• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

G. Kerangka Berpikir

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur

Keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar, cenderung mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini mengakibatkan guru (sebagai kepala keluarga) dengan locus of control eksternal semakin tidak memiliki keyakinan akan kemampuan diri terutama dalam hal memimpin. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini memiliki keyakinan akan kemampuan diri, sehingga mampu mengendalikan dirinya maupun orang lain. Kondisi inilah yang menyebabkan tingkat kecerdasan

emosional yang dimiliki guru dengan locus of control internal lebih tinggi daripada guru dengan locus of control eksternal.

Keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan kesejajaran. Hal ini mengakibatkan guru (sebagai kepala keluarga) dengan locus of control eksternal kurang memiliki keyakinan diri. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini memiliki keyakinan akan kemampuan diri. Guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena mengetahui akan kemampuan kelebihan dirinya, dan mampu menunjukkannya pada orang lain.

Pada dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism), guru dengan locus of control internal lebih kuat pada budaya individualisme. Sebab pada kondisi ini tumbuhnya kemandirian secara emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang dibandingkan pada budaya kolektivisme. Ini mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru. Sedangkan guru dengan locus of control eksternal lebih kuat pada budaya kolektivisme. Pada budaya kolektivisme, kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga keyakinan diri dari seseorang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini menyebabkan guru dengan locus of control eksternal memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Pada dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity), guru dengan locus of control internal mempunyai budaya maskulin yang kuat. Hal ini ditengarai dengan ciri budaya maskulinitas yang cenderung menekankan nilai asertivitas, prestasi dan performansi yang lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang penuh. Kondisi locus of control internal mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, sebab ada kemampuan untuk memotivasi diri, sebagaimana unsur yang ada pada kecerdasan emosional. Sedangkan guru dengan locus of control eksternal berada pada budaya femininitas yang kuat. Ciri budaya feminin yang cenderung mengutamakan hubungan interpersonal lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang rendah. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang rendah, sebab tidak ada kemampuan untuk memotivasi diri, sebagaimana unsur yang ada pada kecerdasan emosional.

Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko yang ada. Hal ini mengakibatkan guru (sebagai kepala keluarga) dengan locus of control eksternal semakin tidak memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Guru

dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena mampu meminimalisir risiko.

Sementara pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya keluarga ini lebih bersikap rileks dan memiliki aturan yang bersifat fleksibel. Dengan situasi ini anggota keluarga lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Guru dengan locus of control internal akan semakin yakin dengan dirinya sendiri dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut tinggi, karena mampu mengendalikan diri dalam kondisi ketidakpastian. Berbeda pada guru dengan locus of control eksternal, kondisi keluarga yang sedikit memiliki aturan mengakibatkannya tidak bisa mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional guru tersebut rendah.

5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan kesejajaran. Dimana terdapat kedudukan yang sama serta penerapan sikap dalam bekerja. Hal ini mengakibatkan guru (sebagai anggota dalam lingkungan kerja) dengan locus of control eksternal tidak mampu

menyesuaikan diri dengan penerapan sikap demokratis dalam bekerja (misal: tidak mau/kurang peduli dalam hal berpendapat). Sehingga tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini mampu menyesuaikan diri dengan budaya demokratis dalam lingkungan kerja. Guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena mampu berkomunikasi dengan orang lain dalam penyesuaian diri dengan lingkungan kerja yang demokratis.

Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar, akan mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan, dimana kedudukan atasan dan bawahan berbeda serta pengaruh dominasi atasan yang masih kuat dalam hal pekerjaan. Hal ini mengakibatkan guru (sebagai anggota dalam lingkungan kerja) dengan locus of control eksternal semakin tidak memiliki pengendalian diri dan kemampuan bekerjasama maupun berkomunikasi. Kondisi ini akan membentuk tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini memiliki keyakinan akan kemampuan diri serta kebebasan dalam membuat keputusan. Dengan kondisi locus of control internal ini maka guru akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.

