• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik yang menunjukkan bahwa nilai probabilitas (? = 0,049) lebih kecil dari nilai alpha (a = 0,05).

Deskripsi kecerdasan emosional menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategorikan tinggi (144 guru/58,8%). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil perhitungan nilai mean = 73,61224, median = 73, modus = 72, dan standar deviasi = 5,777345. Kecerdasan emosional guru yang tinggi tampak dalam kemampuan guru mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, kemampuan untuk menangani emosi agar dapat terungkap dengan tepat, kemampuan untuk memotivasi diri agar tetap berorientasi pada sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain, ketrampilan sosial agar dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.

Deskripsi kultur keluarga menunjukkan bahwa sebagian besar guru berasal dari keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil (123 guru/50,2%), cukup individualis (118 guru/48,2%), femininity (117

guru/47,7%), dan uncertainty avoidance sangat kuat (76 guru/31%). Keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil bercirikan ada kecenderungan untuk meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan sehingga otoritas orang tua nyaris tidak ada, dan aturan-aturan yang ditetapkan dalam keluarga bersifat lebih longgar. Keluarga dengan latar belakang budaya cukup individualis bercirikan mendorong anggota keluarganya agar mandiri (otonom), menekankan tanggung jawab dan hak- hak pribadinya. Keluarga dengan latar belakang budaya femininity bercirikan lebih mengutamakan hubungan interpersonal, keharmonisan, dan kinerja kelompok. Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance sangat kuat bercirikan merasa terancam dengan ketidakpastian hidup, sehigga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Sementara deskripsi data jenis kelamin responden menunjukkan bahwa sebagian besar guru berjenis kelamin perempuan (135 guru/55,1%). Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru adalah signifikan, artinya hasil penelitian mendukung diterimanya hipotesis. Hasil penelitian ini sejalan dengan dugaan awal penelitian ini bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru. Pada keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil bercirikan ada kecenderungan meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan sehingga otoritas orang tua nyaris tidak ada, dan aturan-aturan yang ditetapkan dalam keluarga bersifat lebih

longgar (Hofstede, 1994:32-33). Berdasarkan pada peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki- laki lebih dominan dalam menetapkan aturan dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan dalam keluarga (ayah sebagai kepala keluarga). Karenanya laki- laki cenderung mempertahankan dimensi power distance besar. Akibatnya laki- laki kurang mampu membina hubungan komunikasi dengan anggota keluarga yang lain (mempertahankan perbedaan status dan kekuasaan). Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seorang ibu, yang mampu menjembatani posisi anak dan ayah sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang (perempuan cenderung meminimalkan perbedaan status). Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi. Keluarga dengan latar belakang budaya femininity bercirikan lebih mengutamakan hubungan interpersonal, keharmonisan, dan kinerja kelompok (Hofstede, 1994:89) Berdasarkan cir i-ciri psikologisnya perempuan mempunyai budaya femininitas yang lebih tinggi daripada laki- laki, karena perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rosenkrantz dkk (dalam Sears, 1994:196), yang menyimpulkan bahwa perempuan me miliki nilai yang tinggi untuk sifat-sifat yang berhubungan dengan kehangatan dan kemampuan mengungkapkan perasaan, seperti kelembutan dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Kondisi demikian menyebabkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan

emosional yang lebih tinggi daripada laki- laki. Selain itu mayoritas responden penelitian ini adalah perempuan, hal ini juga mendukung untuk diterimanya hipotesis.

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik yang menunjukkan bahwa nilai probabilitas (? = 0,018) lebih kecil dari nilai alpha (a = 0,05).

Deskripsi kecerdasan emosional menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategorikan tinggi (144 guru/58,8%). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil perhitungan nilai mean = 73,61224, median = 73, modus = 72, dan standar deviasi = 5,777345. Kecerdasan emosional guru yang tinggi tampak dalam kemampuan guru mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, kemampuan untuk menangani emosi agar dapat terungkap dengan tepat, kemampuan untuk memotivasi diri agar tetap berorientasi pada sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain, ketrampilan sosial agar dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.

