• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian 5.1.1 Deskripsi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Adenin Adenan di Jalan Sisingamangaraja No. 8 Medan, Sumatera Utara. Waktu pengambilan data sekunder yaitu data hasil pemeriksaan analisis semen dari laboratorium pemeriksaan semen Rumah Sakit Adenin Adenan Medan adalah tanggal 31 September 2013. Data yang diambil merupakan data hasil pemeriksaan analisis semen dan data rekam medis pasien yang pasangannya melakukan pemeriksaan analisis semen di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan dari tanggal 1 April 2012 hingga 31 April 2013.

5.1.2. Karakteristik Sampel

Sampel dalam penelitian adalah pasien yang didiagnosa infertil baik primer maupun sekunder. Dan pria dari pasangan tersebut melakukan pemeriksaan analisis semen di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan. Pada data hasil pemeriksaan analisis semen dari tanggal 1 April 1012 sampai dengan 31 April 2013, total jumlah pasien yang melakukan pemeriksaan analisis semen sejumlah 56 orang. Dari 56 orang total pasien yang melakukan pemeriksaan analisis semen, hanya 37 orang yang memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan terdapat 19 data sampel hasil pemeriksaan analisis semen yang tidak tercantum nilai leukosit dari hasil yang telah didapatkan. Sehingga data tersebut dieksklusi dan hanya 37 data dari sampel yang ada yang memenuhi kriteria inklusi penelitian ini (Tabel 5.1.).

5.1. Gambaran Karakteristik Pasien Infertilitas di Rumah Sakit Adenin Adenan, Medan selama Periode 1 April 2012 sampai 31 April 2013

Berdasarkan tabel 5.1., dari 37 sampel yang memenuhi kriteria inklusi yang melakukan pemeriksaan analisis semen di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan, distribusi pasien paling banyak terdapat pada rentang usia 26-30 tahun dengan persentase sekitar 56,75% dan 54,05% diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis infertilitas primer. Diikuti dengan pasien dengan rentang umur 30-35 tahun sebanyak 10 orang (27,03%) dengan keseluruhan pasien didiagnosa mengalami infertilitas primer. Dan pada rentang umur diatas 35 tahun angka tersebut cenderung semakin menurun dengan rata-rata perbandingan tipe infertilitas yang sama.

Berdasarkan data sekunder yang ada, juga tidak ditemukan pasien dengan riwayat varikokel, hematospermia atau yang memiliki riwayat infeksi sebelumnya dan tidak ditemukan penyebab dari kejadian infertilitas di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan. Umur (Tahun) Infertilitas Primer (%) Infertilitas Sekunder (%) Total (%) 26-30 20 ( 54,05) 1 (2,7) 21(56,75) 30-35 10 ( 27,03) 0 (0) 10 (27,03) 36-40 0 (0) 2 (5,4) 2 (5,4) 41-45 2 (5,41) 1 (2,7) 3 (8,11) 46-50 1 (2,7) 0 (0) 1 (2,7) Total 33 (89,2) 4 (10,8) 37 (100)

Tabel 5.2. Distribusi Sampel Menurut Jumlah Sperma/ml pada Hasil Pemeriksaan Analisis Semen Pasien Infertilitas

Kategori Jumlah sperma/ml Jumlah Sampel %

A <5 juta 5 13,5 B 5-10 juta 4 10,8 C 11-15 juta 3 8,1 D 16-20 juta 5 13,5 E 21-50 juta 20 54,1 Total 37 100,0

Dapat dilihat pada tabel 5.2., konsentrasi sperma pada pasien infertilitas yang memeriksakan analisis semen sebagian besar memiliki nilai yang normal sesuai standar WHO (konsentrasi minimal sperma/ml=20 x 106 juta/ml).

Tabel 5.3. Distribusi Sampel Menurut Jumlah Leukosit pada Hasil Pemeriksaan Analisis Semen Pasien Infertilitas

Dari tabel 5.3. didapatkan bahwa tampak kadar leukosit pada hasil pemeriksaan analisis semen sebagian besar berada dalam kadar tidak normal yaitu diatas 1 juta leukosit/ml. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar pasien yang memeriksakan analisis semen manual ini memiliki jumlah leukosit yang melebihi batas normal sehingga disebut dengan keadaan leukositospermia (> 1x 106 leukosit/ml).