Pada dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism), guru dengan locus of control internal lebih kuat pada budaya individualisme. Sebab pada kondisi ini tumbuhnya kemandirian

secara emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang dibandingkan pada budaya kolektivisme. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut. Sedangkan guru dengan locus of control eksternal lebih kuat pada budaya kolektivisme. Sebab pada budaya kolektivisme, kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga keyakinan diri dari seseorang tergantung pada lingkungan sekitarnya, tidak mempunyai kemampuan persuasi dan semangat leadership. Hal ini menyebabkan seseorang dengan locus of control eksternal memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Pada dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity), guru dengan locus of control internal mempunyai budaya maskulinitas yang kuat. Hal ini ditengarai dengan ciri budaya maskulinitas yang cenderung menekankan nilai asertivitas, prestasi dan performansi yang lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang penuh. Budaya maskulinitas mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, sebab ada kemampuan untuk memotivasi diri, sebagaimana unsur yang ada pada kecerdasan emosional. Sedangkan seorang guru dengan locus of control eksternal berada pada budaya femininitas yang kuat. Ciri budaya femininitas yang cenderung mengutamakan hubungan interpersonal lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang rendah. Budaya femininitas mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang rendah, sebab tidak ada

kemampuan untuk memotivasi diri, sebagaimana unsur yang ada pada kecerdasan emosional.

Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya lingkungan kerja ini memiliki aturan yang bersifat fleksibel. Dengan situasi ini guru (sebagai anggota lingkungan kerja) lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Guru dengan locus of control internal akan semakin yakin dengan dirinya sendiri dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut tinggi, karena mampu mengendalikan diri dalam kondisi ketidakpastian. Berbeda pada guru dengan locus of control eksternal, kondisi lingkungan kerja yang sedikit memiliki aturan mengakibatkannya tidak bisa mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional guru tersebut rendah.

Sementara pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko dan mempertahankan diri dari risiko yang ada. Hal ini mengakibatkan guru (sebagai anggota dalam lingkungan kerja) dengan locus of control eksternal semakin tidak memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal,

yang diyakini tetap akan memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Karenanya guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena mampu meminimalisir risiko.

6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan kesejajaran, sehingga masing- masing anggota dalam lingkungan masyarakat memiliki hak yang sama. Guru (sebagai anggota dalam lingkungan masyarakat) dengan locus of control eksternal, akan cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam hal pengaktualisasian diri, karena merasa sudah didominasi oleh atasan, sekalipun telah berada dalam lingkungan yang mengutamakan kesejajaran. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal pengaktualisasian diri. Dengan demikian guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.

Pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance besar, akan mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan, sehingga pengaruh kekuasaan atasan menjadi dominan. Guru (sebagai

anggota dalam lingkungan masyarakat) dengan locus of control eksterna l, akan cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam bekerjasama sebagai akibat dari rendahnya keyakinan diri atas dominasi atasan. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini tetap memiliki keyakinan diri sehingga mampu bekerjasama walaupun dalam masyarakat yang lebih didominasi atasan. Dengan demikian guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.

Pada dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism), guru dengan locus of control internal lebih kuat pada budaya individualisme. Sebab pada kondisi ini tumbuhnya kemandirian secara emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang dibandingkan pada budaya kolektivisme. Ini mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional yang dimilikinya. Sedangkan guru dengan locus of control eksternal lebih kuat pada budaya kolektivisme. Sebab pada budaya kolektivisme, kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga keyakinan diri dari seseorang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini menyebabkan guru dengan locus of control eksternal memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Pada dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity), guru dengan locus of control internal mempunyai budaya maskulinitas yang kuat. Hal ini ditengarai dengan ciri budaya maskulinitas

yang cenderung menekankan nilai asertivitas, prestasi dan performansi yang lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang penuh. Budaya maskulinitas mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, sebab ada kemampuan untuk memotivasi diri. Sedangkan seorang guru dengan locus of control eksternal berada pada budaya femininitas yang kuat. Ciri budaya femininitas yang cenderung mengutamakan hubungan interpersonal lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang rendah. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang rendah, sebab tidak ada kemampuan untuk memotivasi diri.

Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya lingkungan masyarakat ini lebih bersikap rileks dan aturan bersifat lebih fleksibel. Dengan situasi ini anggota lingkungan masyarakat lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. Guru dengan locus of control internal akan semakin yakin dengan dirinya sendiri dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut tinggi, karena mampu mengendalikan diri dalam kondisi ketidakpastian. Berbeda pada guru dengan locus of control eksternal, kondisi lingkungan masyarakat yang sedikit memiliki aturan mengakibatkan guru dengan locus of control eksternal tidak bisa mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di

masyarakat. Ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional guru tersebut rendah.

Sementara pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, anggota masyarakatnya merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko itu. Guru (sebagai anggota dalam lingkungan masyarakat) dengan locus of control eksternal semakin tidak memiliki keyakinan diri karena setiap tindakannya berdasar pada aturan yang dipatuhi. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini akan memiliki keyakinan dalam mematuhi aturan yang ada sebagai pedoman aktualisasi diri. Karenanya guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.

Dokumen terkait