Deskripsi kultur lingkungan kerja menunjukkan bahwa sebagian besar guru berasal dari lingkungan kerja dengan power distance kecil (65 guru/26,5%), cukup individualis (75 guru/30,6%), femininity (118

guru/48,2%), dan uncertainty avoidance cukup lemah (92 guru/37,5%). Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil bercirikan terdapat kedudukan yang sama antara atasan dan bawahan serta sikap demokratis dalam bekerja. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininity bercirikan lebih mengutamakan pada kerendahan hati dan kesetiakawanan, mengutamakan mufakat serta prinsip bekerja untuk hidup. Lingkungan kerja dengan budaya cukup individualism bercirikan menekankan pada manajemen individual, serta pengelolaan pekerjaan secara individual. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance cukup lemah bercirikan membentuk anggotanya untuk selalu termotivasi dengan prestasi (dalam bekerja), penghargaan atau rasa memiliki. Dengan situasi ini guru sebagai bawahan lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Sementara deskripsi data jenis kelamin responden menunjukkan bahwa sebagian besar guru berjenis kelamin perempuan (135 guru/55,1%). Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru adalah signifikan, artinya hasil penelitian mendukung diterimanya hipotesis. Hasil penelitian ini sejalan dengan dugaan awal penelitian ini bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil bercirikan terdapat kedudukan yang sama antara atasan dan bawahan serta sikap demokratis dalam

bekerja (Hofstede, 1994:35-37). Berdasarkan pada peran gender tradisional, laki- laki lebih dominan dalam me netapkan aturan dan memiliki kekuasaan yang penuh untuk mengambil keputusan (laki- laki lebih banyak menjadi pemimpin). Laki- laki cenderung memiliki kekuasaan dalam mengambil setiap keputusan. Akibatnya laki- laki kurang mampu dalam mengembangkan sikap demokratis dalam lingkungan kerja. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional laki- laki lebih rendah daripada perempuan. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininity bercirikan lebih mengutamakan pada kerendahan hati dan kesetiakawanan, mengutamakan mufakat serta prinsip bekerja untuk hidup (Hofstede, 1994:92-96). Berdasarkan ciri-ciri psikologisnya kemampuan perempuan dalam menjalin hubungan interpersonal berkembang dengan baik, karenanya hubungan dengan rekan kerja dapat terjalin dengan baik (kesetiakawanan). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Carol Gilligan (dalam Goleman, 1996:185) yang menyatakan bahwa ada perbedaan kunci antara laki- lakidan perempuan ketika bermain. Perbedaan-perbedaan itu adalah laki- laki bangga dengan kemandiriannya dan kemerdekaannya yang berpikiran ulet dan mandiri, sementara perempuan melihat dirinya sebagai bagian dari jaringan hubungan. Oleh karena itu, laki- laki merasa terancam bila ada apa-apa yang dapat menantang kemandiriannya, sementara perempuan lebih terancam oleh terputusnya hubungan yang telah mereka bina. Kondisi

demikian menyebabkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan antara kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik yang menunjukkan bahwa nilai probabilitas (? = 0,049) lebih kecil dari nilai alpha (a = 0,05).

Deskripsi kecerdasan emosional menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategorikan tinggi (144 guru/58,8%). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil perhitungan nilai mean = 73,61224, median = 73, modus = 72, dan standar deviasi = 5,777345. Kecerdasan emosional guru yang tinggi tampak dalam kemampuan guru mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, kemampuan untuk menangani emosi agar dapat terungkap dengan tepat, kemampuan untuk memotivasi diri agar tetap berorientasi pada sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain, ketrampilan sosial agar dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.

