• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

STUDI KEPUSTAKAAN

D. Tipelogi Pemikiran Teologi Islam 1. Teologi Tradisional

2. Teologi Modern

127 Muhammad Nazir Karim, Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam Syekh

Abdurrahman Siddiq al-Banjari, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2004)., 70-72.

128 Nama lengkapnya adalah ‘Adh Din ‘Abd. Rahman bi Ruku’ Din bin ‘Abd. al-Ghaffar al-Bakri al-Shabankari, ia lahir di Ij, wilayah Shabankari, wilayah Shabankara, sebagai salah satu Propinsi di Selar Hormoz, teluk Persia, tahun 608 H. Gelar al-Iji diberikan karena dibangsakan kepada desa kelahirannya. Al-Ijil berasal dari keluarga terpandang. Karena ayahnya merupakan salah satu seorang hakim di kota Ij. Secak kecil al-Iji dididik dalam keluarga religious dan meniti karir sebagai hakim, baik dalam kekuasan Mongol Ilkham di Tabriz. Lihat Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003)., h.161-162.

Islam modern berarti model baru, yang bersifat keyakinan, atau lebih tepat dikatakan modern adalah membentuk keinginanatau selera baru, serta memberikan watak modern, atau menerima kebiasaan modern. Joesoef Sou’yb menyebutkan modern secara harfiah bermakna baru, hingga zaman sekarang ini disebut dengan Modern Time (zaman baru). Modernization bermakna: pembaharuan. New Collegiate Distionary edisi 1956 halaman 541 memberikan arti kepada kata “modern” itu dengan : Charactiristic of the present or recent time (ciri dari zaman sekarang atau kini).130

Teologi modern dikenal dengan penggunaan akal secara bebas, yaitu dengan menggukan rasional dalam memahami Islam. Pemahaman dalam teologi, rasional berarti aliran teologi yang mengandalkan kekuatan akal atau rasio karena akal mempunyai daya yang kuat serta dapat memberikan interprestasi secara rasional terhadap teks-teks Alquran dan hadis.131 Pengertian rasional secara sosiologis ini sejalan dengan pengertian modernisasi ialah rasionalisasi.132

Jadi, teologi modern adalah pembicaraan tentang keyakinan yang berhubungan dengan Ilhiyat untuk menyelaraskan dengan pemahaman selera baru yang bersifat rasional atau ilmiiah. Menurut Joesoef Sou’yb bahwa teologi modern itu adalah pandangan ataupun metode baru, khususnya kecendrungannya dalam masalah kepercayaan keagamaan untuk menundukan tradisi dalam upaya penyelarasan dengan pemikiran baru.133

Menurut Ahmad Hasan, moderniseme adalah aliran pemikiran keagamaan yang “menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikannya dengan perkembangan zaman”. Dengan demikian Islam harus beradabtasi dengan perubahan yang terjadi di dunia modern. Hampir serupa dengan rumusan Hasan, Chehabi mengartikannya sebagai aliran pemikiran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama, sehingga “tidak bertentangan dengan semngat

130 Joesoef Sou’yb, Perkebangan Teologi Modern., h. 51.

131 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf., h. 61.

132 Nurchalis Madjid, Islam Kemodrenan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993)., h. 183.

zaman yang dominan, terutama apa-apa yang ada dan dijumpai dalam masyarakat lain yang lebih maju”. Mukti Ali tampaknya setuju dengan dua pengertian ini. Tetapi dia lebih menekankan defenisi modernisme pada usaha “Purifikasi Agama” dan “Kebebasan Berpikir”.134

Maka teologi modern yang dimaksud disini adalah teologi yang menggunakan kebebasan akal untuk memahami Islam dari berbagai aspek kehidupan dan mampu mengolaborasikan ajaran Islam dengan perkembangan modern. Jadi, teologi modern yang dimaksud adalah teologi rasional yang lahir pada zaman modern. Teologi rasional menurut istilah Harun Nasution disebut teologi sunnatullah, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Kedudukan akal yang tinggi;

b. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan;

c. Kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam alquran dan hadis sedikit sekali jumlahnya;

d. Kepercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas; e. Mengambil arti metaforis dan teks wahyu; f. Kedinamisan dalam berfikir dan bersikap.135

Sedangakan Fazlur rahman mengartikan moderniseme pada adanya keharusan untuk berijtihad. Ia mengatakan bahwa modernisme antara agama dan pengaruh modernisasi dan westernisasi yang berlangsung di dunia Islam. Usaha tersebut dilakukan dengan cara menafsirkan dasar-dasar doktrin supaya sesuai dengan semangat zama.136

Fazlur Rahman menganggap bahwa modernisme memiliki semangat yang tinggi dan baik, namun mempunyai kelemahan:

Pertama, ia tidak menguraikan secara tuntas metodenya yang semi implisit

terletak dalam menanganai masalah-masalah khusus dan implisit dari

perinsip-134 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1999)., h.12.

