• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

G. Kerangka Berpikir

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur

Kecerdasan emosional berkembang seiring dengan perkembangan diri seseorang, terutama di lingkungan teman sebaya (lingkungan kerja), karena dalam lingkungan kerja seseorang akan berinteraksi dengan orang lain dengan latar belakang budaya yang berbeda, hal ini akan membentuk kecerdasan emosional seseorang lebih berkembang. Dimana lingkungan kerja ini merupakan faktor eksternal kedua yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru.

Kultur lingkungan kerja merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu lingkungan disekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Kultur lingkungan kerja bisa diidentifikasikan berdasarkan dimensi-dimensinya. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar, kedudukan atasan dan bawahan adalah berbeda, kondisi ini mengakibatkan kurang adanya kebebasan dalam bekerja, dan adanya pengaruh dominasi ya ng kuat dari atasan dalam bekerja. Dengan demikian karyawan sebagai bawahan menjadi kurang berminat dalam bekerja, kurang memiliki pengendalian diri, tidak mampu bekerjasama dan

kurang mampu berkomunikasi dengan karyawan yang lain. Sehingga dapat disimpulkan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah, dibandingkan dengan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil, terdapat kedudukan yang sama antara atasan dan bawahan serta sikap demokratis dalam bekerja yang akan meningkatkan kecerdasan emosional guru.

Budaya individualisme menekankan pada hubungan kerja atas dasar transaksi bisnis, manajemen individual, serta pengelolaan pekerjaan secara individual. Sementara budaya kolektivisme menekankan pada hubungan kekeluargaan, mana jemen kerja kelompok, dan pengelolaan pekerjaan yang dikembangkan secara bersama. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya kemandirian secara emosional. Berbeda dengan guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam kondisi budaya kolektivisme, seseorang

memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.

Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan pada kerendahan hati dan kesetiakawanan, mengutamakan mufakat serta prinsip bekerja untuk hidup. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada ketegasan ambisi dan persaingan, penuh inisiatif dalam mengatur pekerjaan serta berprinsip bahwa hidup untuk bekerja. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas dimana ada pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sedangkan kondisi lingkungan dengan latar belakang budaya maskulinitas membentuk guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, guru lebih mengembangkan waktu sebagai batasan kerja, dan dalam bekerja selalu termotivasi dengan prestasi, penghargaan atau rasa memiliki. Dengan situasi ini guru sebagai bawahan lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Sementara pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha untuk selalu bekerja keras, tidak

fleksibel dala m pemanfaatan waktu serta cenderung menghindari risiko dan mempertahankan diri. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru yang berada dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat.

Pengaruh kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, laki- laki lebih banyak menjadi pemimpin. Karenanya laki- laki memiliki kekuasaan dalam mengambil setiap keputusan. Oleh sebab itu power distance besar dipertahankan oleh laki- laki. Akibatnya laki- laki kurang mampu membina hubunga n dengan orang lain dalam lingkungan kerja. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seseorang yang mampu menjembatani, sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi dari pada laki- laki.

Pada dimensi individualism versus collectivism, seorang laki- laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki- laki berdasar ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki- laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi

daripada perempuan. Karena perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.

Sedangkan untuk dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity), laki- laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki- laki. Laki- laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain (rekan kerja dan siswa) dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki- laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain yang lebih baik.

Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance kuat, karena perempuan merasa terancam dengan ketidakpastian, sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu me ngakibatkan perempuan tidak mempunyai sikap gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Berbeda dengan laki- laki yang lebih cenderung senang mencoba hal- hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan dihadapi. Sikap gigih laki- laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki- laki daripada perempuan.

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Faktor eksternal ketiga yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru adalah lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat seseorang akan berhadapan dengan etika, moral, dan nilai-nilai keagamaan. Interaksi seseorang terhadap hal-hal tersebut juga praktis menentukan tingkat kecerdasan emosional guru. Kultur lingkungan masyarakat merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai yang diakui bersama dalam sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

Pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance besar, pengaruh kekuasaan atasan menjadi dominan, kekuasaan yang ada cenderung didasarkan pada kharisma seseorang serta kemampuannya menggunakan kekuasaan. Hal ini menyebabkan guru yang berada pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil, penggunaan kekuasaan menjadi subjek untuk kriteria baik atau buruk dan orang yang memiliki kekuasaan mencoba untuk memperlihatkan kekuasaan yang lebih rendah daripada yang mereka punya, serta semua orang memiliki hak yang sama. Kondisi ini mendukung warga masyarakat memiliki tingkat kecerdasan emosional

yang tinggi. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance besar, akan cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam hal bekerjasama. Kondisi ini membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Dalam budaya individualisme setiap orang memiliki hak pribadi, kepentingan individu berlaku melebihi kepentingan bersama, hak dan hukum didukung menjadi sama untuk semuanya, dan aktualisasi diri oleh setiap individu merupakan tujuan bersama. Sementara dalam budaya kolektivisme kepentingan bersama berlaku melebihi kepentingan individu, karenanya kepentingan pribadi ditentang oleh kelompok, sehingga keselarasan dan kesepakatan dalam masyarakat sosial merupakan tujuan bersama. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru yang tinggal di lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Berbeda dengan guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya kolektivisme yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Dalam kondisi ini guru tidak memiliki keyakinan diri, akibatnya mereka memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya.

Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengorientasikan sikap solider, pemecahan masalah secara negosiasi

dan kompromi, serta laki- laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam segala hal. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas selalu mendukung pihak yang kuat, pemecahan masalah tanpa kompromi, serta emansipasi perempuan belum diakui sepenuhnya. Guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas cenderung akan memiliki sikap empati yang tinggi, akibatnya tingkat kecerdasan emosional guru tersebut menjadi tinggi daripada guru yang tinggal dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas.

Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, protes warga lebih diterima, sehingga warga masyarakat memiliki kebebasan dalam mengaktualisasikan diri. Sementara dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, mengharuskan warganya untuk mematuhi peraturan yang ada, dan protes dari warga masyarakat ditekan (kurangnya aktualisasi). Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional guru yang berada dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat.

Pengaruh kultur lingkungan masyarakat terhadap kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki- laki,

yang lebih banyak sebagai pemimpin, selalu melihat kenyataan sebagai hal yang objektif dan lebih tekun dalam putusannya, karena laki- laki berdasarkan ciri-ciri psikologisnya cenderung mempertahankan budaya power distance besar. Berbeda dengan ciri-ciri psikologis perempuan yang lebih bersifat tanggap, lebih tabah, dan mudah menerima keadaan, sehingga kemampuan perempuan dalam berempati lebih tinggi. Oleh sebab itu, perempuan cenderung mempertahankan budaya power distance kecil. Sifat-sifat inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi daripada laki- laki.

Pada dimensi individualism versus collectivism, laki- laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki- laki berdasar ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme, serta sifat self awareness yang kuat. Dengan sifat ini seorang laki- laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada perempuan.

Sedangkan untuk dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity), laki- laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki- laki. Laki- laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain di masyarakat dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki- laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain yang lebih baik.

Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance yang kuat, karena perempuan merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan inisiatif yang tertutup dalam bertindak. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Berbeda dengan laki- laki yang lebih cenderung terbiasa mengaktualisasikan diri secara rasional, sehingga membentuk laki- laki untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sikap gigih laki- laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti, mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki- laki daripada perempuan.

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan

Dokumen terkait