Deskripsi kultur lingkungan masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar guru berasal dari lingkungan masyarakat dengan power distance kecil (90 guru/36,73%), cukup kolektif (98 guru/40%), cukup

feminin (103 guru/42%), dan uncertainty avoidance cukup lemah (104 guru/42,5%). Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil bercirikan penggunaaan kekuasaan menjadi subjek untuk kriteria baik atau buruk dan orang yang memiliki kekuasaan mencoba untuk memperlihatkan kekuasaan yang lebih rendah daripada yang mereka punya, serta semua orang memiliki hak yang sama. Dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya cukup kolektivism bercirikan kepentingan bersama berlaku melebihi kepentingan individu, karenanya kepentingan pribadi ditentang oleh kelompok, sehingga keselarasan dan kesepakatan dalam masyarakat sosial merupakan tujuan bersama. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya cukup femininity bercirikan lebih mengorientasikan sikap solider, pemecahan masalah secara negosiasi dan kompromi. Pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance cukup lemah bercirikan protes warga lebih diterima, sehingga warga memiliki kebebasan dalam mengaktualisasikan diri. Sementara deskripsi data jenis kelamin responden menunjukkan bahwa sebagian besar guru berjenis kelamin perempuan (135 guru/55,1%).

Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru adalah signifikan, artinya hasil penelitian mendukung diterimanya hipotesis. Hasil penelitian ini sejalan dengan dugaan awal penelitian ini bahwa ada pengaruh jenis kelamin pada hubungan kultur lingkungan

masyarakat dengan kecerdasan emosional guru. Pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil bercirikan penggunaaan kekuasaan menjadi subjek untuk kriteria baik atau buruk dan orang yang memiliki kekuasaan mencoba untuk memperlihatkan kekuasaan yang lebih rendah daripada yang mereka punya, serta semua orang memiliki hak yang sama (Hofstede, 1994:38-39). Berdasarkan ciri- ciri psikologisnya peremp uan cenderung bersifat tanggap, lebih tabah, dan mudah menerima keadaan. Sehingga kemampuan perempuan dalam berempati lebih tinggi. Oleh sebab itu perempuan cenderung mempertahankan power distance kecil. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi daripada laki- laki. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya cukup femininity bercirikan lebih mengorientasikan sikap solider, pemecahan masalah secara negosiasi dan kompromi. Perempuan cenderung memiliki tingkat toleransi kepada orang lain dalam taraf tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Leslie Brody dan Judith Hall (Goleman, 1996:184-185), yang meringkas tentang perbedaan-perbedaan emosi antara laki- laki dan perempuan. Beliau menyebutkan bahwa karena anak perempuan lebih cepat terampil berbahasa daripada anak laki- laki, maka mereka lebih berpengalaman dalam mengutarakan perasaannya dan lebih cakap daripada anak laki- laki dalam memanfaatkan kata-kata untuk menjelajahi dan untuk menggantikan reaksi-reaksi emosional seperti perkelahian fisik. Karenanya rata-rata perempuan lebih mudah berempati

daripada laki- laki, sebagaimana diukur berdasarkan kemampuan untuk membaca perasaan orang lain yang tak terucapkan dari ekspresi wajah, nada suara, dan isyarat-isyarat non verbal lainnya. Kondisi demikian menyebabkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi daripada laki- laki.

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik yang menunjukkan bahwa nilai probabilitas (? = 0,036) lebih kecil dari nilai alpha (a = 0,05).

Deskripsi kecerdasan emosional menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategorikan tinggi (144 guru/58,8%). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil perhitungan nilai mean = 73,61224, median = 73, modus = 72, dan standar deviasi = 5,777345. Kecerdasan emosional guru yang tinggi tampak dalam kemampuan guru mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, kemampuan untuk menangani emosi agar dapat terungkap dengan tepat, kemampuan untuk memotivasi diri agar tetap berorientasi pada sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain, ketrampilan sosial agar dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.

