• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Hasil Penelitian

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Pembahasan Hasil Penelitian

6.1.1 Hubungan Pengetahuan dengan Pelaksanaan Program IMD oleh Bidan

Terlatih

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya kinerja seseorang. Kinerja yang didasari oleh pengetahuan akan langgeng daripada tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Dari hasil analisa univariat didapatkan bahwa sudah sebagian besar (84,6%) pengetahuan bidan dalam melaksanakan program IMD tergolong baik. Menurut asumsi peneliti, pengetahuan bidan tergolong baik karena semua bidan praktek mandiri sudah mendapatkan pelatihan dan sosialisasi tentang IMD, adanya sikap yang mendukung dalam melaksanakan program IMD sehingga peningkatan pengetahuan berimplikasi terhadap perilaku bidan dalam melaksanakan program IMD.

Materi yang ditanyakan untuk mengukur pengetahuan juga merupakan materi yang diberikan saat pelatihan dan sosialisasi kepada bidan praktek mandiri tentang pelaksanaan IMD. Pelatihan dan sosialisasi penting untuk terus dilakukan. Kegiatan ini seharusnya dilakukan secara berkala dan berkesinambungan agar pemahaman dan pengetahuan bidan dalam melaksanakan IMD semakin meningkat.

Hasil penelitian mendapatkan adanya perbedaan peluang antara bidan yang berpengetahuan baik dibandingkan bidan yang berpengetahuan kurang terhadap pelaksanaan IMD. Hal ini menunjukkan pengetahuan bidan yang baik akan meningkatkan pelaksanaan bidan dalam program IMD. Perbedaan tersebut bermakna secara statistik sehingga pengetahuan berhubungan langsung terhadap pelaksanaan bidan dalam program IMD.

Hasil ini didukung oleh penelitian lain yang mempelajari tentang pengetahuan dan pelaksanaan IMD di bidang kesehatan. Penelitian kesehatan tentang pengetahuan pada bidan praktek mandiri salah satunya adalah yang berjudul “Perbandingan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Berdasar tingkat Pengetahuan Ibu Hamil di Puskesmas Halmahera dan Puskesmas Ngesrep”, menunjukkan bahwa ada perbandingan tingkat pengetahuan baik dengan tingkat pengetahuan kurang terhadap pelaksanaan IMD yaitu dengan p value 0,004. Hasil penelitian Widiastuti dkk (2010) yang berjudul Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan IMD Di Ruang Mawar Rumah Sakit Umum Daerah Dr.H. Soewondo Kendal, dimana didapatkan hasil nilai p = 0,003 (p<0,05) maka dikatakan bahwa ada hubungan pengetahuan bidan terhadap IMD di ruang Mawar RSUD Dr. H. Soewondo Kendal.

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ghana (2004) mengatakan bahwa kurangnya pengetahuan ibu sangat berpengaruh terhadap IMD, juga akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan bayi yang baru dilahirkan, pemberian ASI sejak dini sangat bermanfaat untuk tumbuh kembang anak, disamping itu masih banyak manfaat lain yaitu mencegah hipotermi, mempererat hubungan ikatan ibu dan

bayi, merangsang pengeluaran hormon oksitosin, bayi mendapatkan IMD yang kaya akan daya tahan tubuh, meningkatkan angka keselamatan hidup bayi di usia 28 hari pertama kehidupannya, disamping itu masih banyak manfaatnya. Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) juga menyebutkan bahwa, perilaku yang didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan lebih langgeng (long lasting) dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan dan kesadaran.

Pengetahuan adalah gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budidaya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Meliono, 2007).

Kurangnya pengetahuan dari orang tua, pihak medis dan tidak adanya sikap yang mendukung dalam melaksanakan program IMD membuat IMD jarang dilaksanakan. Banyak orang tua yang merasa kasihan dan tidak percaya seorang bayi yang baru lahir dapat mencari sendiri puting susu ibunya. Ataupun rasa malu untuk meminta bidan yang membantu persalinan untuk melakukannya (Roesli, 2008).

