalah interaksi antara levofloxacin dengan minuman yang mengandung caffein seperti teh. Menurut literatur, ciprofloxacin dapat menghambat enzim metabolisme caffein sehingga menyebabkan kadar caffein dalam plasma meningkat dan meningkatkan risiko timbulnya efek samping

caffein seperti timbulnya sakit kepala, gemetar dan insomnia pada pasien (drugs.com-druginteractionschecker).

Semua kasus interaksi obat dengan makanan dan minuman yang terjadi berdasarkan literatur pada penelitian ini efeknya tidak terjadi pada pasien geriatri yang diamati.Hal ini dapat terjadi karena makanan yang mengandung kalium dan minuman yang mengandung caffein yang dikonsumsi oleh pasien adalah masih dalam jumlah yang sedikit sehingga tidak menimbulkan efek yang signifikan terhadap kondisi klinis pasien..

Hasil pengamatan pada penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi kepada dokter dan farmasis di rumah sakit Fatmawati mengenai adanya kejadian interaksi obat pada pasien geriatri, dan beberapa dari interaksi tersebut memerlukan perhatian khusus, sehingga diharapkan kasus interaksi obat pada pasien geriatri dapat berkurang, sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai dan angka morbiditas dan mortalitas juga menurun.

Dokumen terkait