Deskripsi kultur keluarga menunjukkan bahwa sebagian besar guru berasal dari kultur keluarga pada dimensi power distance kecil (123 guru/50,2%), cukup individualis (118 guru/48,2%), femininity (117 guru/47,7%), dan uncertainty avoidance sangat kuat (76 guru/31%). Keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil bercirikan berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan kesejajaran, mempunyai aturan yang longgar, dan otoritas orang tua nyaris tidak ada. Keluarga dengan latar belakang budaya cukup individualism bercirikan mendorong anggota keluarganya agar mandiri (otonom). Kondisi ini akan mendukung tumbuhnya kemandirian secara emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang. Keluarga dengan latar belakang budaya femininity bercirikan lebih mengutamakan hubungan interpersonal, keharmonisan, dan kinerja kelompok. Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance sangat kuat bercirikan merasa terancam dengan ketidakpastian hidup sehingga mereka berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Sementara deskripsi data locus of control responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden terkategorikan guru dengan locus of control eksternal (166 guru/67,8%). Hal ini didukung oleh hasil perhitungan nilai mean = 10,66939, median = 11, modus = 12, dan standar deviasi = 3,936078.

Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru adalah signifikan, artinya hasil penelitian mendukung diterimanya hipotesis. Hal

ini sejalan dengan dugaan awal penelitian. Walaupun mayoritas responden penelitian ini terkategorikan guru dengan locus of control eksternal, tetapi karena mayoritas responden berasal dari kultur keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil dan cukup individualism, maka hal ini mendukung untuk diterimanya hipotesis. Keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil bercirikan berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan kesejajaran, mempunyai aturan yang longgar, dan otoritas orang tua nyaris tidak ada (Hofstede, 1994:32-33). Guru dengan locus of control internal memiliki tingkat toleransi yang tinggi, sehingga guru (sebagai orang tua) cenderung memberi kesempatan kepada anak-anaknya untuk mengembangkan dirinya tanpa otoritas dari orang tua, karenanya aturan dalam rumah juga bersifat longgar. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut tinggi. Keluarga dengan latar belakang budaya cukup individualism mendorong anggota keluarganya agar mandiri (otono m). Guru dengan locus of control internal memiliki keyakinan diri yang tinggi, sehingga guru (sebagai orang tua) dengan locus of control internal memberi kesempatan kepada anak-anaknya agar mandiri. Karena mereka yakin bahwa dengan menumbuhkan kemandirian kepada anak-anak, dapat menumbuhkan keyakinan diri dalam diri anak. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut tinggi.

5 Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan antara kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik yang menunjukkan bahwa nilai probabilitas (? = 0,106) lebih besar dari nilai alpha (a = 0,05).

Deskripsi kecerdasan emosional menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategorikan tinggi (144 guru/58,8%). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil perhitungan nilai mean = 73,61224, median = 73, modus = 72, dan standar deviasi = 5,777345. Kecerdasan emosional guru yang tinggi tampak dalam kemampuan guru mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, kemampuan untuk menangani emosi agar dapat terungkap dengan tepat, kemampuan untuk memotivasi diri agar tetap berorientasi pada sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain, ketrampilan sosial agar dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.

Deskripsi kultur lingkungan kerja menunjukkan bahwa sebagian besar guru berasal dari kultur lingkungan kerja pada dimensi power distance kecil (65 guru/26,5%), cukup individualis (75 guru/30,6%), femininity (118 guru/48,2%), dan uncertainty avoidance cukup lemah (92 guru/37,5%). Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil bercirikan berusaha meminimalkan perbedaan status dan

mengutamakan kesejajaran sehingga terdapat kedudukan yang sama antara atasan dan bawahan, serta sikap demokratis dalam bekerja. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininity bercirikan lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati dan kesetiakawanan, mengutamakan mufakat serta prinsip bekerja untuk hidup. Kondisi ini mendukung tumbuhnya pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya individualis bercirikan mendukung tumbuhnya kemandirian secara emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance cukup lemah bercirikan toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi, memiliki aturan yang bersifat fleksibel. Dengan situasi ini guru (sebagai anggota lingkungan kerja) lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Sementara deskripsi data locus of control responden menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategorikan eksternal (166 guru/67,8%). Hal ini didukung oleh hasil perhitungan mean = 10,66939, median = 11, modus = 12, dan standar deviasi = 3,936078. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa nilai probabilitas lebih besar dari nilai alpha (? = 0,106 > a = 0,05). Artinya tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan antara kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru. Meskipun kultur lingkungan kerja dari responden cenderung mendukung untuk diterimanya hipotesis namun karena locus of control dari responden