135 Harun Nasution, Islam Rasional., h. 112.

prinsip dasarnya. Mungkin karena perananya selaku reformasi terhadap masyarakat Muslim dan sekaligus sebagai kontroversialis-apologetik terhadap Barat, sehingga ia terhalang untuk melakukan interprestasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam, serta menyebabkannya menangani secara a hoc beberapa masalah penting Barat. Misalnya demokrasi dan status wanita. Kedua, masalah-masalah di dalam Barat terdapat kesan yang sangat kuat bahwa mereka telah terbaratkan serta merupakan agen-agen westernisasi.137

Dapat diartikan dari kutipan diatas bahwa modernisasi terkesan mengcopy apa saja yang menjadi isu di Barat. Oleh karennya mudah saja ia dicurigai sebagai agen pembaratan. Sehingga dengan kelemahan itulah muncul gerakan lain yang disebut dengan Neo-Revivalisme (misalnya Muhammad Abduh). Gerakan ini mendasari dirinya pada basis pemikiran modernisme bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Perbedaannya terletak pada usahanya yang hanya membedakan dirinya dengan Barat. Dengan demikian ia sekaligus merupakan reaksi terhadap modernisme, namun tidak mampu mengembangkan metodologinya sendiri.138 Gerakan Neo-Revivalisme sebenarnya baik. Mereka memiliki semangat yang tidak anti teknologi, namun penolakannya terhadap Barat ceendrung menyebabakanya menjadi eksklusif.

Konsep pendirian gerakan modernisme dalam dunia Islam itu pada satu aspek bersamaan pendidirian dengan gerakan Revivalisme mengenai pemurnian agama kembali dengan semboyan “kembali kepada Alquran dan as-Sunnah”, tetapi bendanya tajam pada aspek lainnya. Gerakan modernisme berpendirian bahwa kehidupan sosial semenjak awal abad ke-20 akan tidak dapat dipulangkan kembali kepada tata hidup sosial pada abad ke-7 Masehi, yakni tata hidup pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi, disebabkan situasi dan kondisi sosial sudah jauh berubah dan berbeda, apalagi mengenai perkembangan ilmiah dan teknologi. Justru Islam harus berani melakukan Re-interprestasi

137 Taufik Adenan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur

Rahman, (Bandung: Mizan, 1987)., h. 19-20; dan lihat Maraimbang Daulay, Rerkonstruksi Etika Alquran Fazlur Rahman, (Medan: Panjiaswaja Press, 2010)., h. 6-7.

(pembaharuan penafsiran) setiap ayat Alquran maupun as-Sunnah, sesuai dengan perkembangan ilmiah dan teknologi semenjak penghujung abad ke-19, berdasarkan Critical Analytic interprestasi yakni penafsiran yang kiritis dan analitik. ‘Ulam al-Mu’tabar pada zaman tengah itu, demikian pendirian gerakan modernisme dalam dunia Islam, menafsirkanayat Alquran maupun as-Sunnah menurut perkembangan ilmiah dan teknologi pada zamannya itu dan menurut situasi dan kondisi masyaratk pada zamanya itu.

Azas pemikiran bagi teologi modern dalam dunia Islam itu bertitik tolak dari empat pokok pemikiran:

1) Permasalahan berdasarkan nash al-Qathi (pernyataan yang pasti) dalam Alquran maupun as-Sunnah tidak berlaku pembaharuan terhadapnya, bahkan merombaknya;

2) Permasalahan yang cuma berdasarkan penafsiran dari pihak ‘ulama al-Mu’tabar pada masa silam itu perlu ditinjau dan dinilai kembali dengan mempertimbangkan perkembangan kenyataan pada zaman baru, sekalipun dalam bidang syari’at maupun bidang ‘aqidah.

3) Hadis yang bukan bersifat mutawatir ditinjau kembali tentang kebenarannya dengan menggunakan dan menyorotinya dari berbagai disiplin ilmu.

4) Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang selama ini dipandang tak boleh dibantah, hingga posisinya seakan-seakan sudah mirip dengan Alquran, kini tidaklah terbatas dari peninjauan dan penilaian kembali atas sesuatu al-Hadis yang dinyatakan “Sahih” oleh Bukhari (w. 257 H. / 870 M.) maupun oleh Muslim (w. 261 H. / 874 M.).139