Sedangkan menurut Boedihardjo (2007), ketidakmampuan menyusui erat hubungannya dengan situasi ibu yang kurang atau tidak mendapatkan informasi mengenai hal yang berkaitan dengan menyusui, kurangnya pengalaman dan pengetahuan tentang mekanisme laktasi, kurang percaya diri atau tidak yakin akan kemampuannya untuk menyusui. Jadi keberhasilan pemberian ASI tergantung pada perilaku dari tenaga kesehatan yang pertama kali membantu ibu melahirkan. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan perilaku, sebelum seseorang

mengadopsi perilaku ia harus tahu dahulu apa arti dan manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau bagi organisasi, karena menurut teori WHO (2007) perilaku seseorang memiliki hubungan yang positif terhadap perilaku yang dilakukannya, berarti semakin kurang pengetahuan seseorang, maka semakin jarang melaksanakan IMD.

6.1.2 Hubungan Sikap dengan Pelaksanaan Program IMD oleh Bidan

Terlatih

Sikap adalah suatu bentuk evaluasi/reaksi terhadap suatu obyek, memihak/tidak memihak yang merupakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) daan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek dilingkungan sekitarnya (WHO, 2007).

Sikap bidan terhadap pelaksanaan IMD dinilai melalui pendapat atau pandangan bidan terhadap pernyataan-pernyataan terkait pelaksanaan IMD dan manfaatnya. Pada penelitian ini, rata-rata skor untuk sikap bidan yaitu 8 poin, namun demi kepentingan penelitian variabel sikap dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu positif ( ≥ 8), sebesar 70,49% dan negatif (< 8) sebesar 29,51%. Distribusi sikap bidan menurut pelaksanaan IMD yaitu diantara 43 bidan yang memiliki sikap positif terhadap pelaksanaan IMD terdapat 34 (79,1%) yang melaksanakan IMD dan diantara 18 bidan yang memiliki sikap negatif terhadap pelaksanaan IMD terdapat 4 (22,2%) yang melaksanakan IMD. Hasil analisis hubungan antara variabel sikap dengan pelaksanaan IMD diketahui bahwa ada hubungan antara sikap bidan dengan pelaksanaan IMD, dengan nilai prevalence ratio (PR) sebesar 3,6 yang menunjukkan bahwa peluang untuk melaksanakan

IMD pada bidan praktek mandiri yang memiliki sikap positif 3,6 kali dibandingkan bidan praktek mandiri dengan sikap negatif.

Pengetahuan BPM dalam melaksanakan IMD sejalan dengan sikap artinya apabila pengetahuan BPM berada dalam kategori baik maka sikap juga akan berada dalam kategori positif dan sebaliknya jika pengetahuan kurang maka sikap juga akan negatif. Sesuai pendapat Soejoeti (2005) bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan timbulnya perubahan, pemahaman, sikap dan perilaku seseorang, sehingga seseorang mau mengadopsi perilaku baru yaitu:

(1) Kesiapan psikologis ditentukan oleh tingkat pengetahuan, kepercayaan, (2) adanya teanan positif dari kelompok atau individu dan (3) adanya dukungan lingkungan. Dijelaskan juga oleh Green (1994) bahwa mewujudkan sikap menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Faktor yang mendukung tersebut adalah:1) faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, keyakinan dan persepsi), 2) faktor pendukung (akses pada pelayanan kesehatan, keterampilan dan adanya referensi), 3) faktor pendorong terwujud dalam bentuk dukungan keluarga, tetanggadan tokoh masyarakat.

Dharmasari (2007) juga menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap berhubungan dengan pengobatan sendiri yang aman, tepat dan rasional. Sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi umum untuk berespons atau bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu objek atau orang disertai emosi positif dan negatif. Dengan kata lain sikap perlu penilaian, ada penilaian positif, negatif dan netral tanpa reaksi afektif apapun, misalnya tertarik kepada seseorang, benci terhadap suatu iklan dan suka pada makanan tertentu. Sikap mempengaruhi

pandangan seseorang terhadap suatu objek, mempengaruhi perilaku dan relasi dengan orang lain. Untuk bersikap harus ada penilaian sebelumnya yaitu sikap yang baik atau tidak baik. Perasaan sering berakar dalam sikap dan sikap dapat diubah sehingga sikap biasanya berhubungan dengan kepercayaan (Wawan, 2010).

