• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Spermatogenesis, Semen dan Kelainan pada Sperma

Gambar 2.2 Spermatogenesis (Guyton dan Hall, 2007)

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa. Spermatozoa merupakan sel yang dihasilkan oleh fungsi reproduksi pria (Junqueira dan Jose, 2007). Spermatozoa merupakan sel hasil maturasi dari sel germinal primordial yang disebut dengan spermatogonia. Spermatogonia berada pada dua atau tiga lapisan permukaan dalam tubulus seminiferus. Spermatogonia

mulai mengalami pembelahan mitosis, yang dimulai saat pubertas, dan terus berproliferasi dan berdiferensiasi melalui berbagai tahap perkembangan untuk membentuk sperma (Guyton dan Hall, 2007).

Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus selama masa seksual aktif akibat stimulasi oleh hormon gonadotropin yang dihasilkan di hipofisis anterior, yang dimulai rata-rata pada umur 13 tahun dan terus berlanjut hampir di seluruh sisa kehidupan, namun sangat menurun pada usia tua (Guyton dan Hall, 2007).

Pada tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia bermigrasi di antara sel- sel sertoli menuju lumen sentral tubulus seminiferus. Sel-sel sertoli ini sangat besar, dengan pembungkus sitoplasma yang berlebihan yang mengelilingi spermatogonia yang sedang berkembang sampai menuju bagian tengah lumen tubulus (Guyton dan Hall, 2007).

Proses berikutnya adalah pembelahan secara meiosis. Pada tahap ini spermatogonia yang melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel Sertoli akan dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membesar untuk membentuk spermatosit primer yang besar. Setiap spermatosit tersebut, selanjutnya mengalami pembelahan mitosis untuk membentuk dua spermatosit sekunder. Setelah beberapa hari, spermatosit sekunder ini juga membelah menjadi spermatid yang akhirnya dimodifikasi menjadi spermatozoa (sperma) (Guyton dan Hall, 2007).

Selama masa pergantian dari tahap spermatosit ke tahap spermatid, 46 kromosom spermatozoa (23 pasang kromosom) dibagi sehingga 23 kromosom diberikan ke satu spermatid dan 23 lainnya ke spermatid yang kedua (Sherwood, 2012). Keadaaan ini juga membagi gen kromosom sehingga hanya setengah karakteristik genetik bayi yang berasal dari ayah, sedangkan setengah sisanya diturunkan dari oosit yang berasal dari ibu. Keseluruhan proses spermatogenesis, dari spermatogonia menjadi spermatozoa, membutuhkan waktu sekitar 74 hari (Guyton dan Hall, 2007).

Proses selanjutnya adalah pembentukan sperma. Ketika spermatid dibentuk pertama kali, spermatid tetap memiliki sifat-sifat yang lazim dari sel-sel epiteloid, tetapi spermatid tersebut segera berdiferensiasi dan memanjang menjadi

spermatozoa. Masing-masing spermatozoa terdiri atas kepala dan ekor. Kepala terdiri atas inti sel yang padat dengan hanya sedikit sitoplasma dan lapisan membran sel di sekeliling permukaannya. Di bagian luar, dua pertiga anterior kepala terdapat selubung tebal yang disebut akrosom yang terutama dibentuk oleh apparatus Golgi. Selubung ini mengandung sejumlah enzim yang serupa dengan enzim yang ditemukan pada lisosom dari sel-sel yang khas, meliputi hialuronidase (yang dapat mencerna filamen proteoglikan jaringan) dan enzim proteolitik yang sangat kuat (yang dapat mencerna protein). Enzim ini memainkan peranan penting sehingga memungkinkan sperma untuk memasuki ovum dan membuahinya (Guyton dan Hall, 2007).

Ekor sperma, yang disebut flagellum, memiliki tiga komponen utama yaitu (1) kerangka pusat yang secara keseluruhan disebut aksonema, yang memiliki struktur yang serupa dengan struktur silia yang terdapat pada permukaan sel tipe lain; (2) membran sel tipis yang menutupi aksonema; dan (3) sekelompok mitokondria yang mengelilngi aksonema di bagian proksimal ekor ( badan ekor) (Guyton dan Hall, 2007).

Gerakan maju-mundur ekor (gerakan flagella) memberikan motilitas sperma. Gerakan ini disebabkan oleh gerakan meluncur longitudinal secara ritmis di antara tubulus posterior dan anterior yang membentuk aksonema. Sperma yang normal bergerak dalam medium cair dengan kecepatan 1 sampai 4 mm/menit. Kecepatan ini akan memungkinkan sperma untuk bergerak melalui traktus genitalia wanita untuk mencapai ovum (Guyton dan Hall, 2007).

