• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

JUMLAH PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2012

E. Pembahasan Hasil Penelitian

Masyarakat Jawa merupakan salah satu contoh yang menggambarkan bagaimanapun banyaknya pengaruh berbagai kebudayaan yang datang dari luar tetap dapat mempertahankan eksistensi kebudayaan dan adat-istiadatnya bahkan kebudayaan itu masih hidup dan dipertahankan sampai sekarang; bahkan kebudayaan dari luar dan kebudayaan Jawa telah membentuk perpaduan yang harmonis.

Akulturasi kebudayaan suku Jawa dengan hukum Islam mulai ada sejak masuknya agama Islam ke pulau Jawa. Agama Islam datang sebagai penerang dan jalan yang lurus, yaitu meluruskan berbagai adat-istiadat suku Jawa yang dinilai menyimpang dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, misalnya “molimo” (mabok, madon, maling, dll.).

Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Isra’ ayat 105:

       

  

Artinya : Dan kami turunkan (Alquran) itu dengan sebenar-benarnya dan Alquran itu Telah turun dengan (membawa) kebenaran. dan kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.295

Allah swt. telah melimpahkan nikmatnya yang amat sangat banyak. Jika mau dihitung-hitung, pasti kita tidak bisa menghitung nikmat Allah (la tahsuha) yang diturunkan kepada manusia. oleh karena itu sudah sewajarnya jika kita sebagai makhluk ciptaa-Nya hanya mengabdi kepada-Nya. Selain itu, manusia harus menyadari bahwa ia diciptakan oleh Allah swt. sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Maka sebagai akibatnya, seharusnya segenap ibadah (pengabdiannya) hanya pantas ditujukan kepada Allah bukan kepada makhluk lain misalnya roh dan arwah nenek moyang.

Manusia dipercaya Allah sebagai khalifah (pemimpin) dimuka bumi, untuk mengelola apa yang terhampar di atas bumi, baik itu berupa flora dan fauna serta apa yang ada di dalam bumi dengan akal yang diberikan oleh Allah swt., manusia memanfaatkan bumi beserta isinya. dan dengan akal yang dimiliki itu pulalah manusia dapat meningkatkan taraf hidup dan peradabannya.

Dengan akalnya manusia menciptakan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, bertahan hidup dengan mengelola alam. Dari sinilah lahir peradaban yang akhirnya menjadi suatu kebudayaan yang tetap dilestarikan oleh masyarakat.

Meskipun kebudayaan Jawa sudah ada sejak zaman prasejarah, namun dalam perkembangannya kebudayaan suku Jawa tidak bisa lepas dari berbagai pengaruh luar yang turut memberikan warna dalam adat-istiadat.

Ketika agama Hindu masuk ke pulau Jawa, kebudayaan asli masyarakt mulai tersisipi pengaruh hinduisme. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai peninggalan sejarah seperti candi yang bercorak Hindu, kitab-kitab Hindu, bahkan kepercayaan terhadap roh dan benda (animisme dan dinamisme) yang masih tetap dipegang oleh masyarakat Jawa sampai sekarang.

Setelah agama Islam datang ke pulau Jawa, pengaruh-pengaruh hinduisme dalam kebudayaan jawa sedikit demi sedikit pula terkikis, perlahan-lahan namun pasti sendi-sendi syari’at dan ketauhidan Islam mulai mengakar pada budaya masyarakat Jawa. Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam upacara kematian dan pemasangan Ngijing dalam upacara selametan nyewu. Tradisi tersebut sebagiannya berasal dari tradisi lama (pra-Islam) yang dipandang baik oleh masyarakat setempat, atas dasar sosiologis (kemasyarakatan), psikologis (kejiwaan) atau kultural (kebudayaan), dan dinilai tidak bertentangan dengan dasar-dasar syari’ah, dalam arti tidak terdapat nash atau dalil yang jelas-jelas melarangnya. Tujuan dakwah Islam bukan semata-mata meng-Islamkan manusianya, tetapi juga meng-Islamkan tradisi, kebudayaan, politik, ekonomi, kesenian, baik melalui cara adopsi (pencangkokan), adaptasi (penyesuaian), assimilasi (penyempurnaan), tanpa mengingkari dasar-dasar akidah dan syari’ah yang muttafaq ‘alaih (disepakati bersama), bukan pendapat-pendapat kelompok yang sifatnya masih mukhtalaf fih (diperselisikan). Akar masalah dalam menyikapi hal-hal tersebut, adalah adanya perbedaan dikalangan umat Islam sendiri tentang pemahaman masalah “al-Bid’ah”.

Imam Izzuddin bin Abdussalam, seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i malah membagi bid’ah tersebut menjadi:

1. Bid’ah Wajib (Bid’ah Wajibah)

Yakni semua kreativiatas baru yang bertujuan menyelamatkan agama dan umatnya, yang tidak mungkin semua itu dilakukan tanpa melalui cara-cara / upaya tersebut, seperti pengembangan keilmuan agama (standarisasi mushaf, penulisan hadis-hadis Nabi, penulisan teori-teori keilmuan Islam lain, seperti fiqih, ushul fiqih, tafsir, ‘ulumul Alquran dan lain-lain) yang pada zaman Nabi saw. dan para khulafa’ ar-Rasyidin belum ada.

2. Bid’ah Haram (Bid’ah Muharromah)

Seperti bid’ah-bid’ah dalam bidang aqidah (Qadariyah, Murji’ah, dan Jabariyah atau Mujassimah dan lain-lain), yang jelas-jelas bertentangan dengan Sunnah yang ada. Atau menghalalkan hal-hal yang jelas ada hukum keharamannya dari Alquran atau as-Sunnah atau Ijma’ tanpa ada dasar-dasar yang dibenarkan menurut aturan syara’ (seperti menghalalkan zinan atau judi umpamanya).