Pengaruh sikap yang positif terhadap perubahan pelaksanaan ke arah yang lebih baik sudah dibuktikan pada beberapa penelitian kesehatan. Berdasarkan hasil penelusuran ditemukan penelitian oleh Anita (2008) dalam Fikawati & Syafiq (2010), di salah satu rumah sakit rujukan di Jakarta Pusat yang menunjukkan hubungan yang signifikan antara bidan yang mempunyai sikap positif terhadap IMD dengan penerapan praktik IMD. Hal ini berarti bahwa bidan yang bersikap positif akan lebih besar kemungkinannya untuk melakukan IMD. Sikap positif bidan terhadap IMD antara lain ditunjukkan dengan bidan merasa senang bila ibu mengerti akan pentingnya IMD, bidan mau menyebarluaskan informasi tentang pentingnya IMD, bidan mau membantu melaksanakan IMD, dan bidan tidak mau memberikan susu botol kepada bayi. Namun, berbeda dengan dengan penelitian Sumiyati (2011) diperoleh tidak ada perbedaan proporsi pelaksanaan IMD dalam pertolongan persalinan antara sikap bidan yang positif dan sikap bidan yang negatif terhadap IMD.

Pada studi kualitatif di salah satu Puskesmas di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, menunjukkan hasil adanya kekurangan fasilitas dan kualitas IMD yang dilakukan oleh bidan. Dalam studi tersebut bidan mengakui dalam IMD tidak terjadi kontak kulit antara ibu dan bayi karena bayi dalam keadaan sudah

terbungkus dan para bidan umumnya pernah memberikan susu formula kepada bayi dengan indikasi bila dalam 2 jam ASI belum keluar. Hal ini sangat tidak sesuai dengan prosedur APN yang ditetapkan.

Hal ini didukung pula oleh pernyataan Siregar A (2004), bahwa keberhasilan menyusu dini banyak dipengaruhi oleh bidan yang pertama kali membantu ibu selama proses persalinan. Selain itu keberhasilan ibu menyusui juga harus didukung oleh suami, keluarga, bidan dan masyarakat. Sikap adalah pernyataan-pernyataan atau penilaian-penilaian evaluatif berkaitan dengan obyek, orang atau peristiwa (Robbin,2003).

Sikap seseorang diperoleh melalui proses belajar, maka sikap seseorang yang negatif dapat dirubah menjadi sikap positif. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Muchlas (1994), bahwa perubahan juga diperoleh melalui proses belajar, jadi perubahan sikap juga bisa dengan cara-cara yang sama sepeti melalui pengalaman pribadi, asosiasi atau proses belajar sosial. Perubahan sikap bisa berupa penambahan, pengalihan atau modifikasi dari satu atau lebih dari ketiga komponen sikap tersebut diatas.

Sekali sebuah perubahan sikap telah terbentuk maka akan menjadi bagian integral dari individu itu sendiri. Dikatakan bahwa perubahan sikap seseorang sedikit banyak juga ikut merubah manusianya. kinerja yang ditunjukkan oleh karyawan sesungguhnya merupakan gambaran atau cerminan sikap seseorang, apabila sikap itu positif sejak awal dikembangkan individu maka kinerja yang dihasilkan adalah baik, dengan sikap yang positif maka akan mewujudkan kinerja yang tinggi dan memudahkan setiap pekerjaan (Setiawan, 2007).

Sikap mempengaruhi pelaksanaan yaitu bahwa sikap yang dipegang teguh oleh seseorang menentukan apa yang akan dia lakukan. Makin khusus sikap seseorang yang kita ukur maka makin khusus pula kita mengidentifikasi pelaksanaan terkait, dan ,makin besar kemungkinan kita dapat memperoleh hubungan yang signifikan antara keduanya. Dapat disimpulkan bahwa sikap bidan di Kabupaten Badung rata-rata memiliki sikap positif dalam melaksanakan IMD, tetapi sebagian kecil memiliki sikap negatif, hal ini disebabkan bidan lebih mengutamakan penatalaksanaan kala III dibandingkan IMD karena menganggap lebih mengutamakan bekerja secara praktis, cepat, dan aman serta ada juga yang berfikiran dengan melakukan MAK III secara cepat akan menghindarkan pasien pada perdarahan yang lebih banyak, dari situlah sehingga IMD tidak dilaksanakan. Dalam wawancara didapatkan informasi bahwa sikap positif responden dalam melaksanakan IMD adalah merasa senang melihat antusias bayi dalam melakukan IMD. Responden juga mengatakan bahwa ASI lebih cepat keluar dari pada ibu melahirkan yang tidak dilakukan IMD, sedangkan bidan yang bersikap negatif menganggap IMD menyita waktu dan butuh bantuan asisten. Pelaksanaan IMD akan terwujud apabila bidan mempunyai sikap yang positif terhadap pelaksanaan IMD dengan kesediaan untuk melakukan praktik IMD di setiap persalinan yang ditolong.