Proses selanjutnya setelah pembentukan sperma adalah pematangan sperma di epididimis. Setelah terbentuk di tubulus seminiferus, sperma membutuhkan waktu beberapa hari untuk melewati tubulus epididimis yang panjangnya 6 meter. Sperma yang bergerak dari tubulus seminiferus dan dari bagian awal epididimis adalah sperma yang belum motil, dan tidak dapat membuahi ovum. Akan tetapi, setelah sperma berada dalam epididimis selama 18-24 jam, sperma akan memiliki kemampuan motilitas (Guyton dan Hall, 2007).

Kemampuan bergerak maju (motilitas progresif) yang diperoleh di epididimis, melibatkan aktivasi suatu protein unik yang disebut CatSper, yang

berada di bagian utama ekor sperma. Protein ini tampaknya adalah suatu kanal

Ca2+ yang memungkinkan influx Ca2+ generalisata c-AMP. Selain itu, spermatozoa mengekspresikan reseptor olfaktorius, dan ovarium menghasilkan molekul mirip odoran. Bukti-bukti terkini mengisyaratkan bahwa berbagai molekul ini dan reseptornya saling berinteraksi, yang memperkuat gerakan spermatozoa ke arah ovarium (Ganong, 2008).

2.2.2 Semen

Cairan yang diejakulasikan pada saat orgasme, yakni semen (air mani), mengandung sperma dan sekret vesikula seminalis, prostat, kelenjar Cowper, dan mungkin kelenjar uretra (Tabel 2.3). Volume rerata per ejakulat adalah 2,5-3,5 mL setelah beberapa hari tidak dikeluarkan. Volume semen dan hitung sperma menurun cepat bila ejakulasi berkurang. Walaupun hanya diperlukan satu sperma untuk membuahi ovum, setiap milliliter semen normalnya mengandung 100 juta sperma. Lima puluh persen pria dengan hitung sperma 20-40 juta/mL dan pada dasarnya, semua pria dengan nilai hitung yang kurang dari 20 juta/mL dianggap mandul. Adanya banyak spermatozoa yang immotil atau cacat juga berkorelasi dengan infertilitas. Prostaglandin dalam semen, yang sebenarnya berasal dari vesikula seminalis, kadarnya cukup, namun fungsi turunan asam lemak in di dalam semen tidak diketahui (Ganong, 2008).

Sperma manusia bergerak dengan kecepatan sekitar 3 mm/menit melintasi saluran genitalia wanita. Sperma mencapai tuba uterina 30-60 menit setelah kopulasi. Pada beberapa spesies, kontraksi organ wanita mempermudah transportasi sperma ke tuba uterina, namun tidak diketahui apakah kontraksi semacam itu penting pada manusia (Ganong, 2008).

Tabel 2.3 Komposisi Semen Manusia (Ganong, 2008)

Warna : putih Berat jenis spesifik : 1,028

pH : 7,35-750

Hitung sperma : Rerata sekitar 100 juta/mL, dengan bentuk abnormal kurang dari 20% Komponen lain:

Fruktosa (1,5-6,5 mg/ml) Fosforilkolin, ergotionein

Asam askorbat, flavin , prostaglandin

Spermin Asam sitrat Kolesterol, fosfolipid Fibrinolisin, fibrogenase Seng Fosfatase asam Fosfat Bikarbonat Hialuronidase

2.2.3 Kelainan pada Sperma

Oligospermia idiopatik ditemukan bila konsentrasi sperma kurang dari 20 x106/mL tetapi lebih dari 10 x106/mL. Asthenospermia idiopatik pada kasus ini konsentrasi spermanya normal tetapi terdapat proporsi yang rendah dari spermatozoa dengan motilitas yang cepat. Teratozoospermia idiopatik ditemukan bila konsentrasi dan motilitas sperma normal tetapi morfologinya abnormal. Kriptozoospermia idiopatik didiagnosis bila tidak terdapat spermatozoa dalam sampel semen yang baru diambil, namun mulai terlihat beberapa spermatozoa setelah disentrifugasi (Al-Haija, 2011).

Azoospermia obstruktif didiagnosa bila semen adalah azoospermia (tidak terdapat sperma dalam semen) namun pada biopsi testis menunjukkan terdapat banyak komplemen spermatogenik dalam tubulus seminiferus (Al-Haija, 2011).

Terdapat banyak bukti kuat penyebab yang paling berperan dalam kejadian infertilitas pria seperti kanker testis, penurunan kualitas semen, andesensus

Dari vesikula seminalis

(membentuk 60% volume total)

Dari prostat (membentuk 20 % volume total)

testikularis, dan hipospadia akibat gangguan pemprograman embrional dan perkembangan gonad selama kehidupan masa janin (Al-Haija, 2011).

Dokumen terkait