Jumlah Leukosit (juta/ml) Jumlah Sampel %

<1 juta/ml 13 35,1

. >1 juta/ml 24 64,9

Tabel 5.4. Distribusi Sampel menurut Motilitas Sperma pada Hasil Pemeriksaan Analisis Semen Pasien Infertilitas

Kategori Motilitas (%) Jumlah Sampel Persentase Progressive Motility 0% 31 83,8 2% 1 2,7 5% 5 13,5 Non-Progressive Motility 10 % 15% 1 1 2,7 2,7 20% 2 5,4 25% 1 2,7 30% 4 10,8 35% 5 13,5 40% 8 21,6 42% 1 2,7 43% 1 2,7 45% 1 2,7 50% 11 29,7 55% 1 2,7 Immotility 45% 1 2,7 50% 11 29,7 55% 1 2,7 57% 1 2,7 58% 1 2,7 59% 1 2,7 60% 8 21,6 65% 5 13,5 70% 4 10,8 75% 1 2,7 80% 3 8,1 85% 3 8,1 Total 37 100

Dari tabel 5.4., didapatkan bahwa nilai motilitas sperma yang progresif pada pemeriksaan analisis semen pasien infertilitas di Rumah Sakit Adenin Adenan (PR) tidak ada yang mencapai nilai normal menurut standar WHO tahun 2010 yaitu ≥ 32%. Dari 37 sampel yang ada, sebanyak 11 orang memiliki nilai persentase motilitas sperma non-progressive yaitu 50%. Data sperma yang immotil atau tidak bergerak sama sekali paling banyak terdistribusi pada kisaran 50%.

Berikut merupakan deskripsi data secara statistik yang menggambarkan tentang nilai data dari jumlah leukosit dan motilitas sperma (Tabel 5.5.).

Tabel 5.5. Hasil Pengolahan Deskriptif Data Leukosit dan Motilitas Sperma

N Min Maks Mean SD Normalitas

(Kolmogorov-Smirnov) Jumlah leukosit 37 0,30 juta/ml 3.00 juta/ml 1,2270 juta/ml 0,75375 0,02 Progressive motility 37 0 % 5% 0,73 % 1,742 0,00 Non-Progressive motility 37 10% 55% 36,70% 10,151 0,61 Immotility 37 45% 85% 60,81% 10,427 0,06 Keterangan: N : Jumlah sampel Min : Nilai minimum Maks : Nilai maksimum Mean : Nilai rata-rata SD : Standard Deviation

Karena data jumlah leukosit tidak berdistribusi normal, demikian halnya juga dengan data sperma yang progressive motility (PR), maka tidak dilakukan uji parametrik untuk melihat hubungan antara jumlah leukosit dengan motilitas sperma, jadi dipilih uji korelasi non-parametrik yaitu spearman test.

Hasil yang diperoleh sebagai berikut:

Tabel 5.6. Hasil Uji Korelasi Spearman antara Jumlah Leukosit dengan Motilitas Sperma

Jumlah Leukosit

Progressive motility Koefisien korelasi -0,135

Signifikansi 0,424

N 37

Non-Progressive motility Koefisien korelasi 0,060

Signifikansi 0,724

N 37

Immotility Koefisien korelasi -0,107

Signifikansi 0,528

N 37

Koefisien korelasi motilitas sperma yang progresif (progressive motility)

dengan jumlah leukosit pada pemeriksaan analisis semen adalah negatif ( r = -0,135) yang dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan terbalik antara

jumlah leukosit dengan motilitas sperma yang progresif (progressive motility) artinya semakin tinggi jumlah leukosit maka akan semakin rendah motilitas sperma yang progresif (progressive motility). Demikian halnya juga dengan nilai koefisien korelasi pada non-progressive motility didapatkan hasil yang positif (r = 0,060), yang dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan yang searah antara jumlah leukosit dengan motilitas sperma yang tidak progresif ( non-progressive motility) artinya semakin tinggi jumlah leukosit dalam semen maka akan semakin tinggi pula motilitas sperma yang tidak progresif (non-progressive motility). Namun secara statistik tidak signifikan (p <0,05).

5.3. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan jumlah leukosit dengan motilitas sperma, yaitu bila dihubungkan dengan motilitas sperma yang progresif (progressive motility) maka hal ini berhubungan terbalik ( r = -0,135), dan bila dihubungkan dengan motilitas sperma yang tidak progresif ( non-progressive motility) maka keduanya berhubungan searah (r = 0,060), namun secara statistik tidak signifikan (p >0,05). Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa jumlah leukosit yang tinggi sangat mempengaruhi motilitas sperma. Sehingga saat jumlah leukosit tinggi, motilitas sperma menjadi rendah. Penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya penurunan motilitas sperma terhadap kenaikan jumlah leukosit.

Pada penelitian Henkel menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara peningkatan leukosit pada cairan semen dengan motilitas sperma. Hal ini disebabkan karena leukosit tersebut memproduksi reactive oxygen spesies (ROS) yang memiliki efek yang sangat berbahaya pada berbagai fungsi spermatozoa, termasuk pada motilitas sperma (Henkel, 2011).

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Moskovtsev juga mengindikasikan bahwa keadaan leukositospermia (> 1x 106 leukosit/ml) memiliki efek negatif yang signifikan pada parameter pemeriksaan semen standar, yaitu pada konsentrasi, morfologi dan yang paling utama adalah pada motilitas sperma (Moskovtsev et al., 2007).