Dari analisis yang dilakukan, analisis bivariat dari variabel sikap berhubungan dengan pelaksanaan bidan dalam program IMD, sedangkan berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan poisson regression didapatkan bahwa sikap bidan yang positif tentang pelaksanaan program IMD secara

independen meningkatkan peluang bidan dalam melaksanakan program IMD dengan p= 0,028 (p< 0,05) , prevalence ratio (PR) sebesar 2,7 yang berarti pelaksanaan IMD dominan dipengaruhi oleh sikap daripada pengetahuan.

6.1.3 Hubungan Umur dengan Pelaksanaan Program IMD oleh Bidan

Terlatih

Umur merupakan salah satu variabel yang penting dalam mempengaruhi aktivitas seseorang, semakin bertambah umur seseorang maka akan semakin matang dalam mengambil sikap sehingga dapat mempengaruhi seseorang tersebut dalam bekerja, bila diaplikasikan artinya orang yang lebih dewasa akan memiliki pertimbangan lebih matang dibanding orang yang belum dewasa (Robbins, 2003).

Pada penelitian ini diperoleh hasil uji analisis bivariat dengan 95% CI (0,97-1,04). Berarti variabel umur tidak memiliki hubungan terhadap pelaksanaan program IMD. Tidak adanya pengaruh ini, kemungkinan karena rata-rata umur bidan praktek mandiri antara 37-54 tahun yang artinya sebagian besar bidan sudah memiliki pengalaman dalam melaksanakan program IMD serta ilmu pengetahuan yang dimiliki hanya sebatas pendidikan yang didapatnya sewaktu sekolah dulu (Hajrah, 2012). Pada saat wawancara ada responden yang mengatakan bahwa pelaksanaan IMD hanya membuang waktu saja dan merepotkan bila IMD hanya dilakukan sendiri tanpa bantuan teman atau orang lain. Berbeda dengan bidan yang berumur muda biasanya lebih cenderung bersemangat untuk melakukan dan mempraktekkan ilmu baru yang didapat selama pendidikan maupun setelah mendapat pelatihan.

(2013) di Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Pasuruan yang menyatakan bahwa umur mempengaruhi perilaku bidan dalam melaksanakan program IMD. Semakin bertambahnya umur mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku seseorang. Semakin bertambahnya umur maka bertambah pula kedewasaannya, makin mantap pengendalian emosinya dan makin tepat segala tindakannya.

Berdasarkan telaah literatur, seseorang umumnya lebih stabil ketika menginjak umur dewasa. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan pengalaman kerja sehingga bervariasi (Wibowo, 2013). Hal ini berbeda dengan teori menurut Nubeis Aids (1998) yang menyatakan bahwa umur berpengaruh terhadap kemampuan untuk belajar menyesuaikan diri. Umur bukan suatu patokan untuk berperilaku baik jika bukan didasari oleh sikap bidan itu sendiri. Selain itu juga disebabkan adanya anggapan bahwa IMD bukanlah hal yang penting untuk dilakukan dan tidak pernah ada teguran dari instansi terkait apabila tidak melakukan IMD.

Hal ini dapat terjadi karena pelaksanaan IMD tidak hanya dipengaruhi oleh umur seseorang, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitar dan kebiasaan sehari-hari yang dilakukan orang tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardiah (2011) bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kinerja bidan dalam pelaksanaan IMD.

6.1.4 Hubungan Lama Bekerja dengan Pelaksanaan Program IMD oleh

Bidan Terlatih

Menurut Anderson (1994) dalam Ilyas (2002) makin lama pengalaman kerja semakin trampil seseorang. Seseorang yang sudah lama membuka praktek mandiri

mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengalaman yang banyak yang akan memegang peranan dalam pembentukan perilaku petugas. Gibson (1996) dalam Ilyas (2002) mengatakan tidak ada jaminan bahwa petugas yang lebih lama bekerja dapat dikatakan lebih produktif dibandingkan petugas yang lebih senior, justru kinerja makin menurun akibat kebosanan dalam pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya rangsangan sejalan dengan makin tuanya usia. Masa kerja seseorang dapat menggambarkan pengalaman kerjanya dalam bidang yang ditekuni, dalam hal ini sebagai seorang bidan.