3. Bid’ah Sunnah (Bid’ah Mandubah)

Hal ini sangat banyak bentuknya, seperti melakukan salat tarawih berjamaah, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan keilmuan, penulisan ajaran tasawuf yang benar, atau peneliti-penelitian ilmiah yang membawa manfaat dengan mengadakan laboraturium-laboraturium, teknologi persenjataan, pembangunan jembatan dan rumah sakit, dan lain-lain.

4. Bid’ah Makruh (Bid’ah Makruhah)

Seperti menghiasi bangunan mesjid yang berlebihan (sehingga dapat mengganggu konsentrasi ibadah), melagukan Alquran yang menyimpang dari tajwid dan tartilnya, bentuk-bentuk makanan dan minuman yang bercitra kemewahan meskipun barangnya itu halal.

5. Bid’ah yang dibolehkan (Bid’ah Mubahah)

Seperti alat-alat trasnportasi (mobil, kereta api, pesawat terbang), perlengkapan elektronik (alat-alat memasak, pesawat telekomunikasi dan lain sebagainya). Atau tradisi budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip

syari’ah atau akidah Islamiyah yang sudah jelas (yang bukan masih diperselisihkan).296

Pada hakikatnya, tradisi-tradisi dalam masyarakat Islam yang sering kali dicap bid’ah, karena alasan masalah itu tidak ada pada zaman Rasulullah dan zaman salaf (angkatan pertama) atau karena tradisi itu hasil cangkokan tradisi masyarakat pra-Islam di Indonesia, adalah banyak sekali seperti halnya penulis bahas pada tesis ini. Bahwa tradisi ini merupakan hasil Islamisasi. Tetapi sekarang jelas tradisi ngijing pada upacara selametan nyewu tidak bid’ah, walau dikatakan bid’ah ternyata bid’ah yang dibolehkan (Bid’ah Mubahah) yaitu, tradisi budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah atau akidah Islamiyah yang sudah jelas (yang bukan masih diperselisihkan). Dengan demikian, tradisi tersebut sudah diisi penuh dengan nilai-nilai Islam, meskipun namanya masih tetap atau sebagian penampilannya belum berubah penuh, seperti “selametan” yang sudah dihilangkan sesajennya, diganti dengan sedekah makanan, diisi dengan membaca ayat-ayat Alquran, zikir, salawat dan doa kepada Allah swt. Ada juga tradisi baru yang merupakan kreativitas kultural yang berjiwa Islami, seperti peringatan Hari Maulid Nabi Muhammad saw. dengan beraneka macam penampilannya. Dahulu sebelum agama Islam datang ke Jawa, upacara kematian suku Jawa begitu banyak syarat dari pengaruh Hindu, contohnya:

1. Membakar kemenyan.

2. Menyediakan makanan dan minuman yang disukai si mayat. Makanan ini tidak boleh dimakan oleh siapapun, masyarakat Jawa percaya, bahwa si mayit makan dan minum. Dengan menyediakan berbagai kesukaan mayit akan membuat mayit bahagia di alam baka. Setelah tiga hari, makanan dan minuman itu dibuang diganti dengan yang baru. Biasanya makanan dan minuman ini diletakan di bawah tempat tidur mayit.

3. Jika ada seorang suami yang meninggal dunia, maka si istri harus ikut mati bersama suaminya. Yaitu dengan cara ikut serta dibakar bersama mayat

296 Imam Izzuddin bin Abdussalam dalam Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal

suaminya. Tradisi pembakaran mayat ini masih dapat kita jumpai di Bali (Ngaben) bahkan di Sumatera Utara sendiri juga ada tradisi tersebut.

4. Seorang prempuan yang ditinggal mati suaminya tidak boleh (tabu) untuk menikah lagi.

5. Apabila seseorang ditinggal mati keluarganya, wanita-wanita biasaya menangis histeris, menyakiti badan mereka, merobek-robek pakaian mereka.

Ketika agama Islam datang meluruskan adat istiadat Jawa yang di nilai menyimpang, misalnya dari upacara kematian di atas dapat kita jumpai bebera perbedaan, yaitu:

1. Upacara kematian diisi dengan membaca yasin, kafiat, tahtim, tahlil dan di tutup dengan doa. Semua ini di hadiahkan buat simayit pahalanya. Tidak ada lagi membakar kemenyan dan sebagainya.

2. Jika ada seorang suami meninggal, si istri tidak diperkenankan mati bersama suaminya dengan dibakar atau dikubur. Hal ini dikarenakan ajal (umur) manusia menjadi rahasia Tuhan yang tidak seorangpun mengetahuinya. 3. Seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya diperbolehkan menikah

lagi asal telah habis masa iddahnya.

4. Boleh menangis tapi jangan menjerit-jerit histeris sambil menyakiti badan atau merobek pakaian (niyahah), boleh bersedih tapi jangan berlarut terlalu lam.

Dalam setiap upacara suku Jawa tidak terlepas dari menyajikan makanan dan minuman. Penyajian makanan dan minuman ini dipandang mempunyai tujuan untuk mencari keselamatan. Karena berbagai upacara umumnya mencerminkan rasa syukur kepada Allah yang maha esa, tolok bala, pengampunan dosa dan kesuburan tanah pertanian.

Suku Jawa adalah salah satu suku yang hampir setiap aspek kehidupannya dijiwai nilai-nilai religi, mereka percaya bahwa apa yang mereka alami, baik itu yang menguntungkan maupun yang merugikan adalah kehendak dari Tuhan.