Pada penelitian Aziz et al., juga memberikan kesimpulan yang sama bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara peningkatan jumlah leukosit terutama pada keadaan leukositospermia dengan defek pada ekor sperma yang mempengaruhi kualitas motilitas dari sperma. Metode penelitian yang digunakan Aziz et al., menggunakan data primer, pemeriksaan analisa sperma standar (manual) dan konsentrasi leukosit seminal secara langsung (Aziz et al., 2004).

Mekanisme terjadinya penurunan motilitas sperma antara lain karena kelainan pada morfologi sperma akibat gangguan pada sel-sel sertoli yang menyebabkan adanya kelainan morfologi sperma abnormal pada proses maturasi dari sel sperma yang terjadi pada epididimis. Terjadinya peningkatan leukosit

menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin yang merupakan mediator radang yang dapat memicu stres oksidatif dan mengganggu proses spermiogenesis.

Peningkatan konsentrasi sitokin plasma seminal, termasuk interleukin-1 (IL-1), IL-2,IL-6 and tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), berasosiasi dengan rendahnya kualitas sperma dan infertilitas pria. Terlebih lagi, terdapat bukti bahwa sitokin-sitokin tersebut berefek negatif terhadap spermatogenesis dan steroidogenesis. Interferon (IFN) berfungsi melindungi testis dari infeksi viral, tetapi juga memiliki efek langsung terhadap fisiologis testis. Transforming growth factor (TGF) keluarga dari sitokin (TGF-α dan -β) ditenggarai berkontribusi dalam perkembangan testis mamalia, termasuk sel Leydig dan tubulus. seminiferous, meskipun TGF-α1 pada testis manusia berasosiasi dengan fibrosis tubulus seminiferous, dan sebagai akibatnya, gangguan pada spermatogenesis. TGF-β juga berperan penting dalam immunoregulasi dan toleransi immunologi terhadap sel germinal dan sperma di traktus reproduksi pria (Widodo, 2009).

Mekanisme kedua adalah meningkatnya jumlah Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah granulosit yang aktif. Studi terbaru yang dilakukan oleh Mupfiga dan Henkel, mengungkapkan bahwa konsentrasi leukosit dalam semen tidak hanya berkorelasi positif pada produksi ROS dalam ejakulat, tetapi juga pada produksi superoksida oleh sel sperma tersebut (r= 0.336; P=0.0098; n=60), kerusakan membran potensial mitokondria (r=0.465; P=0.043; n=20). Dalam kondisi fisiologis, spermatozoa memproduksi ROS dalam jumlah yang kecil. Dalam jumlah yang kecil, ROS dibutuhkan untuk regulasi fungsi sperma, kapasitasi sperma dan reaksi akrosom. Sedangkan dalam jumlah yang besar ROS toksik terhadap sel normal dan menurunkan potensi fertilitas dari sperma melalui kerusakan DNA dan apoptosis. Peningkatan ROS dapat menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis sehingga dapat menyebabkan adanya kelainan pada morfologi dari sel spermatozoa (Henkel, 2011).

Mekanisme ketiga adalah hubungan antara leukosit dan ROS yaitu pada neutrofil polimorfonuklear dan makrofag yang merupakan sebagian besar leukosit, berperan menyerang bakteri patogen dan benda-benda asing, keduanya

berkemampuan membangkitkan ROS. Senyawa ini dapat menginduksi lipid peroksidase di dalam membran sel. Lipid peroksidase yang ada mengoksidasi lebih dari 60 % asam lemak tak jenuh yang terdapat pada membran plasma sel spermatozoa. Jika lipid peroksidase dalam jumlah yang banyak ditambahkan ke dalam suspensi sperma, akan menyebabkan kerusakan membran dan fungsi membran juga akan menyebabkan kerusakan DNA. Hal ini menyebabkan terjadinya agregasi sperma sehingga mempengaruhi motilitas sperma. Studi terbaru yang dilakukan oleh Khosrowbeygi and Zarghami menunjukkan bahwa sperma dari pasien asthenozoospermia, asthenoteratozoospermia, dan oligoasthenoteratozoospermia memiliki level asam lemak tak jenuh yang tinggi pada membran plasmanya dibandingkan pada laki-laki yang normozoospermia. Hal ini semakin mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan oksidasi oleh lipid peroksidase dan stres oksidatif yang menyebabkan terjadinya disfungsi motilitas pada sperma pria infertil (Henkel, 2011).

Keadaan leukositospermia ini penyebabnya sangatlah multifaktorial, beberapa diantaranya adalah adanya infeksi di traktus genitalia pria tersebut, varikokel, abstinensia yang berkepanjangan, adanya keadaan spermatogenesis yang abnormal sehingga mekanisme protektif regulasi fungsi sperma normal tidak terjadi, ditambah lagi dengan berbagai faktor resiko yaitu merokok, mengkonsumsi alkohol yang berlebihan, paparan bahan kimia yang berbahaya dan sebagainya. Dengan berbagai penyebab dan faktor risiko yang ada, maka tingkat fertilitas seorang pria juga akan semakin menurun dan akan memicu keadaan infertil (Singh dan Ashok, 2011).

Dokumen terkait