Pada penelitian ini, bidan membuka praktek mandiri paling singkat selama 7 bulan, dan paling lama selama 48 tahun. Berdasarkan hasil analisis bivariat ditemukan bahwa rata-rata lama bidan membuka praktek mandiri berkisar antara 7-23 tahun melaksanakan IMD. Perbedaan ini menghasilkan prevalence ratio (PR) sebesar 1,0 dan secara statistik pengaruh variabel lama praktek dengan pelaksanaan IMD tersebut tidak bermakna dengan 95% CI (0,99-1,00).

Tidak adanya hubungan yang bermakna kemungkinan karena bidan sudah memiliki pengalaman dan kemampuan untuk bekerja. Walaupun seorang bidan sudah lama membuka praktek tidak dapat menjadi jaminan bahwa bidan melaksanakan IMD meskipun sudah tahu manfaat dari IMD tetapi karena faktor adat istiadat seperti adanya kebiasaan keluarga yang langsung memisahkan bayinya segera setelah lahir, sehingga menghambat pelaksanaan IMD, dan ada yang mengatakan sewaktu wawancara bahwa ibu dan bayi tidak berada dalam ruangan yang sama setelah bayi lahir, sehingga bayi tidak segera mendapatkan ASI tetapi bayi diberikan makanan pengganti ASI yaitu susu formula dengan

alasan pelaksanaan IMD dapat mengganggu dalam melaksanakan manajemen aktif kala III.

Hasil penelitian ini senada dengan penelitian mengenai lama bekerja dan hubungannya terhadap perilaku bidan dalam melaksanakan program IMD yang pernah dilakukan oleh Dhewi (2009) yang membuktikan bahwa masa kerja berpengaruh terhadap kinerja profesionalisme seseorang. Pernyataan penelitian tersebut tidak spesifik masa kerja yang lama atau baru berpengaruh terhadap perilaku. Begitu pun dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardiah (2011) yang melakukan penelitian di Kota Pekanbaru dengan metode penelitian cross sectional, bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman kerja dengan pelaksanaan IMD yaitu 53,8% bidan yang sudah lama bekerja tidak melaksanakan IMD. Hal ini tidak sesuai dengan teori Yuliani (2001) yang menyatakan bahwa masa kerja akan sangat mempengaruhi perilaku dan kinerja seseorang. Bidan yang sudah lama bekerja akan mempunyai wawasan yang lebih luas dan lebih banyak sehingga dapat dengan mudah memberikan pelayanan kebidanan menurut ilmu yang didapatkan selama ini sehingga untuk merubah kebiasaan tersebut memerlukan proses dan waktu.

Masa kerja tidak dapat dirubah karena berkaitan dengan perjalanan waktu, sehingga yang dapat dilakukan adalah manajemen yang baik dari setiap BPM untuk pelaksanaan asuhan persalinan. Walaupun sudah lama bekerja bukan berarti tidak perlu menjalankan perubahan yang bersifat teknis, karena jika memilih membuka BPM maka konsekuensinya harus tetap menjalankan tugas bidan yang profesional dan mengikuti perkembangan ilmu kebidanan, sehingga bidan yang

masa kerja lama benar-benar melaksanakan IMD dengan baik.

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori perilaku tentang masa kerja, yaitu tenaga kerja dengan masa kerja lebih lama umumnya berperilaku lebih baik berdasarkan pengalamannya (Notoatmodjo, 2010). BPM yang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan prosedur rata-rata memiliki masa kerja lebih lama. Hal ini dapat diasumsikan bahwa semakin lama seseorang bekerja maka prestasi kerjanya akan semakin stabil bahkan cenderung meningkat karena faktor kebiasaan dan rutinitas pekerjaan.

Relevansi masa kerja adalah berkaitan langsung dengan senioritas dalam pekerjaan. Artinya tidak relevan membandingkan masa kerja dengan kinerjanya di BPM karena penelitian menunjukkan bahwa belum tentu orang yang baru bekerja memiliki produktifitas lebih tinggi karena bisa saja orang yang sudah lama bekerja dan pengalamannya lebih baik akan memiliki produktifitas kerja yang tinggi karena semakin rendah keinginannya meninggalkan pekerjaannya (Setiarini, 2012).