sebagian besar terkategorikan eksternal maka mendukung hipotesis ditolak. Hal ini sejalan dengan pendapat Sarwono (2006:616). Menurut pengamatannya tes locus of control mempunyai daya diferensiasi yang rendah, yaitu tidak ma mpu membedakan antara orang yang ber-LoC internal dari yang eksternal. Dengan demikian, ketika variabel LoC ini dikorelasikan dengan faktor apa pun hasilnya tidak signifikan. Hasil penelitian itu bukan menunjukkan ketidakakuratan alat ciptaan Rotter tersebut, tetapi memang mayoritas orang Indonesia sendirilah yang cenderung ber-LoC eksternal, sehingga sulit mengidentifikasi yang ber- LoC internal.

6 Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik yang menunjukkan bahwa nilai probabilitas (? = 0,251) lebih besar dari nilai alpha (a = 0,05).

Deskripsi kecerdasan emosional menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategorikan tinggi (144 guru/58,8%). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil perhitungan nilai mean = 73,61224, median = 73, modus = 72, dan standar deviasi = 5,777345. Kecerdasan emosional guru yang tinggi tampak dalam kemampuan guru mengenali emosi diri sendiri

dan efeknya, kemampuan untuk menangani emosi agar dapat terungkap dengan tepat, kemampuan untuk memotivasi diri agar tetap berorientasi pada sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain, ketrampilan sosial agar dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.

Deskripsi kultur lingkungan masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar guru berasal dari kultur lingkungan masyarakat pada dimensi power distance kecil (90 guru/36,7%), cukup kolektif (98 guru/40%), cukup feminin (103 guru/42%), dan uncertainty avoidance cukup lemah (104 guru/42,5%). Pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil bercirikan berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan kesejajaran sehingga masing- masing anggota dalam lingkungan masyarakat memiliki hak yang sama, perangkat desa tidak menampakkan dirinya sebagai atasan dan warga tidak merasa sebagai bawahan. Sehingga warga akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal pengaktualisasian diri. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya cukup femininity bercirikan lebih mengorientasikan sikap solider, pemecahan masalah secara negosiasi dan kompromi, serta laki- laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam segala hal. Sehingga setiap warganya cenderung memiliki sikap empati yang tinggi. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya cukup kolektivism bercirikan kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga keyakinan diri dari seseorang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Dalam

lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance cukup lemah bercirikan toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi, lebih bersikap rileks, dan aturan bersifat lebih fleksibel. Sementara deskripsi data locus of control responden menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategorikan eksternal (166 guru/67,8%). Hal ini didukung oleh hasil perhitungan mean = 10,66939, median = 11, modus = 12, dan standar deviasi = 3,936078. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa nilai probabilitas lebih besar dari nilai alpha (? = 0,251 > a = 0,05). Artinya tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru. Hal ini tidak sejalan dengan dugaan awal penelitian. Kemungkinan yang menyebabkan hipotesis ditolak antara lain karena kultur dari responden penelitian ini cenderung cukup kolektif (98 guru/40%). Pada kultur lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya cukup kolektivism bercirikan kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga setiap warganya cenderung tidak mandiri karena mereka tidak dapat mengaktualisasikan dirinya secara maksimal. Akibatnya keyakinan diri dari seseorang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Keyakinan diri mereka tidak berkembang dengan baik. Seseorang yang tidak memiliki pengertian akan dirinya bahwa dia mampu membawa dirinya berdasarkan tuntutan situasi dan kondisi cenderung gagal dalam apa yang dikerjakannya. Kondisi demikian menyebabkan mereka memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Deskripsi data locus of control responden menunjukkan

bahwa sebagian besar guru terkategorikan eksternal (166 guru/67,8%) juga mendukung ditolaknya hipotesis. Hal ini sejalan dengan pendapat Sarwono (2006:616). Menurut pengamatannya tes locus of control mempunyai daya diferensiasi yang rendah, yaitu tidak ma mpu membedakan antara orang yang ber-LoC internal dari yang eksternal.

Dokumen terkait