Masa kerja ditemukan tidak berpengaruh terhadap perilaku BPM dalam melaksanakan program IMD karena peran dari faktor lain sangat besar salah satunya adalah sikap dari bidan itu sendiri. Masa kerja tidak akan memiliki pengaruh terhadap perilaku apabila sikap bidan negatif/tidak mendukung dalam pelaksanaan IMD. Bidan yang bersikap positif akan lebih besar kemungkinannya untuk melaksanakan program IMD. Sikap positif bidan terhadap IMD antara lain adalah bidan merasa senang bila ibu mengerti akan pentingnya IMD, bidan mau

menyebarluaskan informasi tentang pentingnya IMD, bidan mau membantu melaksanakan IMD, dan bidan tidak mau memberikan susu formula kepada bayi.

6.1.5 Hubungan Pekerjaan dengan Pelaksanaan Program IMD oleh Bidan

Terlatih

Dari analisa bivariat antara variabel pekerjaan dengan pelaksanaan IMD menunjukkan bahwa bidan praktek mandiri yang bekerja di Puskesmas dan RS melaksanakan IMD pada setiap pertolongan persalinannya sebesar 56,1%, sedangkan pada bidan yang hanya membuka praktek mandiri saja tanpa bekerja di tempat lain hanya 43,9% melaksanakan IMD. Perbedaan ini menghasilkan prevalence ratio (PR) sebesar 1,3 yang menunjukkan bahwa peluang untuk melaksanakan IMD pada bidan praktek mandiri yang bekerja di Puskesmas dan RS 1,3 kali dibandingkan bidan praktek mandiri yang hanya membuka praktek mandiri saja tanpa bekerja di tempat lain. Hal ini dikaitkan dengan dukungan atasan, bidan yang bekerja di Puskesmas dan RS mampu melaksanakan IMD karena bidan merasa takut akan sangsi yang diberikan kepada atasan jika bidan tersebut tidak mengikuti SOP pelaksanaan IMD.

Dari analisis multivariat dari variabel pekerjaan tidak mempengaruhi pelaksanaan bidan dalam program IMD, jenis pekerjaan menghasilkan prevalence ratio (PR) sebesar 1,1 dan secara statistik pengaruh tersebut tidak bermakna dengan 95% CI (0,8-1,6). Tidak adanya pengaruh yang bermakna kemungkinan karena dukungan atasan hanya sebatas dukungan saja tanpa adanya supervisi pelaksanaan IMD dan kebijakan dinas kesehatan tentang IMD, sehingga bidan yang mempunyai sikap positif dan yang mempunyai kesadaran tentang IMD akan

tetap melaksanakan IMD pada setiap pertolongan persalinannya walaupun belum ada kebijakan dari atasan mengenai pelaksanaan IMD, tetapi bidan yang mempunyai sikap negatif dan pengetahuan yang kurang tentang IMD tidak akan melaksanakan IMD pada setiap pertolongan persalinannya karena menganggap IMD bukan prosedur merupakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh bidan dan proses IMD dianggap merepotkan karena perlu waktu dan pengawasan ekstra oleh bidan (Yusnita, 2011).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristina (2003) dan Wardah (2003) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan bidan dengan pelaksanaan IMD. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Yuliandrin, 2009) menyebutkan jenis pekerjaan bidan juga mempengaruhi pelaksanaan program IMD bahwa ibu yang mendapatkan keterampilan selain hanya dari praktek mandiri tetapi dari bekerja sebagai pegawai baik sebagai pegawai di pemerintahan maupun di swasta mempunyai peluang dalam melaksanakan IMD 16,4 kali dibandingkan dengan bidan yang hanya membuka praktek mandiri saja.

Hal ini tidak sejalan dengan teori Yuliani (2001) yang menyatakan bahwa pekerjaan akan sangat mempengaruhi perilaku dan kinerja seseorang. Bidan yang sudah lama bekerja akan mempunyai wawasan yang lebih luas dan lebih banyak sehingga dapat dengan mudah memberikan pelayanan kebidanan menurut ilmu yang didapatkan selama ini sehingga untuk merubah kebiasaan terebut

Dokumen terkait